Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Friday, April 13, 2018

Kata Hati dan Cinta




Sumber : digiyan.com

Kata Hati dan Cinta

Sejarah manusia tidak pernah terlepas dari cinta, bahkan jelas dinyatakan tanpa ada cinta Adam kepada Hawa, bisa jadi generasi manusia tidak akan lahir. Pergeseran peradaban juga terjadi karena alasan cinta, kejatuhan romawi dibawah kepemimpinan Oktavianus konon sangat dipengaruhi oleh perasaan-nya pada Ratu Cleopatra, begitu juga sejarah Byzantium dalam beberapa episode-nya menunjukkan peran penting cinta dalam jatuh-bangun imperium tersebut. Cinta juga memiliki kemampuan merubah bentuk muka bumi, mulai dari cerita mistis Tangkuban Perahu yang terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, hingga catatan sejarah seorang laki-laki paruh baya, menembus dan membelah gunung demi cinta pada almarhum istrinya dan agar orang lain tidak mengalami nasib sebagaimana istrinya hanya karena kesulitan mengakses sarana kesehatan. Cinta pun menjadi alasan digambarkannya kehidupan indah anak remaja dalam berbagai novel, film, dan animasi, sebut saja Dilan, Eclipse, dan judul-judul lain yang menjadikan romantisme dikalangan remaja sebagai sorotan utama.

Cinta terserak! Begitu kata Andrea Hirata, dalam setiap sudut baik pedesaan atau perkotaan kita bisa menemukan cinta, baik secara simbolis maupun secara aplikatif. Ibu yang mengelus kepala anaknya agar tidur terlelap mungkin marasakan cinta, sama dengan para remaja putri yang erat mendekap kekasihnya saat berkendara bersama. Para pahlawan tanpa nama yang terbaring dalam nisan-nisan bisu, mungkin mencintai negaranya sebagaimana seorang pelacur yang tidap malam menjajakkan cintanya. Bahkan seorang hamba, tunduk sujud menyapa tuhannya di setiap sepertiga malam, mungkin sama-sama saying kepada kekasihnya, sebagaimana seorang remaja laki-laki yang berucap selamat ulang tahun, selepas waktu tengah malam, agar menjadi yang pertama memberi ucapan pada kekasihnya.

Itu semua cinta, dia terserak dan semua orang berhak melakukan klaim bahwa yang dia lakukan atas dasar cinta. Maka sebuah pertanyaan muncul, apakah cinta merupakan konsep ambigu sehingga hal-hal diatas bisa disamakan? Cinta sendiri adalah sebuah ekspresi yang dibangun untuk menggambarkan berbagai perasaan tenang, menyenangkan saat melakukan atau berinteraksi dengan sesuatu. Kata cinta juga umum ditemui dalam Al-Qur’an, bahkan jika kita mencari definisi cinta sejati, Allah-lah sang Maha Cinta. Kenapa? Karena Allah-lah Sang Maha Pemaaf, jika seorang hamba mendatangi Allah dengan berjalan, Allah sambut dia dengan Berlari, luar biasa kan? Maka dalam hal ini cinta bukanlah konsep ambigu, dia memiliki definisi dan contoh sejarah yang jelas dan bisa dibuktikan secara empiric. Bahkan jika kita belum bisa memotret cinta dari sudut pandang agama, masih ada sudut pandang historis yang bisa kita jadikan pedoman untuk mendefinisikan, mengukur dan menimbang cinta.

Lantas apakah karena cinta itu terserak contoh komparasi diatas relevan jika disetarakan? Tentu tidak. Jika kita memahami munculnya cinta, akan senantiasa kita temui bahwa cinta tumbuh disebabkan karena sebuah alasan. Kemunculan alasan juga bukan terjadi karena konstruksi tunggal yang muncul begitu saja, kemunculan alasan setidaknya telah melalui proses analisis, dimana laki-laki dominan menggunakan analisis logis-rasional, perempuan menggunakan sudut pandang perasaan-prediksi. Tetapi secara umum, karena cinta merupakan wujud ekspresi rasa, baik laki-laki maupun perempuan akan melibatkan perasaannya jika berurusan dengan cinta, dimana hati-lah (sebuah metafora yang menggambarkan system pengolah rasa) yang memproses perasaan tersebut.

Artinya secara umum, kata hati, nilai nurani, dan norma diri menjadi penimbang, alat analisis yang cukup baik dalam mengukur kedalaman dan kualitas cinta seseorang. Apakah cinta seorang ibu pada anaknya bisa disamakan dengan cinta remaja putri pada kekasihnya? Iya jika kita memandang cinta sebagai konsep absurd tanpa adanya tolak ukur. Namun jika kita memahami cinta sebagai sebuah proses yang kompleks, tidak mungkin cinta seorang ibu sama dengan sepasang muda mudi. Proses interaksi seorang ibu kepada anak sudah dimulai sejak sang ibu berjuang dalam proses kehamilan, dilanjutkan dengan bagaimana sang ibu merencanakan masa depan sang anak bersama suami tercinta, dan diakhiri dengan bagaimana ibu tersebut mengeksekusi itu semua dalam wujud perbuatan kepada buah hatinya. Sedangkan sepasang muda-mudi sangat jarang bisa memikirkan dan berbuat sejauh itu, dalam proses interaksi saja sangat jarang pasangan tersebut bisa berinteraksi melebihi umur jagung. Apalagi jika kita menilik pada komersialisasi cinta oleh para pelacur, atau perjuangan remeh seorang remaja mengucap selamat ulang tahun pada kekasihnya.

Dengan mengedepankan sudut pandang seperti ini, sebagai manusia kita menjadi tidak asal dalam mengekspresikan dan menggunakan terminology cinta. Karena cinta adalah proses olah rasa yang memiliki kedalaman dan alat ukurnya sendiri. Artinya, hubungan rapuh seperti pacaran dan perzinahan tidak akan pernah kita sebut sebagai cinta, agama memiliki terminology sendiri untuk membahas kedua hal itu, namun disimpulkan yang seperti itu bukan cinta. Lebih ada dominasi factor diluar perasaan yang mempengaruhi orang berbuat hal-hal demikian. Secara sederhana, kata-kata aku mencintaimu bukanlah kata receh, kata itu tidak bisa diberikan secara sembarangan kepada setiap orang apalagi berganti orang tiap 3 bulan sekali.

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai sesuatu? Jelas boleh, bahkan islam yang dikenal peradaban barat sebagai agama ekstrim memiliki tuhan yang maha mencintai. Permasalahan cinta bukan pada perasaan itu, bukan pada alat pengolahnya, tetapi kepada bagaimana manusia mengekspresikan perasaannya itu. Jika anda sudah menikah, memiliki istri sah dalam kacamata agama dan hokum, maka ketika anda menyatakan saya cinta kamu dan anda tutup dengan berhubungan intim, semua itu bernilai pahala dan sebuah tindakan terpuji. Lantas apa bedanya dengan tindak prostitusi? Bukankah metodologinya sama? Betul proses yang dilalui sama namun outcomenya sangat jauh berbeda. Anak hasil pernikahan adalah anak sah, baik dimata agama maupun hokum, sedangkan dalam prostitusi, kelahiran anak disebut kecelakaan, bukan sesuatu yang diinginkan. Dalam pernikahan perempuan menjadi istri, sebuah status dalam struktur social dan diakui negara, sedangkan dalam prostitusi? Mau disebut dengan terminology apapun perempuan tersebut menjual dirinya, lantas kalau dia bukan produk jasa, mau disebut apalagi? Serta hal-hal lain yang saat ini masih dapat dibandingkan secara relevan dalam sudut pandang dan nilai-norma ketimuran.

Maka apa bedanya jika anda berpacaran kemudian anda berzina? Apakah itu disebut cinta? Jawabannya jelas tidak. Bahkan lebih jauh dari nilai komersil baik laki-laki maupun perempuan yang berzina sejatinya sama-sama menyerahkan asset berharganya sebagai manusia, dengan perempuan jauh dirugikan lebih banyak. Mengapa demikian? Sebut saja resiko hamil, kehilangan keperawanan, resiko penyakit seksual, dan resiko-resiko lain dimana perempuan cenderung menjadi korban dari kenikmatan barang 30 menit tersebut. Penulis tidak akan membahas sudut pandang agama karena semua dalil dalam agama adalah jelas dan tidak terbantahkan, intinya perbuatan demikian terhitung dosa.

Maka ekspresi mencintai adalah ekspresi hati, bukan lisan maupun perbuatan. Lisan dan perbuatan baru bisa berperan jika agama dan negara telah mengizinkan keterlibatan keduanya dalam memperkaya sebuah ekspresi cinta. Maka jika kita belum pada posisi diizinkan negara dan agama, maka biarlah hati yang mencinta. Doa, perasaan menghormati, perasaan menjaga dan melindungi, adalah wujud sederhana dari yang bisa kita lakukan dalam mencintai sesuatu yang belum menjadi milik kita.
Jika kondisi membaik dan kita siap bertarung untuk memperoleh hal itu, lewati jalan-nya, penuhi syarat-syaratnya, tentu dengan cara yang baik. Siapkan modal, wujudkan dengan akad, karena kesemua itu perangkatnya sudah diatur oleh negara dan agama. Jika negara dan agama tidak mengatur itu, bisa jadi cinta kita adalah cinta yang salah, karena jelas mau anda berpikiran bagaimanapun berhubungan intim dengan hewan bukan merupakan perbuatan yang wajar. Setelah selesai, mulailah beraksi dengan memberi nafkah baik fisik maupun batin, bertanggung jawab, menjaga dan melindungi. Hal ini juga berlaku dalam mencintai benda mati, mau dikata apa mencuri adalah tindak pidana, dan membiarkan suatu barang rusak tanpa perawatan adalah kedzaliman.

Maka bagi sesame pemuda yang belum mampu bertarung, cintailah dia apapun bentuknya dengan hati. Hormati dia dengan tidak menyentuh tubuhnya sebelum saatnya. Jaga dia dengan tidak melukai hatinya dengan kata aku mencintaimu pada momen yang tidak tepat. Serta bertarunglah, memantaskan diri agar ketika kesempatan itu dating bisa kita tunjukkan bagaimana luar biasanya kita bagi dirinya. Jika kita berani melanggar batas-batas itu, percayalah, rasa penyesalan itu lebih menyakitkan dan membuatmu frustasi yang tidak bisa sedikitpun dikompensasi oleh kenikmatan semu yang kamu peroleh.


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.


For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk artikel lain, silahkan kunjungi pranala dibawah ini

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 


No comments:

Post a Comment