Sumber : digiyan.com
Kata Hati dan Cinta
Sejarah
manusia tidak pernah terlepas dari cinta, bahkan jelas dinyatakan tanpa ada
cinta Adam kepada Hawa, bisa jadi generasi manusia tidak akan lahir. Pergeseran
peradaban juga terjadi karena alasan cinta, kejatuhan romawi dibawah kepemimpinan
Oktavianus konon sangat dipengaruhi oleh perasaan-nya pada Ratu Cleopatra,
begitu juga sejarah Byzantium dalam beberapa episode-nya menunjukkan peran
penting cinta dalam jatuh-bangun imperium tersebut. Cinta juga memiliki
kemampuan merubah bentuk muka bumi, mulai dari cerita mistis Tangkuban Perahu
yang terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, hingga catatan sejarah seorang
laki-laki paruh baya, menembus dan membelah gunung demi cinta pada almarhum
istrinya dan agar orang lain tidak mengalami nasib sebagaimana istrinya hanya
karena kesulitan mengakses sarana kesehatan. Cinta pun menjadi alasan
digambarkannya kehidupan indah anak remaja dalam berbagai novel, film, dan
animasi, sebut saja Dilan, Eclipse, dan judul-judul lain yang menjadikan romantisme
dikalangan remaja sebagai sorotan utama.
Cinta
terserak! Begitu kata Andrea Hirata, dalam setiap sudut baik pedesaan atau
perkotaan kita bisa menemukan cinta, baik secara simbolis maupun secara
aplikatif. Ibu yang mengelus kepala anaknya agar tidur terlelap mungkin
marasakan cinta, sama dengan para remaja putri yang erat mendekap kekasihnya
saat berkendara bersama. Para pahlawan tanpa nama yang terbaring dalam
nisan-nisan bisu, mungkin mencintai negaranya sebagaimana seorang pelacur yang
tidap malam menjajakkan cintanya. Bahkan seorang hamba, tunduk sujud menyapa
tuhannya di setiap sepertiga malam, mungkin sama-sama saying kepada kekasihnya,
sebagaimana seorang remaja laki-laki yang berucap selamat ulang tahun, selepas
waktu tengah malam, agar menjadi yang pertama memberi ucapan pada kekasihnya.
Itu semua
cinta, dia terserak dan semua orang berhak melakukan klaim bahwa yang dia
lakukan atas dasar cinta. Maka sebuah pertanyaan muncul, apakah cinta merupakan
konsep ambigu sehingga hal-hal diatas bisa disamakan? Cinta sendiri adalah
sebuah ekspresi yang dibangun untuk menggambarkan berbagai perasaan tenang,
menyenangkan saat melakukan atau berinteraksi dengan sesuatu. Kata cinta juga
umum ditemui dalam Al-Qur’an, bahkan jika kita mencari definisi cinta sejati,
Allah-lah sang Maha Cinta. Kenapa? Karena Allah-lah Sang Maha Pemaaf, jika
seorang hamba mendatangi Allah dengan berjalan, Allah sambut dia dengan
Berlari, luar biasa kan? Maka dalam hal ini cinta bukanlah konsep ambigu, dia
memiliki definisi dan contoh sejarah yang jelas dan bisa dibuktikan secara
empiric. Bahkan jika kita belum bisa memotret cinta dari sudut pandang agama,
masih ada sudut pandang historis yang bisa kita jadikan pedoman untuk
mendefinisikan, mengukur dan menimbang cinta.
Lantas
apakah karena cinta itu terserak contoh komparasi diatas relevan jika
disetarakan? Tentu tidak. Jika kita memahami munculnya cinta, akan senantiasa
kita temui bahwa cinta tumbuh disebabkan karena sebuah alasan. Kemunculan
alasan juga bukan terjadi karena konstruksi tunggal yang muncul begitu saja,
kemunculan alasan setidaknya telah melalui proses analisis, dimana laki-laki
dominan menggunakan analisis logis-rasional, perempuan menggunakan sudut
pandang perasaan-prediksi. Tetapi secara umum, karena cinta merupakan wujud
ekspresi rasa, baik laki-laki maupun perempuan akan melibatkan perasaannya jika
berurusan dengan cinta, dimana hati-lah (sebuah metafora yang menggambarkan
system pengolah rasa) yang memproses perasaan tersebut.
Artinya
secara umum, kata hati, nilai nurani, dan norma diri menjadi penimbang, alat
analisis yang cukup baik dalam mengukur kedalaman dan kualitas cinta seseorang.
Apakah cinta seorang ibu pada anaknya bisa disamakan dengan cinta remaja putri
pada kekasihnya? Iya jika kita memandang cinta sebagai konsep absurd tanpa
adanya tolak ukur. Namun jika kita memahami cinta sebagai sebuah proses yang
kompleks, tidak mungkin cinta seorang ibu sama dengan sepasang muda mudi.
Proses interaksi seorang ibu kepada anak sudah dimulai sejak sang ibu berjuang dalam
proses kehamilan, dilanjutkan dengan bagaimana sang ibu merencanakan masa depan
sang anak bersama suami tercinta, dan diakhiri dengan bagaimana ibu tersebut
mengeksekusi itu semua dalam wujud perbuatan kepada buah hatinya. Sedangkan
sepasang muda-mudi sangat jarang bisa memikirkan dan berbuat sejauh itu, dalam
proses interaksi saja sangat jarang pasangan tersebut bisa berinteraksi
melebihi umur jagung. Apalagi jika kita menilik pada komersialisasi cinta oleh
para pelacur, atau perjuangan remeh seorang remaja mengucap selamat ulang tahun
pada kekasihnya.
Dengan
mengedepankan sudut pandang seperti ini, sebagai manusia kita menjadi tidak
asal dalam mengekspresikan dan menggunakan terminology cinta. Karena cinta
adalah proses olah rasa yang memiliki kedalaman dan alat ukurnya sendiri.
Artinya, hubungan rapuh seperti pacaran dan perzinahan tidak akan pernah kita
sebut sebagai cinta, agama memiliki terminology sendiri untuk membahas kedua
hal itu, namun disimpulkan yang seperti itu bukan cinta. Lebih ada dominasi
factor diluar perasaan yang mempengaruhi orang berbuat hal-hal demikian. Secara
sederhana, kata-kata aku mencintaimu bukanlah kata receh, kata itu tidak bisa
diberikan secara sembarangan kepada setiap orang apalagi berganti orang tiap 3
bulan sekali.
Lantas
apakah kita tidak boleh mencintai sesuatu? Jelas boleh, bahkan islam yang
dikenal peradaban barat sebagai agama ekstrim memiliki tuhan yang maha
mencintai. Permasalahan cinta bukan pada perasaan itu, bukan pada alat
pengolahnya, tetapi kepada bagaimana manusia mengekspresikan perasaannya itu.
Jika anda sudah menikah, memiliki istri sah dalam kacamata agama dan hokum,
maka ketika anda menyatakan saya cinta kamu dan anda tutup dengan berhubungan
intim, semua itu bernilai pahala dan sebuah tindakan terpuji. Lantas apa
bedanya dengan tindak prostitusi? Bukankah metodologinya sama? Betul proses
yang dilalui sama namun outcomenya sangat jauh berbeda. Anak hasil pernikahan
adalah anak sah, baik dimata agama maupun hokum, sedangkan dalam prostitusi,
kelahiran anak disebut kecelakaan, bukan sesuatu yang diinginkan. Dalam
pernikahan perempuan menjadi istri, sebuah status dalam struktur social dan
diakui negara, sedangkan dalam prostitusi? Mau disebut dengan terminology
apapun perempuan tersebut menjual dirinya, lantas kalau dia bukan produk jasa,
mau disebut apalagi? Serta hal-hal lain yang saat ini masih dapat dibandingkan
secara relevan dalam sudut pandang dan nilai-norma ketimuran.
Maka apa
bedanya jika anda berpacaran kemudian anda berzina? Apakah itu disebut cinta?
Jawabannya jelas tidak. Bahkan lebih jauh dari nilai komersil baik laki-laki
maupun perempuan yang berzina sejatinya sama-sama menyerahkan asset berharganya
sebagai manusia, dengan perempuan jauh dirugikan lebih banyak. Mengapa
demikian? Sebut saja resiko hamil, kehilangan keperawanan, resiko penyakit
seksual, dan resiko-resiko lain dimana perempuan cenderung menjadi korban dari
kenikmatan barang 30 menit tersebut. Penulis tidak akan membahas sudut pandang
agama karena semua dalil dalam agama adalah jelas dan tidak terbantahkan,
intinya perbuatan demikian terhitung dosa.
Maka
ekspresi mencintai adalah ekspresi hati, bukan lisan maupun perbuatan. Lisan
dan perbuatan baru bisa berperan jika agama dan negara telah mengizinkan
keterlibatan keduanya dalam memperkaya sebuah ekspresi cinta. Maka jika kita
belum pada posisi diizinkan negara dan agama, maka biarlah hati yang mencinta.
Doa, perasaan menghormati, perasaan menjaga dan melindungi, adalah wujud
sederhana dari yang bisa kita lakukan dalam mencintai sesuatu yang belum
menjadi milik kita.
Jika
kondisi membaik dan kita siap bertarung untuk memperoleh hal itu, lewati
jalan-nya, penuhi syarat-syaratnya, tentu dengan cara yang baik. Siapkan modal,
wujudkan dengan akad, karena kesemua itu perangkatnya sudah diatur oleh negara
dan agama. Jika negara dan agama tidak mengatur itu, bisa jadi cinta kita
adalah cinta yang salah, karena jelas mau anda berpikiran bagaimanapun
berhubungan intim dengan hewan bukan merupakan perbuatan yang wajar. Setelah
selesai, mulailah beraksi dengan memberi nafkah baik fisik maupun batin,
bertanggung jawab, menjaga dan melindungi. Hal ini juga berlaku dalam mencintai
benda mati, mau dikata apa mencuri adalah tindak pidana, dan membiarkan suatu
barang rusak tanpa perawatan adalah kedzaliman.
Maka bagi
sesame pemuda yang belum mampu bertarung, cintailah dia apapun bentuknya dengan
hati. Hormati dia dengan tidak menyentuh tubuhnya sebelum saatnya. Jaga dia
dengan tidak melukai hatinya dengan kata aku mencintaimu pada momen yang tidak
tepat. Serta bertarunglah, memantaskan diri agar ketika kesempatan itu dating
bisa kita tunjukkan bagaimana luar biasanya kita bagi dirinya. Jika kita berani
melanggar batas-batas itu, percayalah, rasa penyesalan itu lebih menyakitkan
dan membuatmu frustasi yang tidak bisa sedikitpun dikompensasi oleh kenikmatan
semu yang kamu peroleh.
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel lain, silahkan kunjungi pranala dibawah ini
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment