Resensi
Buku “Saksikan Aku Seorang Muslim”, Salim A. Fillah
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam, mahasiswa S1 Manajemen FEB UNS
Saya sudah berislam, saya sudah bersayahadat, sekarang saya harus
bagaimana? Mengapa ummat islam melakukan terorisme? Apakah agama islam
menganjurkan terorisme? Untuk apa kamu berislam? Apa yang membedakan kamu
dengan kita jika kamu berislam?. Beberapa pertanyaan yang umum kita dengan di
masyarakat, sebagai seorang muslim, beberapa dari pertanyaan tersebut memang
cukup menganggu, beberapa membingungkan, beberapa memerlukan jawaban yang
mengokohkan. Tentu saja, kewajiban kita bagi seorang muslim untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, memberikan kepuasan bagi yang bertanya,
sekaligus memuhasabah diri sendiri, apakah kita sudah seperti apa yang
kita tuturkan. Pertanyaan-nya cukup sederhana, bagaimana dan dengan apa kita
menjawab?.
Betul sudah ada ratusan judul buku tafsir, ataupun riwayat-riwayat
hadits yang shahih. Betul ulama-ulama besar telah menghasilkan ribuan
karya-karya fenomenal, dan betul, jika beberapa cerdik cendekia telah
mempublikasikan berbagai karya-karya ilmiah yang membuktikan kebenaran islam
secara akademik. Namun, memang cukup disayangkan, tidak semua orang bisa
memahami dengan mudah karya-larya agung tersebut, dan lagi, beberapa karya
dikenal cukup berat bukunya, banyak jilidnya, dengan bahasa arab pula. Inilah
yang mungkin coba dijawab penulis, Ust. Salim A. Fillah dalam buku yang tidak
terlalu tebal, namun mengandung esensi dari karya-karya agung tersebut. Buku
ringan yang menjawab esensi menjadi seorang muslim, dan mungkin mampu menjawab
pertanyaan seperti mengapa kita memilih islam sebagai agama.
Menyajikan karyanya dengan bahasa indah seperti puisi, alur yang
ringan mengalir dari fundamental seorang individu hingga isu besar keumatan,
pemaparan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an, hadits, dan kisah berhikmah
menjadikan karya beliau menjadi pegangan yang bisa digunakan untuk kembali
mempertanyakan esensi kita berislam. Karya beliau mengutamakan sentuhan dari rasa
manusia, dengan menikmati kata-kata puitis yang beliau sajikan dalam setiap
pengantar bahasan. Kisah-kisah serta dalil-dalil membawa bukti-bukti historis
dan syari’ah tentang pendapat beliau atau pendapat ulama terdahulu, sehingga
dari segi akademis buku ini-pun bisa dianggap sesuai dengan kadiah akademis.
Alur yang runtut dari esensi individu, keluarga, masyarakat, hingga ummat
membuat pemahaman konstruktif yang tidak menegasikan masing-masing unsur
tersebut, justru membuat alur bertumbuh seperti rumah yang kokoh bagi
konstruksi pikiran para pembaca. Maka, dengan memahami masing-masing tahapan
tersebut, pembaca dapat mengkalisifikasikan sedang berada di tahap keislaman
yang mana diri-nya.
Seorang mahasiswa semacam saya, ketika membaca bagian membina rumah
tangga yang cukup “romantis” dengan proses pemilihan calon suami/istri hingga
pembinaan anak, mungkin akan tersenyum-senyum membayangkan yang aneh-aneh.
Lain, ketika membaca proses pembentukan individu muslim, mungkin saya akan
lebih banyak tersenyum nyinir melihat bagaimana kelakuan saya sebagai individu
muslim. Konstruksi buku yang demikian, akan mengingkatkan, sekaligus memberikan
pedoman dan peringatan kepada pembaca tentang tahapan yang tengah dia lewati
sebagai muslim dan yang akan dihadapi. Maka, pembaca akan memperoleh semacam
inspirasi, bahwa ketika saya akan memasuki masa tertentu, ini yang harus saya
siapkan, dan saat ini saya harus melakukan hal-hal demikian.
Secara konstruksi buku, Saksikan Aku Seorang Muslim mempunya
konstruksi yang membangun pemikiran pembaca dalam konsep sederhana menuju
kompleks. Bagaimana dengan tata bahasa? Penulis dikenal sebagai ustadz
sastrawan dengan bahasa yang “tinggi”, dalam hal ini seperti bahasa sastra.
Mungkin, bagi beberapa orang yang menyukai model bahasa taktis, buku ini sangat
membosankan, bagi mereka yang tidak paham sastra mungkin cukup sulit memaknai
buku ini, namun, secara keseluruhan penyajian dengan konsep tata bahasa
demikian bisa menghasilkan kesan “penyegaran” bagi pembaca. Pembaca akan dibawa
berputar, berpikir dalam keindahan bahasa, bahwa islam itu demikian,
fundamentalnya adalah keluhuran budi pekerti, tata bahasa yang santun,
pengetahuan yang komprehensif, dan memiliki harga diri tinggi. Maka, perlu
bersabar, membaca buku ini berarti kita tengah berjalan di taman sambil melihat
gambaran bagaimana sebenarnya seorang muslim.
Dari segi kedalaman materi, tentu kapasitas penulis bisa dikatakan
tidak perlu dipertanyakan. Buku ini ditulis oleh orang yang tepat dan pada
posisi yang tepat, kedalaman materi yang menyertakan berbagai dalil Al-Qur’an
serta kisah-kisah inspiratif, nasehat dan pedoman kehidupan menjadikan materi
buku ini seolah “resep kehidupan”. Beberapa kritikus mengeluarkan pandangan
nyinyir bahwa materi yang disampaikan condong pada “golongan tertentu”, namun
menurut hemat kami, bukan masalah dikarenakan pandangan tersebut merupakan
pandangan komprehensif soal islam dalam persepktif penulis. Maka, tidak ada
salahnya jika kita lebih mengenal perspektif penulis, dan mengenal islam dari
sudut pandang yang coba dibangun penulis.
Pada akhirnya, buku ini bisa dinilai mampu menjawab ketiga
pertanyaan yang akan dilemparkan orang awam. Jika saya sudah muslim, maka
pahamilah esensi seorang individu muslim, hingga visi besar orang muslim. Jika
islam mengajarkan teororsime, maka kajilah ulang, bahwa format dasar individu
muslim adalah membentuk individu yang menguatamakan perdamaian dan toleransi.
Dan yang membedakan orang islam dengan yang belum islam, inilah konsep
ketuhanan kami, inilah individu kami, inilah gambaran keluarga kami, inilah
gambaran masyarakat kami, negara kami, dan dunia dalam impian kami, yang
senantisa merindukan akhirat dan pertemuan dengan Allah SWT. Wallahu ‘Alam.
No comments:
Post a Comment