Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Friday, May 23, 2014

The City Of Prospector,Semarang

semarang kaline banjir
kutho ne panas
srengenge padang jinggrang

nalika akuu, kangen tenan
mugi bisa mbalik meneh
nang semarangan.. :)

semarang sungainya banjir, kotanya panas, matahari terang benderang, tapi aku sangat rindu, ingin kembali lagi, ke semarang. :) Assalamualaikum, met tengah malem fellas, yah, meskipun comica yang mempopulerkan kata fellas ini (lagi) udah close mic, tapi, apapun itu, kumis goyang tetep jadi mahluk absurd kok, sampai kapanpun. :)
okey gan, sebenarnya, ini adalah bagian dari essay ane tentang semarang, tugas juga, tapi, asyik kok. entah darimana ane dapet ilham buat ngebuat yang semacam ini, but, well, hope you enjoy my city, from my article.. :)



DUGDERAN SEMARANGAN.
REALITAS EKONOMI DAN RMANTISME BUDAYA
Oleh : Muhmmad Abdullah ‘Azzam
NIM : f0213062
Manajemen Kelas A

            Melihat Semarang, kota metropolis di laut utara Pulau Jawa, tidak ubahnya mengkaji bakwan di mata orang Jawa Timur dan Jawa Tengah. Serupa, penyebutannya berbeda. Menurut orang awam atau minimal orang melek peta atlas, Semarang ya ibukota Jawa Tengah, dengan letak geografis di sebelah utara Pulau Jawa, di apit dua kabupaten di sebelah timur dan barat, masing-masing Kabupaten Demak, dan Kabupaten Kendal, dan membelakangi Kabupaten Ungaran atau Kabupaten Semarang di sebelah selatan. Kalau di tanyakan kepada para bisnisman, Semarang itu kota hotel, kota transit. Setiap ruas jalan, baik itu protokol atau jalan kampong, losmen,motel,hostel,hotel hingga apartemen mewah tersedia. Dari kualitas melati sampai bintang tujuh, bisa dipilih sesuka hati. Ditambah dengan terminal, stasiun dan pelbuhan di keempat penjuru mata angina, benar-benarr mengesankan Semarang sebagai sebuah kota transit di Pulau Jawa bagian utara. Lain halnya jika kita bertanya pasa para traveler, para pelancong baik level lokal hingga mancanegara. Hampair dipatikan, jawabannya sama. Semarang, kota tua peninggalan kebesaran belanda, dengan Kota Lama dan bangunan ikonik kota lainnya, Lawang Sewu, tak lupa, kota tropis yang lembab dan panas. Itulah Semarang, dengan tag line wisata Semarang Pesona Asia yang dipopulerkan oleh mantan walikota H Sukawi Sutarip S.H, dengan beragam pemaknaan dari beragam latar belakang individu. Tapi bagi saya, Semarang lebih dari itu.
            Mungkin yang selanjutnya ini lebih tepat jika dijelaskan kurator Museum Ranggawarsita atau ahli sejarah dari Universitas Diponegoro, minimal budayawan, dari Universitas Negeri Semarang, akan tetapi, inilah perpektif saya mengenai kota yang saya tinggali selama hampir 12 tahun masa hidup saya.
Dengan suhu panas, lembab dan gerah luar biasa saat musim kemarau, orang lulusan SD tahulah, kota macam apa Semarang itu, tepat. Kota pantai atau kota pelabuhan. Iklim pantai yang ekstrem inilah menurut perspektif saya yang membuat Semarang berbeda. Secara geografis, Semarang terletak di semenanjung d Pulau Jawa bagian utara, kontras dengan Jepara yang berada di tanjung, seolah memberi berkah dengan menjadikan Semarang sebagai kota pelabuhan alami yang aman dan nyaman bagi para pelaut. Dibuktikan dengan catatan sejarah tentang perjalanan Laksamana Cheng Ho yang mendaratkan kapal agung-nya pertama kali di Pelabuhan Simongan, sekarang menjadi kelurahan di Kecamatan Semarang Barat, lanjut ke zaman belanda yang menjadikan Semarang sebagai kota administrasi dan perdagangan, serta rute transit dari rute jalan pos Anyer-Panarukan, lanjut ke zaman Orde Baru yang menjadikan Pelabuhan Tanjung Emas sebagai dok perakitan kapal kedua setelah Surabaya. Benar-benar menunjukkan Semarang sebagai kota pelabuhan yang nyaman kan?.
Kemudian disusul dengan centang perenang bangunan-bangunan khas eropa, seperti Lawang Sewu, Stasiun Tawang dengan Kota Lama. Lalu ada Masjid Besar Kauman, Masjid Besar Layur , Kuil Sam Poo Kong, dan Candi Gedong Songo di Kabupaten Ungaran, atau Candi Tugu yang kurang terkenal, menunjukkan realitas lain dari Semarang. Selain sebuah kota pelabuhan yang nyaman sejak zaman Cheng Ho dahulu, Semarang juga merupakan muara pertemuan berbagai entitas budaya di seluruh dunia,  dan secara historis Semarang sudah merupakan rumah dan pembuktian eksistensi beragam entitas budaya. Wisata sejarah, melihat romantisme kejayaan bangsa-bangsa besar masa lalu merupakan sebuah magnet penarik wistawan yang luar biasa hebat. Saya merasa, anda yang jatuh cinta dengan sejarah beragam bangsa, tidak akan kehabisan pilihan di kota ini. Silahkan menikmati bangunan gothic, baroque, dan castilla khas eropa yang tercecer di banyak tempat, masing-masing memiliki keindahannya sendiri-sendiri. Silahkan juga melihat kemegahan seni arsitektur jawa, hasil akulturasi kebudayaan islam dengan jawa kuno di Masjid Besar Kauman, atau seni arsitektur aceh yang terserak di kampUng layur dengan Masjid Besar Layur sebagai ikon menjanjikan. Silahkan menikmati kemegahan tempat berpijaknya laksamana besar tiongkok Cheng Ho, yang sekarang disulap menjadi Kuil Agung Sam Poo Kong, dengan arsitektur tiong hoa yang megah dan mengusik rasa penasaran kita. Silahkan melihat sisa-sisa dari Dinasti Syailendra di 9 candi di kaki Gunung Ungaran, yang eksotis dan menjanjikan pemandangan seperti puncak Sierra Nevada di Granada Spanyol. Sungguh menarik bukan?.
Atau klasiknya tradisi-tradisi aneh warga Semarang yang mungkin tidak anda temukan di tempat lain? Bukan saja menwarkan suasana tropis pantai dan romantisme sejarah yang kental, budaya Wong Semarangan juga tidak kalah menarik untuk anda nikmati. Hasil budaya berupa makanan dan sajian lain bisa anda nikmati di sepanjang Jalan Pandanaran. Bisa anda nikamti dengan harga jauh lebih murah dari Orchid Road Singapura, tapi dengan fantasi rasa yang memanjakan lidah anda. Loen Pian  atau Lumpia, gorengan gulung isi rebung, nikmat disantap dengan saus tiram dan daun bawang. Wingko Babad, kelapa parut disulap menjadi kue, cocok bagi cemilan pembuka percakapan. Bandeng duri lunak , nikmat disajikan panas dan disantap dengan nasi panas dan sambal. Atau apalagi yang anda inginkan? Semarang menyediakan apa yang dapat memuaskan rasa lapar anda. Atau ingin sesuatu yang asli dan menunjukkan budaya Semarangan? Silahkan kunjungi Semarang saat Imlek. Anda akan susah membedakan mana Beijing mana Semarang, atau tujuh hari sebelum ramadhan, anda akan merasakan sensasi seolah berada di Kota Surakarta, 80 Km dari Semarang, atau saat natal, maka anda kan merasakan natal di Amsterdam kurang greget.
Itulah Semarang, menurut persepktif saya sebagai seorang yang menghabiskan 12 tahun hidupnya di kota yang panas itu. dengan segala eksotika yang terkadang dilupakan oleh Wong Semarangan sendiri. Perpaduan harmonis antara kepentingan ekonomi, romantisme sejarah, dan keunikan produk budaya, yang membuat Semarang eksis hingga umurnya yang hampir 500 tahun sekarang, dan itulah, semangat besar untuk kemudian diwakili dengan slogan baru kota, Semarang Setara.
Tetapi membicarakan aspek budaya yang dibahas tadi, mau tidak mau saya juga mengakui bahwa estetika budaya Semarang sudah tergerus, bahkan seringkali dilupakan dan dianggap formalitassaja oleh penduduknya, bahkan saya, jika ditanyakan hal mendetail mengenai Semarang dan budayanya, saya menjamin selain kuliner mungkin saya hanya tersenyum, dan tertawa getir, karena saya dan pengetahuannya terbatas, sangta terbatas sekali. Kemudian muncul pertanyaan, mengapa, identitas budaya itu meredup bahkan cenderung hilang?
Sebuah budaya dianggap bangkrut ketika mereka yang memahami, menjalankan, dan tahu mengenai budaya itu hilang. Berlaku juga untuk bahasa, hingga ideology, yang diperdebatkan apakah dua hal itu merupakan output yang dihasilkan budaya. Dari ungkapan diatas, jelas peluang terbesar memudarnya budaya di Kota Semarang, dimungkinkan karena esensi pemhaman, aplikasi dan perasaan tahu penduduk Semarang mengenai budayanya sudah berada di titik nadir. Kenapa? Ada sebuah budaya yang masih ada hingga detik ini, dengan pergolakan dan sedikit cerita dari budaya ini, mungkin pertanyaan diatas bisa terjawab, dan budaya itu adalah budaya Dug DerAn.
Menurut cerita para leluhur saya, termasuk mbah buyut dan kakek-nenek saya, dugderan sudah ada sejak londo membangun kantor dagang VOC di Semenanjung SImongan, yang berarti dug der merupakan produk kebudayaan jawa sejak dahulu, sejak zaman para wali, atau bahkan lebih tua dari itu. Perayaan yang mirip dengan sekatenan di Kota Surakarta ini, karena sama-sama berupa arak-arakan karnaval, mengambil waktu yang sangat tidak biasa, bukan pada saat seperti syuro’ yang sangat sacral bagi Orang Jawa, atau pada saat maulud, yang kerap jadi sarana para sunan guna menyebarluaskan agama islam, bukan juga saat hari raya, yang notabene merupakan saat paling bahagia bagi ummat islam, justru dipilih sepekan sebelum bulan suci Ramadhan, waktu yang tidak biasa karena biasanya sebelum Ramadhan disambut dengan khidmat dan penuh kekhusyukan oleh ummat islam. Bukan main-main festival ini, karena betul-betul menyajikan tontonan yang menarik bagi masyarakat. Pasar dolanan tradisional, pasar jajanan rakyat, hingga pasar-pasar yang menjual komoditas perdagangan skala impor maupun barang kualitas ekspor tersedia. Benar-benar berlawanan dengan adat jawa yang mengkondisikan ummat untuk khusyuk dalam menyambut ibadah agung di bulan Ramadhan. Ditambah lokasi pagelaran festival ini berada di sekitar Masjid Agung Kauman, bersebelahan dengan Pasar Besar Johar, menambah unik festival ini.
Tetapi, tidak mungkin sebuah tradisi atau hasil budaya muncul tanpa alasan yang jelas, begitu juga dengan dug der Semarang. Menurut cerita buyut saya, yang diutamakan dalam festival ini adalah kegembiraan yang ditujukan untuk anak-anak usia balita hingga remaja, agar mereka bersemangat menyambut ibadah di bulan Ramadhan, apalahi sebelum Ramadhan biasanya ada acara mengarak replica Warag Ngendog yang dipercaya masyarakat sebagai symbol kebahagiaan dan kekuatan, serta ketetapan hati guna bertindak, benar-benar berusaha menanamkan pada generasi muda, bahwa yang akan mereka sambut adalah tamu agung yang membawa kebahagiaan, bukan kemalangan, jadi, harus disambut dengan kebahagiaan dan semangat pula.
Dug der pada masa dahulu, memang betul, masih sangat kental dengan nilai-nilai relijius dan kebudayanaan jawa, walaupun pada penerapannya ada hal lain yang diperoleh oleh para pelaku ferstival dug der, yaitu unsur tambahan berupa keuntungan ekonomis. Keuntungan ekonomis ini muncul, karena yang di tawarkan pada festival ini merupakan sarana pemenuhan kebutuhan diri menjelang Ramadhan, serta atraksi atau usaha jasa yang memiliki tujuan untuk menghibur masyrakat yang hadir pada festival ini. Jelas dengan kondisi yang demkian, transaksi ekonomi berputar dengan dahsyat seperti baling-baling penggerak pesawat tempur Splitfire milik armada angkatan udara Inggris Royal Air Force. Percepatan ini muncul karena ada beberapa faktor pendukung, diantaranya :
1.      Kondisi masyarakat yang tengah bergairah menyambut kehadiran bulan Ramadhan
2.      Kehadiran pilihan barang-barang atau hiburan yang tidak setiap hari bisa dinikmati oleh masyarakat, sehingga dengan dorongan keinginan mereka, muncullah hasrat untuk membelanjakan harta mereka
3.      Walaupun masyarakat yang dewasa memiliki pakem yang bisa dikategorikan baik guna memilih mana yang dibutuhkan mana yang tidak, ada dorongan lain yang muncul dari generasi mudanya, anak-anak dan para remaja, seringkali membuat pakem atau rasionalitas masyarakat yang dewasa terkalahkan.
Tiga alasan diatas yang memberikan berkah tambahan dari dug der, sebuah berkah yang muncul melalui penegakkan dan aplikasi budaya yang total, didasari semangat keagamaan yang kental, dan kebahagiaan, membawa cerita bahagia di dalam dug der, cerita bahagia yang mungkin kontras dengan apa yang disebut “kebahagiaan” dewasa ini.
            Saya akan sedikit berbagi cerita,pengalaman bahagia yang bisa disebut sama dengan kebahagiaan dan semangat keagamaan di masa lalu. Saya berusia 5 tahun ketika almarhum kakek saya pulang dari bekerja membawa hasil kerja hariannya itu, dan spontan mengajak saya dan adik saya untuk ke lokasi dug der, pada saat itu masih di sekitar Masjid Besar Kauman.
`           Bahagia saya, karena di umur saya yang lima itu, orang tua sudah meminta saya untuk belajar berpuasa, kali ini bukan puasa setengah hari, tapi puasa ashar, berbuka saat waktu ashar, sebuah tantangan yang mungkin ada baiknya dijalani dengan awal kebahagiaan. Terlonjak-lonjak di dalam bus kuning tidak membuat saya takut, grogi bahkan ngeri, justru saya amat bahagia, karena mungkin itu kali pertama saya melihat dug der. Perjalanan yang cukup lama, tetapi akhirnya kami sampai, di pelataran sebelah utara dug der, dan berbaur dengan ratusan massa yang menyemut. Resiko kata kakek saya, berjubel di tempat seperti itu. hingga akhirnya kami hanya mengelilingi lingkar terluar dari arena dug der. Melihat ayam warna-warni yang lucu dan menggemaskan,atraksi gangsing bambu yang bersiul saat diputar dalam kecepatan maksimum, serta kelotok kapal besi, bertenaga minyak yang memamerkan keajaiban ilmu fisika benar-benar membuat saya takjub, inilah kebahagiaan. Makin sempurna saat saya mendengar sayup-sayup qosidah dari masjid, melantunkan sholawat badar dan lagu-lagu khas Ramadhan, membuat suasana saat itu betul-betul nyaman dan menyenangkan.
            Berbeda halnya ketika saya berkunjung 8 tahun kemudian, saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kelotok suara kapal besi berganti dengan gemendut dangdut koplo, suara siulan gangsing berganti dengan sahut-sahutan handie talkie replika seharga 10.000, dimainkan dengan lagak detektif oleh bocah-bocah yang berarian, ayam warna pun punah, berganti dengan hidangan dan sajian fast food dengan harga selagit dari merek-merek terkemuka. Nilai budaya yang dulu diniatkan untuk memperkenalkan generasi muda dengan budayanya dan kebahagiaan Ramadhan buyar, tertutupi dengan niatan untuk mengejar nilai tambah dari dug der dahulu, yaitu ekonomi.
            Meminjam istilah penjual senjata dalam Film Tjoet Njak Dien, “kami pengusaha berpikiran sederhana, dimana ada uang mengalir, disitulah kami hinggap”. Istilah itu mungkin cocok untuk menggambarkan realitas dug der di masa ini. Nilai-nilai budaya yang dulu nerupakan inti dari penciptaan festival tahunan ini, berganti wajah dengan semburat muka serakah manusia, yang meneriakkan suara perutnya, berkata seolah dia ingin menelan seluruh isi dunia.
Semarang yang sudah tersentuh dan berbaur dengan globalisasi dan modernisasi betul-betul memakai sebuah topeng seram, topeng berwajah angker yang disebut tuntutan perekonomian yang lebih baik, yang jelas menggusur wajah bahagia dan penuh kebijaksanaan sang Semarang yang berbudaya. Kemudian dicarilah justifikasi, pembenaran-pembenaran semu, seolah menunjukkan penghapusan nilai-nilai budaya dan agama dari festival ini memberi manfaat sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Dibuatlah grafik-grafik dan survey, menunjukkan kenaikan pendapat para mitra usaha kecil dan menengah saat dug der, dibuatlah statemen-statemen seolah menunjukkan kebahagiaan karena terlepas dari nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat, ditutup dengan pemberitaan di media massa bahwa tanpa nilai budaya dan agama pun  dug der masih tetap eksis dan berjalan seperti “dulu”.
            Inilah sebuah clash, pertikaian antara ekonomi dengan pasukan perutnya melawan budaya dengan pasukan hati dan akalnya, pertikaian yang dimenangkan oleh pasukan perut di eropa ternyata tidak tinggal diam dan menyerang Indonesia secara sporadic, dengan gelombang kejut ekstrem yang memporak-porandakan tatanan budaya Indnesia yang mapan semenjak bangsa eropa belum mengenal bumi itu bulat. Realitas ekonomi bahwa masyarakat butuh makan dibenturkan dengan romantisme budaya yang menjaga eksistensi masyarakat sejak jaman dahulu, dan perut yang kelaparan ditabrakkan dengan hati dan akal yang lemah lagi rapuh. Jadilah dug der yang pada masa lalu berlabur kebahagiaan berganti dengan dug der yang bercat nafsu serakah para manusia dengan dalil kehidupan perekonomian dan sebangsanya.
            Inilah kenyataan, perbenturan realitas, membawa warna berbeda pada budaya khas Semarang yang disebut dug der. Dahulu memang betul dagangan dan hiburan yang disajikan merupakan seimbol kesederhanaan masyarkat, serta semangat tinggi untuk melewati Ramadhan dengan paripurna, akan tetapi, dengan alasan ekonomi, hal yang tersaji betul-betul telah mencabut akar budaya masyarakat Semarang. Stand-stand kaki lima digeser entah kemana, berganti dengan stand-stand merek dagang terkemuka, mitos dug der memberi berkah besar bagi masyarakat pinggiran telah terbukti, karena di dug der orang mencari sandal gunung atau komputer tablet dengan harga diskon, bukan kapal kelotok bertenaga minyak. Jajanan khas orang kcil punah tergerus sajian ekstrim berlemak dari barat, dan monopoli jajanan oleh perusahaan-perusahaan besar, dan hal lain yang tentunya membuat Orang Semarang yang sadar dengan budayanya miris dan tersenyum getir.
            Menghadapi peristiwa ini, membawa sebuah simpulan besar, memberi teladan bagi semua manusia untuk berlaku di dunia ini. Apa ? identitas manusia dapat terus terjaga dan terbukti selama budaya yang dia tahu,pahami, dan lakukan masih eksis. Contoh dug der ini menjadi sebuah bukti nyata, sebuah identitas yang tergadai karena masalah perut. Apakah perut meminta identitas kiita? Tidak, kita yang menjual identitas kita demi perut itu, p;adahal selalu ada jalan untuk memberi makan perut, tidak hanya dengan menjual identitas, atau bahkan harga diri kita.
            Bangga dengan identitas yang melekat pada diri kita sekarang, ya, bisa dibilang kita bangga dengan bangsa kita, itulah.

Muhammad Abdullah 'Azzam, Mahasiswa S1 Manajemen FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta.

No comments:

Post a Comment