Sumber : https://www.instagram.com/azzam_abdul4/ |
Mimpi
Relativitas realitas
“Kamu harus tetap hidup” tatapan
dinginnya menembus sukmaku. Seperti dia mampu merasakan kesedihan dan
kesakitan, sebagaimana aku merasakannya sekarang.
“Aku hanya ingin bersamamu lebih
lama lagi” tangisanku pecah, aku hanya mampu memegangi ujung jubah wolnya. Air
mataku tumpah ruah, membasahi ujung jubahnya.
Dia sama sekali tidak tergerak
untuk menyentuhku sedikitpun, yang aku ingat, dia mendekatkan bibirnya ke
telingaku dan berbisik
“Kehidupan mu, berarti bagiku”
Sebelum semuanya berubah gelap.
………………………………………………………
Pagi ini seperti pagi lain!
Bandung! Meskipun metropolis tapi syukurlah, berada di dataran tinggi dan
dikelilingi gunung dan pegunungan masih menjaga kota ini dalam kesejukannya.
Meskipun memiliki masalah kemacetan, tetapi mending
tidak separah Jakarta. Aku habiskan masa kecil ku dengan sia-sia di Jakarta,
jadi aku tahu rasanya, bangun pukul 4 pagi dan sudah merasakan aroma solar.
Sedangkan di Bandung? Pagi biasa adalah pagi terbaik.
Aku turun dari ranjang dan mematut-matut
wajahku di cermin. Hihi! Lucu melihat rambut lurusku berantakan dan sisa-sisa
tidur masih membekas di wajah. Tapi aku cantik, jadi aku menyukai pemandangan
ini, kecantikan naturalku tanpa make up!. Segera aku memakai pakaian sholatku,
masuk ke kamar mandi, menunaikan wudhu, dan kembali bercermin. Wajah cantik ku
menjadi terlihat semakin cantik dengan balutan hijab, inilah alasan kedua aku
suka menatap wajahku setelah bangun tidur. Aku bisa melihat proses evolusi
kecantikan ku setelah aku berwudhu. Setelah tersenyum puas, aku bersujud,
memohon segala kebaikan dari sang maha baik.
……………………………………………………….
Pagi itu aroma roti bakar mencuat,
setelah membereskan diri, mandi dan memakai pakaian sekolah aku keluar kamar
untuk bertemu papa dan mama di restoran. Sebelum memasuki dapur aku melihat
diriku di cermin setinggi 150 cm milik mama. Hmm, rok panjang menutupi mata
kaki, baju seragam lengan panjang, sebuah cardigan, dan rambut hitam tergerai
bebas. Kecantikanku belum berubah banyak ya? Justru makin terlihat dewasa,
hehe.
Eh? Jilbab? Haha, aku belum siap
memakai itu! Beban kain selembar di kepala itu masih belum siap aku tanggung.
Aku masihlah remaja putri, yang narsis dan memiliki pemujaan berlebih dengan
kecantikanku. Menjadi wanita anggun, senantiasa menjaga pandangan, elegan,
lembut dan kalem seperti anak-anak rohis sekolahku aku belum sanggup. Meskipun
aku kenal dekat dengan mereka, Kak Fathya, senior rohis juga salah satu orang
yang merubah rok pendek ku menjadi panjang. Jadi, aku sedang berproses memakai
jilbab, tapi, bukan sekarang.
Begitu masuk ke meja makan, mama
hanya bergeleng sembari memanyunkan bibirnya. Dengan balutan jilbab marun
berbahan kaos, daster lengan panjang, dan rok panjang dia menatapku dari ujung
kepala sampai mata kaki.
“Ngga nyoba Makai jilbab lagi hari
ini Fit?” celetuk mama sembari menyiapkan roti bakarku
Aku hanya tersenyum sambil
menggeliat. Sejujurnya mama sudah berusaha membujuk ku memakai jilbab, dan
jujur, jilbab turki hadiah dari mamah tempo hari sangat bagus. Tapi entah kenapa
aku masih berat untuk memakainya.
“Sudahlah lah ma, kita sudah
berusaha sebaik mungkin membujuk Fitri. Biarkanlah Allah menunjukkan kuasanya.
Iya ngga Fit?” papa tersenyum simpul saja sambil menasehati anak perempuan dan
anak satu-satu nya di keluarga ini.
Yap, Fitri Putri Wijaya, itu
namaku. Sebenarnya namaku dahulu bukan Fitri, ini nama baru yang diberikan papa
untukku. Namaku dahulu adalah Fransiska Angelia Wijaya, papa bernama Robert
Augustus Wijaya, sedangkan mama bernama Amelia Putri Wijaya. Tepat, keluarga
kami adalah keluarga mu’alaf. Berkat rekan kerja papa akhirnya kami masuk islam
dan menikmati keislaman kami sebaik mungkin.
Papa sekarang rutin menjadi
pengurus takmir, di bagian mu’alaf center. Mama berjilbab rapi dan aktif di
gerakan koperasi muslimah. Sedangkan aku? Hehe, rok panjang ini adalah kemajuan
terbaik ku. Mungkin karena aku masih terbawa iklim sekolah Kristen ku dahulu?
Aku tidak tahu tapi sekarang aku sudah bersekolah di sekolah negeri ternama di
Bandung dan aku cukup nyaman dengan itu. Bersama kakak-kakak dan teman-teman
rohis, aku masih belajar berhijrah.
Jangan sangka ya aku tidak pernah
berhijab, pada momen-momen khusus aku berusaha berhijab. Dahulu aku hanya kuat
satu hari saja dalam sepekan memakai hijab di keseharianku. Namun sekarang aku
sudah tahan memakai hijab itu dalam 3 hari, di hari kamis, jum’at dan sabtu.
Lumayan kan? Kata Kak Fathya, memang hijrah perlu proses, jadi dia hanya
tersenyum dan mengacungkan jempol melihat segala tingkah polahku.
Papa pun seperti Kak Fathya,
senantiasa membujuk tapi tidak rewel. Senyumnya setiap pagi sembari membaca
Koran senantiasa menenangkanku. Mama nih,
paling rewel. Hampir setiap hari aku dibawa ke Borani Center, pusat jual hijab
di Bandung, atau ke konter-konter hijab modern lain, memilihkan hijab terbaik
untuk ku. Tapi dasar anak nya satu ini memang bahlul, tapi ma, insya Allah aku akan menjawab harapan mu kok! Perlahan tapi pasti.
Roti bakar itu kulahap segera
karena 15 menit lagi bus gratis anak sekolahan akan lewat di depan kompleks
perumahan. Aku segera mencium tangan mama, dan dengan gemas dia mengacak-acak
rambutku, akupun hanya bisa menggerutu manja. Kemudian mencium tangan papa,
senyum menenangkannya menjadi pemandangan indah saat dia merapihkan rambut ku
yang diacak-acak mama. Tersenyum, aku berbali dan meninggalkan rumah.
Apa kubilang? Pagi biasa adalah
pagi terbaik!
………………………………………………………
Sampai di gerbang sekolah Kak
Fathya sudah mencegatku di gerbang. Dengan senyum (mirip sekali dengan mama)
dia mengacak-acak rambut panjangku.
“Ihh masih aja belum mau dipakai
nih..” gumamnya sambil terus mengacak-acak rambutku.
“Kakak mah” sembari berusaha
menghindar, aku perlahan melihat kalau kelakuan kami pagi itu menjadi pusat
perhatian terutama bagi siswa laki-laki.
Sepertinya Kak Fathya juga
menyadari itu dan segala menarik ku dari gerbang. Aku sempat melihat
siswa-siswa itu tersenyum usil, tapi pendar wajah mereka tidak bisa menutupi
ekspresi kagum mereka.
Menuju masjid sekolah, aku tahu
kemana Kak Fathya membawaku. Di masjid, Kak Agus sudah menanti dengan cengiran
khasnya.
“Pagi-pagi rambut mu sudah
acak-acakan aja fit..” kata kak agus sembari berjalan meninggalkan kami menuju
ruang kelasnya. Aku hanya mampu tersenyum sembari memperbaiki rambutku,
kemudian lanjut mengikuti langkah Kak Fathya.
“Ini sisir” Kak Fathya memberikan
sisir dan mempersilahkanku berkaca. Segera aku merapihkan kembali rambutku,
sembari memandang wajah Kak Fathya yang terpantul di cermin. Kacamata frame
kotak itu terlihat manis tergantung di hidung mancungnya. Pipi nya bersemu
merah muda, dengan lesung pipit menghiasi pipi kanan nya. Duh, jilbab putih itu
bener-bener membuat kak Fathya makin anggun!
Percaya boleh, tidak juga ngga
masalah, Kak Fathya dulu model remaja. Sampai pertengahan kelas dua SMA
wajahnya masih menghiasi berbagai majalah dan berkali-kali terpilih menjadi
remaja putri inspiratif dan gelar mentereng lainnya. Karena ada satu musibah,
aku tidak tahu detailnya, Kak Fathya diselamatkan oleh kakak-kakak di Rohis
ini, namanya Asma atau siapa aku lupa. Sekarang? Kecantikan dan keanggunannya
(jujur saja) membuat banyak orang terpana.
Rambutku sudah rapih dan aku
bersiap ambil langkah seribu. Tapi, Kak Fathya sudah memegangi tangan ku dan
menatapku serius.
“Fitri kan udah janji hari ini mau
nyoba pakai hijab lagi..” dia berkata seperti itu sambil menunjukkan wajah
anggunnya yang ditekuk lucu. Duh! Meskipun aku adik kelasnya aku benar-benar
ingin mencubit pipi merah mudanya itu.
“Nih dipakai!” masih dengan wajah
ditekuk, Kak Fathya mengeluarkan hijab putih dari tas nya. Melihat wajah
lucunya itu, aku hanya bisa mengangguk sembari menahan tawa. Tebak? Wajah
ditekuknya berubah menjadi senyum cerah! Pipi pink itu semakin bersemu, dan
jangan ditanya lagi, lesung pipitnya tenggelam seperti aku tenggelam dalam pesona
keanggunannya. Bersemangat dia memakaikan hijab putih itu, sembari bersenandung
ringan. Kemudian, membalikkan tubuhku, menghadapkannya pada cermin.
“Fitri sama kakak lebih cantik
Fitri kalau pakai hijab!” Kak Fathya berkata kegirangan. Aku hanya tersenyum
saja, “merendah kakak mah” gumamku dalam hati.
“Kamu lebih cantik jika pakai
hijab”
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.
Dengan panik aku melihat sekeliling, aku tidak salah dengar kan?. Di masjid ini
hanya ada Kak Fathya dan aku, lantas siapa yang berbicara tadi?
Menatapku aneh Kak Fathya hanya
mengerenyitkan dahinya. Tetapi segera dia ubah menjadi senyum manis lagi
sembari mendorongku keluar masjid.
“Sana! Sinari dunia dengan
keanggunanmu!” kata Kak Fathya sembari mengacungkan 2 jempol. Aku hanya
tersenyum sembari berusaha melupakan momen aneh barusan. Aku tidak sedang
bermimpi kan? Tidak, aku sudah bangun dan sedang sekolah, aku sudah bangun dan
sedang sekolah.
……………………………………………..
Kumatikan lampu kamar, menarik
selimut dan memandangi hijab putih hadiah dari Kak Fathya pagi tadi. Gara-gara
dia pagi ini aku menapat cuitan meriah dari anak-anak kelasku, dan seharian
penuh, di hari senin, aku memakai hijab itu. Mama? Begitu pulang ke rumah
beliau kegirangan sembari mengusap-usap hijabku. Hari senin ya? Mungkin aku
akan coba memakai hijab di setiap hari senin.
Kupejamkan mataku, dengan senyum
lebar menghiasi wajahku. Kenapa aku tersenyum? Ya aku hanya punya satu alasan.
Kalian pernah dengar Lucid Dream?
Itu loh, kemampuan seseorang mampu menyadari dirinya sedang bermimpi kemudian
mampu mendesain mimpi itu sesuai keinginannya. Sehingga, dia bisa bermimpi dan
memimpikan apa yang dia inginkan. Berbeda dengan astral projection, aku tidak
bisa melihat jasadku saat tidur. Jadi, semua yang dapat aku lakukan bisa
dipastikan hanya dapat dilakukan di dunia mimpi. Apalagi aku bukan seorang
cenayang.
Kekuatan ini aku sadari saat masih
anak-anak, aku dahulu sangat menyukai apel. Entah kenapa, meskipun papa dan
mama tidak pernah rutin menyediakan apel, tapi setiap hari aku senantiasa
merasakan rasa apel. Tentu, aku merasakannya saat tidur, ketika aku bermimpi
memakan beragam apel dari seluruh dunia, bahkan aku memimpikan aku memiliki
kebun apel sendiri! Aku benar-benar memikirkannya, aku memakan dan
merasakannya, tapi aku tahu betul itu hanya mimpi dan aku sadar itu mimpi.
Kemampuan itu terus menerus aku
asah, ditambah saat menjelang SMA di tahun 2010 aku menonton film Inception,
tentang para perekayasa mimpi. Aku semakin terobsesi melatih kekuatanku, dan
benar, mimpiku semakin bervariasi dan unik. Aku mampu memanggil naga, mendaki
puncak Gunung Olympus, dan hal-hal lain.
Tidak sabar dengan petualanganku,
aku menutup mataku. Mulai merangsang alam bawahku untuk menghadirkan proyeksi
demi proyeksi memori-memori mimpi hari itu. Aku hanya tersenyum dan perlahan,
lelap menghampiriku dan membawaku.
………………………………………………..
Aku membuka mataku, melihat
sekeliling. Sedikit terkejut karena aku berada di depan gerbang sekolahku atau
sesuatu yang mirip dengan itu. Aku melihat sosok Kak Fathya, dan dia sudah
menungguku. Seperti bersiap ingin mengacak rambutku, sepertinya. Benar, dia
mengacak rambutku dan berkata sesuatu yang sama seperti pagi tadi.
Aku tahu jika aku bermimpi, tapi
aneh sekali aku bisa memimpikan dan mendesain sesuatu dan mereka ulang kejadian
pagi tadi. Ditambah suasana sekolah sedikit aneh karena warna gelap sangat
dominan, ada apa ya? Segera aku membayangkan detail kejadian pagi tadi, dengan
warna biru, cahaya matahari dan suasana sejuk pagi hari. Kak Fathya membawaku
menuju masjid, yang mungkin mirip dengan masjid sekolahku? Bahkan aku bertemu
Kak Agus dan dia mengatakan hal yang sama.
Semakin bertanya, dan aku hanya
bisa membayangkan dan merubah suasana lingkungan saja. Aku membayangkan tokoh
atau episode lain, aku tidak mampu. Ini sangat aneh, belum pernah aku mengalami
lucid dream seperti ini, ini lebih mirip De Ja Vu dalam mimpi!. Memakaikan
hijab yang sama, dengan senyum yang sama, Kak Fathya membalikkan wajahku untuk
menghadap cermin.
“Fitri sama kakak lebih cantik
Fitri kalau pakai hijab!” Kak Fathya berkata kegirangan. Aku terkesiap, tepat
setelah ini momen buruk pagi tadi akan terjadi. Dalam kepanikan aku mengejapkan
mata dan saat aku membuka mata,
“Kamu lebih cantik jika pakai
hijab”
Mahluk itu berkata dengan suara
beratnya, dengan wajahnya buruknya yang juga menghadap cermin. Kulitnya hitam
legam dengan hanya satu mata masih berwujud seperti mata, itupun berwarna
kemerahan seperti darah. Bekas luka sabetan benda tajam membelah wajah buruk
itu, dikerumuni lalat dan bernanah. Taring terlihat mencuat dengan darah
mengalir dari ujung bibir kanannya.
Aku berteriak keras ketakutan saat
mahluk buruk itu menerkamku, mengarahkan tangan hitam dan bercakar serta berbau
busuk itu kepada wajahku untuk membekap mulutku. Mahluk itu melolong sangat
nyaring saat aku menghindari terkamannya tapi justru malah terjatuh. Bayang Kak
Fathya sudah menghilang, tempat ini bukan lagi masjid sekolahku. Semuanya
berubah gelap dan hanya sosok mahluk buruk itu yang mampu aku lihat.
Semakin bergidik leherku ketika aku
mendengar dari kejauhan ada sesuatu, amat sangat banyak, mereka melolong dengan
intonasi suara sama dengan mahluk itu. Dari kejauhan aku melihat bayang mata
merah menyala, berjumlah banyak mendekat kearahu. Aku hanya mampu bergerak
mundur dengan penuh ketakutan, sedangkan mahluk buruk rupa di depanku mulai
melolong lagi, kali ini, dia menjulurkan lidahnya.
“Kamu.. Lebih.. cantik..
Arghhhkkk!!!!!!!!!” dengan buas dia menyongsongku dengan cakar tajamnya,
berusaha merobek diriku. Aku hanya mau berteriak histeris dan nyaris hilang
kesadaran saat sosok itu muncul.
Dunia gelap ini mendadak berubah
menjadi suasana di pinggir jurang di sebuah lembah. Sosok itu berdiri di
hadapanku dengan mahluk itu, aku sendiri sudah berada di bibir jurang. Melihat
semakin banyak mahluk hitam busuk itu datang, sosok itu berbalik menghadapku,
dan dia mendorongku untuk jatuh kedalam jurang. Aku tidak melihat apa-apa,
karena kegelapan mengambil pengelihatanku.
………………………………………………………….
Sentakan hebat akibat sensasi
terjatuh itu membangunkanku. Dengan panik aku menghimpun udara, bernafas
terengah. Sesaat kemudian memori mimpi barusan terngiang sangat jelas
pikiranku, aku nyaris diperkosa mahluk mengerikan itu. Tanpa mampu kubendung
air mata mengalir deras, dan aku hanya bisa menangis keras-keras.
Pintu kamarku segera dibuka oleh
mama, karena kamar kami memang bersebelahan. Dengan panic mama mendekati dan
memelukku sembari terus bertanya, kenapa dan kenapa? Aku hanya mampu menangis
dan memeluk mama erat-erat. Sisa malam itu, aku habiskan dengan berpelukan
dengan mama, bahkan akupun tertidur kembali dalam pelukannya. Mama, apa yang
terjadi padaku?
………………………………………………………….
“Apa yang terjadi semalam Fitri?
Kamu membuat mimpi seperti apa lagi?” mama bertanya sembari menatapku khawatir.
Aku hanya menunduk sembari menatap roti bakar pagi hari ku. Aku sudah bersiap
berangkat sekolah, dengan hijab putih model turki menghiasi kepalaku. Entah
kenapa aku merasa hangat dan nyaman saat mama memakaikan ku hijab itu. Aku
hanya menggeleng, sedangkan papa dan mama hanya mampu bertatapan, tanpa mampu
menghilangkan wajah khawatir mereka.
Pagi itu dengan gontai aku berjalan
menuju gerbang sekolah, dan aku mencubit tanganku keras-keras meyakinkan bahwa
aku tidak bermimpi. Kak Fathya menunggu di depan gerbang, eskpresi cerianya
berubah menjadi khawatir saat melihat ekspresi sedih dan tatapan kosongku. Merangkulku,
dia membawaku ke masjid sekolah, sembari mengusap punggungku.
Di masjid sekolah aku hanya bisa
menangis keras-keras, sembari membiarkan Kak Fathya dan kakak rohis lain
melihatku. Memberi isyarat, Kak Fathya meminta mereka keluar dan membiarkan
kami sendirian. Masih menatapku, Kak Fathya mengangkat wajahku, aku tidak
melihat senyum ceria itu, hanya ekspresi sedih dan khawatir tergambar disana.
“Fitri kenapa?” sembari mengusap
pipi ku, dia bertanya lembut. Mengalirlah kisah mengerikan yang kualami malam
itu. Kak Fathya hanya mendengarkan, aku melihat dia berkeras menahan air mata,
aku merasakan tangan nya juga bergetar hebat. Ah.. kenapa aku harus
bercerita kepada Kak Fathya sih? Menatap wajahnya, dia memberikan senyum manis
terbaiknya setelah aku selesai bercerita.
“Fitri, malam ini, kamu membaca doa
sebelum tidur ya? Kakak ajari doanya..” dia menghapus air mataku, dan perlahan
aku dituntun, mengingat kembali doa dasar yang diajarkan teman papa saat kami
pertama kali masuk islam.
……………………………………………………………….
Aku menolak tawaran mama untuk
tidur sekamar dengannya, karena aku akan menghadapi dan menyelesaikan masalah
ini sendirian. Aku berwudhu, memakai hijab bahan kaus untuk menutupi rambutku,
dan melafalkan kembali doa sebelum tidur. Rasa ragu sempat muncul, namun aku
menggeleng kuat, tidak, aku harus menyelesaikan semuanya malam ini. Lelap
kembali membawaku pergi, namun bukan dengan ketenangan, melainkan amarah.
………………………………………………………………
Kegelapan langsung mengelilingi
sekitarku, aku sudah siap, gumamku. Di kegelapan ini mahluk busuk itu nyaris
beramai-ramai menodaiku. Benar saja, tidak beberapa lama, mahluk busuk itu
mulai menampakkan dirinya, tidak menerkam seperti dahulu, melihat hijab
mengelilingi kepalaku mereka hanya mampu menggeram sembari bersungut kelas.
“Kamu kembali lagi, sungguh gadis
yang berani” aku sedikit kaget saat mendengar suara itu. Sosok penyelamat itu
kembali, kali ini wajahnya sejelas matahari pagi. Berwajah rupawan berusia 20
an tahun, dia menggeretakkan cakar-cakar di tangannya. Cakar itu berwarna perak
dengan aksen kehitaman. Aku tahu, aksen kehitaman itu adalah darah karena bau
anyir menyeruak darinya.
Hanya tersenyum sembari menatap
gerombolan mahluk busuk itu, aku tidak menjawab pernyataannya.
“Aku tahu maksudmu datang kemari,
dan memang ini sudah saatnya. Bersiaplah” dia mengambil kuda-kuda dengan
cakar-cakarnya didepanku. Sedangkan aku? Ini adalah mimpiku dan aku menguasai
lucid dream. Bayangan dalam pikiranku segera membentuk sebuah wujud senjata,
pedang legendaris milik Joan of Arc. Pedang itu mendadak sudah berada di
genggamanku, terhunus dan tajam. Sosok rupawan itu hanya tersenyum,
mengacungkan cakar di jempolnya, dan berteriak lantang. Melihat itu, sosok busuk
itu menggeram dan mengaum keras, aku pun mengangkat pedang ku. Pertempuran
dimulai.
……………………………………………………………………
Timbunan mahluk busuk itu
menggunung, entah kenapa aku bisa menghabisi mereka. Aku hanya terduduk
kelelahan sembari berpegangan pada gagang pedang St. Catherine, aku
mengingatkan dari buku cerita Kristen ku di masa lalu. Sosok rupawan itu
tersenyum, membenahi jubah wol nya, sembari berjalan mendekatiku. Kegelapan
sudah hilang, sekarang semuanya seterang cahaya.
Sosok itu duduk di depanku, dia
tersenyum. “Maaf sebelumnya aku terpaksa menendangmu. Seharusnya aku tidak boleh
menyentuhmu barang satu inchi pun”. Aku hanya tersenyum dan memperbaiki posisi
duduk ku. Pedang St Catherine aku letakkan di samping kanan ku.
“Tuan siapa?” tanyaku. Dia hanya
tersenyum kembali
“Aku yang menyelamatkanmu,
menurutmu siapa aku?” aku tahu dia bercanda, karena ekspresinya berubah setelah
melihat ekspresi wajah siap menangis milikku.
“Aku adalah entitas penghuni dunia
mimpi. Aku tidak bisa dilihat setiap orang, karena aku hanya muncul saat
seseorang mendesain sebuah mimpi dan mendapat ancaman dari entitas lain,
seringkali jin, mulai menganggu mimpi seseorang. Aku datang, jika kau dalam
keadaan terdesak, atau jika kau bersuci, berdoa, dan membayangkan sosok ku
dalam mimpimu. Semakin lengkap persiapan yang kamu lakukan, semakin kuat diriku”
jelasnya, tangan bercakar penuh darah itu dia lap dengan jubahnya.
“Lantas, mahluk hitam itu apa?” aku
tidak bisa menahan air mataku, bulir-bulir itu tumpah melihat wujud mahluk
menjijikan dan niat kotor mereka. Sosok itu hanya menghela nafas, sembari
menatap keatas.
“Mereka adalah Jin jahat. Pernah dengar
istilah mimpi basah? Mahluk mengerikan itu yang melakukannya, menyamar menjadi
wanita, bersetubuh dengan manusia, dan membuat mereka terutama pria
mengeluarkan mani mereka. Dalam kasus ini, mereka tidak merubah wujud mereka
dan terang akan memberikan trauma buruk kepadamu” katanya dingin, aku
merasakannya, karena seolah lidahnya sudah kelu menceritakan kejelekan mahluk
hitam itu.
“Sekarang, sudah saatnya aku
pergi..” sosok itu berdiri,tubuh tegapnya terlihat semakin tegap dari posisiku
duduk.
“Kamu kesepian kan?” aku menatap
wajahnya, tangisanku perlahan mereda. Ditanya seperti itu, dia hanya terdiam,
kemudian berbalik membelakangi ku.
“Apa yang terjadi dengan mu setelah
ini?” aku bertanya lagi. Melihat dia yang tidak menatapku lagi membuatku risau.
Aku tidak tahu siapakah sosok ini, tapi di dunia mimpi ini, dialah pahlawanku. Aku
tidak mau, dia pergi begitu saja.
“Tugas ku sudah selesai, kamu bisa
melindungi dirimu sendiri. Mungkin kamu akan kehilangan kemampuan bermimpi mu. Tetapi
itu lebih baik bagimu” mulai melangkahkan kaki, sosok itu bergerak
meninggalkanku.
“Aku mohon lindungi aku, aku
mohon..” aku menunduk, mataku berkaca-kaca. Tanpa kusadari, aku sudah mengenggam
bilah pedang St Cartherine erat-erat. Darah mulai menetes, dan aku merasakan
sakit luar biasa.
“Aku mohon, setidaknya izinkan aku
mengucapkan terimakasih..” aku masih mengenggam bilah pedang itu, semakin erat
sampai aku merasa daging ku mulai terbelah. Sosok itu bergeming, tetapi dia
tidak bergerak sama sekali.
“Baiklah, kalau begitu saat inilah
kita berpisah” entah apa yang meracuni pikiranku, aku mengarahkan bilang pedang
itu ke leherku. Aku tahu, aku akan terbangun jika aku membunuh diriku dalam
mimpi ini. Dengan tersenyum sembari menutup mata, sensasi dingir dari logam
menyntuh kulit leherku setelah berhasil mengoyak kain hijab ku. Tiba-tiba aku
merasa ada yang menahan tangan ku. Aku membuka mata, sembari menunduk, pahlawan
mimpi ku itu memegangi bilang pedang. Aku melihat darah juga mengalir dari luka
itu,begitu juga luka-luka lain yang dia dapat saat melindungiku.
“Kamu harus tetap hidup” tatapan
dinginnya menembus sukmaku. Seperti dia mampu merasakan kesedihan dan
kesakitan, sebagaimana aku merasakannya sekarang.
“Tapi kenapa kau hanya sekejap ini
membersamaiku? Kenapa?” aku hanya menatapnya, menahan mati-matian air mataku. Dia
hanya terdiam, menatap kain hijab yang membungkus kepalaku, kemudian
menundukkan kembali pandangannya.
“Inilah tugasku” katanya, sembari
melepas bilah pedang itu, membuangnya jauh-jauh. Sekali lagi dia menatapku dan
hijabku, kemudian tersenyum. Sekali lagi dia membalikkan punggung tegap nya
itu, membelakanginya. Aku hanya bisa menatapnya, sekelebat aku lihat ujung
wolnya berkibar di depanku. Entah kenapa, aku segera menjangkau ujung wol itu
dan kupegang erat-erat.
“Aku hanya ingin bersamamu lebih
lama lagi” tangisanku pecah, aku hanya mampu memegangi ujung jubah wolnya. Air
mataku tumpah ruah, membasahi ujung jubahnya.
Dia sekali lagi menghentikan
langkahnya. Kembali membalikkan badan, bersimpuh di depanku. Aku hanya menangis
sembari melepas ujung jubah itu, kemudian sibuk meremasi kain rok ku sendiri. Dia
sama sekali tidak tergerak untuk menyentuhku sedikitpun, yang aku ingat, dia
mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik
“Kehidupan mu, berarti bagiku.
Jagalah Hijab mu, kamu terlihat cantik memakai itu”
Sebelum semuanya berubah gelap.
…………………………………………………………….
Pagi berisik di California, aku
terbangun. Mengucek mataku, melemaskan ototku. Tidur yang sangat nyenyak di
kota ini menurutku. Kelelahan luar biasa selepas riset dan melakukan ini itu,Ya
Allah, luar biasa. Kurapihkan hijab berbahan kausku, mengangkat diriku dari
tempat tidur. Dan kembali tersenyum, aku tidak bisa menemuinya lagi malam ini.
Sudah 6 tahun setelah kejadian itu,
dan aku kehilangan kemampuan Lucid Dream ku. Aku mahasiswa di ITB sebetulnya,
namun aku memperoleh kesempatan pertukaran pelajar di California ini. Setelah kejadian
itu aku berjanji pada mama, papa dan Kak Fathya untuk menjaga hijabku
mati-matian. Setelah itu, aku benar-benar tidak pernah melepas hijab, setelan
rok panjang bahkan mulai memakai kaos lengan.
Kejadian dengan sosok dalam mimpiku
membuat mama dan Kak Fathya tertawa, dan menerangkanku soal hijab dengan lawan
jenis. Aku jadi mengerti, sosok itu benar-benar luar biasa dalam menjagaku dan
kehormatanku. Dia menyentuh ku hanya saat terpaksa saja, selebihnya dia
mengorbankan dirinya untuk menjaga martabatku. Aku tersenyum kecil, dan
berjalan menuju cermin.
Sedikit kaget ketika di tengah
cermin ada sebuah amplop tertempel. Jujur aku tidak tahu ada apa didalamnya. Rasa
penasaran ku membuat tanganku bergerak dan membuka amplop itu. Ditulis diatas
kertas merah muda, dalam bahasa Indonesia, isi dalam kertas itu membuatku
berdesir. Hanya satu kalimat saja, tapi aku merasa takjub, sekaligus berdebar
kencang.
“Aku Nyata”
……………………………………………………………
Malam itu dia sudah menungguku,
dengan senyum khasnya. Cakar berbahan metal itu dia lepaskan, dan terlihat
lengan kekar itu. Aku hanya tersenyum, tersenyum dan tersenyum.
End
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/09/selamat-datang.html
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/09/selamat-datang.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/kematian.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment