Sumber : http://bersamadakwah.net/wp-content/uploads/2016/03/Bercermin-640x380.jpg |
Meneladani Diri Sendiri
Refleksi tentang Sumber Daya
Manusia
Ada sebuah kisah klasik tentang
balada seorang kakek lusuh dengan keinginan membeli pakaian baru untuk cucunya.
Cerita ini telah diterjemahkan dalam berbagai versi, tentu dengan beragam
ending berbeda-beda, menyesuaikan imajinasi dan kebutuhan masing-masing
pengarang. Intinya, si kakek ternyata adalah jutawan dan pada akhirnya salah
seorang dari penjual itu memperoleh sebagian dari harta si kakek. Tentu,
sisanya gigit jari dalam kekecewaan.
Sisi menarik dari kisah ini tentu
adalah kejaiaban dari menolong orang, biasanya motivator-motivator mengambil
keputusan disini. Tetapi, kacamata penulis selaku mahasiswa manajemen melihat
dari hal berbeda. Betul, keutamaan menolong orang (bisa jadi) adalah intisari utama
cerita ini, namun, keputusan manajerial berupa “saya akan menolong” dari si
pedagang baik ini patut sepertinya untuk kita kaji lebih mendalam. Karena,
keputusan semacam ini apalagi dalam kondisi demikian memerlukan pertimbangan
beragam faktor (multifactor) sehingga memberikan putusan terbaik. Ditambah lagi,
secara normatif hal semacam ini sulit dijawab jika hanya berlandaskan teori.
Teori dasar manajemen senantiasa
meletakkan pemenuhan kebutuhan diri sendiri sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan. Artinya, baik itu Maslow bahkan teori X dan Y sekalipun akan
meletakkan pandangan subjektif individu pada titik tumpu utama. Jika diri kita
masih terancam, maka berpikirlan lebih logis bagaimana caranya agar kita aman. Meskipun
dalam beberapa kajian manajemen, terutama sumber daya manusia belakangan ini
telah memasukkan bahasan “manusia dan kemanusiaan” dalam salah satu core-nya,
pandangan subjektif individu senantiasa memperoleh tempat tersendiri.
Sedikit kontras memang, jika kita
mempertemukan subjektifitas pandangan individu, dengan objektiftas dalam
menentukan kebutuhan. Objektifitas adalah sifat dasar dalam menentukan
kebutuhan yang kelak akan menentukan kualitas individu secara ekonomis. Semakin
objektif kita dalam mengkategorikan kebutuhan dari seabreg keinginan, akan
mempermudah jalan kita sebagai individu dengan fondasi ekonomi kuat, mapan dan
nyaman. Penjelasan sederhana dari semua ini adalah, putusan yang baik adalah
kemampuan merubah pandangan subjektif menjadi objektif dengan mempertimbangan
beragam kondisi dan arus informasi yang ada disekitar kita.
Contoh sederhanya, bisa jadi saat
hujan kita sangat menginginkan berteduh sembari menyeduh the. Namun kebutuhan
kita untuk bekerja, membuat anggaran memberi the dan berteduh di kafe tadi,
dikorbankan untuk membeli sebuah payung. Dari cerita dan simpulan tadi, maka
dalam setiap pengambilan keputusan apalagi keputusan objektif akan menimbulkan trade-off.
Karena kita ‘mengorbakan’ diri kita, pandangan kita untuk memperoleh sesuatu
yang ‘lebih pas’ sesuai kondisinya.
Dalam kehidupan singkat ini, tanpa
sadar kita telah banyak mempelajari langsung proses-proses pengambilan
keputusan, bahkan tidak sadar turut mengalaminya. Jika melihat ke ayat Al-Qur’an
di surat Al-Baqarah tentang manusia sebagai khalifah, hal tersebut (mempelajari
proses pengambilan keputusan) adalah niscaya dan telah digariskan Allah. Bahkan
Hasan Al-Banna mendifiniskan manusia sebagai mahluk mulia yang dibebankan amanah
dan diberikan hak memilih. Berbagai bukti diatas menunjukkan sejak lahir, kita
telah ditakdirkan untuk mengambil keputusan-keputusan.
Kemudian mulai muncul masalah,
putusan seperti apa yang baik? Setelah pertanyaan itu terjawab, apakah kita
siap mengambil putusan itu? Keraguan akan muncul ketika akan mengambil putusan
dengan adakah putusan lebih baik dari ini? Bahkan setelah mengambil keputusan
masih ada hantu bernama ‘apakah putusan saya mampu memuaskan orang banyak? Terus
dan terus.
Dalam tulisan singkat ini, tentu
tidak mungkin penulis mampu memaparkan kesemua jawaban dari keraguan-keraguan
diatas. Ditambah lagi dalam dunia manajemen, pengalaman individu akan
memunculkan jawaban-jawaban berbeda. Kemudian dalam Manajemen, Common Sense
tidak bisa dijadikan fondasi sebuah jawaban. Maka penulis akan mencoba
menyajikan runutan jawaban, untuk menjawab satu dari pertanyaan diatas.
Siap atau tidak-nya kita dalam
mengambil keputusan, jawaban umumnya adalah dikembalikan kepada masing-masing
individu. Sedangkan jawaban lainnya ditambahi embel-embel ‘disesuaikan dengan
kondisi lingkungan’. Dalam kehidupan sosial, jawaban seperti ini amat wajar
kita temui, namun jujur saja, kedua jawaban ini belum bisa menyelesaikan
masalah, karena masalah ini terang meletakkan aspek individu sebagai laku
utama.
Maka, sebelum beranjak kepada
jawaban, ada baiknya kita bicarakan soal fondasi. Terlebih dahulu, manusia
diberikan hak untuk berdiri di salah satu pihak. Kebajikan dan keburukan, salah
satu dari 2 hal tersebut, dan setelah memilih akan mampu terlihat refleksinya
dalam putusan yang diambil. Pihak kebajikan akan berusaha memilih lebih sedikit
melukai orang lain, kebajikan tentu sebaliknya. Meskipun tujuan keduanya sama,
keselamatan dan kebaikan untuk diri sendiri.
Siap atau tidak akan dikembalikan
pada fondasi mana kita berdiri, artinya, jika pandangan kita merasa kita pada
posisi sejalan dengan fondasi kita, maka saat itulah keputusan itu diambil. Salah
satu motivasi terbesar dari orang penolong dalam kisah kakek lusuh tadi, bisa
jadi didasarkan bahwa menolong orang adalah baik bagi dirinya, dan sesuai
dengan apa yang dia yakini. Sedangkan pedagang lain, menjaga barang dagangannya
agar bisa dijual lebih tinggi atau minimal menjaga tampilan toko mereka juga
terbaik menurut mereka. Baik semua kan niatnya? Maka dari kacamata manajemen
dalam hal ini tidak ada yang salah maupun benar.
Menjaga dan senantiasa memperbaiki
fondasi akan menjadi jalan terbaik jika ingin menjaga konsistensi dan melatih
kita mengambil keputusan. Maka proses evaluasi, proses refleksi, penambahan
wawasan menjadi faktor urgent disini. Karena dalam banyak kondisi seringkali
memaksa bahkan menggerogoti fondasi kita. Ada hal lucu disini, meskipun ada 2
fondasi, baik dan buruk, orang pasti akan berkata ‘saya baik’ kan? Nah terserah
pembaca mau beranggapan seperti apa.
Kemudian, siap atau tidak akan
ditentukan juga oleh kondisi hati kita. Dalam beberapa kasus, aslinya momentum
dan hal-hal lain telah berdiri dan mendukung kita, namun kadang kita merasa
kurang pantas, atau malah gagal menentukan prioritas. Penulis pernah mengalami
hal ini, dan penulis masih menjadikan ini sebagai pelajaran berharga.
Pengalaman ini terjadi tepat 6
bulan lalu, saat penulis semester 7. Dengan kemampuan penulis saat itu, membagi
diri dalam organisasi, Praktik Manajerial dan Skripsi sebenarnya bisa. Namun
penulis membangun asumsi, bahwa masih ada waktu 6 bulan di semester 8 untuk
menyelesaikan skripsi terutama dengan model penelitian yang penulis ajukan. Sehingga,
di semester 7 tersebut, penulis berfokus pada praktik manajerial dan
organisasi.
Manusia hanya bisa berencana kan? Semester
7 penulis mengalami kecelakaan (Alhamdulillah praktik manajerial dan organisasi
sudah selesai) dan kecelakaan itu membuat penulis harus mengalami rehab medic 6
bulan, bahkan 3 bulan pertama sempat tidak bisa berdiri karena ada gangguan di
sistem syaraf tulang belakang. Akhirnya rencana-rencana tersebut menguap begitu
saja.
Apakah salah kita membuat rencana
dan menanti momentum? Lantas apakah penulis ingin merutuk karena rencananya
gagal. Jawabannya ya dan tidak, karena, dasarnya manusia suka merutuk dan suka
salah namun manusia diberi kemampuan untuk belajar. Masalah bukan pada
bagaimana kita mengambil momentum, tapi bagaimana proses munculnya momentum
bisa kita percepat secepat-cepatnya.
Cukup sulit memang jika
didefinisikan, namun dalam sebuah perang, pasti ada alasan kenapa tentara
memiliki side arm dan side pocket yang menyimpan amunisi. Lebih kurang seperti
itu lah, maksudnya, dalam setiap hal atau proses menuju pengambilan keputusan
jangan biarkan opsi-opsi didalamnya berada dalam kondisi 0%. Sejujurnya, dalam
mengambil keputusan ada banyak proses didalamnya kan? Dan biasanya kita berani
mengambil keputusan karena katalis serta kapasitas kita cukup untuk melakukannya.
Maka, dalam tiap opsi tersebut, jangan sampai ada yang kapasitasnya, katalisnya
masih 0%.
Satu-satunya yang membuat penulis
merenung sampai sekarang, penulis memilih meninggalkan skripsi dengan benar-benar meninggalkannya padahal
kondisinya jelas, penulis dalam mencicil hal tersebut. Dengan bermodal 0%, akan
sulit jika harus melakukan sesuatu jika ternyata ada kondisi tidak memungkinkan
didepan kita. Intinya, persiapan itu harus selalu dilakukan, meskipun proses
tersebut baru 0.1% sekalipun, hal itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Terakhir, segalanya memang kembali
kepada keyakinan, dan tentu, dengan meyakini hal ini semoga kita lebih percaya
diri dalam mengambil keputusan. Jika kita meyakini diri kita adalah yang
terbaik (bukan dalam artian negative) tentu kita lebih percaya dengan diri kita
kan? Maka, senantiasa yakin bahwa anda adalah orang terbaik adalah cara terbaik
untuk dapat memperoleh keyakinan dalam mengambil keputusan.
Hal ini akan mudah jika terjadi
proses cermin, sebagaimana dalam kisah kakek lusuh membeli baju diatas. Refleksi
keyakinan kita bertemu dengan refleksi keyakinan orang lain, dan kita bisa
menimbang mana yang terbaik. Tetapi masalahnya tidak selamanya refleksi itu
senantiasa bisa kita dapatkan, misalkan saja, dalam kisah tersebut semua toko
tutup, mungkin keputusan pedagang penolong tadi bisa jadi berubah! Trust me!
Maka, menjadikan diri sendiri
sebagai teladan adalah salah satu cara terbaik untuk memberikan keyakinan
seberapa baiknya diri kita. Diri kita tentu telah memiliki pengalaman, baik itu
baik atau buruk. Hadirkan refleksi-refleksi itu kemudian ukur dengan kondisi
kita saat akan mengambil keputusan. Maka setidaknya akan muncul rasa percaya
diri jika ternyata posisi kita lebih baik dan siap. Dan akan muncul
kehati-hatian, jika kita pernah melakukan kesalahan sama dahulu. Simpelnya,
bawalah cermin raksasa berupa dirimu kemana mana.
Tentu tidak semua keputusan
berakhir manis, apalagi jika kita bandingkan realitas dengan dongeng. Seringkali
ada hal bernama proses yang membuat kita “harus menunggu” bahkan ada hasil
buruk yang membuat kita tertekan bahkan depresi. Pada tahap ini, salah satu
cara paling relevan, umum disarankan adalah bersabar sembari menyerahkan
semuanya kepada kekuatan besar diluar kita.
Menjadi masalah, jika setelah kita
gagal kita berhenti bergerak dan tidak berusaha memperbaiki hal tersebut,
bahkan melarikan diri. Saya tidak akan berkata banyak, karena bisa jadi putusan
itu kita nilai baik (untuk lari dan berhenti). Tetapi hei, kamu adalah teladan
terbaik bagi dirimu, artinya kamu senantiasa diberikan kesempatan bangkit dan
berdiri! Kenapa tidak mencoba lagi?
Wallahu ‘Alam
Malam ini ceritanya juga
menyemangati diri sendiri
Surakarta, 11 September 2017
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/seperti-biasanya.html
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/seperti-biasanya.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/merdeka-seperti-apa.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment