Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Monday, September 18, 2017

Mimpi


Sumber : https://www.instagram.com/azzam_abdul4/


Mimpi

Relativitas realitas

“Kamu harus tetap hidup” tatapan dinginnya menembus sukmaku. Seperti dia mampu merasakan kesedihan dan kesakitan, sebagaimana aku merasakannya sekarang.

“Aku hanya ingin bersamamu lebih lama lagi” tangisanku pecah, aku hanya mampu memegangi ujung jubah wolnya. Air mataku tumpah ruah, membasahi ujung jubahnya.

Dia sama sekali tidak tergerak untuk menyentuhku sedikitpun, yang aku ingat, dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik

“Kehidupan mu, berarti bagiku”

Sebelum semuanya berubah gelap.
………………………………………………………

Pagi ini seperti pagi lain! Bandung! Meskipun metropolis tapi syukurlah, berada di dataran tinggi dan dikelilingi gunung dan pegunungan masih menjaga kota ini dalam kesejukannya. Meskipun memiliki masalah kemacetan, tetapi mending tidak separah Jakarta. Aku habiskan masa kecil ku dengan sia-sia di Jakarta, jadi aku tahu rasanya, bangun pukul 4 pagi dan sudah merasakan aroma solar. Sedangkan di Bandung? Pagi biasa adalah pagi terbaik.

Aku turun dari ranjang dan mematut-matut wajahku di cermin. Hihi! Lucu melihat rambut lurusku berantakan dan sisa-sisa tidur masih membekas di wajah. Tapi aku cantik, jadi aku menyukai pemandangan ini, kecantikan naturalku tanpa make up!. Segera aku memakai pakaian sholatku, masuk ke kamar mandi, menunaikan wudhu, dan kembali bercermin. Wajah cantik ku menjadi terlihat semakin cantik dengan balutan hijab, inilah alasan kedua aku suka menatap wajahku setelah bangun tidur. Aku bisa melihat proses evolusi kecantikan ku setelah aku berwudhu. Setelah tersenyum puas, aku bersujud, memohon segala kebaikan dari sang maha baik.
……………………………………………………….

Pagi itu aroma roti bakar mencuat, setelah membereskan diri, mandi dan memakai pakaian sekolah aku keluar kamar untuk bertemu papa dan mama di restoran. Sebelum memasuki dapur aku melihat diriku di cermin setinggi 150 cm milik mama. Hmm, rok panjang menutupi mata kaki, baju seragam lengan panjang, sebuah cardigan, dan rambut hitam tergerai bebas. Kecantikanku belum berubah banyak ya? Justru makin terlihat dewasa, hehe.

Eh? Jilbab? Haha, aku belum siap memakai itu! Beban kain selembar di kepala itu masih belum siap aku tanggung. Aku masihlah remaja putri, yang narsis dan memiliki pemujaan berlebih dengan kecantikanku. Menjadi wanita anggun, senantiasa menjaga pandangan, elegan, lembut dan kalem seperti anak-anak rohis sekolahku aku belum sanggup. Meskipun aku kenal dekat dengan mereka, Kak Fathya, senior rohis juga salah satu orang yang merubah rok pendek ku menjadi panjang. Jadi, aku sedang berproses memakai jilbab, tapi, bukan sekarang.

Begitu masuk ke meja makan, mama hanya bergeleng sembari memanyunkan bibirnya. Dengan balutan jilbab marun berbahan kaos, daster lengan panjang, dan rok panjang dia menatapku dari ujung kepala sampai mata kaki.

“Ngga nyoba Makai jilbab lagi hari ini Fit?” celetuk mama sembari menyiapkan roti bakarku

Aku hanya tersenyum sambil menggeliat. Sejujurnya mama sudah berusaha membujuk ku memakai jilbab, dan jujur, jilbab turki hadiah dari mamah tempo hari sangat bagus. Tapi entah kenapa aku masih berat untuk memakainya.

“Sudahlah lah ma, kita sudah berusaha sebaik mungkin membujuk Fitri. Biarkanlah Allah menunjukkan kuasanya. Iya ngga Fit?” papa tersenyum simpul saja sambil menasehati anak perempuan dan anak satu-satu nya di keluarga ini.

Yap, Fitri Putri Wijaya, itu namaku. Sebenarnya namaku dahulu bukan Fitri, ini nama baru yang diberikan papa untukku. Namaku dahulu adalah Fransiska Angelia Wijaya, papa bernama Robert Augustus Wijaya, sedangkan mama bernama Amelia Putri Wijaya. Tepat, keluarga kami adalah keluarga mu’alaf. Berkat rekan kerja papa akhirnya kami masuk islam dan menikmati keislaman kami sebaik mungkin.

Papa sekarang rutin menjadi pengurus takmir, di bagian mu’alaf center. Mama berjilbab rapi dan aktif di gerakan koperasi muslimah. Sedangkan aku? Hehe, rok panjang ini adalah kemajuan terbaik ku. Mungkin karena aku masih terbawa iklim sekolah Kristen ku dahulu? Aku tidak tahu tapi sekarang aku sudah bersekolah di sekolah negeri ternama di Bandung dan aku cukup nyaman dengan itu. Bersama kakak-kakak dan teman-teman rohis, aku masih belajar berhijrah. 

Jangan sangka ya aku tidak pernah berhijab, pada momen-momen khusus aku berusaha berhijab. Dahulu aku hanya kuat satu hari saja dalam sepekan memakai hijab di keseharianku. Namun sekarang aku sudah tahan memakai hijab itu dalam 3 hari, di hari kamis, jum’at dan sabtu. Lumayan kan? Kata Kak Fathya, memang hijrah perlu proses, jadi dia hanya tersenyum dan mengacungkan jempol melihat segala tingkah polahku.

Papa pun seperti Kak Fathya, senantiasa membujuk tapi tidak rewel. Senyumnya setiap pagi sembari membaca Koran senantiasa menenangkanku. Mama nih, paling rewel. Hampir setiap hari aku dibawa ke Borani Center, pusat jual hijab di Bandung, atau ke konter-konter hijab modern lain, memilihkan hijab terbaik untuk ku. Tapi dasar anak nya satu ini memang bahlul, tapi ma, insya Allah aku akan menjawab harapan mu kok! Perlahan tapi pasti.

Roti bakar itu kulahap segera karena 15 menit lagi bus gratis anak sekolahan akan lewat di depan kompleks perumahan. Aku segera mencium tangan mama, dan dengan gemas dia mengacak-acak rambutku, akupun hanya bisa menggerutu manja. Kemudian mencium tangan papa, senyum menenangkannya menjadi pemandangan indah saat dia merapihkan rambut ku yang diacak-acak mama. Tersenyum, aku berbali dan meninggalkan rumah.

Apa kubilang? Pagi biasa adalah pagi terbaik!
………………………………………………………

Sampai di gerbang sekolah Kak Fathya sudah mencegatku di gerbang. Dengan senyum (mirip sekali dengan mama) dia mengacak-acak rambut panjangku.

“Ihh masih aja belum mau dipakai nih..” gumamnya sambil terus mengacak-acak rambutku.
“Kakak mah” sembari berusaha menghindar, aku perlahan melihat kalau kelakuan kami pagi itu menjadi pusat perhatian terutama bagi siswa laki-laki.

Sepertinya Kak Fathya juga menyadari itu dan segala menarik ku dari gerbang. Aku sempat melihat siswa-siswa itu tersenyum usil, tapi pendar wajah mereka tidak bisa menutupi ekspresi kagum mereka.

Menuju masjid sekolah, aku tahu kemana Kak Fathya membawaku. Di masjid, Kak Agus sudah menanti dengan cengiran khasnya.
“Pagi-pagi rambut mu sudah acak-acakan aja fit..” kata kak agus sembari berjalan meninggalkan kami menuju ruang kelasnya. Aku hanya mampu tersenyum sembari memperbaiki rambutku, kemudian lanjut mengikuti langkah Kak Fathya.

“Ini sisir” Kak Fathya memberikan sisir dan mempersilahkanku berkaca. Segera aku merapihkan kembali rambutku, sembari memandang wajah Kak Fathya yang terpantul di cermin. Kacamata frame kotak itu terlihat manis tergantung di hidung mancungnya. Pipi nya bersemu merah muda, dengan lesung pipit menghiasi pipi kanan nya. Duh, jilbab putih itu bener-bener membuat kak Fathya makin anggun!

Percaya boleh, tidak juga ngga masalah, Kak Fathya dulu model remaja. Sampai pertengahan kelas dua SMA wajahnya masih menghiasi berbagai majalah dan berkali-kali terpilih menjadi remaja putri inspiratif dan gelar mentereng lainnya. Karena ada satu musibah, aku tidak tahu detailnya, Kak Fathya diselamatkan oleh kakak-kakak di Rohis ini, namanya Asma atau siapa aku lupa. Sekarang? Kecantikan dan keanggunannya (jujur saja) membuat banyak orang terpana.

Rambutku sudah rapih dan aku bersiap ambil langkah seribu. Tapi, Kak Fathya sudah memegangi tangan ku dan menatapku serius.

“Fitri kan udah janji hari ini mau nyoba pakai hijab lagi..” dia berkata seperti itu sambil menunjukkan wajah anggunnya yang ditekuk lucu. Duh! Meskipun aku adik kelasnya aku benar-benar ingin mencubit pipi merah mudanya itu. 

“Nih dipakai!” masih dengan wajah ditekuk, Kak Fathya mengeluarkan hijab putih dari tas nya. Melihat wajah lucunya itu, aku hanya bisa mengangguk sembari menahan tawa. Tebak? Wajah ditekuknya berubah menjadi senyum cerah! Pipi pink itu semakin bersemu, dan jangan ditanya lagi, lesung pipitnya tenggelam seperti aku tenggelam dalam pesona keanggunannya. Bersemangat dia memakaikan hijab putih itu, sembari bersenandung ringan. Kemudian, membalikkan tubuhku, menghadapkannya pada cermin.

“Fitri sama kakak lebih cantik Fitri kalau pakai hijab!” Kak Fathya berkata kegirangan. Aku hanya tersenyum saja, “merendah kakak mah” gumamku dalam hati. 

“Kamu lebih cantik jika pakai hijab” 

Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Dengan panik aku melihat sekeliling, aku tidak salah dengar kan?. Di masjid ini hanya ada Kak Fathya dan aku, lantas siapa yang berbicara tadi?
Menatapku aneh Kak Fathya hanya mengerenyitkan dahinya. Tetapi segera dia ubah menjadi senyum manis lagi sembari mendorongku keluar masjid. 

“Sana! Sinari dunia dengan keanggunanmu!” kata Kak Fathya sembari mengacungkan 2 jempol. Aku hanya tersenyum sembari berusaha melupakan momen aneh barusan. Aku tidak sedang bermimpi kan? Tidak, aku sudah bangun dan sedang sekolah, aku sudah bangun dan sedang sekolah.
……………………………………………..

Kumatikan lampu kamar, menarik selimut dan memandangi hijab putih hadiah dari Kak Fathya pagi tadi. Gara-gara dia pagi ini aku menapat cuitan meriah dari anak-anak kelasku, dan seharian penuh, di hari senin, aku memakai hijab itu. Mama? Begitu pulang ke rumah beliau kegirangan sembari mengusap-usap hijabku. Hari senin ya? Mungkin aku akan coba memakai hijab di setiap hari senin.
Kupejamkan mataku, dengan senyum lebar menghiasi wajahku. Kenapa aku tersenyum? Ya aku hanya punya satu alasan.

Kalian pernah dengar Lucid Dream? Itu loh, kemampuan seseorang mampu menyadari dirinya sedang bermimpi kemudian mampu mendesain mimpi itu sesuai keinginannya. Sehingga, dia bisa bermimpi dan memimpikan apa yang dia inginkan. Berbeda dengan astral projection, aku tidak bisa melihat jasadku saat tidur. Jadi, semua yang dapat aku lakukan bisa dipastikan hanya dapat dilakukan di dunia mimpi. Apalagi aku bukan seorang cenayang.

Kekuatan ini aku sadari saat masih anak-anak, aku dahulu sangat menyukai apel. Entah kenapa, meskipun papa dan mama tidak pernah rutin menyediakan apel, tapi setiap hari aku senantiasa merasakan rasa apel. Tentu, aku merasakannya saat tidur, ketika aku bermimpi memakan beragam apel dari seluruh dunia, bahkan aku memimpikan aku memiliki kebun apel sendiri! Aku benar-benar memikirkannya, aku memakan dan merasakannya, tapi aku tahu betul itu hanya mimpi dan aku sadar itu mimpi.

Kemampuan itu terus menerus aku asah, ditambah saat menjelang SMA di tahun 2010 aku menonton film Inception, tentang para perekayasa mimpi. Aku semakin terobsesi melatih kekuatanku, dan benar, mimpiku semakin bervariasi dan unik. Aku mampu memanggil naga, mendaki puncak Gunung Olympus, dan hal-hal lain.

Tidak sabar dengan petualanganku, aku menutup mataku. Mulai merangsang alam bawahku untuk menghadirkan proyeksi demi proyeksi memori-memori mimpi hari itu. Aku hanya tersenyum dan perlahan, lelap menghampiriku dan membawaku.
………………………………………………..

Aku membuka mataku, melihat sekeliling. Sedikit terkejut karena aku berada di depan gerbang sekolahku atau sesuatu yang mirip dengan itu. Aku melihat sosok Kak Fathya, dan dia sudah menungguku. Seperti bersiap ingin mengacak rambutku, sepertinya. Benar, dia mengacak rambutku dan berkata sesuatu yang sama seperti pagi tadi.

Aku tahu jika aku bermimpi, tapi aneh sekali aku bisa memimpikan dan mendesain sesuatu dan mereka ulang kejadian pagi tadi. Ditambah suasana sekolah sedikit aneh karena warna gelap sangat dominan, ada apa ya? Segera aku membayangkan detail kejadian pagi tadi, dengan warna biru, cahaya matahari dan suasana sejuk pagi hari. Kak Fathya membawaku menuju masjid, yang mungkin mirip dengan masjid sekolahku? Bahkan aku bertemu Kak Agus dan dia mengatakan hal yang sama.

Semakin bertanya, dan aku hanya bisa membayangkan dan merubah suasana lingkungan saja. Aku membayangkan tokoh atau episode lain, aku tidak mampu. Ini sangat aneh, belum pernah aku mengalami lucid dream seperti ini, ini lebih mirip De Ja Vu dalam mimpi!. Memakaikan hijab yang sama, dengan senyum yang sama, Kak Fathya membalikkan wajahku untuk menghadap cermin.

“Fitri sama kakak lebih cantik Fitri kalau pakai hijab!” Kak Fathya berkata kegirangan. Aku terkesiap, tepat setelah ini momen buruk pagi tadi akan terjadi. Dalam kepanikan aku mengejapkan mata dan saat aku membuka mata,

“Kamu lebih cantik jika pakai hijab” 

Mahluk itu berkata dengan suara beratnya, dengan wajahnya buruknya yang juga menghadap cermin. Kulitnya hitam legam dengan hanya satu mata masih berwujud seperti mata, itupun berwarna kemerahan seperti darah. Bekas luka sabetan benda tajam membelah wajah buruk itu, dikerumuni lalat dan bernanah. Taring terlihat mencuat dengan darah mengalir dari ujung bibir kanannya. 

Aku berteriak keras ketakutan saat mahluk buruk itu menerkamku, mengarahkan tangan hitam dan bercakar serta berbau busuk itu kepada wajahku untuk membekap mulutku. Mahluk itu melolong sangat nyaring saat aku menghindari terkamannya tapi justru malah terjatuh. Bayang Kak Fathya sudah menghilang, tempat ini bukan lagi masjid sekolahku. Semuanya berubah gelap dan hanya sosok mahluk buruk itu yang mampu aku lihat.

Semakin bergidik leherku ketika aku mendengar dari kejauhan ada sesuatu, amat sangat banyak, mereka melolong dengan intonasi suara sama dengan mahluk itu. Dari kejauhan aku melihat bayang mata merah menyala, berjumlah banyak mendekat kearahu. Aku hanya mampu bergerak mundur dengan penuh ketakutan, sedangkan mahluk buruk rupa di depanku mulai melolong lagi, kali ini, dia menjulurkan lidahnya.

“Kamu.. Lebih.. cantik.. Arghhhkkk!!!!!!!!!” dengan buas dia menyongsongku dengan cakar tajamnya, berusaha merobek diriku. Aku hanya mau berteriak histeris dan nyaris hilang kesadaran saat sosok itu muncul. 

Dunia gelap ini mendadak berubah menjadi suasana di pinggir jurang di sebuah lembah. Sosok itu berdiri di hadapanku dengan mahluk itu, aku sendiri sudah berada di bibir jurang. Melihat semakin banyak mahluk hitam busuk itu datang, sosok itu berbalik menghadapku, dan dia mendorongku untuk jatuh kedalam jurang. Aku tidak melihat apa-apa, karena kegelapan mengambil pengelihatanku.
………………………………………………………….
Sentakan hebat akibat sensasi terjatuh itu membangunkanku. Dengan panik aku menghimpun udara, bernafas terengah. Sesaat kemudian memori mimpi barusan terngiang sangat jelas pikiranku, aku nyaris diperkosa mahluk mengerikan itu. Tanpa mampu kubendung air mata mengalir deras, dan aku hanya bisa menangis keras-keras.
Pintu kamarku segera dibuka oleh mama, karena kamar kami memang bersebelahan. Dengan panic mama mendekati dan memelukku sembari terus bertanya, kenapa dan kenapa? Aku hanya mampu menangis dan memeluk mama erat-erat. Sisa malam itu, aku habiskan dengan berpelukan dengan mama, bahkan akupun tertidur kembali dalam pelukannya. Mama, apa yang terjadi padaku?
………………………………………………………….

“Apa yang terjadi semalam Fitri? Kamu membuat mimpi seperti apa lagi?” mama bertanya sembari menatapku khawatir. Aku hanya menunduk sembari menatap roti bakar pagi hari ku. Aku sudah bersiap berangkat sekolah, dengan hijab putih model turki menghiasi kepalaku. Entah kenapa aku merasa hangat dan nyaman saat mama memakaikan ku hijab itu. Aku hanya menggeleng, sedangkan papa dan mama hanya mampu bertatapan, tanpa mampu menghilangkan wajah khawatir mereka. 

Pagi itu dengan gontai aku berjalan menuju gerbang sekolah, dan aku mencubit tanganku keras-keras meyakinkan bahwa aku tidak bermimpi. Kak Fathya menunggu di depan gerbang, eskpresi cerianya berubah menjadi khawatir saat melihat ekspresi sedih dan tatapan kosongku. Merangkulku, dia membawaku ke masjid sekolah, sembari mengusap punggungku.

Di masjid sekolah aku hanya bisa menangis keras-keras, sembari membiarkan Kak Fathya dan kakak rohis lain melihatku. Memberi isyarat, Kak Fathya meminta mereka keluar dan membiarkan kami sendirian. Masih menatapku, Kak Fathya mengangkat wajahku, aku tidak melihat senyum ceria itu, hanya ekspresi sedih dan khawatir tergambar disana.

“Fitri kenapa?” sembari mengusap pipi ku, dia bertanya lembut. Mengalirlah kisah mengerikan yang kualami malam itu. Kak Fathya hanya mendengarkan, aku melihat dia berkeras menahan air mata, aku merasakan tangan nya juga bergetar hebat. Ah.. kenapa aku harus bercerita kepada Kak Fathya sih? Menatap wajahnya, dia memberikan senyum manis terbaiknya setelah aku selesai bercerita.

“Fitri, malam ini, kamu membaca doa sebelum tidur ya? Kakak ajari doanya..” dia menghapus air mataku, dan perlahan aku dituntun, mengingat kembali doa dasar yang diajarkan teman papa saat kami pertama kali masuk islam.
……………………………………………………………….

Aku menolak tawaran mama untuk tidur sekamar dengannya, karena aku akan menghadapi dan menyelesaikan masalah ini sendirian. Aku berwudhu, memakai hijab bahan kaus untuk menutupi rambutku, dan melafalkan kembali doa sebelum tidur. Rasa ragu sempat muncul, namun aku menggeleng kuat, tidak, aku harus menyelesaikan semuanya malam ini. Lelap kembali membawaku pergi, namun bukan dengan ketenangan, melainkan amarah.
………………………………………………………………

Kegelapan langsung mengelilingi sekitarku, aku sudah siap, gumamku. Di kegelapan ini mahluk busuk itu nyaris beramai-ramai menodaiku. Benar saja, tidak beberapa lama, mahluk busuk itu mulai menampakkan dirinya, tidak menerkam seperti dahulu, melihat hijab mengelilingi kepalaku mereka hanya mampu menggeram sembari bersungut kelas. 

“Kamu kembali lagi, sungguh gadis yang berani” aku sedikit kaget saat mendengar suara itu. Sosok penyelamat itu kembali, kali ini wajahnya sejelas matahari pagi. Berwajah rupawan berusia 20 an tahun, dia menggeretakkan cakar-cakar di tangannya. Cakar itu berwarna perak dengan aksen kehitaman. Aku tahu, aksen kehitaman itu adalah darah karena bau anyir menyeruak darinya.

Hanya tersenyum sembari menatap gerombolan mahluk busuk itu, aku tidak menjawab pernyataannya. 

“Aku tahu maksudmu datang kemari, dan memang ini sudah saatnya. Bersiaplah” dia mengambil kuda-kuda dengan cakar-cakarnya didepanku. Sedangkan aku? Ini adalah mimpiku dan aku menguasai lucid dream. Bayangan dalam pikiranku segera membentuk sebuah wujud senjata, pedang legendaris milik Joan of Arc. Pedang itu mendadak sudah berada di genggamanku, terhunus dan tajam. Sosok rupawan itu hanya tersenyum, mengacungkan cakar di jempolnya, dan berteriak lantang. Melihat itu, sosok busuk itu menggeram dan mengaum keras, aku pun mengangkat pedang ku. Pertempuran dimulai.
……………………………………………………………………

Timbunan mahluk busuk itu menggunung, entah kenapa aku bisa menghabisi mereka. Aku hanya terduduk kelelahan sembari berpegangan pada gagang pedang St. Catherine, aku mengingatkan dari buku cerita Kristen ku di masa lalu. Sosok rupawan itu tersenyum, membenahi jubah wol nya, sembari berjalan mendekatiku. Kegelapan sudah hilang, sekarang semuanya seterang cahaya.

Sosok itu duduk di depanku, dia tersenyum. “Maaf sebelumnya aku terpaksa menendangmu. Seharusnya aku tidak boleh menyentuhmu barang satu inchi pun”. Aku hanya tersenyum dan memperbaiki posisi duduk ku. Pedang St Catherine aku letakkan di samping kanan ku.

“Tuan siapa?” tanyaku. Dia hanya tersenyum kembali
“Aku yang menyelamatkanmu, menurutmu siapa aku?” aku tahu dia bercanda, karena ekspresinya berubah setelah melihat ekspresi wajah siap menangis milikku.

“Aku adalah entitas penghuni dunia mimpi. Aku tidak bisa dilihat setiap orang, karena aku hanya muncul saat seseorang mendesain sebuah mimpi dan mendapat ancaman dari entitas lain, seringkali jin, mulai menganggu mimpi seseorang. Aku datang, jika kau dalam keadaan terdesak, atau jika kau bersuci, berdoa, dan membayangkan sosok ku dalam mimpimu. Semakin lengkap persiapan yang kamu lakukan, semakin kuat diriku” jelasnya, tangan bercakar penuh darah itu dia lap dengan jubahnya.

“Lantas, mahluk hitam itu apa?” aku tidak bisa menahan air mataku, bulir-bulir itu tumpah melihat wujud mahluk menjijikan dan niat kotor mereka. Sosok itu hanya menghela nafas, sembari menatap keatas.

“Mereka adalah Jin jahat. Pernah dengar istilah mimpi basah? Mahluk mengerikan itu yang melakukannya, menyamar menjadi wanita, bersetubuh dengan manusia, dan membuat mereka terutama pria mengeluarkan mani mereka. Dalam kasus ini, mereka tidak merubah wujud mereka dan terang akan memberikan trauma buruk kepadamu” katanya dingin, aku merasakannya, karena seolah lidahnya sudah kelu menceritakan kejelekan mahluk hitam itu. 

“Sekarang, sudah saatnya aku pergi..” sosok itu berdiri,tubuh tegapnya terlihat semakin tegap dari posisiku duduk.

“Kamu kesepian kan?” aku menatap wajahnya, tangisanku perlahan mereda. Ditanya seperti itu, dia hanya terdiam, kemudian berbalik membelakangi ku.

“Apa yang terjadi dengan mu setelah ini?” aku bertanya lagi. Melihat dia yang tidak menatapku lagi membuatku risau. Aku tidak tahu siapakah sosok ini, tapi di dunia mimpi ini, dialah pahlawanku. Aku tidak mau, dia pergi begitu saja.

“Tugas ku sudah selesai, kamu bisa melindungi dirimu sendiri. Mungkin kamu akan kehilangan kemampuan bermimpi mu. Tetapi itu lebih baik bagimu” mulai melangkahkan kaki, sosok itu bergerak meninggalkanku. 

“Aku mohon lindungi aku, aku mohon..” aku menunduk, mataku berkaca-kaca. Tanpa kusadari, aku sudah mengenggam bilah pedang St Cartherine erat-erat. Darah mulai menetes, dan aku merasakan sakit luar biasa. 

“Aku mohon, setidaknya izinkan aku mengucapkan terimakasih..” aku masih mengenggam bilah pedang itu, semakin erat sampai aku merasa daging ku mulai terbelah. Sosok itu bergeming, tetapi dia tidak bergerak sama sekali. 

“Baiklah, kalau begitu saat inilah kita berpisah” entah apa yang meracuni pikiranku, aku mengarahkan bilang pedang itu ke leherku. Aku tahu, aku akan terbangun jika aku membunuh diriku dalam mimpi ini. Dengan tersenyum sembari menutup mata, sensasi dingir dari logam menyntuh kulit leherku setelah berhasil mengoyak kain hijab ku. Tiba-tiba aku merasa ada yang menahan tangan ku. Aku membuka mata, sembari menunduk, pahlawan mimpi ku itu memegangi bilang pedang. Aku melihat darah juga mengalir dari luka itu,begitu juga luka-luka lain yang dia dapat saat melindungiku.

“Kamu harus tetap hidup” tatapan dinginnya menembus sukmaku. Seperti dia mampu merasakan kesedihan dan kesakitan, sebagaimana aku merasakannya sekarang.

“Tapi kenapa kau hanya sekejap ini membersamaiku? Kenapa?” aku hanya menatapnya, menahan mati-matian air mataku. Dia hanya terdiam, menatap kain hijab yang membungkus kepalaku, kemudian menundukkan kembali pandangannya.

“Inilah tugasku” katanya, sembari melepas bilah pedang itu, membuangnya jauh-jauh. Sekali lagi dia menatapku dan hijabku, kemudian tersenyum. Sekali lagi dia membalikkan punggung tegap nya itu, membelakanginya. Aku hanya bisa menatapnya, sekelebat aku lihat ujung wolnya berkibar di depanku. Entah kenapa, aku segera menjangkau ujung wol itu dan kupegang erat-erat.

“Aku hanya ingin bersamamu lebih lama lagi” tangisanku pecah, aku hanya mampu memegangi ujung jubah wolnya. Air mataku tumpah ruah, membasahi ujung jubahnya.

Dia sekali lagi menghentikan langkahnya. Kembali membalikkan badan, bersimpuh di depanku. Aku hanya menangis sembari melepas ujung jubah itu, kemudian sibuk meremasi kain rok ku sendiri. Dia sama sekali tidak tergerak untuk menyentuhku sedikitpun, yang aku ingat, dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik

“Kehidupan mu, berarti bagiku. Jagalah Hijab mu, kamu terlihat cantik memakai itu”

Sebelum semuanya berubah gelap.
…………………………………………………………….

Pagi berisik di California, aku terbangun. Mengucek mataku, melemaskan ototku. Tidur yang sangat nyenyak di kota ini menurutku. Kelelahan luar biasa selepas riset dan melakukan ini itu,Ya Allah, luar biasa. Kurapihkan hijab berbahan kausku, mengangkat diriku dari tempat tidur. Dan kembali tersenyum, aku tidak bisa menemuinya lagi malam ini.

Sudah 6 tahun setelah kejadian itu, dan aku kehilangan kemampuan Lucid Dream ku. Aku mahasiswa di ITB sebetulnya, namun aku memperoleh kesempatan pertukaran pelajar di California ini. Setelah kejadian itu aku berjanji pada mama, papa dan Kak Fathya untuk menjaga hijabku mati-matian. Setelah itu, aku benar-benar tidak pernah melepas hijab, setelan rok panjang bahkan mulai memakai kaos lengan.

Kejadian dengan sosok dalam mimpiku membuat mama dan Kak Fathya tertawa, dan menerangkanku soal hijab dengan lawan jenis. Aku jadi mengerti, sosok itu benar-benar luar biasa dalam menjagaku dan kehormatanku. Dia menyentuh ku hanya saat terpaksa saja, selebihnya dia mengorbankan dirinya untuk menjaga martabatku. Aku tersenyum kecil, dan berjalan menuju cermin.
Sedikit kaget ketika di tengah cermin ada sebuah amplop tertempel. Jujur aku tidak tahu ada apa didalamnya. Rasa penasaran ku membuat tanganku bergerak dan membuka amplop itu. Ditulis diatas kertas merah muda, dalam bahasa Indonesia, isi dalam kertas itu membuatku berdesir. Hanya satu kalimat saja, tapi aku merasa takjub, sekaligus berdebar kencang.

“Aku Nyata”
……………………………………………………………

Malam itu dia sudah menungguku, dengan senyum khasnya. Cakar berbahan metal itu dia lepaskan, dan terlihat lengan kekar itu. Aku hanya tersenyum, tersenyum dan tersenyum.

End


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/09/selamat-datang.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/kematian.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 




No comments:

Post a Comment