Bagi Mereka yang Belajar Peristiwa Perang Thermopylae dari Film 300
Film adalah hasil budaya suatu peradaban, sejalan dengan karya seni rupa, seni tari, dan music. Ketika peradaban sudah sempat menaruh investasi dan menjadi kaya karena hasil kesenian, sudah sebuah garansi peradaban tersebut sudah mencapai titik kemajuan yang luas biasa. Maka bukan tanpa alasan saat ini, hiburan-hiburan dengan kualitas tinggi sering kita dapatkan dari belahan bumi barat sana, dari negara-negara maju. Atau dari taipan-taipan penguasa asia timur, karena saat ini kiblat peradaban sedang condong ke arah sana.
Maka naif jika kemudian kita mengkalim segala sesuatu yang bersifat penghargaan kebudayaan, seperti Academy Award atau Oscar didominasi film-film dari kiblat peradaban tersebut, karena memang itu “gawe” nya mereka. Bahkan dibandingkan dengan permisalan “tidak mungkin kan non islam juara lomba adzan” dan analogi aneh lainnya. Semakin terlihat bodoh ketika akhirnya kita mempermasalahkan bahwa produk kesenian tersebut menjadi upaya melakukan propaganda, bahkan pencucian otak generasi dari negara berkembang. Ya karena memang tujuan seni itu untuk melebarkan dan memperkuat sphere of influence, tujuan propagandis atau apalah itu jelas adanya, jelas dibawa, dan di deliver dengan luar biasa.
Maka ketika tahun 2008 atau 2009 muncul film 300, ramai ramai anak muda Indonesia dengan pengetahuan sejarah, memiliki gambaran bahwa petarung Yunani di zaman itu berjuang dengan badan berotot, hanya mengenakan celana dalam tanpa baju perang. Sungguh gagah, perkasa, lagi maskulin luar biasa. Hingga mereka membandingkan halaman-halaman ensiklopedia dengan kejadian di film tersebut, dan cenderung meremehkan fakta yang tersaji di Ensklopedia, yang merupakan tuangan gagasan ilmuwan, sejarawan. Karena Zack Snyder di film 300 berkata “ngga, perangnya orang Yunani juga termasuk melakukan gerakan ninja dengan perisai perungu raksasa”.
Sesuatu yang bersifat pertunjukkan, memang menyejukkan mata, seolah sebuah kejadian kembali hadir dengan efek visual luar biasa. Sangat mudah kita mereka efek visual ini daripada baris-baris kata di ensiklopedia, karena efek visual ini berbicara langsung kepada alam bawah sadar kita. Inilah kenapa ada orang yang seolah bisa menyihir penonton, meskipun jika didalami yang dia sampaikan hanya omong kosong. Sihir ini seolah sangat efektif karena bersama dengan omongan dia membawa sebuah “bukti” seperti misal kekayaan yang “dia miliki” atau hal-hal semacam ini. Padahal prinsip dasar di dunia ini, tidak ada sesuatu yang bersifat abadi.
Peradaban barat memiliki gambaran sederhana berupa kematian. Kematian di satu sisi adalah kedamaian karena akhirnya manusia selesai dengan urusan duniawinya. Di sisi lain kematian juga dipandang sebagai hilangnya segala sesuatu, kita kembali menjadi sesuatu yang tidak berarti. Hanya reputasi, catatan sejarah kita yang diingat orang banyak. Maka wajar ketika mereka mencari cara untuk menikmati dunia, karena tidak ada konsep kehidupan setelah kematian. Kalaupun ada banyak yang memandang konsep tersebut sangat membosankan, hanya bersantai saja dalam wujud arwah di khayangan.
Akhirnya bisa kita saksikan bagaimana sebuah kebenaran yang sederhana, menjadi kabur entah dalam konsep fantasi, sains fiksi, hingga propraganda utuh yang dimakan mentah-mentah dalam wujud produk budaya. Film 300 menjadi salah satu perwujudan dari hal tersebut, dan jika saya katakan kalau banyak orang yang tidak ngeh kondisi Yunani saat itu, bisa dijamin bayangan mereka atas perang Thermopylae adalah apa yang berada di kepala Zack Snyder. Apakah itu salah, ya tidak juga, ini adalah sebuah perspektif, sudut pandang. Dimana mafhum kita kalau di dunia ini ada miliaran sudut pandang. Namun apakah hal ini juga menjadi alasan kita menolak kebenaran yang sebenarnya terjadi? Disini titik dimana perspektif tersebut bisa membawa kepada kebinasaan.
Banyak orang berpikiran bahwa berpegang pada kondisi kekinian atau perspektif dirinya adalah sebuah kebenaran. Lebih luar biasa lagi kalau ternyata dia juga menyalah-nyalah kan sudut pandang orang lain karena sebuah anggapan dirinya lah yang paling benar. Pada titik ini kita menemukan seorang individu yang lupa melihat fakta, melihat realitas. Dan perilaku ini sangat berbahaya karena tidak hanya dia membuat rumit sebuah permasalahan, namun juga menjatuhkan citra apapun atau siapapun yang mungkin memiliki singgungan dengan dirinya.
Pertempuran Thermopylae sejatinya tidak hanya diperjuangan oleh 300 prajurit Sparta dengan rajanya, namun juga ada aliansi Yunani yang berjumlah hingga 7000 pasukan. Mereka juga tidak berpekar dengan sempak tanpa memakai baju. Formasi pasukan tombak (hoplites) yunani pada waktu itu sudah mengenal baju pelindung ringan hingga berat. Lalu jujur perang ini memang membosankan, karena sejatinya yang terjadi hanya dorong-dorongan, tidak ada aksi putaran ninja dan sejenisnya.
Tetapi memang fakta, pasukan Persia yang berjumlah ribuan benar-benar tidak bisa merengsek maju, karena mereka dipaksa bertempur dalam tempat sempit. Benar dalam perang ini Raja Leonidas memimpin pasukan koalisi. Benar akhirnya seorang bungkuk membocorkan jalan rahasia yang membuat pertahanan Yunani hancur. Tetapi tetap, tidak ada manusia berkepala kambing disini, ini adalah kepalanya Zack Snyder saja yang mungkin kangen tengkleng kambing.
Dari 2 hal diatas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif setiap orang selalu ada “dalil” atau landasan pemikiran yang kuat. Inilah kenapa perspektif dari siapapun ketika mereka punya fondasinya, adalah berharga. Namun menjadi masalah ketika 1. Kita memaksakan sudut pandang kita dan 2. Kita menolak kebenaran yang bersebrangan dengan sudut pandang kita. Kedua hal inilah yang membuat manusia dibawa menuju awang-awang. Menjadi tidak bisa memahami realitas, namun jauh juga menuju tahap ideal.
Bayangkan saja fans film 300 yang menolak membaca kajian sejarah dari peristiwa tersebut. Maka ya dia mentok saja berada di buah pikiran sutradara film tersebut. Dia tidak bisa menerima realitas bahwa perang tersebut lebih membosankan dari yang dia lihat. Tetapi dia juga tidak bisa mencapai konsep ideal tentang bagaimana perang ini berpengaru terhadap roda peradaban. Karena yang dia tahu hanya tubuh berotot actor dalam film tersebut.
Padahal dengan
fondasi realitas yang kuat dia bisa mengetahui detailing, mengapa kok sampai
ada perang seperti itu, bagaimana mereka berperang secara nyata, formasi apa
yang mereka gunakan. Sehingga si fans film ini bisa mengerti bahwa perang
Thermopylae ternyata bukan satu episode saja, dia adalah salah satu dari
rangkaian episode panjang pertempuran antar 2 superpower, Yunani dan Persia. Konflik
yang membentuk peta geopolitik dunia klasik, yang mengharumkan nama-nama seperti
Alexander dan Xerxes sendiri.
Maka tidak ada salahnya kita menikmati produk hasil sudut pandang orang lain. Bisa jadi dia mentor mu dalam bisnis, bisa jadi dia penulis yang kamu suka, seniman, atlit atau siapapun. Tetapi jangan lupakan bahwa ada realitas yang ada tepat di depan mata kita. Yang mana realitas atau kenyataan ini tidak bisa dibalik semudah membalik telapak tangan, perlu banyak usaha untuk memahami mengapa sesuatu terjadi dan usaha ekstra untuk bisa menyelesaikan tantangan tersebut. Dengan fondasi yang kokoh disini, kita akhirnya bisa sampai ke titik ideal, ya inilah sesuatu yang seharusnya. Tetapi percayalah, selama kita masih hidup tidak akan bisa kita temukan titik ideal tersebut.
Terakhir, apakah saya akan menganjurkan anda untuk menonton film 300 sebagai awal untuk mendalami peristiwa perang Thermopylae? Ya, tentu. Tetapi saya juga akan menyarankan anda untuk membaca buku-buku, berkonsultasi dengan ahli, atau minimal melihat film documenter tentang apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa tersebut. Sehingga kita tidak menjadi katak dalam tempurung, yang hanya memiliki modal seadanya tetapi keras suaranya.
Dan lebih parah lagi, kalau dia menyalah-nyalahkan sudut pandang orang lain yang berbeda dengannya.
Oof.
Wallahu ‘Alam
Tulisan ke 300, membahas film 300. Cocok
No comments:
Post a Comment