Sumber Gambar : Karya Pribadi, Menggunakan Stronghold Crusader Scenario Editor
Tentang Kehalalan Rezeki
Tulisan yang sekali lagi bertentangan dengan apa yang saya
pelajari
Tulisan ini berawal dari sebuah percakapan di sebuah grup WA.
Cerita tentang seorang Ustadz di sebuah kota di Jawa Tengah, yang mana beliau
telah memperoleh gelar Lc,MA (setara sarjana dan magister mungkin). Beliau jelas
menjadi ustadz, mengisi kajian dan majelis ta’lim di berbagai tempat. Namun untuk
memberi nafkah keluarganya beliau memilih berjualan bakso kerikil, atau pentol bakso keliling, yang berarti bahwa
pertama, beliau tidak memungut biaya dari dakwahnya dan kedua, dengan gelar
akademis yang beliau miliki, pilihan profesi semacam ini jelas terbilang aneh.
Keanehan ini yang dapat disaksikan pada respon di grup WA
tersebut dimana beberapa orang mempertanyakan, buat apa gelar sarjana kalau
ujung-ujungnya hanya jualan pentol bakso, keliling pula. Sebagai praktisi di
sektor bisnis dan mempelajari fokus studi manajemen sumber daya manusia baik di
masa S1 atau saat ini di studi S2, pertanyaan “kenapa” jelas sebuah understatement. Dalam kepala saya terngiang dan muncul
pertanyaan “what the hell are you doing?!” dan menilik pada teori yang sudah
saya pelajari pertanyaan yang saya lontarkan ini wajar karena pengorbanan yang
ustadz tersebut tempuh dalam memperoleh gelar sarjana dan mungkin magisternya
jelas tidak sedikit.
Dalam teori manajemen sumber daya manusia, setiap individu
memiliki set of skill, kemampuan. Yang berasal dari proses pembelajaran maupun
pengalaman, hal ini lah dasar dalam menentukan mereka cocok bekerja pada posisi
dan grade apa. Seorang lulusan akuntansi, sarjana, jelas tidak bisa diposisikan
di tempat yang sama dengan lulusan teknis mesin misalkan. Set of skill nya
berbeda.
Maka melihat fenomena seorang Ustadz, pemuka agama dengan
gelar sarjana dan bahkan mungkin master, set of skill yang beliau miliki jelas
jauh diatas berjualan pentol bakso keliling dari kampung ke kampung. Modin di
KUA, penasehat syariat di perbankan syariah, set of skill yang telah beliau
miliki setidaknya sangat sangat capable untuk dapat mengisi pos-pos demikian di
perusahaan ternama. Apalagi dengan semakin deras nya tren ekonomi syariah
(diluar perbankan syariah) membuat kebutuhan akan orang-orang seperti beliau
sangat tinggi. Kalau tidak percaya, perusahaan yang saya terlibat didalmnya
saja memiliki plan untuk merekrut orang dengan kualifikasi demikian mungkin 1
atau 2 tahun lagi.
Ini adalah sudut pandang yang dilontarkan saat sebuah
fenomena, berupa sarjana yang memilih sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan
siapa saja sebagai sumber penghidupan. Maka respon seperti, apa ya tidak sedih
dosen-dosen kalau tahu anak didiknya hanya jualan pentol, menjadi mafhum dan
dapat diterima. Karena memang untuk mendapatkan penghidupan yang layak menjadi
syarat minimal kenapa orang mengambil jenjang pendidikan lebih tinggi. Tentu hal
ini diluar tri dharma perguruan tinggi. Inilah kenapa tulisan ini, bertentangan
dengan apa yang saya pelajari, it shouldn’t go that way!.
Tetapi jika kita melihat perspektif lain berupa kehalalan
rezeki, meungkin diri kita sendiri yang tersengat oleh adanya fenome semacam
ini.
Sebelum saya berbicara soal ini, saya akan meyampaikan bahwa
walaupun pekerjaan si ustadz bersahaja kalau boleh dibilang, tetapi beliau
tidak berhenti dalam menyampaikan ilmu yang sudah dipelajari. Berbagai kajian
dan majelis ta’lim sudah beliau isi. Artinya proees transfer of knowledge tetap
terjadi, dan mungkin ada orang yang akhirnya tercerahkan setelah mengikuti
kajian yang dibuat oleh si ustadz. Lalu perlu saya ingatkan disini, ustadz
tersebut tidak memungut biaya barang sepeserpun untuk ilmu pengetahuan yang
telah beliau bagikan. Artinya apa? Gelar sarjana beliau tidak mangkrak begitu
saja! Ada ratusan penerima manfaat dari ilmu beliau dan para penerima manfaat
ini memperoleh ilmu secara gratis, dan perlu saya ingatkan, ilmu ini berasal
dari individu yang qualified untuk
menyampaikannya.
Namun tidak sepeserpun beliau mengambil dari proses ini dan
jelas pertanyaan itu masih membekas bagi saya sendiri. Maksud saya, bahkan
dalam lembaga pendidikan formal tetap ada “transaksi” finansial disana loh. Inilah
saatnya kita melihat konteksi kehalalan rezeki.
Dalam pandangan ummat islam, rezeki halal nan thayib adalah
yang terbaik. Rezeki semacam ini setidaknya membantu peningkatan kualitas
ibadah, setidaknya menjamin kualitas bagi tumbuh kembang anak dan keluarga. Semakin
barokah rezeki, semakin bagus dampaknya bagi kelangsungan hidup keluarga baik
di dunia maupun di akhirat.
Lalu yang kedua, setiap usaha-usaha yang dilakukan untuk
memperoleh rezeki yang halal dan thayyib ini akan bernilai ibadah dan sangat
Allah sukai. Laki-laki itu Allah nilai dari usaha nya yang semacam ini, usaha
menafkahi diri dan keluarganya dengan rezeki yang halal dan thayyib. Tantangan memperoleh
rezeki semacam ini jelas tidak sederhana, karena jika kita masukkan konsep ini
kedalam tatanan masyarakat, segala macam tantangan itu akan terlihat terang,
seterang matahari di siang bolong.
Pertama, dalam struktur masyarakat indikator “rezeki” adalah
di faktor kuantitas, dan material. Rumah bagus, mobil keren, pundi-pundi rupiah
di bank angka “0” dibelakangnya banyak. Sangat berkaitan dengan posisi individu
di masyarakat dan bagaimana masyarakat merespon keberadaan individu tersebut.
Kedua, sebuah prinsip ekonomi sederhana bahwa ada sesuatu yang disebut “high
risk high return”, sesuatu yang memiliki resiko besar biasanya memiliki imbal
balik yang besar. Ambil contoh saja profesi tukang parkir, bedanya, yang satu
tukang parkir di pinggir jalan yang satu operator menara pengendali udara. Tupoksi
nya sama, sama-sama memastikan sesuatu bisa “parkir” dengan aman. Bedanya, yang
satu adalah kendaraan roda 2, empat, dan mungkin bus, lainnya adalah pesawat
terbang.
Tanpa perlu dijelaskan, dari analogi profesi tukang parkir
tadi sudah jelas mana yang membawa take home pay secara kuantitatif lebih
banyak. Dan jauh lebih jelas lagi, siapa yang mengorbankan sesuatu lebih banyak
untuk profesinya. Seorang tukang parkir di Solo misalkan, hanya perlu
mendaftarkan diri ke DLLAJ atau pengelola lahan parkir, mengikuti training
selama 2 atau 3 bulan di DLLAJ atau KORLANTAS terdekat untuk memperoleh lisensi
tukang parkir. Berangkat dari rumah jam 9 pagi sampai jam 4 sore, memastikan
semua kendaraan terparkir rapi, lalu pulang atau nongkrong. Hanya tuhan yang
tahu apa yang dikorbankan orang-orang di menara pengendali udara itu untuk bisa
memperoleh pekerjaannya saat ini.
Jika ditarik konteks ini, maka bisa jadi pak ustadz ini
memang memperlakukan dunia sebagai sesuatu yang sifatnya low risk. Resiko rendah.
Banyak hal-hal di dunia yang mungkin sudah tidak menarik mata beliau, inilah
kenapa akhirnya beliau menerapkan pendekatan high risk high return ini untuk
persiapan akhiratnya. Ini adalah penjelasan yang belum tentu benar, tetapi
sebagai ummat muslim, akhirat itu memang bisa diperoleh kalau kita banyak
memberi, and this is true (inilah alasan kenapa para sahabat dan shahabiyah
Nabi Muhammad SAW menjadi generasi terbaik dalam islam. Mereka memberi banyak
sekali untuk islam) dalam kasus pak ustadz ini dengan membagi gratis ilmunya
pada mereka yang membutuhkan, tanpa ambil sepeserpun. Plus sebuah usaha, agar
diri dan keluarganya bisa memperoleh rezki halal dan tahyyib yang cukup, tanpa
harus merusak investasi akhiratnya dengan cara berjualan bakso kerikil
keliling.
Sampai detik ini dan saya menulis ini, saya masih
geleng-geleng kepala. Kok bisa ada manusia semacam ini?
Karena pada umumnya kita selalu meminta sesuatu di dunia
jerih payah dari usaha kita, atau lebih gila lagi, berusaha sedikit tapi di
dunia imbal baliknya banyak. Inilah alasan kenapa bisnis model MLM dengan
struktur Phonzi Game (Skema Piramid) masih laku karena inilah insting dasar
manusia. Gimana caranya bisa punya banyak harta, sehingga bisa kemudian
ongkang-ongkang kaki. Santai. Kalau kata para investor uangnya beranak sendiri,
uangnya bekerja untuk kita.
Pandangan ini sangat wajar dan mungkin juga penulis termasuk
yang mengamini, karena bagaimanapun kalau kita bicara struktur sosial di
masyarakat, mereka yang memiliki kuasa atas harta, tahta, dan manusia merekalah
yang disembah. Merekalah yang ditinggikan oleh para manusia. Dalam kasus
beberapa motivator bernafaskan agama, diselipkan kata-kata “semoga dengan harta
kita yang banyak, kita bisa banyak infaq dan Allah meridhai kita. Setiap muslim
harus kaya!” atau sesuatu semacam ini dan ya secara logika inilah yang
seharusnya, atau inilah yang sering kita kira “seharusnya” terjadi.
Tetapi jika kita melihat, individu-individu yang memiliki
sifat wara’, sangat berhati-hati dalam bersikap terhadap dunia, mungkin tidak
ada salahnya juga kita menumbuhkan sudut pandang kedua.
Bagaimana kalau ada seorang individu yang memang sudah berada
di luar sistem yang dibangun manusia? Mereka bisa memberi tanpa harus merampas,
menjarah dan bahkan hanya memiliki. Mereka bisa hadir membawa surga di hadapan
manusia, dengan nilai-nilai ketaatan, dengan nilai-nilai kemuliaan tanpa harus
membuat orang lain gemuk dan takjub dengan megahnya sajian, pesta-pesta,
pernak-pernik dunia. Bagaimana jika ada orang-orang yang sudah jauh dari sistem
manusia, sehingga aspek kehidupannya baik kesehatan, pendidikan, dan rezeki
semua langsung ikut sistem dari Allah, sistem yang Allah SWT berikan kepada
mereka-mereka yang sudah Allah SWT ridhai karena taqwanya, karena
keshalihannya.
Mereka yang sudah jauh, jauh diatas pandangan kemewahan dunia
karena mereka bisa menemukan kenikmatan dalam sujud. Mereka yang tetap bisa
gagah berdiri di hadapan Allah karena tetap keluar mencari rezeki, dan diridhai
karena rezeki yang diperoleh jauh dari yang syubhat apalagi yang haram. Mereka yang
mencintai keluarga, mereka yang membangun keluarga yang cintanya diserahkan
sepenuhnya kepada Allah, dunia hanya sarana, dan hanya sarana. Sesuatu, yang
kekuatan pikir penulis tidak bisa terjangkau, sesuatu yang jauh dari logika dan
angka, tetapi memiliki keuntungan yang pasti belipat ganda, bahkan sampai 700
kali lipat.
Sesuatu yang mungkin wallahu ‘alam, apakah penulis sudah
miliki barang sebersit cita. Karena bagaimanapun sampai saat ini penulis masih
memiliki keinginan kuat, menjadi akademisi, memiliki buku yang terbit di
penerbit ternama, diakui masyarakat dari prestasi dan pencapaian. Yang Wallahu ‘alam
ada berapa banyak “mencari ridho Allah” yang menjadi niatan utama. Bukan sorak
sorai atau tepuk tangan khalayak, apalagi jumlah likes dan follow di Instagram.
Maka untuk menutup tulisan ini, pada masa-masa akhir
kehidupan Nabi Muhammad SAW, terdapat sebuah gawe akbar, Perang Tabuk dimana pasukan islam merengsek pertama
kali kedalam teritori Byzantium. Seorang Usman bin Affan, dengan kekayaan hartanya
memicu decak kagum para sahabat bahkan pujian dari Rasulullah karena sumbangan
nya yang besar, 1000 bahkan lebih dari 1000 hewan tunggangan beserta
perlengkapan milter untuk pasukan muslimin. Tetapi tetap tidak lupa, bahwa di
tengah hingar blngar itu terdapat seorang Hudzaifah, pergi menuju tempat
penduduk Madinah membuang biji-biji kurma, mengumpulkannya, dan dengannya dia
berkata “dengan ini aku akan berangkat ke Tabuk!”.
Jika kita belum mampu menjadi seorang Usman, semoga Allah memberi
kita kekuatan menjadi seorang Hudzaifah, tetap semangat menjawab seruan dari
Allah dengan segala yang kita miliki. Kalau kita sudah menjadi seorang Usman,
perlu diingat bahwa harta Usman tidak ditimbun menjadi mansion, mobil mewah,
dan sejenisnya. Ada porsi luar biasa besar beliau keluarkan untuk dakwah islam.
Dan paling penting, baik Usman ataupun
Hudzaifah, sama sama berangkat menuju medan laga, sama sama menjawab seruan
Allah, dengan penuh takzim ketaatan, dan bersama memberikan yang terbaik untuk
Allah dan agama-Nya.
Wallahu ‘alam
No comments:
Post a Comment