Sumber : Koleksi Pribadi Penulis |
Merangkai Cita Akhirat
Oleh : Muhammad Abdullah 'Azzam
Sebuah tulisan yang sakjane
berkontradiksi dengan apa yang saya
pelajari bertahun-tahun
Tidak ada yang salah dengan merangkai cita-cita. Jelas wong
kita hidup itu ya di dunia, kalau diberikan rahmat Allah SWT sehingga kita
masuk surga urusan sudah selesai, tinggal rehat-rehat saja. Ya bersama kita
berdoa agar perbuatan kita tidak membawa diri ke neraka Allah SWT, tidak jadi
istrahat, adanya pederitaan tiada akhir disana. Tetapi ‘ala kulli haal, segala
sesuatu memang diselesaikan di dunia, mulai dari amal sholih, hutang piutang,
dan urusan hidup sehari-hari.
Sangat bisa dipahami kalau akhirnya muncul berbagai macam
motivasi-motivasi untuk bisa memperoleh, mencapai sesuatu di dunia. Menuliskan 100
mimpi di kertas misalkan, atau mendoakan mimpi-mimpi tersebut di sholat malam,
semua ini tidak ada salahnya. Karena di dunia, dengan mimpi-mimpi itulah orang
melihat kita, dengan mimpi itulah kita dikenal orang. Akhirnya muncul
mimpi-mimpi setengah tidak waras dan diluar logika, seperti misalkan naik helicopter
ke kantor biar tidak macet, atau mungkin punya suami kayak Lee Min Hoo, atau
ingin pindah ke Jepang dan jadi artis manga (komik jepang) disana, semua absah
kita dengar, kita baca, dan sering turut kita doakan. Hal ini wajar, kenapa,
semua mimpi itu selalu bernafaskan kebaikan, kebahagiaan.
Toh apa salahnya mendoakan kebahagiaan buat orang lain karena
toh pada akhirnya, membuat orang lain bagagia juga berpahala.
Seiring berjalannya waktu, dengan usaha dan kasih sayang
Allah SWT perlahan-lahan satu demi satu mimpi mulai tercapai. 100 mimpi di
kertas mulai tercoret satu demi satu, tahajud dan sholawat mulai “menghasilkan”
dengan sayangnya Allah SWT kita diizinkan untuk menikmati berbagai nikmat dunia
yang sudah dicita-citakan. Hingga tanpa sadar waktu sudah hampir habis, usia
sudah mulai menua, hingga “tidak tahu lagi” mau mencapai apa.
Pada titik ini seringkali orang mulai melihat kebelakang,
menimbang-nimbang apa yang kurang. Iya, jawabannya sederhana, kadang orang
kurang mempersiapkan bekal apa di Akhirat nanti.
Karena sangat sederhana, sangat-sangat sederhana. Islam tidak
pernah mengajarkan, bahwa kita masuk surga karena usaha-usaha kita. Usaha-usaha
ini, ikhtiar ini adalah kebaikan untuk diri kita sendiiri agar Allah SWT
memperkenankan turunnya rahmat kepada kita. Tetapi bukan tidak mungkin diri
kita sendiri yang akhirnya merusak turunnya rahmat itu, ini belum termasuk
kalau kita menghitung khilaf dan alpa nya kita sebagai manusia, sebagai seorang
hamba.
Dalam hadits Rasulullah SAW dar Abu Hurairah RA yang
dirawayatkan oleh Imam Muslim, An-Nasa’I, Imam Ahmad dan Baihaqy, terdapat
kisah tentang Syahid, Ahli Quran dan Dermawan yang semuanya gagal masuk surga. Kegagalan
ini disebabkan bukan karena kurangnya amal, bukan karena sedikitnya
pengorbanan. Tetapi Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, semuanya karena
adanya kehausan, kehausan yang tidak pernah bisa memuaskan Anak Adam kecuali
para mukhlasin. Kehausan akan apresiasi, keharusan akan pujian, kehausan akan
perhatian, kehausan akan nilai-nilai apik dihadapan manusia.
Sungguh Ikhlas itu sangatlah berat, sungguh menjaga niat itu
adalah pekerjaan luar biasa.
Inilah sebuah fakta sederhana yang menunjukkan betapa
rapuhnya manusia, betapa rawan seorang manusia jatuh dari kemuliaan menuju
kehinaan. Kalau ditanya apa yang bisa kita sebagai mansia perbuat untuk
menangani hal ini, Subhanallah, bahkan penulis pun bisa jadi lebih hina dina
daripada pembaca sekalian.
Maka disini penulis hanya bisa menghimbau dan coba mengajak,
sejauh mana goresan-goresan mimpi itu memposisikan goal kita semua saat di
akhirat. Perlu ada sebuah pandangan yang jauh lebih dalam, alasan utama apa
yang membuat akhirnya pena tergores dan akhirnya menjadi sebuah obsesi. Inilah nyatanya
hidup karena pada intinya hidup ini untuk pulang, maka memastikan bekal pulang
lebih penting, dengan tidak menafikkan tools-tools yang bisa dipakai untuk
mempersiapkan bekal pulang.
Wallahu ‘alam namun wajar dalam kacamata manusia, lebih
nyaman beribadah di ruangan ber-AC di tengah kondisi yang pancaroba. Meskipun ada
hamba-hamba Allah SWT yang mulia, yang sejatinya mampu menikmati nikmat ibadah,
dari ibadah itu sendiri.
Inilah kenapa penulis menyebut tulisan ini kontradiktif,
karena sampai tulisan ini tayang dan njenengan baca, sudut pandang penulis masih
ruang ber-AC à bisa bikin
ibadah lebih nyaman.
Disini penulis juga berada pada posisi yang sama. Masih banyak
mimpi yang ingin penulis kejar ingin penulis capai, ingin penulis buktikan
kepada mereka yang meragukan, kepada mereka yang memandang remeh. Hingga kalau
ditanya apakah sudah ada cita akhirat didalamnya, penulis mungkin hanya bisa
terdiam, tidak mampu menjawab. Karena apalah cita akhirat jika bahkan dalam
tulisan ini penulis masih “mengkritik” para pejuang mimpi, dan bisa jadi kritik
ini tidak tulus, masih banyak dibakar oleh Hasad, oleh kebencian, oleh iri dan
dengki.
Tetapi ‘ala kulli haal, ini semua adalah salah satu usaha
dari hamba Allah SWT yang lemah dan fakir ini untuk dapat menyampaikan sesuatu,
terutama mengingatkan diri sendiri atas apa-apa yang sudah lewat, sudah Allah
SWT berikan kontan di dunia. Dengan penuh harap agar kelak Allah SWT masih
menyimpan sekian rahmatnya untuk bisa digunakan oleh penulis, keluarga penulis,
handai taulan, dan mungkin ummat islam yang tengah hidup dan berjuang di zaman
ini, atau mereka yang telah mendahului, atau para pejuag di masa mendatang.
Agar kita semua disatukan dan dibangkitkan dibawah panji dan
kalimat Laa Ilaaha Illaallah. Diberikan hak menikmati surga dalam naungan
cinta-Nya.
Sesederhana itu.
Mimpi-mimpi ini, mimpi-mimpi kita akan lebih bermakna insya
Allah, jika selalu ada Allah SWT didalamnya. Dan saat akhirnya mimpi itu
tercapai, semoga Allah SWT berkenan menghadirkan wajah dan kekuasaannya sebagai
hal pertama yang kita ingat.
Wallahu ‘Alam
Alhamdulillah, semoga bisa terus menebar manfaat kepada
pembaca-pembaca lain, yang mungkin sedang mencari inspirasi. 355.000 and still
counting insya Allah!
No comments:
Post a Comment