Mengelola Ekspektasi. Cara Hidup Waras di Zaman Edan
Muhammad Abdullah ‘Azzam, Mahasiswa Magister Manajemen UNS
Beberapa kejadian ke belakang terang membuat runyam hati dan
pikiran orang waras. Bagaimana tidak dalam hiruk pikuk penanganan pandemic Covid-19
malah muncul badai isu, dengan gong berupa pengesaha UU Omnibuslaw Cipta Kerja
oleh DPR-RI. Sebuah undang-undang penuh kontroversi, dianggap merugikan banyak
kalangan diluar kelompok pengusaha dan pemodal, dan lebih luar biasanya terbit
atas inisiasi pemerintah dibawah kepemipinan Preside RI Joko Widodo. Aksi penolakan,
bahkan berujung kericuhan antar aparat menjadi buntut, jelas,, tidak dapat
terhindarkan. Berbagai kalangan bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan
pemerintah? Apakah fungsi kerja organ pikir mereka sudah tidak beres?
Namun disini penulis justru menemukan sesuatu, cukup menarik
boleh dibilang. Sebuah pertanyaan menggelayut, meminta untuk dijawab. “Kenapa
kok rakyat, seluruh elemen masyarakat bisa bereaksi sampai sebegitunya saat
pengelola pemerintahan melakukan hal-hal tidak semestinya?”
Sebuah pertanyaan konyol memang. Apa faidahnya mempertanyakan
sesuatu sejelas sinar matahari di siang bolong? Dimana-mana tugasnya pemerintah
ya berbuat benar. Tidak merugikan dan mendiskreditkan kalangan manapun! Itu sudah
tugas mereka. Nah, pasti banyak anggapan semacam ini, karena memang pertanyaan
tersebut tidak substantive. Tidak penting sederhananya, kudune ora mbahas ngono iku, sebagaimana respon akademisi ketika
ditanya soal Omnibuslaw Cipta Kerja. Tetapi para pembaca budiman, tahukah bahwa
sejatinya, standar tinggi semacam itu terjadi, karena diri kita memang
menginginkan hal tersebut?
Ekspektasi.
Awal Mula dari Kepercayaan
Seluruh mahluk hidup jelas memiliki ekspektasi, harapan. Dimana
harapan ini menjadi energy bagi setiap mahluk untuk bergerak, memperoleh apa
mau mereka. Alasan burung mengepak sayap di pagi hari, adalah agar mereka bisa
pulang dalam keadaan kenyang, dan mungkin membawa rezeki bagi anak-anaknya,
atau menyimpan energy agar dapat terus beranak pinak. Alasan kenapa semut
bekerja keras, karena masa depan dirinya sangat ditentukan oleh eksistensi
koloninya. Setiap mahluk hidup memiliki intelegensi, itulah kenapa mereka bisa
melakukan sesuatu demi mewujudkan sesuatu, dan dalam hal ini berakhir pada
bertahan hidup dan beranak pinak.
Begitu juga dengan manusia, manusia dibekali dengan kemampuan
intelegensi lebih jika dibandingkan kebanyakan mahluk hidup. Inilah alasan
kenapa tujuan hidup manusia lebih clear, dan scenario untuk bisa mencapai
tujuan hidup tersebut lebih kompleks. Salah satu nya adalah dengan membangun
sebuah struktur sosial, dimana bisa kita saksikan, pada setiap belahan dunia,
hingga setiap rumah, manusia memiliki cara-cara tersendiri untuk menerjemahkan
dan mengambil peran dalam tatanan sosial tersebut.
Sekarang, mengapa bisa manusia percaya pada manusia lain? ini
adalah sebuah pertanyaan dasar, percaya, kenapa kita bisa percaya?. (Perry & Mankin, 2004) merangkum dari pernyataan
para ahli dan hasil penelitian sebelumnya, menyimpulkan bahwa salah satu alasan
munculnya kepercayaan adalah adanya “ekspektasi” atau “harapan” tertentu, jika
kita melakukan sesuatu, berbuat hal baik, meletakkan kepercayaan, akan ada
benefit, umpan balik dari lawan interaksi kita.
Inilah kenapa kita bersedia bertemu dokter dan membayar untuk
jasanya, karena ada harapan kesembuhan dari penyakitnya itu. inilah kenapa kita
berepot-repot berkunjung ke tempat makan, atau ke pusat belanja, karena
transaksi perdagangan disana bisa memenuhi kebutuhan kita. Begitu juga
sebaliknya, lawan interaksi kita pasti mengharao suatu balasan, meskipun
seringkali dikaitkan dengan balasan materiil, namun juga ada balasan
non-materiil diharapkan hadir dari sebuah interaksi.
Inilah kenapa saat pengelola pemerintahan bertindak sesuatu,
APAPUN, apapun, pasti aka nada umpan balik baik positif ataupun negative dari
masyarakat. Karena begitu banyak pihak, begitu banyak individu menitipkan
berbagai harapan kepada pengelola pemerintahan. Betapa tidak? Kekuatan para
pengelola pemerintahan bisa terbilang sangat, sangat luar biasa.
Power dan
Ekspektasi
Sebuah pertanyaan sederhana, ketika juara bertahan Liverpool
FC bertandang ke markas tim nyaris degradasi Aston Villa FC, muncul ekspektasi
semacam apa di kepala anda? Jelas setidaknya, skuad Jurgen Klopp setidaknya
meraih poin penuh, atau minimal hasil imbang. Tetapi pada pertemuan terakhir
skuad Liverpool FC harus takluk secara memalukan, dicukur habis 7-2 oleh Jack
Grealish c.s, memicu kegoncangan dalam dunia sepakbola, membuat fans ‘The Reds’
merana, dan membuat fans rival tertawa terbahak-bahak.
Mengapa demikian? Karena orang beranggapan, dan fans
Liverpool berharap, setidaknya Liverpool bisa menang. Maksudnya, ini Liverpool gitu loh!, dan setelah the unthinkable terjadi wajar jika
muncul reaksi yang tidak biasanya dialami tim sepakbola lain, maksudnya, di
malam itu mantan King of England
Manchester United harus takluk dengan skor memalukan, 1-6 melawan Tottenham
Hotspur, dibawah asuhan mantan pelatih United Jose Mourinho. Tetapi kenapa
orang bisa bereaksi biasa saja, dan langsung habis-habisan mencecar Liverpool.
Sederhana. Dunia sepakbola modern menganggap diatas kertas
Liverpool saat ini lebih kuat, musim lalu berhasil mengalahkan Manchester City
dalam perebuthan juara liga primer dengan selisih 20 poin lebih, juara dengan
sisa 7 laga. Sedangkan Manchester United adalah tim sepakbola, dimana mereka tidak
mampu mendatangkan pemain impiannya, memiliki pemain bertahan termahal di dunia
namun hobi blunder, dan bisa tembus peringkat 3 karena rutin gosok voucher penalty.
Maka United kalah 1-6 di kandang, orang mafhum, wajar, emang segitu doang
kualitasnya. Tapi kalau Liverpool? A Big
No.
Dari analogi di luar pembahasan ini bisa dibayangkan ketika
pemerintah menampilkan performa zonk sebagaimana Liverpool di Villa Park. Mereka
dengan rengkuh kekuasaan mencakup 260 juta lebih jiwa, lebih dari 13.000 pula,
dengan segala macam kekayaan alam di dalam, atas, langit dan perairannya, namun
terang menampilkan pertunjukkan penuh kebohongan. Aksi jalanan menyiksa rakyat
dan mempromosikan ketidakadilan. Kira-kira, sudikah rakyat hanya memprotes
dengan mendoakan di sepertiga malam? Tidak, sama sekali tidak, doa itu pasti
digaungkan, seluruh sosial media rakyat bersuara lantang dan menghujat, aksi
peretasan hingga lontaran batu kepada aparat penegak hukum seolah semuanya
memiliki alasan konkrit. Karena sebesar itu power-nya, sebesar itu
ekspektasinya, benarlah sabda Nabi Muhammad SAW, tugas terberat adalah menjadi
pemimpin,
Manajemen
Ekspektasi. Ayo Tetap Waras!
Seorang bayi baru lahir mungkin oleh orang tuanya di
cita-citakan menjadi mujahid, menjadi politikus sholih, menjadi pengusaha jujur
dan akademisi adil. Semua kesuksesan duniawi dan akhirat diharapkan orang
tuanya agar tetap terpenuhi. Namun jelas, tidak ada ceritanya orang tua begitu anaknya lahir langsung memiliki
kecerdasan seperti Habibie, keberanian seperti Jendral Besar Soedirman dan
kejujuran dan pekerti seperti Hoegeng. Ada proses panjang harus dilalui, proses
membesarkan, mendidikan dan memelihara.
Sederhananya, inilah cara agar kita tidak dihancurkan oleh
ekspektasi kita sendiri. Hancur karena ternyata kepercayaan kita tidak
dianggap, luluh lantak, akhirnya muncul rasa kecewa mengharu biru. Merusah stabilitas
akal dan alat gerak. Karena peluang-peluang ini selalu ada.
Inilah baiknya mengawali segala sesuatu dengan pemahaman
utuh. Jika muncul interaksi antar individu alangkah lebih baiknya kita kenal
dulu lawan main kita. Jika muncul reputasi antar lembaga lihat dulu reputasi
lembaga tersebut. Cari catatan wan-prestasinya, persiapkan kemungkinan terburuk
jika harus berinteraksi dengan orang atau lembaga tersebut, dengan lebih
berhati-hati, setidaknya dampak kerusakannya tidak separah jika kita tidak
bersiap.
Dengan pemahaman tadi, bisa jadi muncul juga kebijaksanaan
dalam proses interaksi sosial. Terjadi hal-hal luar biasa, jauh dari prediksi
kita. Misalkan jika kita turut membesarkan sebuah bisnis kecil, saat bisnis itu
besar entah benefit apa yang dapat kita rasakan. Dan seterusnya, inilah
mengapa, kesepahaman itu perlu.
Jika ternyata kemalangan menimpa kita, well, this is it. Mungkin
Tuhan Yang Maha Esa sedang meminta kita untuk kembali pulang, menghadapnya. Berdoa
semoga Dia memberikan solusi terbaik, berkunjung ke rumahnya agar Dia bukakan jalan-jalan
tak disangka. Kalaupun tidak ada solusi kontan di dunia ini, keyakinan akan
hari akhirat setidaknya menjadi alasan, menjadi langkah kita tetap istiqomah,
terus jalani hari hingga dipanggil pulang. Apakah hal ini mudah? Nope, tidak
ada hal paling susah selain mencoba ikhlas! Tetapi inilah, inlah indahnya
hidup, indahnya belajar.
Tapi ini tidak berlaku ke pemerintah ya. Ingat, tidak ada
kata-kata “pemerintah” disana, semua ditujukan pada interaksi keseharian kita,
agar kita masih waras, agar kita tidak langsung menjadi gila karena hal-hal
semacam itu.
Tetapi jika ini berkaitan dengan orang, yang secara sadar
kita titipkan suara kita agar dia berlaku adil. Jika ini berkaitan dengan
mereka, yang kita amanahkan kekuasaan atas negeri tercinta, Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jika ini berkaitan, dengan mereka, menikmati hidup mewah,
hidup mudah karena pajak-pajak kita.
Jika mereka berkhianat, mereka merampok, mereka
mencabik-cabik kepercayaan rakyat. Jika mereka terang menindas, memukul, dan
membunuh rakyatnya sendiri demi kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Jika mereka
tunduk kepada kekuatan asing, para bedebah yang senantiasa mengincar,
mengintai, untuk dapat merampas tanah air kita tercinta.
Maka biarkanlah urusan memaafkan dikembalikan kepada Dia Yang
Maha Pengampun. Urusan lainnya, well, rakyat juga memiliki hak untuk bertindak
kan?
No comments:
Post a Comment