Ketahanan Ekonomi Keluarga : Apa yang Covid-19 Ajarkan
Muhammad Abdullah ‘Azzam
Industrialisasi global belakangan ini semakin terasa kuat
saat negara-negara berlomba mempercepat laju industry masing-masing. Kabar baik
sejatinya, karena hal ini semakin membuka kesempatan lapangan kerja bagi
angkatan kerja baru, dimana pertambahan angakatan kerja ini tidak main-main.
Kehadiran pasar global di tangan-tangan manusia lewat percepatan perkembangan
teknologi informasi semakin membuat dunia bergairah. Inilah saatnya manusia
merasakan buah kerja kerasnya dalam sejarah ribuan tahun mereka.
Namun dengan hadirnya satu wabah, berawal dari Wuhan di
Provinsi Hubei China, gairah industry dunia berhenti serempak. Sektor
transportasi, pariwisata, hotel, dan industry produk non-esensial terkena
imbasnya. Fondasi ekonomi global dengan sendi fiscal dan moeneternya guncang,
pasar saham kompak rontok dimana-mana. Dunia tidak bisa beraktifitas
sebagaimana mestinya, bahkan ingin sekadar berjabat tangan ummat manusia ragu.
Dunia muram, semua saling memberi semangat agar kejatuhan ini tidak berlangsung
terus menerus. Disaat inilah dunia ekonomi global dengan kekuatan tidak
terbatas di sektor moneter, dipaksa melihat kepada kenyataan bahwa apapun
produk mereka, apapun tindakan mereka, tetap konsumen tahap akhir menjadi
penentu eksistensi perusahaan-perusahaan tadi.
Konsumen tahap akhir adalah salah satu bagian dari rantai
ekonomi dimana produk baik barang dan jasa digunakan dan dihabiskan. Perilaku
konsumsi ekonomis dilihat dari bagaimana konsumen jenis bertindak. Suatu produk
bisa menjadi pemimpin pasar jika mampu menggaet konsumen jenis ini, karena
sebuah produk tanpa dikonsumsi tidak akan menghasilkan apa-apa. Maka dalam
setiap model perilaku ekonomi, terutama teori permintaan dan penawaran, sektor
rumah tangga selalu menjadi pembanding bagi sektor produksi, lebih penting dari
pemerintah, bank sentral, dan lembaga keuangan lain, karena sederhananya,
interaksi antara produsen dan sektor rumah tangga saja, cukup untuk menjadi
sebuah transaksi ekonomi.
Wabah covid-19 menegaskan pentingnya sektor ini dan
bagaimanapun usaha para pengusaha baik sektor privat atau pemerintah, jika
ekonomi keluarga, ekonomi rumah tangga tumbang mereka akan turut tumbang
bersamanya. Bahasa ekonomi seperti daya beli konsumen, ketahanan pangan
keluarga, dan bahasa-bahasa lain terpaksa dicerna oleh pemerintah dan sektor
privat karena pada akhirnya bahasa inilah penentu nasib ekonomi global.
Bagaimana mungkin ekonomi diprediksi dapat terus berkembang jika mereka para
konsumen tidak diperhatikan? Sangat tidak mungkin. Roda ekonomi tidak hanya
ditentukan oleh para pemilik sumber daya produksi, para pemegang sumber daya
konsumsi juga memegang peranan sama pentingnya. Salah satu alasan indonesia
menjadi kekuatan ekonomi dunia tidak lain karena indonesia memiliki daya tawar
pada sumber daya konsumsi.
Wabah ini memberikan banyak pelajaran berharga bagaimana
kemakmuran, kesejahteraan dan minimal ketahanan ekonomi keluarga menjadi
katalis percepatan perbaikan ekonomi jika terjadi hal-hal semacam ini. Ekonomi
keluarga harus dipastikan tetap berfungsi dengan baik dengan cara menggaransi
input pendapatan didalamnya. Ketersediaan produk di pasar harus menyesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing keluarga. Terakhir ceruk pasar rumah tangga
sejatinya adalah pasar terbesar, seyogyanya menjadi perhatian seluruh pihak.
Maka sedikit aneh ketika berbagai pihak cenderung ragu-ragu dalam membangkitkan
pemegang pasar konsumsi terbesar ini, tidak perlu bicara insentif membingungkan
soal peluang bekerja dan sejenisnya, penjaminan harga bahan pokok terjangkau di
pasar banyak pihak belum mampu melakukannya. Maka kiranya, beberapa gagasan ini
bisa menjadi gambaran, sebaiknya melakukan tindakan seperti apa agar konsumen
tetap bisa melakukan konsumsi, dan keluarga tidak ikut tumbang bersamaan dengan
tumbangnya ekonomi industry.
Batas aman
pendapatan keluarga
Pemberian insentif bantuan langsung umum dipilih karena
kemudahan eksekusinya. Memberikan keluarga-keluarga dengan kriteria tertentu
sejumlah uang guna meneruskan hidup adalah solusi praktis, menjamin kehidupan
mereka dan utamanya mudah dipublikasikan serta mendatangkan citra positif bagi
pelaku. Namun amat disayangkan, bila dihadapkan dengan wabah Covid-19 solusi
parsial ini terlihat semakin parsial. Karena wabah tidak hanya memberikan
dampak luar biasa kepada rumah tangga, namun juga pihak produsen.
Selain konsumsu peran penting rumah tangga dalam proses
ekonomi adalah penyedia sumber daya baik itu modal atau sumber daya manusia.
Secara langsung kehidupan rumah tangga amat dipengaruhi oleh bagaimana industry
dapat memberikan imbal balik atas penggunaan sumber daya modal dan sumber daya
manusia milik keluarga. Namun wabah Covid-19 ini berbeda, industry non-esensial
dan industry jasa, misalkan industry mebel, barang mewah dan trasportasi tidak
bisa berfungsi sebagaimana mestinya, karena apapun produksi mereka saat ini
tidak akan dilirik oleh pasar. Jelas, karena pasar memerlukan barang dan jasa
esensial seperti pangan, peralatan medis dan jasa layanan medis.
Solusi umum agar perusahaan dapat bertahan adalah mengurangi
beban, dan selain pemasaran beban dengan kapasitas cukup besar adalah beban
gaji dan hal-hal berkaitan dengan karyawan. Ini tidak bisa disamakan dengan
rencana ekspansi karena rencana ekspansi masih bisa ditunda, jika gaji tidak
dibayarkan saat itu, maka bisa dibayangkan, munculnya kekacauan tinggal
menunggu waktu. Ditambah lagi dalam urusan ini, perusahaan memiliki wewenang
mutlak dan karyawan hanya bisa melakukan protes. Tidak hanya karyawan dan
keluarganya kehilangan sumber penghidupan, namun sangat jarang perusahaan
tertarik untuk memanggil kembali karyawan dengan status pernah dirumahkan atau
sudah di PHK. Sederhana, banyak angkatan kerja dengan umur lebih muda, dan
lebih utama memiliki struktur gaji lebih ringan dibanding dengan karyawan
senior.
Permasalah kompleks ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan
bantuan senilai 300 atau 600 ribu per bulan, karena setelah bantuan selesai
eks-karyawan ini hanya bisa menjadi pengangguran. Sebuah plafon batas maksimal
PHK harus diterapkan. Jangan pernah izinkan perusahaan melakukan PHK pada 100%
karyawan dalam kondisi wabah, kondisi wabah berbeda dengan kebangkrutan. Masih
ada peluang, apalagi melihat usaha pemerintah dunia menyiapkan stimulus ekonomi
paska wabah dengan nilai tidak sedikit. Sangat mungkin pemerintah menekan
perusahaan untuk tidak melakukan PHK massal dengan iming-iming bantuan ekonomi
tadi. Hal ini akan memudahkan semua pihak, baik pemerintah maupun LSM guna
menghadapi dampak pengangguran paska wabah karena sederhananya, sedikit
karyawan di-PHK. Selain itu masih banyak karyawan dan keluarganya memiliki
penghidupan selama wabah walapun sedikit, karena setidaknya perusahaan masih
memberikan tanggung jawabnya berupa gaji, walaupun tidak penuh.
Fokus dari solusi ini adalah menjamin ekonomi rumah tangga
saat dan pasca wabah, dengan cara menekan skema PHK massal perusahaan. Karena
pada akhirnya, menimbang stimulus ekonomi paska wabah dari pemerintah sangat
mungkin PHK massal ini menjadi modus operandi pengusaha untuk mengganti
struktur karyawan dan memotong struktur penggajian, dengan mengganti karyawan
lama dengan karyawan baru. Memang tidak se-mengerikan penimbun alat kesehatan
atau penipu saat wabah, namun menimbang dampak sosial daripada perbuatan ini,
alangkah lebih baiknya jika pihak-pihak berkuasa bisa menjamin kelangsungan
hidup rumah tangga-rumah tangga dibawahnya.
Skema
ketahanan pangan rumah tangga
Sedikit ambigu menyaksikan indonesia dimana sebagian besar
pulau didalamnya hakikatnya mudah ditanami berbagai macam tanaman pangan, namun
masih harus melakukan impor misalkan beras dan jagung. Memang ada berbagai
pulau dengan kondisi tanah khsus seperti gersangnya Nusa Tenggara atau lahan
gambut di Kalimantan, namun penulis sangat yakin sebelum beras menjadi makanan
nasional, wilayah-wilayah tadi sudah memiliki panganan pokok asli, tanaman
pangan khas daerah masing-masing. Tentu dengan beragam varian mulai dari
tanaman pangan pokok, sayur mayur hingga buah-buahan. Lantas apakah tidak
mungkin jika melalui pemerintah daerah dilakukan penyelamatan dan budidaya
tanaman pangan endemic tadi, di masing-masing rumah tangga?
Setiap rumah tangga di indonesia bahkan penghuni apartemen
dan rumah susun pasti memiliki akses terhadap tanah. Bukan kepemilikan tanah,
tapi tanah sebagai media tanam. Dengan sosialiasi penanaman tanaman pokok lokal
di rumah masing-masing, setidaknya kita bisa saksikan setiap taman-taman
komunal, taman-taman rumah tangga mampu menghasilkan tanaman pangan baik itu sayur,
buah ataupun makanan pokok pengganti nasi. Program pemerintah untuk melakukan
konsumsi makanan pengganti nasi harus kembali digalakkan karena hakikatnya
manusia indonesia, tanah indonesia memiliki kemampuan untuk memrproduksi dan
mengkonsumsi makanan tadi tanpa melakukn investasi skala besar seperti misal
penghijauan gurun Saudi Arabia atau bendungan laut Belanda.
Penggalakan program konsumsi makanan pengganti nasi,
dibarengi sosialisasi menanam tanaman pangan endemic di rumah akan membawa
manfaat ketahanan pangan nasional secara umum, serta melestarikan flora lokal
penghasil pangan, dimana keberadaan mereka semakin terancam karena manusia indonesia
lebih memilih nasi dan beras, meskipun semuanya sama-sama membuat kenyang. Warga
di kepulauan pasifik mampu bertahan hidup dengan mengkonsumsi sukun karena
hanya itu tanaman pangan endemic mereka, indonesia memiliki talas, sukun,
ketela, ubi, dan tanaman pangan lain dan kita punya ber hektar-hektar tanah
rumah tangga, dan berkubik-kubik tanah subur sebagai media tanam. Apalagi
alasan kita?
Skema seperti ini akan terasa manfaatnya saat terjadi wabah
seperti saat ini, dimana kondisi ekonomi global tidak stabil dan negara-negara
kesulitan melakukan impor produk-produk esensial. Mengapa demikian? Sederhana,
setiap negara ingin melindungi kepentingan nasionalnya. Maka suburnya tanah
indonesia, ditambah keragaman hayati ibu pertiwi adalah salah satu keunggulan
kompetitif dalam sektor ekonomi, dan sudah menjadi kewajiban kita
memanfaatkannya. Dengan melibatkan rumah tangga secara langsung, tidak hanya
kemudian turut menjamin dan memperbesar peluang bertahan hidup keluarga tadi,
namun sangat memungkinkan terwujudnya kemandirian pangan secara agregat.
Sehingga paska wabah, atau paska kondisi luar biasa semacam ini anggaran impor
bisa dialihkan untuk hal-hal lain, dan sangat mungkin swasembada dan ekspor
pangan terwujud.
Inilah jika kekuatan rumah tangga dibandingkan dengan
kekuatan produsen. Membuat rumah tangga mengambil sebagian kecil peran produsen
akan memudahkan kerja banyak kalangan dan memberikan banyak manfaat. Ini tidak
hanya berlaku saat kondisi wabah saja, namun saat kondisi lain malah
dimungkinkan memberi dampak lebih positif. Sekali lagi, dengan kondisi
indoensia, tidak ada lagi alasan negeri ini tidak swasembada pangan. Sumber
daya kita terlalu besar dan terlalu kaya, untuk dijadikan sebuah alasan
ketidakmampuan.
Aplikasi
sistem data terpadu, mengatur keseimbangan pangan lintas regional
Daya beli dijamin dengan skema meminimalkan PHK dan kemampuan
bertahan hidup diasuransikan dalam bentuk tanaman pangan di rumah tangga.
Sekarang saatnya berbicara bagaimana merombak struktur pasar regional. Masing-masing
daerah di indonesia memiliki keunggulan kompetitif, ditambah dengan keragaman
kontur tanah dan variasi iklim, ini membuat setiap wilayah memilliki kapasitas
produksi dan luaran produk masing-masing. Inilah alasan kenapa seharusnya,
indonesia lebih mampu bertahan dalam kondisi krisis, karena sangat mungkin,
dengan memanfaatkan produk dalam negeri dan mengatur skema sedemikian rupa
untuk melakukan subsidi silang antar wilayah, bukan tidak mungkin dalam kondisi
krisis rakyat indonesia di berbagai daerah tetap kenyang.
Rasa kenyang ini dapat terwujud, jika pemain besar dan
pemerintah mampu memanfaatkan data produksi tingkat regional secara maksimal.
Ya kita memang memiliki pasar ekspor dengan nilai tidak sedikit, namun tidak
ada salahnya jika sementara fokus dialihkan kepada pasar lokal, dengan
penggalakan konsumsi produk domestic oleh pasar domestic. Kegiatan ini memiliki
tujuan jangka panjang dengan dampak positif kepada pengaturan skema impor,
karena hakikatnya, impor pangan menjadi cerita lama jika setidaknya kita tahu
di daerah X memiliki keunggulan produk pangan semacam apa. Peran tengkulak
dimana harga produk domestic seringkali dihancurkan oleh mereka bisa ditekan,
karena ada data baku transparan, rujukan seluruh pemain dalam pasar produk
pangan resmi rilisan pemerintah.
Ketiadaan analisis data semacam ini sangat terasa dalam
kondisi wabah, karena bisa disaksikan, bantuan dari pemerintah pusat sekalipun
bersifat universal. Daerah lumbung padi, dengan daerah gersang sama-sama
mendapatkan beras 2.5 Kg padahal sangat mungkin melalui otonomi pemerintah
daerah diberikan bantuan dengan tingkat kesesuaian lebih baik. Akhirnya dalam
kondisi krisis semacam ini, tidak ada kata lain kecuali “utamanya kita sudah
membantu” menjadi jargon, padahal bantuan tadi jauh dari tepat sasaran.
Sebuah jurnal tahun 2017, ditulis oleh ilmuwan Jepang dengan
judul “can firms with political
connection borrow more than those without? Evidence from firm-level data in
Indonesia” dimuat dalam jurnal ekonomi asia edisi 52 menyebutkan sebuah
fakta penting. Fakta ini adalah, bahwa setiap kementrian, setiap pemangku
kepentingan di indonesia memiliki data beragam. Ditambah dengan studi kasus Harvard Business School pada tahun 2016
dengan judul “Gotong Royong : Toward
sustainable palm oil” menyebutkan, pada level peta saja, setiap pemangku
kepentingan di indonesia memiliki peta berbeda-beda.
Sangat luar biasa bagaimana dalam faktor ekonomi dan geografi
(keduanya saling berkaitan) negeri tercinta ini tidak memiliki standar data
baku. Setiap pihak dengan kuasa dan kepentingan tertentu berhak membuat data
versinya sendiri. Inilah salah satu sebab kenapa banyak bantuan untuk rumah
tangga menjadi tidak tepat sasaran, dan program-program ketahanan ekonomi
seringkali jauh dari target, karena negeri ini saja tidak tahu harus merujuk
peta-nya siapa guna memperoleh gambaran geografis dan demografis dengan
ketepatan terbaik.
Perbaikan di level data ini akan berdampak positif pada
bagaimana kita memperhatikan ekonomi rumah tangga. Tidak ada lagi ceritanya
sebuah bantuan sifatnya hanya sambil lalu, dan diperparah dengan potensi
korupsi dan kolusi saat penyalurannya. Karena pada akhirnya, data berbicara. Dengan
program bantuan tepat sasaran, pemahaman keunggulan dan kekuatan regional
paripurna, dan penentuan prioritas dengan data, tidak hanya menghidupkan pasar
domestic saja, namun secara nasional posisi ekonomi juga semakin menguat.
Mengapa? Dalam kondisi sejelek ini masih tetap ada belanja, masih tetap ada
makan, dan bahkan, masih bisa mengekspor barang-barang esensial.
Ini pelajaran dari wabah covid-19, dimana dia membeberkan
fakta bahwa fondasi ekonomi rumah tangga berhak mendapat perhatian serupa
industry. Karena dengannya industry bisa berproduksi dan memperoleh pemasukan.
Inilah mengapa setiap rumah tangga selayaknya didorong mampu memproduksi
sebagian makananannya. Karena dengannya kita bisa lestarikan panganan khas,
menjaga ketahanan pangan nasional, dan memungkinkan mengurangi impor pangan
serta mulai melakukan swasembada pangan. Dengan dorongan analisis data tepat
guna, apapun program bantuan nya nanti, apapun rencana penyelematan mereka
nanti. Kesemuanya akan memberikan dampak positif secara nasional. Tentu, jika
kita ingin melakukannya.
Karena pada akhirnya, negeri ini hidup, tumbuh dan
berkembang, karena adanya kerja-kerja rakyat.
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk tulisan lain berkaitan dengan manajemen, silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di :https://www.selasar.com/author/abdullah/
Atau kalau mampir di Kompasiana :
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment