TENGAH MALAM
Based on My True Story
Dibilang manusia, jelas saya manusia. Dibilang hewan, mungkin iya
karena fisik saya memang lebih besar dari manusia pada umumnya. Dibilang
malaikat, ya mungkin, tapi saya tidak punya sayap, dibilang setan, bisa jadi.
Soalnya saya gemar membisiki orang-orang. Ya bagaimanapun, di sudut Kota
Semarang, di hutannya, lebih tepatnya di dekat hutan jati. Apa maksudnya, saya
juga tidak tahu. Ya disitu saya lahir-lah. Lahir dengan sehat dan mantap.
Tangisan saya cukup membuat tukang parkir puskesmas terkaget-kaget.
Alhamdulillah saya terlahir di keluarga manusia. Jadi saya merasakan enaknya
lahir di puskesmas, meskipun saya juga tidak tahu bedanya lahir di puskesmas
sama di kebun. Tahulah, bayi-bayi yang dibuang itu kan biasanya dilahirkan di
kebun.
Terlahir di keluarga biasa. Ketika saya lahir abi dan umi belum
punya rumah. Ada sih, tempat bernaung, namanya gudang SMP 23 Semarang,
kecamatan Mijen. Setidaknya tidak kebasahan disana. Tapi kalau mau jujur,
sampai sekarang juga masih belum punya rumah. Betah ngontrak. Tau sendiri, Kota
Semarang per-bata harga tanah sudah hampir 30.000 rupiah. Kalah sama Jakarta
memang, tapi tetap sangat mahal. Bukan berasal dari keluarga kaya raya soalnya,
alhamdulillah masih bisa makan sehari 2-3 kali pada waktu itu. Enak sekali,
kalau boleh jujur. Karena meskipun rumah belum punya, tapi ada orang tua.
Alhamdulillah.
Ketika masa pengabdian di SMP itu habis, tentunya harus pindah.
Pindahnya di rumah nenek sepertinya, pokoknya sampai abi di wisuda alamat rumah
masih di jalan tampomas, Kaligarang, Semarang. Disana saya mulai tahu abi dan
umi bukan orang biasa. Masih ingat dulu abi jarang pulang, ngurusin DPD
katanya. Entah DPD itu apa, tapi setau saya DPD itu ada di puncak bukit, di
Ngesrep. Masa kecil dihabiskan sama umi. Itu juga tidak sering-sering amat. Umi
dulu sering pergi siang baru kembali sore. Ngaji katanya. Tapi saya senang,
waktu itu umi keceplosan. Katanya abi ikut pemilihan ketua DPD. Partai katanya.
Partai, kalau saya lihat di televisi nenek, partai itu keren. Bisa membuat
orang jadi presiden. Konon gitu katanya. Jadi saya marah dan menangis pas tahu
abi kalah sama orang. Jadi sekretaris katanya. Katanya juga sekretaris keren,
temenannya sama mesin ketik dan komputer. Saya nurut saja, dibilang begitu biar
saya tidak marah lagi. Ya, masih ingat memori ini. Pas saya pertama kali kenal
sama partai keadilan. Saya baru tahu pas tahun 1999, pas diajak ikut kampanye.
Dulu abi belum punya motor. Kemana-mana pakainya sepeda. Bahkan ke
supermarket juga boncengan ber-empat. Saya, abi, umi sama qeis, adik saya.
Ketika itu abi masih muda, kuat. Masih juga kuliah, wisudanya nanti sih. Masih
gemar buat-buat patung, ada patung bikinan abi yang dipajang di lobi fakultas
di UNNES. Entah sudah dicopot atau belum. Setelah abi wisuda, di suatu hari abi
pulang bawa motor. Saya tanya, motor siapa bi? Abi bilang, motor orang. Nak ,
kamu pakai baju putih-putih ya, sama bawa bendera ini. Bendera itu lucu. Warna
dasarnya putih, ada kotak hitam, bulan sabit emas sama garis emas juga.
Nomornya 24 kalau tidak salah. Saya baru ingat, katanya ada pemilu. Kata umi,
pemilu buat milih wakil rakyat. Dibonceng abi saya naik motor. Keliling
semarang sambil membawa bendera putih itu, dikibar-kibarkan, abi mencet-mencet
klakson. Kampanye katanya. Wah, hebat. Pas pulang sama amah-amah dan umi di
mobil, di jembatan banjir kanal barat saya melihat pemancing dapat ikan.
Subhanallah. Kata amah-amah itu. Saya juga bingung, tapi saya sadar, saya ini
bagian dari mereka. Saya, manusia kecil yang masih polos. Tapi saya tahu,
mereka orang baik.
Sejak taman kanak-kanak, saya sudah sekolah di ujung timur kota
semarang. Jaraknya sekitar 10-15 km dari rumah nenek. Sangat jauh. Dulu pas TK
saya ditemani umi dan tante saya. Saya pernah tanya, kok sekolahnya jauh sekali.
Umi bilang, tidak apa-apa, TK nya bagus kok. Nama TK itu TK-IT harapan bunda.
Tulisa IT itu yang membuat saya bingung. Baru tahu pas masuk SMP, bahwa tulisan
IT itu bermakna sangat banyak. Ketika TK saya cengeng. Nangisan. Tapi, saya
dikenal pintar. Suka menggambar. Pernah menang lomba menggambar sekota
semarang, juara 3 sih. Yang mengadakan partai yang saya ceritakan di awal.
Namanya partai keadilan kalau tidak salah. Lalu saya beranjak ke sekolah dasar.
Sekolah dasar saya sama, di SDIT harapan bunda. Saya tidak tahu
kenapa masih melanjutkan sekolah disana. Kata umi, sekolahnya bagus. Padahal
saya angkatan 3, dan gedungnya masih jadi satu sama PGPQ. Mana mungkin bagus.
Tapi saya senang sekolah disana. Di awal kelas satu saya harus opname karena
keracunan makanan. Jadi gagal rangking satu, padahal nilai saya sama seperti
anak perempuan yang rangking satu. Pas kelas satu juga saya mengalami patah
gigi. Sederhana, karena mainan bola, bola nya digani sandal di depan kelas dan
saya jatuh. Di SD saya tidak pernah jauh-jauh dari 7 besar. Rangking saya
peling jelek ya rangking 7 itu. Pas SD saya juga pindah rumah, tidak di
sampangan tapi pindah ke bulu lor, semarang utara. Daerah banjir katanya. Tapi
saya kebagian di daerah yang bebas banjir. Makannya harga tanah disana sangat
mahal.
Waktu SD kenangannya banyak. Apalagi kenangan soal namanya liqo.
Abi sering keluar malem-malem, hampir 3 kali sepekan. Ngaji katanya. Tapi pas
saya naik kelas 5 saya mulai kenal kata-kata yang namanya liqo. Liqo itu ya
ngaji itu. Pernah beberapa kali saya nimbrung. Di ruang tamu, masih ingat. Ada
ami-ami (paman) muda disana. Masih segar-segar dan jomblo. Kata abi begitu.
Mereka hebat, kuat melek sampai malem. Waktu saya kecil paling cuman ikut
sampai jam setengah sembilan. Ngantuk soalnya. Abi cerita mereka kumpul
malem-malem buat dakwah. Buat mengislamkan indonesia. begitu katanya. Jadi
setiap kali ngumpul pasti tilawah dulu, ngaji al-qur’an. Abi juga suka
langganan majalah yang aneh-aneh. Judulnya saksi sama sabili, isinya orang-orang
hebat kata abi. Mereka ada yang di jakarta, mesir, Chechnya, Palestina, Afghanistan.
Abi sama umi cerita, nama saya juga diambil dari nama mereka. Doktor Abdullah
Azzam katanya, mujahid Afghanistan. Orangnya pintar, syahid kena ledakan bom.
Saya baca biografinya, wah, saya orang keren, pikir saya. Minimal namanya
keren.
Karena nama itu saya terobsesi. Saya harus pintar, saya pernah mau
rangking satu tapi gagal. Saya harus bisa rangking satu. Waktu itu saya kelas
lima, kata orang pola pikir saya sudah bukan pola pikir anak sd lagi. Ya
gimana, saya baru kenal komik pas SD kelas 6. Sebelumnya bacaan saya ya majalah
yang dibeli sama abi. Isinya Anis Mata, Syamil Basayev. Tidak kenal saya sama
yang namanya donal bebek, apalagi naruto. Tapi saya sudah kenal Tsubasa dan
Yugi Moutou. Saya kenal dari televisi, dan saya juga suka memainkan permainan
duel monsternya. Saya paling kuat di RT. Nomer 5 dari 5 petarung. Saya juga
belajar bahasa inggris dari game kartu itu, jadi saya disayang sama guru bahasa
inggris saya kwtika SD. Beliau memuji, kamu anak SD tapi sudah seperti anak SMP
katanya. Sebelum beliau pindah saya dikasih kenang-kenangan. Tentu saja saya
rangking satu. 3 semester berturut-turut. Saya berprestasi, kata orang-orang.
Umi bilang banyak orang tua yang berkata demikian. Umi bangga? Menurut saya
tidak. Umi mengatakan kamu harus malu sama Allah, jangan sombong. Saya tidak
tahu kenapa. Tapi, semenjak saya jadi orang pintar, teman-teman menjauhi saya.
Tapi saya tidak peduli, saya pikir waktu itu, saya pintar juga karena usaha
sendiri.
Beberapa kali saya berantem waktu SD. Saya memang punya sedikit
teman, hanya 3 orang yang dekat dengan saya. Waktu itu saya benar-benar tidak
peduli, masa bodo. Tapi itulah, saya hanya menjalani kehidupan saya waktu SD
dengan penuh kebanggaan. Siapa menyangka, kalau saya tetap menjaga gaya hidup saya,
mungkin saya tidak akan mengalami konflik sedemikian rumit yang membentuk saya
yang sekarang. Mungkin ceritanya akan lain, entah makin baik atau buruk. Masa
SD saya berakhir dengan gemilang, saya murid berprestasi ke tiga, satu-satunya
laki-laki. Soalnya, yang lain perempuan semua. Inilah awal saya lepas dari
dunia kebanggaan, dunia indivdualis, menuju dunia, yang mendidik saya dengan
kelembutan yang memikat, juga membunuh.
Saya tidak pernah melihat sebuah sekolah, halaman belakangnya
adalah gunung tinggi. Dingin, memang. Bahkan ada musim tertentu yang angin
dinginnya membuat kulit bibir mengelupas, berdarah. Kulit tangan dan kaki
bersisik. Sekolah saya yang baru. Saya sudah SMP. Saya dikeluarkan dari
semarang, sejauh 325 kilometer dari kota kelahiran saya. Tidak apa-apa,
sekolahnya bagus. Iya saya bilang. Bagus. Memiliki minimarket, dapur, kamar
mandi yang banyak. Airnya juga dingin. Saya penghuni kamar pojok, tidak ada
yang saya kenal. Isinya orang asing semua. Ada batak, ada jawa, ada sunda.
Mereka itu sudah saling kenal. Saya menjadi orang aneh. Awalnya saya tidak
peduli, tapi, saya belajar dari para batak, orang Medan yang punya harga diri
tinggi.
Saya tidak punya teman ketika itu, saya sedikit terasing. Ditambah
dengan pembawaan saya waktu SD, yang tidak peduli dengan lingkungan. Satu hari,
dua hari, tiga hari, konflik. Berkelahi bahkan beberapa teman sering
mencoret-coret lemari saya dengan kata-kata yang tidak pantas. Pukulan telak
bagi saya. Puncaknya, salah satu dari para batak itu keluar dari pondok. Bia
adalah orang yang pernah menampar saya ketika saya kelas 1 SMP. Jelas bahagia,
bukannya sedih. Rasakan, kata saya. Tetapi, saya berpikir kembali waktu itu.
Saya ini manusia macam apa? Teman kesusahan malah senang-senang. Teman? Apa itu
teman? Saya biasa hidup dengan kesendirian dan kebanggaan saya. Tapi, ketika
itu saya menyadari, saya membutuhkan teman. Dunia terlalu luas untuk
kesendirian saya. Pergulatan saya yang pertama, dimenangkan dengan kalahnya ego
pribadi saya. Tetapi, karena pergulatan ini juga, jalan hidup yang saya tempuh
menjadi lain. Bahkan saya tidak menduga hal demikian.
Ketika kelas 3 saya berubah. Saya melupakan egoisme saya yang dulu.
Saya mengutamakan, teman, teman dan teman. Karena dengan mereka saya kuat,
dengan mereka saya bertahan dan hidup. Menjadi sumber jawaban ketika ujian,
menjadi tempat curhat, berbagi cerita, melindungi ketika ada teman yang kabur
dari pondok. Hingga puncaknya, teman-teman saya mulai memiliki pacar. Kelas 3
SMP, dan pacaran mereka seperti pria-wanita dewasa. Saya mendengan cerita
mereka, saya ingin mencoba. Kata saya. Saya mencoba, dan berhasil. Saya
memperoleh adik kelas saya waktu itu. Apa yang terjadi? Teman-teman angkatan
mendengarkan saya, saya selalu dimintai pertimbangan untuk berbagai macam hal,
pendapat saya senilai pendapat 25 orang, dan tentu saja, hubungan saya dengan
si dia semakin rekat. Ah, indahnya hidup.
Puncak yang saya raih pada awal kelas 2 SMA, saya sudah cukup
dewasa waktu itu. Ketika kelas satu saya menjadi salah satu jagoan angkatan, di
bagian otak tentu saja. Ahli pada pelajaran ilmu hadits, sosial, bahasa
inggris, dan fiqh. 4 mata pelajaran saya menjadi sumber rujukan. Menjadi tim
lomba sekolah dalam berbagai mata kuliah. Mulai berkecimpung dalam dunia
organisasi, dan tidak tanggung-tanggung, menjadi kepala bidang. Rangking
akademik? Peringkat 2 dan 1 pada 2 semester. Baik mata kuliah umum maupun
keagamaan. Pacar? Punya. Kenalan cewek? Melimpah ruah sampai bingung. Hingga
tuhan memberikan saya kehendaknya. Kehendak disaat saya tenga berjaya. Saya
makmur dan berpengaruh. Kehendak yang memutar kehidupan saya 180 derajat.
Kehendak yang membuat saya menjadi seperti sekarang.
Berawal ketika mata pelajaran bahasa arab saya dipanggil pimpinan
BK. Ternyata saya ketahuan berpacaran. Ah, sial, kata saya. Disidang selama 2
jam, hasilnya jari kelingking saya retak dan mental saya hancur. Prestasi yang
saya sebutkan diatas, hilang tak berbekas. Saya berjanji tidak mengulangi lagi
pak. Kata saya. Tidak, kamu tidak punya hak bersekolah lagi disini. Kamu tidak
punya hak untuk bersekolah lagi disini. Sekolah di kaki gunung itu membuang
saya. Lebih kejamnya lagi, hubungan pacaran yang saya lakukan, atas dasar suka
sama suka semuanya dilimpahkan ke saya. Kesalahan itu saya yang menanggung,
bahkan pacar saya “memiliki kesempatan untuk bersekolah lagi”. Padahal
kontribusi saya untuk sekolah di kaki gunung itu jauh lebih besar dari pacar
saya. Tapi apa dikata, saya hanya manusia biasa. Dia manusia hebat, ayahnya
hebat dan besar. Sedangkan saya? Ayah saya hebat dan besar, tapi izzah beliau
jauh lebih tinggi daripada harus mengemis pada sekolah di kaki gunung itu.
Saya mengakhiri catatan saya di sekolah itu dengan dendam. Saya
merasa diperlakukan dengan tidak adil, bahkan, ketika saya diberitahu bahwa
selama 2 semester kebelakang saya selalu eksis di peringkat 5 besar dari
seluruh siswa-siswi seangkatan, jumlahnya 500 orang, saya menggumam, apa iya
mereka melupakan prestasi itu?. Tetapi saya tidak peduli, dendam saya adalah
dendam perbaikan. Dendam saya adalah dendam kualitas. Dendam saya adalah dendam
pembuktian. Saya bersumpah begitu saya melangkah keluar dari sekolah itu, saya
akan kembali sebagai raja, minimal, kamu akan saya kalahkan di pertemuan kita
berikutnya. Itu janji saya, dan janji untuk membuktika siapa saya, siapa orang
yang kamu buang.
Ayah saya berkata, kamu sudah cukup dengan perbuatan kamu? Kalau
sudah, perbaiki diri kamu, bertanggung jawablah atas apa yang kamu lakukan.
Menangis saya mendengar ayah berkata demikian. Bukan cacian, kemarahan, apalagi
umpatan. Padahal perbuatan yang saya lakukan seperti mencoreng muka beliau
dengan limbah. Bau dan berwarna pekat. Semangat itu yang saya bawa, ketika saya
menginjakkan kaki di sudut kota budaya, kelahiran pak presiden kita. Di sekolah
yang tidak jelas apa namanya, sekolah yang kecil, tidak ada apa-apanya
dibanding sekolah di kaki gunung itu. Ini sekolah apa? Kata saya. Pasti saya
mudah masuk, kata saya juga. Hasilnya? Nilai tes masuk saya hanya 5.0, dibawah
standar minimal 7.5. karena perjuangan ayah saya, saya bisa melanjutkan
sekolah, di sekolah terasing itu. Dengan status, murid yang tidak lulus tes
masuk.
Di awal pembelajaran saya merenung, akan jadi apa saya di sekolah
ini?. Belum lagi di awal, selama pekan pertama saya diminta untuk mengenalkan
diri berkali-kali. Seperti dikerjai, bahkan kata seorang guru saya memang
sedang dikerjai. Dengan dendam masih berkecamuk, kemerahan yang memuncak, saya
terancam menjalani kehidupan remaja saya dengan kekacauan. Hingga akhirnya,
sebuah motivasi sederhana muncul. Saya selalu mengatakan, dalam cerita saya ke
orang-orang, seorang guru cantik membuat saya berubah. Betul memang guru cantik
itu menjadi salah satu katalis perubahan saya. Tetapi bukan itu. Guru cantik
itu memberikan saya “tantangan”. Tantangan bertarung dalam sebuah ujian. Dan
saya berkata, cukup saya mengecewakan orang tua saya, akan saya buktikan,
pasti. Hasilnya? Nilai 100 yang harusnya saya peroleh tidak bisa diterima oleh
guru cantik itu hanya karena dia tidak terima anak pindahan bisa menaklukan
pelajaran dia dengan nilai sempurna!. Menyusul mata pelajaran lain, akuntansi,
matematika, bahasa inggris, geografi. Semuanya nilai sempurna. Bahkan, tanpa
ditunjang nilai UTS, nilai semester saya mencapai 8.1, rendah memang. Tapi
cukup menandai siapa saya. Saya messias kata teman-teman saya. Saya tidak
peduli saya messias atau siapa. Saya hanya ingin membuktikan, inilah saya.
Tantangan dan katalis kedua muncul dari seorang guru. Guru sejarah
dengan segudang cerita. Mantan peman dan pengamen katanya. Mengajak saya, ayo
halaqah sama saya. Dibawa saya dengan sepeda motor bersama teman-teman, ke
rumah beliau. Sederhana rumahnya, suguhannya pun sederhana. Indomie tanpa
micin. Micin tidak bagus, kata beliau. Mengalirlah apa itu ukhuwah, apa itu
dakwah, apa itu pengorbanan, kepercayaan. Saya terkejut ketika guru itu
berkata, semua yang beliau sampaikan sudah saya peroleh sejak saya sekolah dulu,
sebelum saya pindah. Apa iya? Setau saya dulu tidak seperti ini. Dulu hanya ada
game online, tidak ada ukhuwah. Hanya ada chatting dan senioritas tanpa adanya
pengorbanan. Saya merasa mati rasa, apa iya hal seperti ini dulu sudah saya
peroleh?. Saya merenung, iya, sudah pernah ada yang menyampaikan hal seperti
itu, tetapi, saya memiliki dunia saya, dan saya tidak peduli terhadap semua
itu. Setelah itu saya menyadari, saya telah berada dalam komunitas yang
sebaik-baiknya komunitas. Saya berjanji, saya akan bertahan dan berjuang
disini.
Berikutnya saya berpindah murobi yang lain. Murobi yang luar biasa,
mantan orang kaya. Beliau bercerita sebenarnya beliau memiliki profesi lain
yang memberi lebih banyak benefit dibandingkan dengan guru. Tetapi, beliau memilih
surga dengan menjadi guru. Mengalirlah apa itu pengorbanan, perjuangan,
motivasi dan penanaman tujuan hakiki, tujuan Allah SWT. Saya, manusia biasa
semakin merasa kerdil. Manusia macam apa saya dulu? Membuang segapa yang
diberikan Allah bahkan menganggap hal tersebut, prestasi saya, karena jerih
payah saya sendiri. Bagaimana rendahnya tujuan saya, tujuan membahagiakan
seseorang yang menurut saya saya cintai. Saya terhenyak, ah, saya salah, saya
perlu bergerak. Saya masih tidak bisa melupakan 2 murobi saya. Orang biasa
mereka, tanpa gelar LC atau apapun yang ada kaitannya dengan timur tengah.
Dengan bahasa arab yang jauh dari baik. Pemahaman fiqh yang belum komprehensif.
Tapi, semua yang mereka berikan cukup untuk membuat saya memyadari, saya salah.
Kesalahan coba saya perbaiki. Meminimalkan ego, tanpa menjual semua
yang saya yakini. Tujuan tunggal, Allah, dengan segala jalan yang ada. Bekerja
dengan cerdas, tanpa menafikan permohonan orang lain. Akhirnya, masa-masa SMA
saya berubah, dan menuju pada akhirnya. Memperoleh 5 dari 6 penghargaan saat
wisuda SMA menjadi bukti akademik, dan bukti lain yang coba saya hadirkan,
bahwa manusia biasa ini masih ada, masih eksis. Membina 4 orang murid junior,
menghasilkan seorang ketua OSIS, ketua rohis, PHT OSIS dan penggiat musik rock
satu jari menjadi bukti yang lain. Manusia biasa ini bisa masih bisa melahirkan
orang lain yang mungkin bermanfaat. Ah, Allah memang luar biasa.
Saat ini, manusia biasa ini menatap harapan baru yang ditimpakan
kepadanya. Manusia biasa ini memasuki tahapan perguruan tinggi, di kota yang
sama dengan dia memulai lompatan jauhnya. Dihadapkan pada masalah kompleks,
dengan teman yang berbeda, mereka yang memiliki egoisme lebih ganas dibanding
teman SMA. Ah, saya tidak peduli. Saya meyakini Allah selalu memberi apa yang
dibutuhkan hambanya. Maka, saya, manusia biasa ini akan memulai langkahnya.
Melakukan lompatan yang lebih jauh, dengan masa lalu yang telah membentuk saya,
saya meyakini, ada rencana indah dari Allah untuk saya. Ketika malam semakin
pekat, pertanda fajar segera menyingsing. Saya adalah tengah malam, bukan
fajar. Tapi, saya meyakini dan berusaha, saya akan membawa fajar itu, apapun
caranya.
Hanya Allah yang Maha Tahu.
Fin.
Abudora Azzamu
Muhammad Abdullah 'Azzam
Mahasiswa S1 Manajemen FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta
No comments:
Post a Comment