Source : https://images.cdn.fourfourtwo.com/ |
Indonesia, Piala Dunia 2026
Jayalah
Garudaku!
Indonesia akan
memasuki kompetisi tertinggi kancah sepakbola, pada 2026. Entah kenapa saya
menulis demikian, tapi keyakinan inilah yang senantiasa tertancap di hati
setiap pecinta sepakbola Indonesia. Tidak peduli apakah itu tim junior, tim
pemuda atau tim senior, harapan tertinggi kami adalah pada akhirnya para
pahlawan lapangan hijau kami memperoleh hak-nya untuk bersaing di kancah dunia.
Keyakinan ini, akan senantiasa menjadi kekuatan, kekuatan terdalam yang akan dibuktikan
dalam totalitas dukungan, doa dan harapan.
Sepakbola tidak
dipungkiri lagi telah menjadi kekuatan besar dunia. Bukan berasal dari aspek
kekayaan, aspek kekuatan, semua ini berangkat dari loyalitas dan kecintaan pada
masing-masing klub sepakbola, baik itu klub nasional atau klub-klub daerah. Tetapi
membawa tim nasional menuju piala dunia? Dampak sosial, politik, ekonomi dan
budaya sama sekali tidak bisa kita prediksi. Pertanyaan bagaimana kita
mengelola dampak itu akan sia-sia belaka jika membawa diri dan tim nasional
kesana saja belum mampu.
Russia pada
2018, Qatar pada 2022, dan sebelumnya Afrika Selatan pada 2010 membawa momentum
hebat bagi masing-masing negara. Selama berbulan-bulan dunia “dihadapkan”
matanya pada negara tersebut. tentu “semua hal” akan dilihat oleh dunia, lihat
bagaimana lagu “it’s time for Africa” atau “Waving Flag” menjadi hits dari
sebuah negara “in the middle of nowhere” (jujur saya baru tahu afrika selatan
adalah negara setelah piala dunia 2010) dan benar-benar menyita perhatian
dunia. Dampak kultural? Jelas luar biasa, hingga selepas 2010 Afrika Selatan
berani mendaulat diri sebagai anggota kekuatan dunia baru, BRICS.
Maka Indonesia
harus bisa menembus piala dunia, Indonesia harus bisa menembus piala dunia. Sedikit
perih ketika bahkan talenta hebat sebagaimana Irfan Bachdim dan Evan Dimas
hanya memperoleh grade C class player, atau D class player dalam game sepakbola
terkenal dunia, baik itu PES maupun FIFA. Secara gambling hal itu menerangkan
fakta sedikit mengerikan bahwa dunia sepakbola kita, masih 11/12 dengan nilai
para pemain itu. Bahkan dalam setiap liputan spesial sepakbola, Indonesia
senantiasa dilabeli “poor quality of football”, coba bayangkan, poor! Miskin!.
Padahal kondisi
sepakbola negeri ini jauh lebih baik dari Jepang, bahkan sejak awal sudah
memiliki iklim luar biasa dalam hal sepakbola. Piala dunia dimana Hindia
Belanda bermain adalah salah satu kisah. Tapi bisa kita lihat bagaimana Jepang
pada 1989 dimana laga tim nasional saja, pemain bisa mengenali semua supporter
yang datang! Bandingkan dengan final atau semifinal Piala Tigers pada 2002,
atau hegemoni hebat Liga Djarum Indonesia. Bahkan tim-tim lokal kita rata-rata
berumur sudah sangat tua, setidaknya lebih tua dari tim-tim di J-League Jepang.
Maka perbedaan
besar antara negeri ini dengan eks-penjajah itu adalah, Samurai Biru sudah
pernah dan sering mencicipi pahit-manis kancah sepakbola tertinggi dunia. “Doha”
masih menjadi kata terlarang sebagaimana angka “7 (tujuh)” di Brazil sana bagi
supporter Jepang. Sedangkan kita? Paling mentok hanya “Malaysia”, itupun “hanya”
rasa sakit menjadi langganan runner up dalam kompetisi lokal. Kalaupun iya, hal
yang paling menyakitkan bagi kita adalah “10-0”, mungkin tidak banyak yang
ingat tapi pada 2002 dan 2014 kemarin timnas kita sempat jadi bulan-bulanan
terutama oleh tim-tim timur tengah.
Negara ini
pernah merasakan kualifikasi piala dunia? Saya agak lupa, tetapi yang jelas di
Piala Asia kita masih harus sering gigit jari. Memang tidak bijaksana jika
sebagai supporter saya berbicara sangat banyak soal kualitas sepakbola negeri
ini, tapi kita semua melihatnya! Peringkat jauh dibawah Malaysia dan Thailand,
sempat di boikot FIFA karena campur tangan pemerintah dalam sepakbola, adalah
pengalaman-pengalaman mengerikan dan catatan tidak baik. Tapi lihatlah! Perlahan-lahan
negeri ini menemukan identitasnya sebagai negara sepakbola! Mantan kontestan
piala dunia!.
Kebangkitan
liga lokal dengan Gojek Traveloka Liga 1 dan Liga 2 menunjukkan bahwa sepakbola
masih dan akan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Saya bukan
pendukung tim lokal tertentu, tapi saya masih menyukai dan merindukan PSIS pada
masa Emmanuel de Porras. Setiap hari, di seluruh tempat masyarakat merayakan
budaya sepakbolanya dengan spektakuler. Kekuatan baru dengan sistem baru muncul
dan sedikit banyak menggaransi munculnya talenta-talenta unggul sepakbola.
Kegagahan Bali
United, kesaktian PSM Makassar (Klub timur favorit saya), dan tim-tim lain,
setidaknya bisa kita lihat talenta-talenta lokal benar-benar memeperoleh tempat
menunjukkan dan menguji kebolehannya. Ditambah dengan hadirnya pemain asing
(yang belum pernah dibayangkan) seperti Michael Essien benar menjadi penanda
kebangkitan sepakbola di negeri ini. Selama kompetisi ini hidup, selama itu
pula kita masih memiliki harapan bahwa Indonesia Raya akan bersandingan dengan
God Save The Queen Timnas Inggris di piala dunia 2026.
Selain itu,
dengan segala kekurangan dan kelebihannya, proses rekonsiliasi dan reformasi
dalam tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) patut kita apresiasi. Mengobati
luka dari segala macam skandal mulai Nurdin Halid dan La Nyalla tentu bukan hal
mudah, tapi kenyataannya PSSI masih mampu berbicara banyak.
Pembenahan kualitas terutama pembinaan talenta
muda (meskipun ada wacana kontroversial tentang pembubaran Liga Santri Nasional
atau fakta bahwa timnas junior tumbuh karena kerja ikhlas orang-orang tertentu,
bukan organisasi) bisa kita lihat buktinya pada seringnya negeri ini ikut serta
dalam Danone Nations Cup, atau bagaimana timnas U-16 mampu secara mulus (meraih
kemenangan sempurna) dalam Kualifikasi Piala Asia. Selama generasi ini masih
memperoleh perlakuan sama bahkan lebih
baik lagi, masih ada peluang besar Sang Saka Merah Putih akan mengungguli
keangkuhan Hinomaru yang pernah menindas negeri ini selama 3.5 tahun.
Ditambah dengan
budaya sepakbola yang semakin membaik, mulai dihilangkannya unsur kekerasan,
atau mungkin saya sebut “unsur Romeo-Juliette” dalam sepakbola, menjadi penanda
positif terbentuknya iklim sehat sepakbola. Proses rekonsiliasi dan persatuan
supporter klub-klub lokal menjadi tanda-tanda. Perlukah kita mempertanyakan
dukungan masyarakat pada Timnas Indonesia? Tidak usah. Penuhnya Gelora Bung
Karno atau Stadion Patriot menjadi bukti tidak terbantahkan. Supporter ini
sudah dahaga bung! Dahaga akan
prestasi, pembuktian dan kejayaan sepakbola. Saya yakin, bukan saya saja yang
berharap 2026 atau 2022 atau 2018 negeri ini akan membawa gelora Sang Garuda ke
kancah internasional.
Maka,
senantiasa berikan yang terbaik sesuai kapasitas kita, senantiasa berikan yang
terbaik!. Budaya Ultras Sepakbola harus senantiasa diarahkan pada hal-hal
positif, misalkan bagaimana reaksi pecinta sepakbola atas tragedy kemanusiaan
di Rakhine adalah salah satu hal positif. Bagaimana Ultas-ultras ini mampu
senantiasa memperbaiki kualitas dukungan dan sejenisnya, juga adalah hal yang
baik. Akan lebih baik lagi jika PSSI mampu memberi jalan tengah dan solusi,
bagi potensi luar biasa supporter-supporter ini. Ingat? Supporter-lah yang
membawa suasana merinding dengan koor Indonesia Raya.
Kemudian senantiasa
fokus pada pembinaan pemain muda. Dengan mulai bergeliatnya kompetisi lokal
sangat diharapkan orang-orang muda ini bisa membawa sinar kebangkitan bagi
sepakbola nasional. Pembuktian timnas U-19 dan U-16 dengan segala
kekurangannya, menjadi kenyataan bahwa anak-anak muda ini bisa berbicara banyak
kepada dunia. Maka, dimanakah posisi strategis kita selain untuk memberikan
fasilitas kepada anak-anak ini?
Terakhir,
tuhan adalah penentu segalanya. Negeri ini adalah negeri berketuhanan dalam
lingkup agung Pancasila, maka bisa jadi, dengan semakin dekat pada tuhan, akan
semakin mendekatkan pada cita-cita Indonesia dan Piala Dunia 2018, 2022 atau
2026. Tidak ada yang tidak mungkin! Negeri ini memiliki harapan! Negeri ini
memiliki harapan.
Maka bangkitlah
Sang Garuda! 2026 menanti kita!
Hidup
Sepakbola Indonesia.
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/09/why-i-love-liverpool.html
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/09/why-i-love-liverpool.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/untuk-sepakbola-indonesia.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment