http://career.iresearchnet.com |
Dimensi,
Anteseden, dan Konsekuensi Emotional
Labor (Kerja Emosional)
Review jurnal J. Andrew Morris dan Daniel C.
Fieldman, 1996
Pendahuluan
Emosi sudah menjadi pembahasan sejak lama, namun
akhir-akhir ini ada pembahasan lebih mendalam dikalangan cendekiawan tentang
emosi organisasional. Tentu, kemunculan riset ini berdampak pada pencarian
hubungan antara emosi dengan efektifitas pekerja. Dengan tumbuhnya industry jasa,
dan ekonomi secara umum, dan berdampak pada bagaimana perusahaan bisa
memenangkan kompetisi tersebut. Fakta berbicara bahwa interaksi awal antara
perusahaan dengan pelanggan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam
persaingan ini.
Berdasarkan hasil riset, ditemukan fakta bahwa
banyak perusahaan berusaha mengendalikan tampilan dari karyawan. Tujuan nya
jelas, untuk memenuhi kebutuhan interaksi yang baik antara perusahaan (yang
diwakili karyawan) dengan konsumen. Hal kritis dan menjadi bahan penelitian
adalah bagaimana perusahaan berkeingingan untuk mengendalikan dan mengarahkan
emosi yang ditampilkan karyawan pada konsumen. Definisi kerja emosional adalah
kegiatan mengekspresikan emosi yang diinginkan secara organisasional, dalam
transaksi jasa. Inilah yang akan menjadi bahasan inti dalam artikel ini, mulai
dari pembangunan hingga konsekuensi dan implikasi dari kerja emosional.
Pembangunan Emotional Labor (Kerja Emosional)
Dalam artikel ini penulis mendefinisikan kerja
emosional sebagai usaha, perencanaan, dan pengendalian yang dibutuhkan untuk
mengekspresikan emosi yang diinginkan secara organisasional saat terjadi
transaksi interpersonal. Ada 4 hal yang mendasari definisi ini.
Pertama, adalah model emosi interaksional. Model ini
didasarkan pada kepentingan yang dijadikan pertimbangan dalam faktor sosial
dalam menentukan pengalaman dan ekspresi dari emosi. Kedua, bahkan dalam
situasi adanya singgungan antara emosi yang diinginkan individu untuk
diekspresikan dengan emosi yang diinginkan secara organisasional, tetap
diperlukan usaha untuk mengekspresikan hal tersebut.
Ketiga, berdasarkan temuan terbaru bahwa emosi yang
pada dasarnya merupakan hak personal saat ini berubah menjadi komoditas pasar.
Tetapi, bukan pada kebutuhan manajerial, pembahasan akan fokus pada ekspresi
emosi. Terakhir keempat, adanya standar yang mendikte bagaimana dan kapan emosi
harus ditampakkan. Dari asumsi mendasar ini, kami menemukan definisi dan
berikutnya kami bagi pengkajian-nya dalam 4 dimensi.
Dimensi dari Emotional Labor (Kerja Emosional)
Fokus disini adalah ada pada level
perencanaan, kontrol dan keterampilan yang diperlukan untuk menampakkan emosi
layak dalam sebuah scenario organisasional.
A.
Frekuensi dari display emosi
Merupakan bagian palin
sering dibahas dalam hal kerja emosional. Interksi antara pekerja dank lien
seringkali menjadi topik bahasan dalam bidang ini, dan bisa dikategorikan
sebagai kerja emosional. Jelas, frekuensi dari display emosi menjadi indikator
penting dalam kerja emosional.
B.
Perhatian untuk kebutuhan aturan display
Semakin adanya aturan
untuk menunjukkan ekspresi tertentu dari perusahaan, akan semakin banyak
membutuhkan energy psikologis dan usaha fisik yang diminta dari karyawan,
tentu, bertambahnya kerja emosional akan mengikuti. Aturan tersebut biasanya
berbentuk demikian :
1.
Durasi dari
display emosional
2.
Intensitas dari
display emosional
Lebih lama atau sebentar,
lebih sering atau tidak display emosional itu diterapkan secara umum senantiasa
mempengaruhi beban dari kerja emosional.
C.
Variasi dari emosi yang butuh untuk ditampakkan
Semakin beragam emosi
yang diatur untuk harus ditampakkan, semakin banyak area yang dikuasai oleh
kerja emosional. Kondisi-konidi tertentu dalam perusahaan seringkali
membutuhkan emosi yang berbeda-beda dan ini harus dilakukan oleh karyawan,
untuk memenuhi standar emosi yang diinginkan secara organisasional.
D.
Disonasi emosional
Disonasi emosional
adalah konflik yang terjadi jika emosi individu dipertentangkan dengan emosi
yang diinginkan perusahaan (Middleton, 1989). Karyawan mungkin akan mengalami
ini jika perasaan yang mereka rasakan sesungguhnya bertentangan dengan emosi
yang harus/ingin ditampilkan oleh perusahaan. Faktor inilah yang membuat aturan
dalam hal ekspresi yang diinginkan perusahaan lebih sulit diterapkan.
E.
Hubungan diantara empat dimensi kerja emosional
Diagram diatas
menunjukkan hubungan antara masing-masing dimensi yang terdapat dalam kerja
emosional. Masing-masing memiliki keterkaitan berbeda antara satu dengan yang
lain. Lambang (+), (0), atau (-) menunjukkan kemungkinan secara umum hubungan
yang terjadi antara satu dengan yang lain. Frekuensi akan memiliki hubungan
negative dengan perhatian atas aturan, namun memiliki nilai positif dalam
disonasi emosi, dan tidak berpengaruh terhadap variasi emosi.
Disimpulkan, jika
semakin sering emosi yang ditentukan perusahaan harus ditampilkan, akan
memperbesar peluang terjadinya disonasi emosi. Lain halnya dengan variasi
emosi, tidak akan berpengaruh, karena variasi emosi adalah salah satu dasar
menentukan frekuensi ditampilkannya emosi. Tentu berpengaruh negative dengan
adanya aturan, jika semakin sering harus menampilkan ekspresi tertentu, bisa
jadi perusahaan hanya cukup memberi 1 aturan mutlak saja, untuk seluruh aspek
pekerjaan si karyawan.
Anteseden dari
Kerja Emosional
Perbedaan organisasional dan jenis pekerjaan serta
perbedaan individual seringkali dikaitkan dengan perbedaan dimensi dari kerja
emosional. Sederhananya kerja emosional dalam dunia pramgari berbeda dengan
dunia ritel, dan hal-hal semacam itu. Pada bagian ini akan dibahas beberapa
proposisi tersebut, dikaitkan dengan dimensi-dimensi kerja emosional yang telah
disebutkan diatas.
A.
Anteseden dari Frekuensi Display Emosional
Beberapa anteseden dari
hal ini adalah sebagai berikut :
1.
Kegamblangan
dari aturan display
2.
Kedekatan dalam
mentoring
3.
Gender
4.
Rutinitas tugas
Dalam diagram diatas
ditemukan bahwa anteseden-anteseden ini memiliki pengaruh positif dalam
frekuensi display emosional. Misalkan kegamblangan dalam aturan, semakin jelas
aturan, akan semakin sering orang untuk mengeluarkan ekpresi yang diinginkan
organisasi. Alasan jelasnya, aturan menuntut dan orang harus memenuhi tuntutan
tersebut untuk mendapatkan yang dia inginkan, misalkan kompensasi.
B.
Anteseden dari perhatian untuk kebutuhan aturan
display
Sedangkan anteseden
dari hal ini adalah 2 hal, yaitu :
1.
Rutinitas tugas
2.
Kekuatan dari
peran penerima
Rutinitas memiliki
dampak negative, sedangkan kekuatan dari penerima memiliki dampak positif.
Semakin tugas tersebut menjadi rutinitas, orang akan mulai tidak membutuhkan
aturan, karena hal tersebut “sudah biasa” dia lakukan. Sedangkan jika penerima
dari aturan memiliki “power”, akan semakin dibutuhkan aturan untuk
mengendalikan mereka.
C.
Anteseden dari variasi display emosional
1.
Kekuatan dari
peran penerima
2.
Variasi tugas
Kekuatan dari peran
penerima memiliki pengaruh negative atas variasi. Semakin kuat posisi orang
tersebut, akan semakin “sedikit” variasi emosi yang harus dimunculkan.
Sedangkan semakin banyak tugas, akan membutuhkan semakin banyak emosi.
D.
Antesedan dari disonasi emosional
1.
Kontak
antar-muka
2.
Otonomi kerja
3.
Efektivitas
positif – emosi negative
4.
Efektivits
negative – emosi positif
Selain otonomi kerja,
semua anteseden ini memiliki pengaruh positif terhadap disonasi emosional.
Misalkan dalam kontak antar muka, semakin sering orang harus berinteraksi antar
muka, bisa jadi semakin sering dia akan mengalami disonasi emosional. Namun
dalam otonomi kerja, semakin dia memiliki hak otonomi dalam pekerjaannya, akan
semakin jarang dia mengalami disonasi emosional.
Konsekuensi dari
Kerja Emosional
Bertambahnya kebutuhan ekonomi dan meningkatnya
permintaan atas kualitas tertentu dari pasar akhirnya membuat orang menafikkan
konsekuensi dari kerja emosional. Ditemukannya penyalahgunaan narkoba dan
perilaku alkoholik menjadi salah satu dampak langsung yang bisa dirasakan
(Hochschild, 1983). Yang menyebabkan munculnya konsekuensi ini jelas
dimensi-dimensi yang mempengaruhi/memunculkan kerja emosional, terutama ketika
sudah terjadi dalam bentuk sebuah konstruksi (Wharton’s, 1993).
Maka, pada bagian ini akan digali
konsekuensi dari dimensi-dimensi diatas pada faktor psikologis dalam 2 faktor
yaitu kelelahan emosional dan kepuasan kerja.
A.
Dimensi yang berhubungan dengan kelelahan emosional
Adalah reaksi spesifik
yang berhubungan dengan stress, dan dipertimbangkan sebagai komponen penting
dalam burnout (habis terbakar)
(Maslach, 1982)
Beberapa proposisi
diatas menggambarkan bagaimana dimensi-dimensi dalam kerja emosional berpegaruh
terhadap kelelahan emosional. Keseluruhan dimensi memberikan dampak positif
dalam kelelahan emosional. Artinya, semakin sering karyawan menemukan hal-hal
tersebut, bisa jadi karyawan akan semakin sering mengalami kelelahan emosional.
Maka dalam beberapa
hal, pihak manajerial seringkali berusaha menemukan penyeimbang antara
faktor-faktor tersebut, salah satunya melalui refreshing dan job enrichment.
Kedua hal ini umum dilakukan agar karyawan tidak selalu berada dalam kondisi
dipaksa tanpa adanya manfaat jelas bagi diri mereka.
B.
Dimensi yang berhubungan dengan kepuasan kerja
Memang setiap dimensi
akan memiliki dampak tersendiri bagi kepuasan kerja. Namun, yang secara
langsung mempengaruhi kepuasan kerja adalah disonasi emosi. Semakin sering
orang mengalami disonasi emosi, akan semakin jarang dia merasakan kepuasan
kerja. Sekali lagi, bukan berarti faktor lainnya memiliki dampak tidak penting,
namun disonasi emosi menjadi faktor paling terlihat (yang bisa jadi muncul
karena adanya dimensi lainnya) dalam kepuasan kerja.
Implikasi dan
Kesimpulan
Dari pengkajian mengenai kerja emosional
ini memunculkan implikasi dan beberapa kesimpulan, diantaranya :
1.
Peneliti harus
fokus dalam mengembangkan dan memvalidasi pengkuran dari 4 komponen kerja
emosional
2.
Pengembangan
dari konsep kerja emosional yang dapat digeneralisasi tidak hanya pada peran
jasa dalam perusahaan, namun juga peran-peran lain harus ditampilkan dalam
penelitian mendatang
3.
Ekplorasi lebih
lanjut tentang konsekuensi dari kerja emosional secara umum diperlukan
4.
Kemudian
peneliti bisa menguji adanya moderator atau mediator potensial dalam hubungan
antara dimensi kerja emosional dengan faktor psikologi.
Secara umum memang ditemukan beberapa
kasus dimana kerja emosional (dalam penelitian sebelumnya) senantiasa memberikan
dampak negative kepada karyawan. Namun kami memandang, seharusnya tidak perlu
demikian, karena dengan memahami dimensi dan anteseden didalamnya, jajaran
manajerial maupun perusahaan bisa menemukan jalan yang pas bukan untuk
menghilangkan, tetapi untuk meminimalkan konsekuensi-konsekuensi dari kerja
emosional, minimal tidak semua karyawan harus merasakan dampak tersebut.
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/10/kekuatan-pasar-permintaan-dan-penawaran.html
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/10/kekuatan-pasar-permintaan-dan-penawaran.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/10/indonesia-piala-dunia-2026.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment