Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Monday, September 11, 2017

Meneladani Diri Sendiri


Sumber :
http://bersamadakwah.net/wp-content/uploads/2016/03/Bercermin-640x380.jpg


Meneladani Diri Sendiri

Refleksi tentang Sumber Daya Manusia

Ada sebuah kisah klasik tentang balada seorang kakek lusuh dengan keinginan membeli pakaian baru untuk cucunya. Cerita ini telah diterjemahkan dalam berbagai versi, tentu dengan beragam ending berbeda-beda, menyesuaikan imajinasi dan kebutuhan masing-masing pengarang. Intinya, si kakek ternyata adalah jutawan dan pada akhirnya salah seorang dari penjual itu memperoleh sebagian dari harta si kakek. Tentu, sisanya gigit jari dalam kekecewaan.

Sisi menarik dari kisah ini tentu adalah kejaiaban dari menolong orang, biasanya motivator-motivator mengambil keputusan disini. Tetapi, kacamata penulis selaku mahasiswa manajemen melihat dari hal berbeda. Betul, keutamaan menolong orang (bisa jadi) adalah intisari utama cerita ini, namun, keputusan manajerial berupa “saya akan menolong” dari si pedagang baik ini patut sepertinya untuk kita kaji lebih mendalam. Karena, keputusan semacam ini apalagi dalam kondisi demikian memerlukan pertimbangan beragam faktor (multifactor) sehingga memberikan putusan terbaik. Ditambah lagi, secara normatif hal semacam ini sulit dijawab jika hanya berlandaskan teori.

Teori dasar manajemen senantiasa meletakkan pemenuhan kebutuhan diri sendiri sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Artinya, baik itu Maslow bahkan teori X dan Y sekalipun akan meletakkan pandangan subjektif individu pada titik tumpu utama. Jika diri kita masih terancam, maka berpikirlan lebih logis bagaimana caranya agar kita aman. Meskipun dalam beberapa kajian manajemen, terutama sumber daya manusia belakangan ini telah memasukkan bahasan “manusia dan kemanusiaan” dalam salah satu core-nya, pandangan subjektif individu senantiasa memperoleh tempat tersendiri.

Sedikit kontras memang, jika kita mempertemukan subjektifitas pandangan individu, dengan objektiftas dalam menentukan kebutuhan. Objektifitas adalah sifat dasar dalam menentukan kebutuhan yang kelak akan menentukan kualitas individu secara ekonomis. Semakin objektif kita dalam mengkategorikan kebutuhan dari seabreg keinginan, akan mempermudah jalan kita sebagai individu dengan fondasi ekonomi kuat, mapan dan nyaman. Penjelasan sederhana dari semua ini adalah, putusan yang baik adalah kemampuan merubah pandangan subjektif menjadi objektif dengan mempertimbangan beragam kondisi dan arus informasi yang ada disekitar kita.

Contoh sederhanya, bisa jadi saat hujan kita sangat menginginkan berteduh sembari menyeduh the. Namun kebutuhan kita untuk bekerja, membuat anggaran memberi the dan berteduh di kafe tadi, dikorbankan untuk membeli sebuah payung. Dari cerita dan simpulan tadi, maka dalam setiap pengambilan keputusan apalagi keputusan objektif akan menimbulkan trade-off. Karena kita ‘mengorbakan’ diri kita, pandangan kita untuk memperoleh sesuatu yang ‘lebih pas’ sesuai kondisinya.

Dalam kehidupan singkat ini, tanpa sadar kita telah banyak mempelajari langsung proses-proses pengambilan keputusan, bahkan tidak sadar turut mengalaminya. Jika melihat ke ayat Al-Qur’an di surat Al-Baqarah tentang manusia sebagai khalifah, hal tersebut (mempelajari proses pengambilan keputusan) adalah niscaya dan telah digariskan Allah. Bahkan Hasan Al-Banna mendifiniskan manusia sebagai mahluk mulia yang dibebankan amanah dan diberikan hak memilih. Berbagai bukti diatas menunjukkan sejak lahir, kita telah ditakdirkan untuk mengambil keputusan-keputusan.

Kemudian mulai muncul masalah, putusan seperti apa yang baik? Setelah pertanyaan itu terjawab, apakah kita siap mengambil putusan itu? Keraguan akan muncul ketika akan mengambil putusan dengan adakah putusan lebih baik dari ini? Bahkan setelah mengambil keputusan masih ada hantu bernama ‘apakah putusan saya mampu memuaskan orang banyak? Terus dan terus.

Dalam tulisan singkat ini, tentu tidak mungkin penulis mampu memaparkan kesemua jawaban dari keraguan-keraguan diatas. Ditambah lagi dalam dunia manajemen, pengalaman individu akan memunculkan jawaban-jawaban berbeda. Kemudian dalam Manajemen, Common Sense tidak bisa dijadikan fondasi sebuah jawaban. Maka penulis akan mencoba menyajikan runutan jawaban, untuk menjawab satu dari pertanyaan diatas.

Siap atau tidak-nya kita dalam mengambil keputusan, jawaban umumnya adalah dikembalikan kepada masing-masing individu. Sedangkan jawaban lainnya ditambahi embel-embel ‘disesuaikan dengan kondisi lingkungan’. Dalam kehidupan sosial, jawaban seperti ini amat wajar kita temui, namun jujur saja, kedua jawaban ini belum bisa menyelesaikan masalah, karena masalah ini terang meletakkan aspek individu sebagai laku utama.

Maka, sebelum beranjak kepada jawaban, ada baiknya kita bicarakan soal fondasi. Terlebih dahulu, manusia diberikan hak untuk berdiri di salah satu pihak. Kebajikan dan keburukan, salah satu dari 2 hal tersebut, dan setelah memilih akan mampu terlihat refleksinya dalam putusan yang diambil. Pihak kebajikan akan berusaha memilih lebih sedikit melukai orang lain, kebajikan tentu sebaliknya. Meskipun tujuan keduanya sama, keselamatan dan kebaikan untuk diri sendiri. 

Siap atau tidak akan dikembalikan pada fondasi mana kita berdiri, artinya, jika pandangan kita merasa kita pada posisi sejalan dengan fondasi kita, maka saat itulah keputusan itu diambil. Salah satu motivasi terbesar dari orang penolong dalam kisah kakek lusuh tadi, bisa jadi didasarkan bahwa menolong orang adalah baik bagi dirinya, dan sesuai dengan apa yang dia yakini. Sedangkan pedagang lain, menjaga barang dagangannya agar bisa dijual lebih tinggi atau minimal menjaga tampilan toko mereka juga terbaik menurut mereka. Baik semua kan niatnya? Maka dari kacamata manajemen dalam hal ini tidak ada yang salah maupun benar.

Menjaga dan senantiasa memperbaiki fondasi akan menjadi jalan terbaik jika ingin menjaga konsistensi dan melatih kita mengambil keputusan. Maka proses evaluasi, proses refleksi, penambahan wawasan menjadi faktor urgent disini. Karena dalam banyak kondisi seringkali memaksa bahkan menggerogoti fondasi kita. Ada hal lucu disini, meskipun ada 2 fondasi, baik dan buruk, orang pasti akan berkata ‘saya baik’ kan? Nah terserah pembaca mau beranggapan seperti apa.
Kemudian, siap atau tidak akan ditentukan juga oleh kondisi hati kita. Dalam beberapa kasus, aslinya momentum dan hal-hal lain telah berdiri dan mendukung kita, namun kadang kita merasa kurang pantas, atau malah gagal menentukan prioritas. Penulis pernah mengalami hal ini, dan penulis masih menjadikan ini sebagai pelajaran berharga.

Pengalaman ini terjadi tepat 6 bulan lalu, saat penulis semester 7. Dengan kemampuan penulis saat itu, membagi diri dalam organisasi, Praktik Manajerial dan Skripsi sebenarnya bisa. Namun penulis membangun asumsi, bahwa masih ada waktu 6 bulan di semester 8 untuk menyelesaikan skripsi terutama dengan model penelitian yang penulis ajukan. Sehingga, di semester 7 tersebut, penulis berfokus pada praktik manajerial dan organisasi.

Manusia hanya bisa berencana kan? Semester 7 penulis mengalami kecelakaan (Alhamdulillah praktik manajerial dan organisasi sudah selesai) dan kecelakaan itu membuat penulis harus mengalami rehab medic 6 bulan, bahkan 3 bulan pertama sempat tidak bisa berdiri karena ada gangguan di sistem syaraf tulang belakang. Akhirnya rencana-rencana tersebut menguap begitu saja.
Apakah salah kita membuat rencana dan menanti momentum? Lantas apakah penulis ingin merutuk karena rencananya gagal. Jawabannya ya dan tidak, karena, dasarnya manusia suka merutuk dan suka salah namun manusia diberi kemampuan untuk belajar. Masalah bukan pada bagaimana kita mengambil momentum, tapi bagaimana proses munculnya momentum bisa kita percepat secepat-cepatnya.

Cukup sulit memang jika didefinisikan, namun dalam sebuah perang, pasti ada alasan kenapa tentara memiliki side arm dan side pocket yang menyimpan amunisi. Lebih kurang seperti itu lah, maksudnya, dalam setiap hal atau proses menuju pengambilan keputusan jangan biarkan opsi-opsi didalamnya berada dalam kondisi 0%. Sejujurnya, dalam mengambil keputusan ada banyak proses didalamnya kan? Dan biasanya kita berani mengambil keputusan karena katalis serta kapasitas kita cukup untuk melakukannya. Maka, dalam tiap opsi tersebut, jangan sampai ada yang kapasitasnya, katalisnya masih 0%.

Satu-satunya yang membuat penulis merenung sampai sekarang, penulis memilih meninggalkan skripsi dengan benar-benar meninggalkannya padahal kondisinya jelas, penulis dalam mencicil hal tersebut. Dengan bermodal 0%, akan sulit jika harus melakukan sesuatu jika ternyata ada kondisi tidak memungkinkan didepan kita. Intinya, persiapan itu harus selalu dilakukan, meskipun proses tersebut baru 0.1% sekalipun, hal itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Terakhir, segalanya memang kembali kepada keyakinan, dan tentu, dengan meyakini hal ini semoga kita lebih percaya diri dalam mengambil keputusan. Jika kita meyakini diri kita adalah yang terbaik (bukan dalam artian negative) tentu kita lebih percaya dengan diri kita kan? Maka, senantiasa yakin bahwa anda adalah orang terbaik adalah cara terbaik untuk dapat memperoleh keyakinan dalam mengambil keputusan.

Hal ini akan mudah jika terjadi proses cermin, sebagaimana dalam kisah kakek lusuh membeli baju diatas. Refleksi keyakinan kita bertemu dengan refleksi keyakinan orang lain, dan kita bisa menimbang mana yang terbaik. Tetapi masalahnya tidak selamanya refleksi itu senantiasa bisa kita dapatkan, misalkan saja, dalam kisah tersebut semua toko tutup, mungkin keputusan pedagang penolong tadi bisa jadi berubah! Trust me!

Maka, menjadikan diri sendiri sebagai teladan adalah salah satu cara terbaik untuk memberikan keyakinan seberapa baiknya diri kita. Diri kita tentu telah memiliki pengalaman, baik itu baik atau buruk. Hadirkan refleksi-refleksi itu kemudian ukur dengan kondisi kita saat akan mengambil keputusan. Maka setidaknya akan muncul rasa percaya diri jika ternyata posisi kita lebih baik dan siap. Dan akan muncul kehati-hatian, jika kita pernah melakukan kesalahan sama dahulu. Simpelnya, bawalah cermin raksasa berupa dirimu kemana mana.

Tentu tidak semua keputusan berakhir manis, apalagi jika kita bandingkan realitas dengan dongeng. Seringkali ada hal bernama proses yang membuat kita “harus menunggu” bahkan ada hasil buruk yang membuat kita tertekan bahkan depresi. Pada tahap ini, salah satu cara paling relevan, umum disarankan adalah bersabar sembari menyerahkan semuanya kepada kekuatan besar diluar kita.

Menjadi masalah, jika setelah kita gagal kita berhenti bergerak dan tidak berusaha memperbaiki hal tersebut, bahkan melarikan diri. Saya tidak akan berkata banyak, karena bisa jadi putusan itu kita nilai baik (untuk lari dan berhenti). Tetapi hei, kamu adalah teladan terbaik bagi dirimu, artinya kamu senantiasa diberikan kesempatan bangkit dan berdiri! Kenapa tidak mencoba lagi?

Wallahu ‘Alam
Malam ini ceritanya juga menyemangati diri sendiri
Surakarta, 11 September 2017

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/seperti-biasanya.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/merdeka-seperti-apa.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  



No comments:

Post a Comment