Sumber : https://www.youthmanual.com/assets/file_uploaded/blog/1485222242-wisuda.jpg |
Seperti Biasanya
Refleksi kehidupan paska kampus
bagi mahasiswa
“Setelah ini ngapain?” umum ditanyakan jika kita sudah selesai melakukan
sesuatu. Sedangkan “sekarang bagaimana?” biasanya ditanyakan saat kita tengah
melakukan sesuatu. Sedangkan “dimulai kapan” akan ditanyakan saat kita belum
melaksanakan sesuatu, umumnya rencana kita. Satu-satunya kesamaan dari ketiga
kata diatas adalah, semuanya berasa pahit.
Tidak percaya? Tanyakan saja kepada
para pejuang skripsi, tesis dan disertasi. Pertanyaan “dimulai kapan” seolah
seperti palu godam, mempertanyakan keseriusan para pejuang tadi untuk
menyelesaikan studinya. “Sekarang bagaimana” tidak ubahnya seperti tombak
berkarat, sakit menghujam tubuh yang kelelahan karena harus ina dan ini, ita
dan itu. Sedangkan “setelah ini ngapain”
diibaratkan seperti bertanya arah pada orang tersesat.
Intinya, kondisi tidak pasti dan
nyaris putus asa seperti membawa dampak buruk secara psikologis dan fisik. Alangkah
baiknya kita jaga etika kita, tentu tidak etis ketika headline surat kabar
muncul karena buruknya etika kita terhadap para pejuang ini. Pernah mendengar
istilah berbicara dengan cermin? Penulis lebih kurang sedang melakukan hal
tersebut. Besar harapan pembaca sekalian turut menjaga etika dengan penulis ya.
Pahit jika berbicara masa dimana
kita tengah berjuang pula, berusaha melakukan. Maka sering orang memilih
bercerita soal masa lalu, rencana nya di masa depan, dan masa lalu orang lain. Lebih
mudah, sepertinya, tidak membuat kelu lidah. “Sekarang bagaimana” dan “dimulai
kapan” jelas kelu jika harus saya jawab, intinya saya masih berusa melakukan
keduanya. Tetapi “setelah ini ngapain” penulis cukup banyak mendengar cerita
dari para veteran, mungkin akan dibahas ini saja ya?
Pertanyaan terbesar bagi mahasiswa
terutama strata 1 paska lulus adalah setelah lulus mereka akan seperti apa. Umum
dimulai dari tempat kerja, jodoh dan akhirnya memulai kehidupan baru sebagai
individu mandiri. Lepas dari tanggung jawab orang tua dimana diresmikan dengan
penghapusan nama dari kartu keluarga. Tetapi tidak banyak mahasiswa terutama
semester akhir (berbicara dengan cermin) yang yakin dengan langkah-langkahnya
kedepan. Segala ketidakpastian sering membuat harapan menjadi hampa bahkan
hanya berwujud utopia.
Pernah dengar istilah utopia? Dampak
dari utopia akut itu simple, check in ke sebuah rumah sakit di belakang
Universitas Sebelas Maret. Maka, wajar jika banyak mahasiswa terutama semester
akhir mulai melihat kebelakang, seringakali dengan alasan untuk merangkai dan
bersiap-siap melompat jauh kedepan. Saya tidak tahu, tapi mengingat kenangan
buruk sering menyebabkan depresi, dan depresi akut dampaknya juga sama, check
in ke rumah sakit yang sama.
Umum jika muncul berbagai
pertanyaan baik tulus maupun skeptic “selama di kampus kamu dapat apa?”
seringkali pertanyaan ini naik level dengan embel-embel “untuk berbuat sesuatu
di masyarakat”. Pertanyaan sederhananya, apakah skripsi di kampus yang mencari “mengapa
kok 1+1 hasilnya 2” bisa berbuat sesuatu di masyarakat? Silahkan pakai
logika anda. Jawabannya jelas, tidak! Orang tidak peduli kenapa 1+1=2 , mereka
hanya tahu penjumlahan bisa berguna untuk memperhitungkan dan mengembangkan asset,
nothing more. Kasus khusus kalau anda jadi akademisi.
Singkat cerita, banyak aspek yang
kita jalani sampai berdarah-darah dalam kehidupan kampus berakhir sia-sia
karena tidak semuanya, bahkan beberapa ahli menyatakan kurang dari 10% akan
dapat diaplikasikan langsung di masyarakat. Bahkan mau kita mendesain karya
ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi sepraktis apapun akan
memerlukan waktu untuk dapat mendapat pengaruh di masyarakat. Ditambah dengan
proses menuju kesana, jelas bukan hal mudah untuk menjawab pertanyaan “setelah
ini ngapain”.
Dalam sebuah film, you are my apple
in my eye, ada sebuah ungkapan “10 tahun mendatang meskipun aku tidak tahu apa
itu ‘log’ hidupku akan baik-baik saja”. Benar, dalam kehidupan masyarakat
logaritma tidak akan digunakan untuk mengundi arisan. Akhirnya muncul
pertanyaan lebih parah lagi dalam diri para perenung ini “buat apa saya kuliah?”
tahu? Pertanyaan terakhir ini seperti tiket instan check in ke hotel dibelakang
kampus UNS.
Akhirnya muncul beragam anggapan
dan stigma tidak tepat tentang masyarakat. Tempat dimana akhirnya hanya
kontribusilah yang dipertanyakan dan seringkali kita belum bisa menemukan
jawaban kontribusi apa yang bisa kita berikan bagi masyarakat. Akhirnya banyak
yang tenggelam paska kampus, entah menghilang kemana, entah jadi apa, suara dan
kegarangannya tidak lagi terdengar sebagaimana di kampus.
Tentu spesies mahasiswa yang
penulis sebutkan adalah mantan singa-singa kampus, para aktifis. Orang-orang
ini di kampus laksana raja, aksi-aksi dilakukan bahkan menganggu pengendara
lain. Berteriak menyebut negara antah berantah dimana anak kecil umur 3 tahun
akan susah menyebutnya. Berteriak soal kesetaraan hak, kesejahteraan dan
konsekuensi kekuasaan dari mimbar-mimbar aksi jalanan. Akhirnya teriakan garang
mereka dibalas lebih garang lagi oleh masyarakat dengan pertanyaan lebih
panjang “apakah kuliahmu dan aksi-aksimu serta aktifitas mu di kampus
mendatangkan manfaat bagi kehidupan paska kampus mu?” dan bagi yang bernasib
kurang beruntung (harus masuk injury time) sering ditambah kalimat nyelekit “selain
kamu molor kuliahnya?”.
Sebagai manusia di posisi sama,
jujur penulis agak tertohok dengan pertanyaan diatas, dan mungkin akan
kesulitan menjawab. Tetapi itulah konsekuensi atas pilihan, sebagaimana penulis
memilih ber-arung jeram ria untuk kemudian mengalami kecelakaan dan tidak bisa
jalan 3 bulan. Diterima, mungkin itu solusinya, bersabar, itu caranya. Tetapi,
sesuatu yang tidak pernah usai dari diri manusia adalah semangat untuk
membuktikan, dan itulah sebaik-baik cara para singa-singa kampus kembali mengaum
di mimbar masyarakat.
Pertama, fakta menunjukkan
bapak-bapak yang sering tayang di televise rata-rata memang mantan aktifis
kampus. Bapak Presiden Joko Widodo adalah mantan aktifis pecinta alam, bukti
itu menunjukkan bahwa aktifis sangat bisa mengaum sangat garang di podium. Jika
tidak cukup beliau, silahkan sebutkan nama mentereng di parlemen atau cabinet,
sebagian besar mereka adalah mantan pahlawan episode reformasi baik 1960 atau
1998. Bahkan Bapak BJ Habibie yang notabene ilmuwan adalah mantan ketua PPI
dengan visi ambisius membentuk industry dirgantara di Indonesia.
Lantas kenapa para aktifis ragu
dengan semua kesempatan itu? Bener, baru hari ini penulis menyaksikan keraguan
itu menggelayut. Bahkan perlahan penulis mulai ambil langkah mundur untuk
melakukan segala macam evaluasi aneh-aneh tadi. Syukur penulis masih dijaga
dari depresi berkepanjangan, jadi tidak perlu check in, namun fakta bahwa semua
keraguan itu nyata. Sebagaimana sinar matahari, betul-betul nyata.
Kemudian muncul pertanyaan, kenapa?
Ditambah dengan bukti empiric bahwa banyak aktifis yang tenggelam dalam jurang
drop out atau akhirnya kehilangan peran di masyarakat, “kenapa?” barusan
membesar seukuran Paus Biru. Saya tidak tahu, jujur, tetapi saya meyakini satu
hal bahwa kehidupan memerlukan proses.
Tentu pernah diingat kembali alur,
bagaimana saya atau aktifis diluar sana menduduki posisi sekarang di kampus. Menjadi
leader baik di level fakultas, universitas bahkan nasional. Saya yakin, cukup
sedikit orang menempuh jalan hidup seperti Akashi Seijuro, menjadi
kapten/leader sejak tahun pertama. Hampir semua memulai proses dari bawah,
menjadi staff atau apapun itu. Bahkan saya yakin Akashi sekalipun harus
membuktikan diri dulu lewat tes awal sebelum masuk ke SMA Rakuzan (detailnya
lihat saja Kuroko no Basuke season 3).
Menjadi staff selama tahun-tahun
pertama, menjadi pupuk bawang dimana urusan negosiasi belum dipegang. Masih dikejar-kejar
oleh kakak kelas lewat SMS atau Chat mesra untuk menghadiri rapat. Belum merasakan
memecahkan masalah kelembagaan, karena kita masih menjadi bagian dari masalah
itu. Indah bukan? Ingatlah kembali masa itu niscaya anda akan memahami sesuatu.
Bahwa pada dasarnya, karir baik
kurikuler maupun non kurikuler kita di kampus selalu adalah awal dari apa yang
sudah kita selesaikan pada masa SMA. Maka, kesimpulan sederhananya, kehidupan
di masyarakat senantiasa menjadi awal selepas kita menyelesaikan kehidupan di
kampus. Awal, artinya kita kembali pada posisi staff, posisi dimana orang
melihat kita, menunggu kita, tentu untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas
kita dalam menyelesaikan urusan kemasyarakatan.
Seperti itu gambarannya dan saya
yakin tidak lebih dari itu. Mau siapapun orang tua anda, saat anda masuk ke
masyarakat orang tetap akan melihat kapasitas anda. Mungkin aka nada privilege di
awal-awal, sebagai turunan elite misalkan, namun ketika nyatanya anda gagal,
segera ada pergantian pemain dan bisa jadi para pengganti anda adalah
orang-orang yang kurang beruntung dalam hidupnya. Kuliah adalah sebuah
keberuntungan you know.
Lantas, proses demikian jelas sudah
kita lakukan berulangkali di kampus, apalagi oleh para kolektor jaket. Tetapi kenapa
menjalankannya kembali di masyarakat seolah adalah hal sulit bahkan mustahil?. Jujur
penulis berulang kali ditanya, ditertawakan dan diberikan saran oleh
orang-orang dengan kondisi mapan di masyarakat. Termasuk oleh beberapa pemberi
beasiswa tentu saja, dimana mereka memberi saran dengan senyum aneh, haha.
Saran pertama adalah “para pemenang
adalah para peserta lomba”. Sebagaimana kata Dr. Zakir Naik, selama kamu tidak
mendaftar di suatu universitas, sebagus apapun nilai ujianmu universitas tidak
akan peduli. Jelas ini bukti nyata, bahwa kehadiran dan tahunya masyarakat akan
keberadaan diri kita adalah keniscayaan yang tidak dapat diganggu gugat. Bagaimana
masyarakat mau tahu dirimu sedangkan kamu sibuk entah dimana, jauh dari masyarakat?
Penulis pernah punya pengalaman
pahit, berantem dengan tetangga. Lebih para lagi orang tersebut adalah
stakeholder penting di kampung tersebut, dan disebabkan karena alasan sepele. Tetangga
penulis tidak sengaja menabrak motor saya dengan mobilnya, beliau meminta maaf
dan saya tidak peduli. Perbuatan seperti itu, jelas, bukan tindakan terpuji
seberapa kesalnya saya. Dan tidak mengetahui siapa yang saya ajak ribut adalah
kegagalan besar dalam menggali informasi (kalau saya tahu mungkin saya akan
bersikap manis).
Sederhana mengapa kesalahan seperti
itu bisa saya lakukan. Jelas saya tidak pernah ikut rapat RT apalagi takmir
(tidak ada yang mengundang) dan penulis lebih banyak “menghilang” dari
masyarakat. Maka wajar hal buruk itu terjadi. Maka, hadirilah forum-forum di
masyarakat kalau bisa diprioritaskan. Kecuali kalau memang kantor mu atau
amanah dakwah mu atau apapun itu menjadi tempatmu dan keluargamu tidur. Jangan sekali-kai
mengulang kesalahan penulis, itu konyol.
Saran kedua pastinya “hidup ini
adalah proses”. Ilustrasi kehidupan menjadi staff adalah gambaran sederhana
tentang proses. Perbedaan besarnya adalah di kampus kita bisa memperkirakan
proses dan alur proses tersebut, hanya memerlukan sedikit rasa ingin tahu dan
insting otak atik gathuk. Sedangkan di masyarakat proses ini bisa jauh lebih
panjang, dan dengan hasil tidak menentu.
Misalkan dalam 14 tahun bapak saya
aktif di masjid kampung, menjadi apapun itu, baru saat ini, setelah 14 tahun Allah
mengamanahkan beliau menjadi ketua takmir. Perlu waktu 14 tahun, “hanya” untuk
menjadi ketua takmir di masjid level kampung! Di kampus mungkin kita sudah mati
karena berulangkali menjadi presiden BEM. Jelas bedanya?
Interval waktu panjang tadi pada
akhirnya membutuhkan sikap, sikap dasar untuk lebih menghargai dan bersabar
dalam menjalani proses. Dan jelas itu yang tidak ada di kampus, di kampus
adanya vini, vidi, vici, hell padahal orang yang bilang begitu jadi kaisar
setelah melakukan ini dan itu (baca biografi Julius Caesar untuk detailnya). Sederhananya,
ketika di kampus kita menjadi staff mungkin hanya kisaran 1 atau 2 semester, di
masyarakat bisa jadi seumur hidup kita hanya menjadi “staff’!.
Bukan hal menyenangkan tentunya,
bagi orang-orang dengan mobilitas dan idealism tinggi, apalagi saban pelatihan
diisi dengan “idealism” dan “kondisi ideal”, Ngga nyambung bro! tipe aktifis, setelah ada
pemarparan masalah selalu muncul “apa solusinya?” dan ini ditanyakan sambil ndangak dan memadang remeh pembicara
(berbicara dengan cermin). Maka, inilah solusi paling tidak memuaskan dalam
kacamata idealisme anda.
Seperti biasa, jalani seperti biasanya. Tuh mulai ada orang-orang
yang kezel, biar, memang kenyataannya seperti itu. Jadilah seperti biasanya, aikawarazu,
just act normal, kita sudah pernah menjadi staff, jadilah staff yang baik,
bersabar dan jalani itu selama bertahun-tahun. Kita sudah pernah mengirim CV
dan formulir serta datang berkali-kali sebagai peserta rapat. Ulangi lagi
dengan membawa bingkisan, hadir pada rapat RT atau RW, lakukan berkali-kali dan
usahakan menjadi prioritas. Lakukan dengan penghayatan dan kesabaran selama
beberapa waktu, karena hanya itu pilihannya.
Jadilah seperti biasa, bukan lagi
singa di podium jalanan, selepas masuk ke masyarakat dengan keluarga muda kita,
jelas predikat pupuk bawang yang kita sandang. Mungkin bisa jadi kita kembali
dilibatkan di karang taruna (jika ada) atau pengajar ngaji (kalau bisa). Toh kita
pernah melakukan itu semua kan? Lantas lebih mudah logikanya jika kita
mengulanginya lagi (kecuali yang memang absen melulu dari ngajar TPA).
Seperti biasanya, itu, kembali
menjalani dan menghargai proses, karena memang solusinya seperti itu, mau
apalagi coba?. Terus buat apa kamu susah-susah menjadi aktifis di kampus? Kamu dapat
apa selain molor kuliah. Hei cantik, hei ganteng, apa kamu tidak yakin kalau
teman-teman mu tidak akan menjadi seseorang kedepan nanti? Pengalaman mengelola
konflik, mengorganisir suatu acara, benegosiasi (maaf) apa bisa didapatkan
setara dengan orang-orang lulusan sekolah dasar?. Manusia remeh macam kita di
usia 20-an tahun sudah memoderatori bapak mantan ketua Mahkamah Konstitusi, apa
ada sekolah dasar yang anak SD-nya duduk bersebelahan dengan bapak mantan ketua
Mahkamah Konstitusi? No!.
Bahkan pengalaman berharga itu
tidak semua mahasiswa mengalaminya! Mungkin hanya para aktifis yang memiliki
kesempatan lebih besar untuk memperoleh pengalaman demikian. Selain itu sejarah
membuktikan bahwa rezim penguasa di Indonesia senantiasa diisi kalangan
intelektual baik dari sipil maupun militer. Ada suatu masa Indonesia obral
murah dan saya sarankan baca sejarah Indonesia lebih komprehensif agar tidak
perlu saya jelaskan disini. Intinya begitulah.
Jadilah seperti biasa, itu saja.
相変わらず (aikawarazu)
Wallahu ‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk membaca artikel versi selasar.com, silahkan kunjungi pranalan dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/37783/Seperti-Biasanya
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/merdeka-seperti-apa.html
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/merdeka-seperti-apa.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment