Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Wednesday, August 23, 2017

Seperti Biasanya


Sumber : https://www.youthmanual.com/assets/file_uploaded/blog/1485222242-wisuda.jpg


Seperti Biasanya

Refleksi kehidupan paska kampus bagi mahasiswa

“Setelah ini ngapain?” umum ditanyakan jika kita sudah selesai melakukan sesuatu. Sedangkan “sekarang bagaimana?” biasanya ditanyakan saat kita tengah melakukan sesuatu. Sedangkan “dimulai kapan” akan ditanyakan saat kita belum melaksanakan sesuatu, umumnya rencana kita. Satu-satunya kesamaan dari ketiga kata diatas adalah, semuanya berasa pahit.

Tidak percaya? Tanyakan saja kepada para pejuang skripsi, tesis dan disertasi. Pertanyaan “dimulai kapan” seolah seperti palu godam, mempertanyakan keseriusan para pejuang tadi untuk menyelesaikan studinya. “Sekarang bagaimana” tidak ubahnya seperti tombak berkarat, sakit menghujam tubuh yang kelelahan karena harus ina dan ini, ita dan itu. Sedangkan “setelah ini ngapain” diibaratkan seperti bertanya arah pada orang tersesat.

Intinya, kondisi tidak pasti dan nyaris putus asa seperti membawa dampak buruk secara psikologis dan fisik. Alangkah baiknya kita jaga etika kita, tentu tidak etis ketika headline surat kabar muncul karena buruknya etika kita terhadap para pejuang ini. Pernah mendengar istilah berbicara dengan cermin? Penulis lebih kurang sedang melakukan hal tersebut. Besar harapan pembaca sekalian turut menjaga etika dengan penulis ya.

Pahit jika berbicara masa dimana kita tengah berjuang pula, berusaha melakukan. Maka sering orang memilih bercerita soal masa lalu, rencana nya di masa depan, dan masa lalu orang lain. Lebih mudah, sepertinya, tidak membuat kelu lidah. “Sekarang bagaimana” dan “dimulai kapan” jelas kelu jika harus saya jawab, intinya saya masih berusa melakukan keduanya. Tetapi “setelah ini ngapain” penulis cukup banyak mendengar cerita dari para veteran, mungkin akan dibahas ini saja ya?

Pertanyaan terbesar bagi mahasiswa terutama strata 1 paska lulus adalah setelah lulus mereka akan seperti apa. Umum dimulai dari tempat kerja, jodoh dan akhirnya memulai kehidupan baru sebagai individu mandiri. Lepas dari tanggung jawab orang tua dimana diresmikan dengan penghapusan nama dari kartu keluarga. Tetapi tidak banyak mahasiswa terutama semester akhir (berbicara dengan cermin) yang yakin dengan langkah-langkahnya kedepan. Segala ketidakpastian sering membuat harapan menjadi hampa bahkan hanya berwujud utopia. 

Pernah dengar istilah utopia? Dampak dari utopia akut itu simple, check in ke sebuah rumah sakit di belakang Universitas Sebelas Maret. Maka, wajar jika banyak mahasiswa terutama semester akhir mulai melihat kebelakang, seringakali dengan alasan untuk merangkai dan bersiap-siap melompat jauh kedepan. Saya tidak tahu, tapi mengingat kenangan buruk sering menyebabkan depresi, dan depresi akut dampaknya juga sama, check in ke rumah sakit yang sama.

Umum jika muncul berbagai pertanyaan baik tulus maupun skeptic “selama di kampus kamu dapat apa?” seringkali pertanyaan ini naik level dengan embel-embel “untuk berbuat sesuatu di masyarakat”. Pertanyaan sederhananya, apakah skripsi di kampus yang mencari “mengapa kok 1­+1 hasilnya 2” bisa berbuat sesuatu di masyarakat? Silahkan pakai logika anda. Jawabannya jelas, tidak! Orang tidak peduli kenapa 1+1=2 , mereka hanya tahu penjumlahan bisa berguna untuk memperhitungkan dan mengembangkan asset, nothing more. Kasus khusus kalau anda jadi akademisi.

Singkat cerita, banyak aspek yang kita jalani sampai berdarah-darah dalam kehidupan kampus berakhir sia-sia karena tidak semuanya, bahkan beberapa ahli menyatakan kurang dari 10% akan dapat diaplikasikan langsung di masyarakat. Bahkan mau kita mendesain karya ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi sepraktis apapun akan memerlukan waktu untuk dapat mendapat pengaruh di masyarakat. Ditambah dengan proses menuju kesana, jelas bukan hal mudah untuk menjawab pertanyaan “setelah ini ngapain”.

Dalam sebuah film, you are my apple in my eye, ada sebuah ungkapan “10 tahun mendatang meskipun aku tidak tahu apa itu ‘log’ hidupku akan baik-baik saja”. Benar, dalam kehidupan masyarakat logaritma tidak akan digunakan untuk mengundi arisan. Akhirnya muncul pertanyaan lebih parah lagi dalam diri para perenung ini “buat apa saya kuliah?” tahu? Pertanyaan terakhir ini seperti tiket instan check in ke hotel dibelakang kampus UNS. 

Akhirnya muncul beragam anggapan dan stigma tidak tepat tentang masyarakat. Tempat dimana akhirnya hanya kontribusilah yang dipertanyakan dan seringkali kita belum bisa menemukan jawaban kontribusi apa yang bisa kita berikan bagi masyarakat. Akhirnya banyak yang tenggelam paska kampus, entah menghilang kemana, entah jadi apa, suara dan kegarangannya tidak lagi terdengar sebagaimana di kampus.

Tentu spesies mahasiswa yang penulis sebutkan adalah mantan singa-singa kampus, para aktifis. Orang-orang ini di kampus laksana raja, aksi-aksi dilakukan bahkan menganggu pengendara lain. Berteriak menyebut negara antah berantah dimana anak kecil umur 3 tahun akan susah menyebutnya. Berteriak soal kesetaraan hak, kesejahteraan dan konsekuensi kekuasaan dari mimbar-mimbar aksi jalanan. Akhirnya teriakan garang mereka dibalas lebih garang lagi oleh masyarakat dengan pertanyaan lebih panjang “apakah kuliahmu dan aksi-aksimu serta aktifitas mu di kampus mendatangkan manfaat bagi kehidupan paska kampus mu?” dan bagi yang bernasib kurang beruntung (harus masuk injury time) sering ditambah kalimat nyelekit “selain kamu molor kuliahnya?”.

Sebagai manusia di posisi sama, jujur penulis agak tertohok dengan pertanyaan diatas, dan mungkin akan kesulitan menjawab. Tetapi itulah konsekuensi atas pilihan, sebagaimana penulis memilih ber-arung jeram ria untuk kemudian mengalami kecelakaan dan tidak bisa jalan 3 bulan. Diterima, mungkin itu solusinya, bersabar, itu caranya. Tetapi, sesuatu yang tidak pernah usai dari diri manusia adalah semangat untuk membuktikan, dan itulah sebaik-baik cara para singa-singa kampus kembali mengaum di mimbar masyarakat.

Pertama, fakta menunjukkan bapak-bapak yang sering tayang di televise rata-rata memang mantan aktifis kampus. Bapak Presiden Joko Widodo adalah mantan aktifis pecinta alam, bukti itu menunjukkan bahwa aktifis sangat bisa mengaum sangat garang di podium. Jika tidak cukup beliau, silahkan sebutkan nama mentereng di parlemen atau cabinet, sebagian besar mereka adalah mantan pahlawan episode reformasi baik 1960 atau 1998. Bahkan Bapak BJ Habibie yang notabene ilmuwan adalah mantan ketua PPI dengan visi ambisius membentuk industry dirgantara di Indonesia.

Lantas kenapa para aktifis ragu dengan semua kesempatan itu? Bener, baru hari ini penulis menyaksikan keraguan itu menggelayut. Bahkan perlahan penulis mulai ambil langkah mundur untuk melakukan segala macam evaluasi aneh-aneh tadi. Syukur penulis masih dijaga dari depresi berkepanjangan, jadi tidak perlu check in, namun fakta bahwa semua keraguan itu nyata. Sebagaimana sinar matahari, betul-betul nyata.

Kemudian muncul pertanyaan, kenapa? Ditambah dengan bukti empiric bahwa banyak aktifis yang tenggelam dalam jurang drop out atau akhirnya kehilangan peran di masyarakat, “kenapa?” barusan membesar seukuran Paus Biru. Saya tidak tahu, jujur, tetapi saya meyakini satu hal bahwa kehidupan memerlukan proses.

Tentu pernah diingat kembali alur, bagaimana saya atau aktifis diluar sana menduduki posisi sekarang di kampus. Menjadi leader baik di level fakultas, universitas bahkan nasional. Saya yakin, cukup sedikit orang menempuh jalan hidup seperti Akashi Seijuro, menjadi kapten/leader sejak tahun pertama. Hampir semua memulai proses dari bawah, menjadi staff atau apapun itu. Bahkan saya yakin Akashi sekalipun harus membuktikan diri dulu lewat tes awal sebelum masuk ke SMA Rakuzan (detailnya lihat saja Kuroko no Basuke season 3).

Menjadi staff selama tahun-tahun pertama, menjadi pupuk bawang dimana urusan negosiasi belum dipegang. Masih dikejar-kejar oleh kakak kelas lewat SMS atau Chat mesra untuk menghadiri rapat. Belum merasakan memecahkan masalah kelembagaan, karena kita masih menjadi bagian dari masalah itu. Indah bukan? Ingatlah kembali masa itu niscaya anda akan memahami sesuatu.

Bahwa pada dasarnya, karir baik kurikuler maupun non kurikuler kita di kampus selalu adalah awal dari apa yang sudah kita selesaikan pada masa SMA. Maka, kesimpulan sederhananya, kehidupan di masyarakat senantiasa menjadi awal selepas kita menyelesaikan kehidupan di kampus. Awal, artinya kita kembali pada posisi staff, posisi dimana orang melihat kita, menunggu kita, tentu untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas kita dalam menyelesaikan urusan kemasyarakatan.

Seperti itu gambarannya dan saya yakin tidak lebih dari itu. Mau siapapun orang tua anda, saat anda masuk ke masyarakat orang tetap akan melihat kapasitas anda. Mungkin aka nada privilege di awal-awal, sebagai turunan elite misalkan, namun ketika nyatanya anda gagal, segera ada pergantian pemain dan bisa jadi para pengganti anda adalah orang-orang yang kurang beruntung dalam hidupnya. Kuliah adalah sebuah keberuntungan you know.

Lantas, proses demikian jelas sudah kita lakukan berulangkali di kampus, apalagi oleh para kolektor jaket. Tetapi kenapa menjalankannya kembali di masyarakat seolah adalah hal sulit bahkan mustahil?. Jujur penulis berulang kali ditanya, ditertawakan dan diberikan saran oleh orang-orang dengan kondisi mapan di masyarakat. Termasuk oleh beberapa pemberi beasiswa tentu saja, dimana mereka memberi saran dengan senyum aneh, haha.

Saran pertama adalah “para pemenang adalah para peserta lomba”. Sebagaimana kata Dr. Zakir Naik, selama kamu tidak mendaftar di suatu universitas, sebagus apapun nilai ujianmu universitas tidak akan peduli. Jelas ini bukti nyata, bahwa kehadiran dan tahunya masyarakat akan keberadaan diri kita adalah keniscayaan yang tidak dapat diganggu gugat. Bagaimana masyarakat mau tahu dirimu sedangkan kamu sibuk entah dimana, jauh dari masyarakat?

Penulis pernah punya pengalaman pahit, berantem dengan tetangga. Lebih para lagi orang tersebut adalah stakeholder penting di kampung tersebut, dan disebabkan karena alasan sepele. Tetangga penulis tidak sengaja menabrak motor saya dengan mobilnya, beliau meminta maaf dan saya tidak peduli. Perbuatan seperti itu, jelas, bukan tindakan terpuji seberapa kesalnya saya. Dan tidak mengetahui siapa yang saya ajak ribut adalah kegagalan besar dalam menggali informasi (kalau saya tahu mungkin saya akan bersikap manis).
Sederhana mengapa kesalahan seperti itu bisa saya lakukan. Jelas saya tidak pernah ikut rapat RT apalagi takmir (tidak ada yang mengundang) dan penulis lebih banyak “menghilang” dari masyarakat. Maka wajar hal buruk itu terjadi. Maka, hadirilah forum-forum di masyarakat kalau bisa diprioritaskan. Kecuali kalau memang kantor mu atau amanah dakwah mu atau apapun itu menjadi tempatmu dan keluargamu tidur. Jangan sekali-kai mengulang kesalahan penulis, itu konyol.

Saran kedua pastinya “hidup ini adalah proses”. Ilustrasi kehidupan menjadi staff adalah gambaran sederhana tentang proses. Perbedaan besarnya adalah di kampus kita bisa memperkirakan proses dan alur proses tersebut, hanya memerlukan sedikit rasa ingin tahu dan insting otak atik gathuk. Sedangkan di masyarakat proses ini bisa jauh lebih panjang, dan dengan hasil tidak menentu.

Misalkan dalam 14 tahun bapak saya aktif di masjid kampung, menjadi apapun itu, baru saat ini, setelah 14 tahun Allah mengamanahkan beliau menjadi ketua takmir. Perlu waktu 14 tahun, “hanya” untuk menjadi ketua takmir di masjid level kampung! Di kampus mungkin kita sudah mati karena berulangkali menjadi presiden BEM. Jelas bedanya?

Interval waktu panjang tadi pada akhirnya membutuhkan sikap, sikap dasar untuk lebih menghargai dan bersabar dalam menjalani proses. Dan jelas itu yang tidak ada di kampus, di kampus adanya vini, vidi, vici, hell padahal orang yang bilang begitu jadi kaisar setelah melakukan ini dan itu (baca biografi Julius Caesar untuk detailnya). Sederhananya, ketika di kampus kita menjadi staff mungkin hanya kisaran 1 atau 2 semester, di masyarakat bisa jadi seumur hidup kita hanya menjadi “staff’!. 

Bukan hal menyenangkan tentunya, bagi orang-orang dengan mobilitas dan idealism tinggi, apalagi saban pelatihan diisi dengan “idealism” dan “kondisi ideal”,  Ngga nyambung bro! tipe aktifis, setelah ada pemarparan masalah selalu muncul “apa solusinya?” dan ini ditanyakan sambil ndangak dan memadang remeh pembicara (berbicara dengan cermin). Maka, inilah solusi paling tidak memuaskan dalam kacamata idealisme anda.

Seperti biasa, jalani seperti biasanya. Tuh mulai ada orang-orang yang kezel, biar, memang kenyataannya seperti itu. Jadilah seperti biasanya, aikawarazu, just act normal, kita sudah pernah menjadi staff, jadilah staff yang baik, bersabar dan jalani itu selama bertahun-tahun. Kita sudah pernah mengirim CV dan formulir serta datang berkali-kali sebagai peserta rapat. Ulangi lagi dengan membawa bingkisan, hadir pada rapat RT atau RW, lakukan berkali-kali dan usahakan menjadi prioritas. Lakukan dengan penghayatan dan kesabaran selama beberapa waktu, karena hanya itu pilihannya.

Jadilah seperti biasa, bukan lagi singa di podium jalanan, selepas masuk ke masyarakat dengan keluarga muda kita, jelas predikat pupuk bawang yang kita sandang. Mungkin bisa jadi kita kembali dilibatkan di karang taruna (jika ada) atau pengajar ngaji (kalau bisa). Toh kita pernah melakukan itu semua kan? Lantas lebih mudah logikanya jika kita mengulanginya lagi (kecuali yang memang absen melulu dari ngajar TPA). 

Seperti biasanya, itu, kembali menjalani dan menghargai proses, karena memang solusinya seperti itu, mau apalagi coba?. Terus buat apa kamu susah-susah menjadi aktifis di kampus? Kamu dapat apa selain molor kuliah. Hei cantik, hei ganteng, apa kamu tidak yakin kalau teman-teman mu tidak akan menjadi seseorang kedepan nanti? Pengalaman mengelola konflik, mengorganisir suatu acara, benegosiasi (maaf) apa bisa didapatkan setara dengan orang-orang lulusan sekolah dasar?. Manusia remeh macam kita di usia 20-an tahun sudah memoderatori bapak mantan ketua Mahkamah Konstitusi, apa ada sekolah dasar yang anak SD-nya duduk bersebelahan dengan bapak mantan ketua Mahkamah Konstitusi? No!.

Bahkan pengalaman berharga itu tidak semua mahasiswa mengalaminya! Mungkin hanya para aktifis yang memiliki kesempatan lebih besar untuk memperoleh pengalaman demikian. Selain itu sejarah membuktikan bahwa rezim penguasa di Indonesia senantiasa diisi kalangan intelektual baik dari sipil maupun militer. Ada suatu masa Indonesia obral murah dan saya sarankan baca sejarah Indonesia lebih komprehensif agar tidak perlu saya jelaskan disini. Intinya begitulah.

Jadilah seperti biasa, itu saja.

相変わらず (aikawarazu)

Wallahu ‘Alam

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
 
Untuk membaca artikel versi selasar.com, silahkan kunjungi pranalan dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  

No comments:

Post a Comment