Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Monday, November 9, 2015

Mahasiswa yang Berani dan Dirindukan



“Mahasiswa yang Berani dan Dirindukan’’

Opini oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam, 

Cawapres nomor urut 1 Pemira UNS

“kepada pada mahasiswa, yang merindukan kejayaan, kepada rakyat yang kebingungan, di persimpangan jalan” –Mars Mahasiswa

Mungkin tidak menjadi hal yang menarik jika membicarakan mahasiswa, sudah banyak kritikus, budayawan, politikus bahkan sesama mahasiswa yang mengkritik mahasiswa sendiri, baik secara individu, atau lembaga mahasiswa itu sendiri. Maka akan timbul pertanyaan, kenapa mahasiswa seolah menjadi sasaran banyak orang, baik untuk dipuji, disalahkan bahkan dihina? Dan saya mendapat jawaban selepas pertama kalinya berpartisipasi dalam sebuah pranata kehidupan kampus yang erat kaitannya dengan citra mahasiswa, yaitu pemira. Saya bukan mahasiswa yang berkutat dengan politik kampus yang konon “teduh seperti ukhti-ukhti” atau “tidak selayaknya diperhatikan mahasiswa”, tetapi bagaimanapun, hal inilah yang menjadi pranata kehidupan kampus dalam hal perebutan kekuasaan di dalam internal kampus.

Selepas pemira, pemilu raya mahasiswa, dan mengalami benturan-benturan di dalamnya, ada sebuah potret yang bisa saya gali dan saya coba mengerti tentang mengapa, mahasiswa senatiasa menjadi sasaran dalam berbagai macam hal. Dan jawaban sementara dari hal tersebut adalah mahasiswa merupakan bagian dari lingkungan sosial yang dirindukan, dan dicitrakan sebagai sosok yang berani. Dua hal inilah yang menjadi jawaban sementara saya mengapa mahasiswa senantiasa menjadi sasaran baik itu kritik, cercaan atau pujian. Mengapa hal ini yang saya simpulkan? Ada beberapa alasan dan akan saya bahas berdasarkan masing-masing jawaban.

Mahasiswa berani

Berani merupakan sebuah kata yang mudah diucapkan oleh orang-orang, bahkan semenjak kecil seorang ayah atau ibu akan senantiasa mendorong anak-nya, terutama laki-laki untuk menjadi berani. Lantas, berani itu apa? Mungkin di kamus-kamus telah ada pembahasan mendetail, namun dalam hal ini, saya akan menganalogikan berani sebagaimana seekor hewan pengangkut beban. Masing-maisng hewan pengangkut yang dikenal sejarah manusia memiliki kemampuan mengangkut beban yang berbeda, dan, kemampuan terbesar dimiliki spesies keledai yang dari proporsi berat beban yang dapat diangkut lebih besar dan lebih umum digunakan oleh kebudayaan manusia. Inilah keberanian yang saya maksud, dan ini yang menurut saya menjadi sorotan publik kepada mahasiswa.

Mahasiswa bukan entitas terbesar dalam masyarakat, bahkan jumlah total mahasiswa hanya sebesar 10% dari keseluruhan siswa jenjang pendidikan yang ada di Indonesia. Tetapi, entitas masyarakat ini seolah menjadi “solusi kunci semua masalah” di “semua belahan dunia”. Seringkali motivator-aktivis mengatakan hal legendaris seperti “reformasi 98 karena mahasiswa”, “tahun 66 merupakan awal kebangkitan mahasiswa”, atau “arab spring merupakan hasil pergerakan mahasiswa”, bahkan “di tangan mahasiswa-lah masa depan ditentukan”. Boi, mengapa entitas sekecil itu memiliki tanggung jawab dan peran sedemikian besar bahkan telah menjadi stigma publik? Bahkan, oke, sekelompok buruh di sebuah kota yang tidak memiliki universitas mengalami PHK, mahasiswa seluruh indonesia yang disalahkan.

Ternyata, jawabannya sederhana, publik menuntut dan menganggap mahasiswa dengan analogi keledai. Jumlah kecil dan kemampuan menanggung beban besar serta seharusnya “bisa dinikmati” oleh publik secara umum. Namun, ada sebuah catatan disini, dari populasi kecil itu, hanya beberapa orang yang mau “menjadi keledai” dan menyadari perannya, sedangkan sebagian besar memilih acuh, atau bahkan menjadi barisan orang yang “melecehkan” sebagian yang lain, ironi!. Bukankah semuanya sama-sama memiliki gelar mahasiswa? Dan saya sama sekali tidak mempermasalahkan tindak lacur yang dilakukan golongan itu, toh pada dasarnya publik sudah menganggap mahasiswa sebagai entitas keledai-intelek (keledai yang bisa mikir), yang saya pertanyakan, status mahasiswa-mu itu dipakai untuk apa?.

Sebuah pertanyaan akan semakin menggantung ketika dipersoalkan tentang kontribusi, kedekatan dengan masyarakat, eksistensi peran, dan hal-hal lain yang esensial dalam kehidupan sosial. Apakah “kesederhanaan” dengan duduk di rerumputan atau di barisan belakang, membentuk forum sendiri, tetapi jauh dari “masyarakat” disebut “kederhanaan”? hanya orang gila yang mengatakan itu sederhana, lebih tepatnya, spesies demikian lebih mirip orang suci dan super eksklusif, tetapi, dengan sebuha pengeras suara besar di dekat moncong mereka. Bandingkan, dengan anak muda yang tengah malam mengatur kursi, tergopoh mengatur pengeras suara, dan was-was ketika pengeras suara tersebut hidup mati, atau anak kecil yang terbangun 24 jam karena harus memastikan pranata mahasiswa yang bernama pemira berjalan dengan baik. Mereka adalah orang  baik, para hewan pengangkut beban yang menjalankan fungsinya.

Lantas, apakah harus malu dengan analogi ini? tidak, ini adalah analogi publik, dan ini yang dirindukan oleh publik.

Dirindukan

Setiap saya bermain ke area masjid kampus, warung atau pasar, beberapa menyapa dan bertanya, “mas kuliah dimana?”, ya meskipun beberapa anak muda sudah memanggil saya om atau bapak sebenarnya. Yang saya maksudkan, meskipun bukan merupakan hal yang patut dibanggakan, keberadaan manusia ditengah masyarakat masih dirindukan dan dibutuhkan. Anak muda enerjik yang pandai berbicara, memiliki inisiatif, hadir untuk memberikan solusi, dan berkorban menjadi gambaran umum publik mengenai mahasiswa. Bahkan, kalau bisa, BBM naik mahasiswa yang “diminta” menurunkan, ya, tak ubahnya seperti keledai, hewan beban yang “bisa diandalkan”.

Lantas, apa jadinya jika spesies mahasiswa dipenuhi “orang inklusif” yang “menjauh dari masyarakatnya”, dan “sibuk berteriak-teriak” mengomentari kebaikan atau kesalahan orang lain tanpa solusi? Mungkin ini lebih tepat disebut “hil yang mustahla” wong juru selesai masalahnya menghindar dari masyarakat masalah mau selesai pakai apa? Pakai moncong? Bisa sih, tapi nanti jadi monyong.

Maka, bukan sebuah pertanyaan ketika masyarakat meminta banyak hal dari mahasiswa yang miskin, karena, itulah nilai menjadi sebuah harapan. Dan, UNS telah memilih sebuah harapan baru, yang didambakan lebih baik dari sebelumnya, dan berada dalam diri pasangan nomor urut 2, Doni dan Wildan. Doa saya senantiasa menyertai, jawablah harapan dari para mahasiswa terutama FKIP yang telah mendukung anda berdua dengan dukungan yang “sangat besar”, serta penuhi harapan mahasiswa lain di sembilan fakultas dengan pembuktian, bahwa mereka “salah pilih”. Laksanakan Visi dan Misi, wujudkan integrasi, jadilah mahasiswa inklusif yang “tidak jauh dari rakyat”. Meksipun nama lembaganya BEM yang katanya memiliki kepanjangan “badan eksklusif mahasiswa”, toh masalah UKT juga masih dalam urusan BEM. Tuhan menyertai anda berdua, dan saya ingin mengucapkan selamat, atas kemenangannya. Mahasiswa adalah hewan pengangkut beban yang dinantikan oleh masyarakat. Hidup Mahasiswa!.


Muhammad Abdullah ‘Azzam
Pasangan NUSA, Cawapres dari Partai Asmara

No comments:

Post a Comment