“Mahasiswa yang Berani dan Dirindukan’’
Opini oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam,
Cawapres nomor urut 1 Pemira UNS
“kepada pada mahasiswa, yang merindukan kejayaan, kepada
rakyat yang kebingungan, di persimpangan jalan” –Mars Mahasiswa
Mungkin tidak menjadi hal yang menarik jika membicarakan
mahasiswa, sudah banyak kritikus, budayawan, politikus bahkan sesama mahasiswa
yang mengkritik mahasiswa sendiri, baik secara individu, atau lembaga mahasiswa
itu sendiri. Maka akan timbul pertanyaan, kenapa mahasiswa seolah menjadi
sasaran banyak orang, baik untuk dipuji, disalahkan bahkan dihina? Dan saya
mendapat jawaban selepas pertama kalinya berpartisipasi dalam sebuah pranata
kehidupan kampus yang erat kaitannya dengan citra mahasiswa, yaitu pemira. Saya
bukan mahasiswa yang berkutat dengan politik kampus yang konon “teduh seperti ukhti-ukhti”
atau “tidak selayaknya diperhatikan mahasiswa”, tetapi bagaimanapun, hal inilah
yang menjadi pranata kehidupan kampus dalam hal perebutan kekuasaan di dalam
internal kampus.
Selepas pemira, pemilu raya mahasiswa, dan mengalami
benturan-benturan di dalamnya, ada sebuah potret yang bisa saya gali dan saya
coba mengerti tentang mengapa, mahasiswa senatiasa menjadi sasaran dalam
berbagai macam hal. Dan jawaban sementara dari hal tersebut adalah mahasiswa
merupakan bagian dari lingkungan sosial yang dirindukan, dan dicitrakan sebagai
sosok yang berani. Dua hal inilah yang menjadi jawaban sementara saya mengapa
mahasiswa senantiasa menjadi sasaran baik itu kritik, cercaan atau pujian. Mengapa
hal ini yang saya simpulkan? Ada beberapa alasan dan akan saya bahas
berdasarkan masing-masing jawaban.
Mahasiswa berani
Berani merupakan sebuah kata yang mudah diucapkan oleh
orang-orang, bahkan semenjak kecil seorang ayah atau ibu akan senantiasa
mendorong anak-nya, terutama laki-laki untuk menjadi berani. Lantas, berani itu
apa? Mungkin di kamus-kamus telah ada pembahasan mendetail, namun dalam hal
ini, saya akan menganalogikan berani sebagaimana seekor hewan pengangkut beban.
Masing-maisng hewan pengangkut yang dikenal sejarah manusia memiliki kemampuan
mengangkut beban yang berbeda, dan, kemampuan terbesar dimiliki spesies keledai
yang dari proporsi berat beban yang dapat diangkut lebih besar dan lebih umum
digunakan oleh kebudayaan manusia. Inilah keberanian yang saya maksud, dan ini
yang menurut saya menjadi sorotan publik kepada mahasiswa.
Mahasiswa bukan entitas terbesar dalam masyarakat, bahkan
jumlah total mahasiswa hanya sebesar 10% dari keseluruhan siswa jenjang
pendidikan yang ada di Indonesia. Tetapi, entitas masyarakat ini seolah menjadi
“solusi kunci semua masalah” di “semua belahan dunia”. Seringkali motivator-aktivis
mengatakan hal legendaris seperti “reformasi 98 karena mahasiswa”, “tahun 66
merupakan awal kebangkitan mahasiswa”, atau “arab spring merupakan hasil
pergerakan mahasiswa”, bahkan “di tangan mahasiswa-lah masa depan ditentukan”. Boi,
mengapa entitas sekecil itu memiliki tanggung jawab dan peran sedemikian besar
bahkan telah menjadi stigma publik? Bahkan, oke, sekelompok buruh di sebuah
kota yang tidak memiliki universitas mengalami PHK, mahasiswa seluruh indonesia
yang disalahkan.
Ternyata, jawabannya sederhana, publik menuntut dan
menganggap mahasiswa dengan analogi keledai. Jumlah kecil dan kemampuan
menanggung beban besar serta seharusnya “bisa dinikmati” oleh publik secara
umum. Namun, ada sebuah catatan disini, dari populasi kecil itu, hanya beberapa
orang yang mau “menjadi keledai” dan menyadari perannya, sedangkan sebagian
besar memilih acuh, atau bahkan menjadi barisan orang yang “melecehkan”
sebagian yang lain, ironi!. Bukankah semuanya sama-sama memiliki gelar
mahasiswa? Dan saya sama sekali tidak mempermasalahkan tindak lacur yang
dilakukan golongan itu, toh pada dasarnya publik sudah menganggap mahasiswa
sebagai entitas keledai-intelek (keledai yang bisa mikir), yang saya
pertanyakan, status mahasiswa-mu itu dipakai untuk apa?.
Sebuah pertanyaan akan semakin menggantung ketika
dipersoalkan tentang kontribusi, kedekatan dengan masyarakat, eksistensi peran,
dan hal-hal lain yang esensial dalam kehidupan sosial. Apakah “kesederhanaan”
dengan duduk di rerumputan atau di barisan belakang, membentuk forum sendiri,
tetapi jauh dari “masyarakat” disebut “kederhanaan”? hanya orang gila yang
mengatakan itu sederhana, lebih tepatnya, spesies demikian lebih mirip orang
suci dan super eksklusif, tetapi, dengan sebuha pengeras suara besar di dekat
moncong mereka. Bandingkan, dengan anak muda yang tengah malam mengatur kursi,
tergopoh mengatur pengeras suara, dan was-was ketika pengeras suara tersebut
hidup mati, atau anak kecil yang terbangun 24 jam karena harus memastikan
pranata mahasiswa yang bernama pemira berjalan dengan baik. Mereka adalah
orang baik, para hewan pengangkut beban
yang menjalankan fungsinya.
Lantas, apakah harus malu dengan analogi ini? tidak, ini
adalah analogi publik, dan ini yang dirindukan oleh publik.
Dirindukan
Setiap saya bermain ke area masjid kampus, warung atau pasar,
beberapa menyapa dan bertanya, “mas kuliah dimana?”, ya meskipun beberapa anak
muda sudah memanggil saya om atau bapak sebenarnya. Yang saya maksudkan,
meskipun bukan merupakan hal yang patut dibanggakan, keberadaan manusia
ditengah masyarakat masih dirindukan dan dibutuhkan. Anak muda enerjik yang
pandai berbicara, memiliki inisiatif, hadir untuk memberikan solusi, dan
berkorban menjadi gambaran umum publik mengenai mahasiswa. Bahkan, kalau bisa,
BBM naik mahasiswa yang “diminta” menurunkan, ya, tak ubahnya seperti keledai,
hewan beban yang “bisa diandalkan”.
Lantas, apa jadinya jika spesies mahasiswa dipenuhi “orang
inklusif” yang “menjauh dari masyarakatnya”, dan “sibuk berteriak-teriak”
mengomentari kebaikan atau kesalahan orang lain tanpa solusi? Mungkin ini lebih
tepat disebut “hil yang mustahla” wong juru selesai masalahnya
menghindar dari masyarakat masalah mau selesai pakai apa? Pakai moncong? Bisa sih,
tapi nanti jadi monyong.
Maka, bukan sebuah pertanyaan ketika masyarakat meminta
banyak hal dari mahasiswa yang miskin, karena, itulah nilai menjadi sebuah
harapan. Dan, UNS telah memilih sebuah harapan baru, yang didambakan lebih baik
dari sebelumnya, dan berada dalam diri pasangan nomor urut 2, Doni dan Wildan. Doa
saya senantiasa menyertai, jawablah harapan dari para mahasiswa terutama FKIP
yang telah mendukung anda berdua dengan dukungan yang “sangat besar”, serta
penuhi harapan mahasiswa lain di sembilan fakultas dengan pembuktian, bahwa
mereka “salah pilih”. Laksanakan Visi dan Misi, wujudkan integrasi, jadilah
mahasiswa inklusif yang “tidak jauh dari rakyat”. Meksipun nama lembaganya BEM
yang katanya memiliki kepanjangan “badan eksklusif mahasiswa”, toh masalah UKT
juga masih dalam urusan BEM. Tuhan menyertai anda berdua, dan saya ingin
mengucapkan selamat, atas kemenangannya. Mahasiswa adalah hewan pengangkut
beban yang dinantikan oleh masyarakat. Hidup Mahasiswa!.
Muhammad Abdullah ‘Azzam
Pasangan NUSA, Cawapres dari Partai Asmara
No comments:
Post a Comment