Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Saturday, April 5, 2014

Beri Solusi

"bersuara nyaring tanpa ada isinya seperti tong kosong, berteriak teriak ingin berubah tanpa memberi solusi, pulanglah ke rumah mamah kamu"

anonim

 seringkali kalau melihat negara ini, serta penghuninya, yah, memang agak miris juga sih, antara kasihan dan semangat ingin misuh2 (memaki maki). ya bagaimana nggak? taraf hidup yang rendah ditambah dengan media yang berat sebelah, ditambah pula dengan tingkat edukasi yang sangat rendah, yang seolah dengkul dan otak punya fungsi sama, dan mental inlander yang masih menempel erat di elemen bangsa ini, suka sama yang barat-barat, dan minder kalau berjuang membawa nama bangsa sendiri. Makin diperparah dengan kondisi, dimana mereka yang masuk dalam taraf yang diatas orang kebanyakan masih sering ditemui yang wegah mengabdi, enggan bekerja, suka berteriak, tapi ngga mau membagi solusi, bahkan cenderung menjilati kaki penguasa guna memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik, yang lebih asoy lagi, pemimpinnya, ngeliat emas secuil, perempuan cantik sedikit, rasa kebangsaan tergadai, hilang entah kemana, mengobloki masyarakat dengan uang senilai 50.000, tapi harus menggergaji knalpot dan membuat kericuhan dan polusi suara di kota-kota menjadi hal lumrah, mempertontonkan musik erotik yang biduannya tampak seperti cacing kepanasan menjadi wajib, dan yang lain-lain.

dalam materi etika bisnis, dijelaskan bahwa elemen kehidupan bernegara ada satu, yang memiliki fungsi kontrol yang dapat menabrak kekuatan legal-formal penguasa dan mencerahkan masyrakat, ya, akademisi. atau orang yang ane sebut memiliki kekuatan diatas orang kebanyakan. yang jadi masalah, akademisi seringkali hanyalah sekelompok individu yang panda berargumen, tapi ketika memberi bukti nyata terkesan setengah-setengah, bahkan nonsense sama sekali. misalkan digalakkan gerakan indonesia hijau, mereka kekeuh mendebat pemerintah, indonesia harus dihijaukan, tapi ketika membangun kampus, konsep-konsep penghijauan sama sekali tidak dilirik, bahkan RTH sering dikorbankan. lantas dimana peran akademisi sebagai pemberi solusi ketika meghadapi konsdisi dimana pemerintah masih kekeuh dengan kebodohan, begitu juga masyarakat.

jangankan program indonesia hijau, sudah tahu negara kita masih memakai sistem demokrasi, yang bertujuan untuk mengatur distribusi kekuasaan, akademisi malah abstain dan tidak berani menyuarakan sikap ketika terjadi event pesta demokrasi terbesar 5 tahunan, dengan alasan yang nggak akademis banget, bahkan empirik pun tidak. dengan alasan klasik "tidak ada pemimpin yang baik", "tidak sesuai hati nurani", apalah, emangnya dengan menyatakan hal seperti itu sudah pernah apa terjuan dan merasakan dunia politik? atau minimal menjalankan fungsi akademisi di bidang research and development? kalau sudah monggo, tidak memilih ya tidak apa apa, tapi jika hanya berdasar pada penilaian satu arah mengandalkan media yang ngga independen, atau romantisme masa lalau yang tidak jelas juntrungnya, kita mau ngapain gitu. terima saja harkat dan martabat menjadi mainan penguasa terpilih nanti? lantas protes menyuarakan revolusi dan kudeta? buat apa?! reformasi 98 terjadi karena ada momentum kesadaran bersama guna merubah sistem yang ada, kalau sekarang? diskusi jalan tapi hasilnya 0 besar.

lantas apa? beri solusi, bergerak, memilih, contohkan cara memilih cerdas dan menjadi pemilih cerdas pada masyarakat awam. diem saja bukan solusi efektif, justru malah senang orang ngga jelas itu apabila akdemisi diam dan tidak menggunakan powernya. seidiki latar belakang para peserta pemilu, lihat kilas baliknya, dan publikasikan pada masyarakat awam, sehingga mereka tahu mana yang baik, jangan mudah termakan dan terkompori media yang ngga jelas faktanya fakta empirik atau fakta on the spot, dan sarkan masyarakat mana yang benar, mana yang jujur, mana yang bohong, mana yang salah. itulah peran akademisi, jangan berlagak pilon dengan mengatakan pemilu haram dan sebagainya padahal fakta telah menjelaskan dengan rinci bahwa jalan terbaik guna menumbangkan kekuasaan korup adalah dengan menempuh jalan politik, jangan berlagak sok iye dengan menyatakan khilafah tapi disuruh membuat bisis aja ogah, nyoblos apalagi, malah mengkafirkan yang lain, jangan kemlinthi dengan menyatakan jari saya bersih dari noda hitam, padahal jika yang naik adalah pemimpin dzalim yang diem aja juga kena impact nya.

Beri solusi! jangan sekedar dikusi!

Wallahu 'alam
Muhammad Abdullah 'Azzam Mahasiswa S1 Manajemen FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta

No comments:

Post a Comment