Kegelapan sepekat ini belum pernah
dialaminya. Samar-samar suara aneh terdengar di kejauhan, kecipak air dengan
dayung, dan suara desiran angin menggoyang pepohonan. Dia hanya mendayung,
terus mendayung. Kucing hitam entah milik siapa, hanya dia sembari terus
melihat kedepan, entah ada apa disana. Dayung terus bergerak, entah menuju
kemana aliran air ini, dia hanya terus maju dan maju.
………………………………………………………….
Bukan masalah hidup atau mati, tapi
masalah siapa dan bagaimana kau mengakhiri hidupnya. Evan menyalakan sebatang
terakhir rokok miliknya, dan menatap dengan jengah kebawah. Genangan darah. Cukup
sulit membunuh orang satu ini, perlawanan kerasnya cukup membuat lengan Evan
terluka. Tetapi melihat pecahan botol telak menancap di leher nya, Evan yakin
musuhnya sudah melihat akhirat.
Sebuah tendangan keras menghantam
kepala si mayat, pembalasan untuk lenganku, gumam Evan. Tanpa belas kasihan dia
juga meludahi jasad bersimbah darah itu, dan meninggalkannya begitu saja. Aroma
darah menguap bersama bau mesiu, bergelimpangan dimana-mana, jasad manusia
dengan mulut menganga. Beberapa tewas dikarenakan peluru, sisanya karena leher
atau tubuhnya terkena tusukan benda tajam. 13 orang, malam itu untuk membunuh
sang bos mafia Evan harus menghabisi 13 orang, termasuk 2 orang ayah beranak
yang tidak sengaja melihat kejadian itu.
Tetapi Evan tidak peduli, dia terus
melangkah. Cepat atau lambat polisi akan menemukan tumpukan mayat ini. Evan hanya
memikirkan bagaimana caranya bisa segera pergi dari kota ini, kemudian
menghapus segala jejak kehadirannya di kota ini. Senyum sinis mengembang di
bibirnya. Mudah sekali, gumam hatinya, bagaimanapun pekerjaan ini sangat mudah
bagi pembunuh kelas atas seperti Evan.
Dengan mantap kakinya meninggalkan
tempat kejadian perkara. Malam itu, bulan tengah purnama, awan hitam berarak
melintasi dan berusaha menghalangi bulan purnama. Evan menatap langit, sungguh
malam yang cocok untuk menikmati sebotol vodka.
……………………………………………………….
Bar di pinggiran kota ini terasa
sangat nyaman, orang-orang buangan maupun frustasi berkumpul meratapi nasib. Evan
tengah menikmati minumannya dengan tenang, beberapa gelas vodka dan berbagai
campuran arak telah membasahi kerongkongannya, perlahan memuaskan hasratnya. Dia
tatap tangan kanannya, “pembawa kematian” kata orang-orang, sesame kolega pembunuh,
bahkan nama Evan Dersiman sendiri disetarakan dengan malaikat maut. Siapapun awas
dengan dirinya, bahkan namanya cukup menjadi sebuah terror.
Kepuasan Evan mendadak terganggu,
sekelompok pemabuk dengan mata nyalang mulai membuat keonaran. Bertubuh besar,
berkumis, mata merah dan rambut acak-acakan, mereka mulai mengacau di dalam
bar. Gelas-gelas dipecahkan, para pengunjung dibuat takut dengan atraksi
memecahkan botol minuman ke kepala pengunjung yang tidak tahu apa apa. Mereka berteriak
lantang soal uang, mengeluhkan ketidak beruntungan mereka, dan mulai mengancam
akan membunuh seseorang di bar tersebut.
Darah Evan bergolak, kesadarannya
mendadak memudar. Memori membawanya kembali ke sebuah rumah, 13 tahun lalu. Saat
manusia laknat yang harus dia sebut ayah kembali ke rumah dengan bau alcohol,
mulai merusak seisi rumah. Dengan amarah dia memukuli Evan dan seorang wanita,
kemudian dia pergi lagi meninggalkan rumah sembari membawa uang dan harta
berharga, tentu untuk dihabiskan demi minuman, dan diinvestasikan di meja judi.
Teriakan Evan menggegelar di seisi
bar, pembunuh bayaran kelas atas itu tenggelam dalam amarah. Pengaruh minuman
keras mengambil alih pikiran cemerlangnya, dipecahkan sebuah botol, dengan
membabi buta dia menyerang sekumpulan pemabuk itu. Darah tertumpah menghiasi
lantai bar, tentu, kamu disebut pembunuh kelas atas, bukan hanya unggul di satu
hal saja kan?
……………………………………………………….
Wine perasan Prancis berumur 200
tahun ini terasa nikmat, pemilik bar memberikannya pada Evan sebagai ucapan
terimakasih, karena telah melumpuhkan para pemabuk tadi. Tidak ada korban jiwa
dalam perkelahian tadi, hanya saja para pemabuk tadi harus merelakan tangan, kaki
bahkan matanya, kehilangan fungsi normalnya. Sedangkan sang pengunjung bar yang
terkenal pukulan botol, hanya tergores sedikit di pelipisnya. Membunuh para
kecoak bukan selera Evan, lagipula para pengacau tadi tidak pantas untuk
dibunuh.
Rasa anggur yang begitu nikmat,
tiba-tiba membawa pandangan Evan untuk fokus kepada seorang wanita di seberang
jalan. Dari seragam yang dia kenakan, jelas terlihat dia adalah salah satu
pelacur yang mungkin bekerja di Bar terdekat. Terlihat dia tengah menunggu di
pemberhentian bis. Mantel musim dinginnya tidak bisa menyembunyikan pakain
seksi yang dia kenakan, Evan menelan ludah, matanya tidak bisa dia alihkan dari
wanita tadi.
Persis seperti dulu, selepas
manusia laknat yang harus dia sebut ayah tadi pergi meninggalkan rumah, Evan
akan mendekati ibunya, berusaha menghibur dan mengobati luka yang diberikan
ayahnya. Tetapi bukannya dibalas dengan kasih sayang, sang ibu justru malah
berteriak dan menampar Evan, menyuruh dia masuk ke kamar tidur. Suatu malam,
selepas manusia laknat kembali menghabisi mereka, keinginan Evan untuk buang
air membawanya pada suatu kenyataan.
Menuju kamar mandi mengharuskan
Evan melewati kamar ibunya. Malam itu kamar tersebut terbuka sedikit, dan terdengar
suara erangan aneh dari dalam kamar. Seorang pria, Evan tidak mengenali siapa
dia, tengah berbuat mesum dengan ibunya. Bukan hanya satu pria, tapi berbagai
jenis laki-laki dengan beragam warna kulit terlihat tengah menggumuli ibunya. Evan
hanya bisa terdiam, menahan teriakannya, dan berlari ke kamarnya.
Esok harinya, malam itu kamar sang
ibu terbuka, bedanya hanya satu laki-laki yang berada di dalamnya. Manusia laknat
yang dia sebut ayah belum pulang. Entah apa yang dipikirkan Evan, tetapi malam
itu dia menggenggam erat sebilah pisau. Dengan mantap dia melangkah masuk ke
dalam kamar berbau menjijikkan itu.
Sang ibu tengah larut dalam
kenikmatan, tidak sadar jika laki-laki yang berada diatasnya sudah tidak
bernyawa lagi. Perlahan dia membuka mata, menyaksikan anak satu-satunya tengah
berdiri di sisinya. Ditangannya ada pisau berlumuran darah, mata sang anak
tidak lembut seperti yang biasa dia kenal, mata itu telah berubah menjadi mata
iblis. Tangan sang anak terangkat, teriakan ngeri sang ibu memecah keheningan
malam sebelum akhirnya menghilang, bersamaan dengan terputusanya tenggorokan.
Anak itu, Evan, dengan dingin
meninggalkan kamar busuk itu. Dengan tenang dia menuju pintu depan dimana
terdengar suara pukulan keras. Manusia laknat yang dia sebut ayah telah
kembali. Dengan tenang pintu Evan buka, saat sang ayah mulai berteriak dan akan
mengamuk, mendadak dia limbung, dan terjatuh. Sebilah pisau telah menancap
telak di perutnya. Dengan tenang, evan menaiki tubuh ayahnya yang mulai
memperoleh kembali kesadaran.
Dengan tenang, diirinsnya kulit
wajah ayahnya, sedangkan sang ayah berteriak dalam kengerian. Puas mengiris
wajah sang ayah, dengan cekatan Evan menancapkan pisau itu di leher ayahnya,
dan dengan tenang dia putar pisau tersebut, menyebabkan luka fatal di leher
sang ayah. Darah memuncrat mengenai muka Evan, tetapi tidak ada setitikpun ngeri
dan takut terpancar di wajahnya. Evan beranjak berdiri, meninggalkan rumah
terkutuk itu, malam itu seorang pembunuh telah lahir ke dunia.
………………………………………………………….
Kamar hotel tempat Evan menginap
bukan kamar sembarangan, berada di titik tertinggi di hotel tersebut, menyewa
semalam di kamar ini cukup untuk memberi makan 100 orang untuk sehari. Siapa sangka
penjahat tengik yang dia bunuh kemarin malam berharga semahal ini. Semakin istimewa
karena pada purnama ini dia mendapatkan segalanya. Daging berasa manis, dan
minuman mahal telah memuaskan semua hasratnya. Sudah satu jam semenjak dia
meninggalkan kota sebelah, sudah saatnya dia beristirahat. Direbahkannya tubuh
letihnya diatas kasur, perlahan dunia mimpi menyelimuti dirinya, membawanya
menuju ketenangan abadi.
…………………………………………………………….
Kegelapan semakin memekat di
sekitar nya, tidak ada satupun petunjuk menjelaskan dia berada dimana. Tepat sebelum
sosok itu muncul, sekuat mungkin Evan berusaha berdiri, bagaimanapun Evan sadar
dan tahu betul siapa dia, pembunuh professional. Tepat saat kakinya kuat
menapak, sosok itu, entah datang dari mana, menginjak pertunya, memaksa Evan
terbaring, kali ini lebih menyedihkan, ada sosok lain menginjaknya.
Sosok itu sama pekatnya dengan
kegelapan, hanya gurat-gurat merah menghiasi dirinya membuat dia tidak menyatu
sepenuhnya dengan kegelapan. Terdengar suara tawa sinis mengerikan, seperti
suara kematian saat Evan menggorok leher para korbannya. Evan tergeragap, wajah
memucat dan dadanya sesak, karena sosok misterius ini betul-betul menginjaknya.
“Apa pendapatmu soal kematian?”
sosok itu bersuara, rendah dan berat. Seperti besi baja saling bergesekan,
menimbulkan kengerian luar biasa. Injakan kaki sosok itu terasa semakin kuat,
dada Evan semakin sesak. “Bagaimana kalau kamu merasakan kematian?” dengan satu
gerakan, sesuatu terasa menebas leher even secepat kilat, diiringi suara
teriakan, Evan dipaksa bangun dari tidurnya.
Dengan tergeragap Evan membuka
mata, kejadian barusan terasa sangat nyata. Wajah Evan masih pucat pasi,
keringat mengucur deras, dan leher serta dadanya terasa sangat sesak dan panas.
Dia menunduk, jam menunjukkan pukul 06.00, seharusnya 30 menit lalu dia sudah
kembali ke tempat tinggalnya. Berusaha tidak memikirkan itu, Evan kembali
berpakaian dan bersegera meninggalkan hotel.
…………………………………………………….
Arak cina adalah minuman keras yang
cukup sulit ditemui di seantero negeri ini. Meminumnya adalah sebuah kehormatan
bagi setiap penjahat. Malam itu, merayakan keberhasilan pembunuhan terhadap
boss penjahat kelompok saingan, Evan diundang oleh ketua sindikat untuk
berpesta. Bersama beberapa pembunuh bayaran langganan, mereka dihidangkan arak
cina terbaik, makanan-makanan eksotis dan tentu gadis-gadis penghibur.
Pesta dimulai, gelas pertama arak
telah dituang, masing-masing orang mulai sibuk dan berceloteh sendiri-sendiri. Botol
demi botol, suap demi suap, music keras mengiringi pesta malam itu dengan
sangat menyenangkan. Purnama bersinar cerah diluar sana, seolah merestui pesta
maksiat malam itu. Tetapi, ada satu orang yang tidak bisa menikmati pesta malam
itu.
Evan hanya bisa terdiam, pandangan
matanya jauh menerawang. Belum ada satupun gelas arak dia sesap, satu makanan
dia makan, dan satu wanita dia sentuh. Sedangkan berbotol-botol arak telah
bergelimang, bahkan diapun tidak sadar kapan teman-temannya mulai tertidur
dalam mabuknya. Mimpi malam itu, kejadian malam itu terasa sangat nyata dalam
pikirannya. Teka-teki siapa mahluk itu, dan segala kengeriannya benar-benar
membuat nya was-was untuk kembali tidur. Tetapi malam sudah larut, tubuhnya
sudah menjerit meminta istirahat.
Demi pertimbangan keamanan, dia
meminta izin kepada kepala sindikat untuk menumpang tidur. Kepala sindikat
sempat mengerenyit, namun restu segera diberikan saat tubuhnya mengingnkan
hasrat yang lain. Entah kenapa Evan sempat jijik melihat pemandangan tersebut,
namun dia masih sempat menghormat dan bersegara masuk ke kamar,
mengistirahatkan tubuhnya dengan harapan pikirannya juga bisa beristirahat.
………………………………………………
Evan terbangun, bedanya dia
terbangun dalam kondisi berdiri. Sayup-sayup dia mendengar suara gemericik air
dibawah kakinya, dan dari jauh terlihat sebuah cahaya mendekati dirinya. Sedikit
was-was, dia mengambil kuda-kuda jika cahaya itu dibawa sosok mahluk yang menerornya
kemarin malam. Namun dia salah, setelah mendekat, ternyata cahaya itu hanyalah
sebuah perahu.
Rupanya Evan tengah berdiri diatas
sebuah dermaga, Evan berusaha mengedarkan pandangan diluar cahaya lampion di
ujung perahu, namun dia tidak bisa melihat apa-apa. Mendadak sesosok mahluk
melompat dari dalam perahu, mengitari kaki Evan. Dengan panik, evan melihat
kebawah, ternyata sesosok kucing hitam dengan mata kuning tengah bergelendotan
di kaki Evan, seolah memberi isyarat untuk bersegera menaiki perahu.
Tidak memiliki pilihan, Evan
menggendong kucing itu dan segera melompat kedalam perahu. Didalamnya ada
sebuah kursi, dan sebuah dayung. Evan segera mengenggam gagang dayung,
menggunakannya perlahan untuk membawa kapal bergerak. Sang kucing hitam
mengeong nyaring, seolah memberi tanda mulainya sebuah perjalanan.
Perlahan-lahan, perahu membelah
air, kegelapan sepekat ini belum pernah dialaminya. Samar-samar suara aneh
terdengar di kejauhan, kecipak air dengan dayung, dan suara desiran angin
menggoyang pepohonan. Dia hanya mendayung, terus mendayung. Kucing hitam entah
milik siapa, hanya saja dia sembari terus melihat kedepan, entah ada apa
disana. Dayung terus bergerak, entah menuju kemana aliran air ini, dia hanya
terus maju dan maju.
Perlahan Evan mulai merasakan
sentuhan-sentuhan di mukanya, sempat dia bertanya, pohon apakah yang memiliki
sentuhan selembut sutera ini. Dayung pun mulai terasa berat, padahal Evan
yakin, perahunya masih berada di perairan yang sama. Kucing hitam yang tadinya
diam mulai mengeong pelan. Perlahan tapi pasti, cahaya lampion tadi terasa
semakin terang dan mulai menunjukkan objek-objek di sekeliling kapan.
Pohon-pohon asing tumbuh di sekitar
perairan ini, seperti rawa-rawa gelap di Florida mungkin. Entah kenapa tetapi
air dibawah perahu memang terlihat berwarna hitam, karena tiada satupun benda
diatasnya yang terpantul cahayanya, seolah semua cahaya terserap oleh air itu. Di
kejauhan sana, terlihat sebuah pintu gerbang tengah terbuka, memancarkan kabut
berwarna hitam, sedangkan dibalik gerbang terlihat cahaya redup berwarna
kemerahan.
Entah apa alasannya, telinga Evan
menjadi sangat sensitive, dia mendengar sebuah suara yang puluhan tahun tidak
pernah dia dengar. Suara teriakan ibunya, saat Evan menghabisinya malam itu. Dengan
panic Evan mulai mengedarkan pandangan, entah kemana larinya kucing hitam di
kapalnya tadi, segera insting pembunuhnya mengatakan, dia butuh senjata. Berusaha
dia keluarkan dayungnya dari air, namun sesuatu yang berat menyulitkannya,
dayung tersebut seperti tersangkut.
Betapa terkejutnya Evan, ketika
melihat gayungnya ternyata tidak tersangkut. Sesosok mahluk dengan wajah
teriris menggenggam erat gayungnya, sosok ini tidak bisa mengeluarkan suara
lagi dan Evan tahu alasannya, Lehernya sudah berlubang dalam. Dengan panic Evan
membuang dayungnya, dan segera bersiap, hanya saja, dia terlambat, seseok
mahluk dengan pecahan kaca di lehernya telah mengunci pergerakan Evan. Sosok ibunya
semakin mendekat ke perahu, sedangkan sosok sang ayah mulai mengguncangkan
perahu.
Evan mulai berteriak tidak karuan,
merasakan aroma kematian menyengat, bau darah, dan kengerian. Tiba-tiba,
didalam naungan cahaya perahu, terlihat perlahan gurat-gurat merah. Mahluk itu!
Yang menebasnya di mimpinya kemarin hadir kembali. Saat ini sosoknya terlihat
semakin jelas, dan tiada berbeda, hakikatnya sosok itu memang berwarna hitam
dengan gurat merah di sekujur tubuhnya.
“Apa pendapatmu soal kematian?”
pertanyaan dengan suara mengerikan yang sama kembali hadir. Dengan Ngeri Evan hanya
mampu berteriak keras, karena di waktu bersamaan, mahluk-mahluk mengerikan yang
merubungnya telah habis mencabik tubuhnya satu demi satu.
………………………………………………………….
Tergeragap Evan kembali bangun, dan
dia hanya mampu berteriak-teriak dalam ketakutan. Dengan panic dia berpakaian,
membuka kamarnya, dan bersegera meninggalkan markas besar sindikatnya. Sisa aroma
pesta terasa sangat menyengat dan menjijikkan, bahkan Evan hanya mampu
berpaling. Malam ini, tidak satu teguk pun arak dia minum, satupun daging haram
dia makan, bahkan tidak ada satu wanita pun yang dia sentuh. Evan hanya ingin
pergi, pergi jauh.
Dikendarainya mobil Audi
kesayangannya menjauhi rumah tersebut, cahaya purnama masih menyambutnya saat
dia keluar. Malam ini masih belum berakhir, dan sepertinya akan menjadi malam
panjang bagi Evan.
…………………………………………………………….
Mesin berat dari Audi nya membawa
dirinya sejauh 2000Km dari tempatnya terakhir berdiri. Tempat itu adalah kota
pertama dia tinggal bersama keluarganya setelah pindah dari Negara asalnya,
jauh sebelum Evan berkarir menjadi seorang pembunuh bayaran. Rumah tinggalnya
dahulu berada tepat di depannya, bekas-bekas garis polisi terlihat masih
mengelilingi rumah itu. Peringatan rumah ini ditutup untuk umum masih tersisa
di depannya, terlihat tiada satu orangpun mau menempati rumahnya ini. Semua jendela,
dinding dan pintu masih Nampak sama.
Evan membuka pintu rumah itu, matahari
belum selesai menampakkan dirinya, namun dia mampu melihat bekas genangan
darah, dan samar-samar jejak kapur tim forensic. Dibalik pintu inilah ayah
kandungnya meregang nyawa dengan mengerikan ditangannya sendiri. Evan terus
melangkah, membawa dirinya menuju kamar ibunya. Sulur cahaya matahari mulai
mengintip dibalik jendela yang diblokade, terlihat kasur tempat ibu dan teman
kencannya tewas masih seperti sedia kala, bedanya, seluruh lemari di kamar ini
isinya sudah berantakan. Mungkin hasil penggeledahan tim forensik.
Saat itulah dia menemukan keanehan,
jejak darah di bawah ranjang berlaku tiada semestinya. Evan melongok kebawah
ranjang, meraba-raba. Betapa terkejutnya saat dia menemukan sebuah kotak
tersembunyi rapi dibawah ranjang. Tidak tahu mungkin tim forensic beranggapan
bahwa benda ini tidak ada hubungannya dengan kasus pembunuhan, maka sepertinya
benda itu ditinggalkan begitu saja disana.
Dengan sekuat tenaga, dia buka
kotak itu. Foto dan foto tersimpan rapih disana, hanya foto, beserta sebuah
buku berbahasa asing. Evan membuka halaman pertama buku itu, betapa
terkejutnya, dia mengenali kata-kata yang tertulis disana. Buku itu tidak lain
adalah Al-Qur’an, dan semua foto-foto yang berada disana, adalah kenangan saat
dia berada di pondok pesantren dahulu kala, jauh sebelum dia meninggalkan
negara asalnya.
Terlihat ayah dan ibunya berpose
dengan kyainya dahulu, mengapit Evan kecil di tengah. Terlihat Evan kecil
membaw mushaf yang sama dengan yang tengah dia genggam sekarang. Air mata mulai
mengaliri wajah Evan, entah sejak kapan terakhir kali dia merasakan hatinya
tersentuh dan tersayat dalam kesedihan. Bahkan ketika dia membunuh kedua orang
tuanya, dia hampir lupa, apakah saat itu dia menangis atau tidak.
“Allah adalah tuhan kita, dialah
sang maha pengampun..” seperti mendengar kembali suara gurunya, jiwa Evan
terasa tidak lagi berada di tempat itu. Dia tengah berada di sebuah surau, di
tengah-tengah pesawahan. Sayup-sayup desir angin menghembus, mengajak janggut
sang Kyai untuk berjoget. Peristiwa ini, yang dia ingat adalah berpuluh-puluh
tahun sebelum dia mampu mengenggam sebilah pisau. Sang Kyai menyentuh kepala
Evan Hangat, dan entah kenapa dia merasa sang Kyai Betul-betul dekat.
Tanpa sadar Evan mulai berdiri,
menuju wastafel di dapur. Metahari tidak malu lagi menampakkan diri, dan sudah
terlihat jelas bagian dalam rumah ini seperti apa. Diraihnya keran wastafel,
yang entah kenapa masih mampu memancarkan air. Mungkin perusahaan air lupa
memutus aliran air di dalam rumahnya. Bersegera dia membasuh muka, tangan,
rambut dan kakinya, hanya itu yang mampu dia ingat. Bersegera, Evan
melangkahkan kaki menuju kamar ibunya.
Dia bersihkan sedikit ruang di
kamar itu, dia bentangkan jas hitam miliknya sebagai alas, samar-samar di balik
jendela Evan melihat kesibukan di bangunan sebelahnya. Instingnya berkata, dia
harus segera pergi, namun saat itu, nurani Evan betul betul hanya ingin berada
di ruangan itu. Entah bagaimana, Evan bersujud dan terseungkur dalam linangan
air mata. “Jika kamu merindukan tuhanmu, letakkanlah keningmu di atas tanah,
bersujudlah. Karena saat itu dia sangatlah dekat” air mata kembali berlinang,
satu demi satu membawa kembali kesedihan dan memori masa lalu. Masa lalu, yang
lebih indah.
Saat wajahnya terangkat, dia
melihat cahaya matahari telah dihalangi sesuatu. Gurat-gurat merah itu menjadi
tanda pengenal efektif. Siapa sangka? Sosok itu ternyata memiliki sayap
berwarna hitap pekat dan gurat-gurat merah itu adalah darah yang menghiasi
sayapnya?
“Apa pendapatmu soal kematian?”
pertanyaan itu muncul kembali, bedanya, tiada lagi diiringi suara mengerikan
seperti sebelumnya.
“Kematian itu, adalah saat keadilan
sejati, dan tiada satupun yang bisa menduga, kematian seperti apa yang akan dia
alami. Hanya saja, aku tahu ini adalah saatku..”
“Bersyukurlah kau telah diberi
peringatan, dan kau menjawab peringatan itu”
Tangan hitam itu menyentuh
ubun-ubun nya lembut dan hangat, namun tiba-tiba sesuatu melesat melebihi
kecepatan suara. Membelah sulur cahaya matahari, Evan akrab sekali dengan benda
itu. Dengan kecepatan tinggi, benda itu menembus kening hingga belakang kepala
Evan, darah segar menghiasi pagi itu. Mahluk hitam bersayap itu tersenyum..
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang,
kembalilah, kembalilah kepada naungan tuhanmu..”
Sayap hitam berat itu perlahan
terangkat, membawa ruh seorang manusia yang menjawab hidayah tuhannya. Memohon ampunan
di saat yang tepat, dan akhirnya, memperoleh senyuman kebaikan di akhir
hidupnya.
………………………………………………………………
Peraturan pertama para pembunuh
adalah tidak boleh berada di suatu tempat 2 kali, apalagi jika itu tempat dia
pernah melakukan pembunuhan. Karena seringkali, penjahat lain juga mendiami
tempat tersebut, menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.
Sangat jarang ada orang yang
bersegera menerima hidayah. Maka, meskipun itu penjahat sekalipun, ketika di
akhir hayat dia memutuskan untuk memohon ampunan, maka Allah akan memberikan
yang terbaik baginya. Dosa-dosa tetap harus dipertanggungjawabkan, namun
setidaknya di akhir hayatnya dia lancar menyebut dan mengakui Allah sebagai
tuhannya.
…………………………………………………………………
Wallahu ‘Alam
Surakarta, kamis, 9 Dzulhijjah 1438
Hijirah
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/sendiri.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment