Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Thursday, August 31, 2017

Kematian




Kegelapan sepekat ini belum pernah dialaminya. Samar-samar suara aneh terdengar di kejauhan, kecipak air dengan dayung, dan suara desiran angin menggoyang pepohonan. Dia hanya mendayung, terus mendayung. Kucing hitam entah milik siapa, hanya dia sembari terus melihat kedepan, entah ada apa disana. Dayung terus bergerak, entah menuju kemana aliran air ini, dia hanya terus maju dan maju.

………………………………………………………….

Bukan masalah hidup atau mati, tapi masalah siapa dan bagaimana kau mengakhiri hidupnya. Evan menyalakan sebatang terakhir rokok miliknya, dan menatap dengan jengah kebawah. Genangan darah. Cukup sulit membunuh orang satu ini, perlawanan kerasnya cukup membuat lengan Evan terluka. Tetapi melihat pecahan botol telak menancap di leher nya, Evan yakin musuhnya sudah melihat akhirat.

Sebuah tendangan keras menghantam kepala si mayat, pembalasan untuk lenganku, gumam Evan. Tanpa belas kasihan dia juga meludahi jasad bersimbah darah itu, dan meninggalkannya begitu saja. Aroma darah menguap bersama bau mesiu, bergelimpangan dimana-mana, jasad manusia dengan mulut menganga. Beberapa tewas dikarenakan peluru, sisanya karena leher atau tubuhnya terkena tusukan benda tajam. 13 orang, malam itu untuk membunuh sang bos mafia Evan harus menghabisi 13 orang, termasuk 2 orang ayah beranak yang tidak sengaja melihat kejadian itu.

Tetapi Evan tidak peduli, dia terus melangkah. Cepat atau lambat polisi akan menemukan tumpukan mayat ini. Evan hanya memikirkan bagaimana caranya bisa segera pergi dari kota ini, kemudian menghapus segala jejak kehadirannya di kota ini. Senyum sinis mengembang di bibirnya. Mudah sekali, gumam hatinya, bagaimanapun pekerjaan ini sangat mudah bagi pembunuh kelas atas seperti Evan.

Dengan mantap kakinya meninggalkan tempat kejadian perkara. Malam itu, bulan tengah purnama, awan hitam berarak melintasi dan berusaha menghalangi bulan purnama. Evan menatap langit, sungguh malam yang cocok untuk menikmati sebotol vodka.

……………………………………………………….

Bar di pinggiran kota ini terasa sangat nyaman, orang-orang buangan maupun frustasi berkumpul meratapi nasib. Evan tengah menikmati minumannya dengan tenang, beberapa gelas vodka dan berbagai campuran arak telah membasahi kerongkongannya, perlahan memuaskan hasratnya. Dia tatap tangan kanannya, “pembawa kematian” kata orang-orang, sesame kolega pembunuh, bahkan nama Evan Dersiman sendiri disetarakan dengan malaikat maut. Siapapun awas dengan dirinya, bahkan namanya cukup menjadi sebuah terror.

Kepuasan Evan mendadak terganggu, sekelompok pemabuk dengan mata nyalang mulai membuat keonaran. Bertubuh besar, berkumis, mata merah dan rambut acak-acakan, mereka mulai mengacau di dalam bar. Gelas-gelas dipecahkan, para pengunjung dibuat takut dengan atraksi memecahkan botol minuman ke kepala pengunjung yang tidak tahu apa apa. Mereka berteriak lantang soal uang, mengeluhkan ketidak beruntungan mereka, dan mulai mengancam akan membunuh seseorang di bar tersebut.

Darah Evan bergolak, kesadarannya mendadak memudar. Memori membawanya kembali ke sebuah rumah, 13 tahun lalu. Saat manusia laknat yang harus dia sebut ayah kembali ke rumah dengan bau alcohol, mulai merusak seisi rumah. Dengan amarah dia memukuli Evan dan seorang wanita, kemudian dia pergi lagi meninggalkan rumah sembari membawa uang dan harta berharga, tentu untuk dihabiskan demi minuman, dan diinvestasikan di meja judi.

Teriakan Evan menggegelar di seisi bar, pembunuh bayaran kelas atas itu tenggelam dalam amarah. Pengaruh minuman keras mengambil alih pikiran cemerlangnya, dipecahkan sebuah botol, dengan membabi buta dia menyerang sekumpulan pemabuk itu. Darah tertumpah menghiasi lantai bar, tentu, kamu disebut pembunuh kelas atas, bukan hanya unggul di satu hal saja kan?

……………………………………………………….

Wine perasan Prancis berumur 200 tahun ini terasa nikmat, pemilik bar memberikannya pada Evan sebagai ucapan terimakasih, karena telah melumpuhkan para pemabuk tadi. Tidak ada korban jiwa dalam perkelahian tadi, hanya saja para pemabuk tadi harus merelakan tangan, kaki bahkan matanya, kehilangan fungsi normalnya. Sedangkan sang pengunjung bar yang terkenal pukulan botol, hanya tergores sedikit di pelipisnya. Membunuh para kecoak bukan selera Evan, lagipula para pengacau tadi tidak pantas untuk dibunuh.

Rasa anggur yang begitu nikmat, tiba-tiba membawa pandangan Evan untuk fokus kepada seorang wanita di seberang jalan. Dari seragam yang dia kenakan, jelas terlihat dia adalah salah satu pelacur yang mungkin bekerja di Bar terdekat. Terlihat dia tengah menunggu di pemberhentian bis. Mantel musim dinginnya tidak bisa menyembunyikan pakain seksi yang dia kenakan, Evan menelan ludah, matanya tidak bisa dia alihkan dari wanita tadi.

Persis seperti dulu, selepas manusia laknat yang harus dia sebut ayah tadi pergi meninggalkan rumah, Evan akan mendekati ibunya, berusaha menghibur dan mengobati luka yang diberikan ayahnya. Tetapi bukannya dibalas dengan kasih sayang, sang ibu justru malah berteriak dan menampar Evan, menyuruh dia masuk ke kamar tidur. Suatu malam, selepas manusia laknat kembali menghabisi mereka, keinginan Evan untuk buang air membawanya pada suatu kenyataan.

Menuju kamar mandi mengharuskan Evan melewati kamar ibunya. Malam itu kamar tersebut terbuka sedikit, dan terdengar suara erangan aneh dari dalam kamar. Seorang pria, Evan tidak mengenali siapa dia, tengah berbuat mesum dengan ibunya. Bukan hanya satu pria, tapi berbagai jenis laki-laki dengan beragam warna kulit terlihat tengah menggumuli ibunya. Evan hanya bisa terdiam, menahan teriakannya, dan berlari ke kamarnya.

Esok harinya, malam itu kamar sang ibu terbuka, bedanya hanya satu laki-laki yang berada di dalamnya. Manusia laknat yang dia sebut ayah belum pulang. Entah apa yang dipikirkan Evan, tetapi malam itu dia menggenggam erat sebilah pisau. Dengan mantap dia melangkah masuk ke dalam kamar berbau menjijikkan itu.

Sang ibu tengah larut dalam kenikmatan, tidak sadar jika laki-laki yang berada diatasnya sudah tidak bernyawa lagi. Perlahan dia membuka mata, menyaksikan anak satu-satunya tengah berdiri di sisinya. Ditangannya ada pisau berlumuran darah, mata sang anak tidak lembut seperti yang biasa dia kenal, mata itu telah berubah menjadi mata iblis. Tangan sang anak terangkat, teriakan ngeri sang ibu memecah keheningan malam sebelum akhirnya menghilang, bersamaan dengan terputusanya tenggorokan.

Anak itu, Evan, dengan dingin meninggalkan kamar busuk itu. Dengan tenang dia menuju pintu depan dimana terdengar suara pukulan keras. Manusia laknat yang dia sebut ayah telah kembali. Dengan tenang pintu Evan buka, saat sang ayah mulai berteriak dan akan mengamuk, mendadak dia limbung, dan terjatuh. Sebilah pisau telah menancap telak di perutnya. Dengan tenang, evan menaiki tubuh ayahnya yang mulai memperoleh kembali kesadaran.

Dengan tenang, diirinsnya kulit wajah ayahnya, sedangkan sang ayah berteriak dalam kengerian. Puas mengiris wajah sang ayah, dengan cekatan Evan menancapkan pisau itu di leher ayahnya, dan dengan tenang dia putar pisau tersebut, menyebabkan luka fatal di leher sang ayah. Darah memuncrat mengenai muka Evan, tetapi tidak ada setitikpun ngeri dan takut terpancar di wajahnya. Evan beranjak berdiri, meninggalkan rumah terkutuk itu, malam itu seorang pembunuh telah lahir ke dunia.

………………………………………………………….

Kamar hotel tempat Evan menginap bukan kamar sembarangan, berada di titik tertinggi di hotel tersebut, menyewa semalam di kamar ini cukup untuk memberi makan 100 orang untuk sehari. Siapa sangka penjahat tengik yang dia bunuh kemarin malam berharga semahal ini. Semakin istimewa karena pada purnama ini dia mendapatkan segalanya. Daging berasa manis, dan minuman mahal telah memuaskan semua hasratnya. Sudah satu jam semenjak dia meninggalkan kota sebelah, sudah saatnya dia beristirahat. Direbahkannya tubuh letihnya diatas kasur, perlahan dunia mimpi menyelimuti dirinya, membawanya menuju ketenangan abadi.

…………………………………………………………….

Kegelapan semakin memekat di sekitar nya, tidak ada satupun petunjuk menjelaskan dia berada dimana. Tepat sebelum sosok itu muncul, sekuat mungkin Evan berusaha berdiri, bagaimanapun Evan sadar dan tahu betul siapa dia, pembunuh professional. Tepat saat kakinya kuat menapak, sosok itu, entah datang dari mana, menginjak pertunya, memaksa Evan terbaring, kali ini lebih menyedihkan, ada sosok lain menginjaknya.

Sosok itu sama pekatnya dengan kegelapan, hanya gurat-gurat merah menghiasi dirinya membuat dia tidak menyatu sepenuhnya dengan kegelapan. Terdengar suara tawa sinis mengerikan, seperti suara kematian saat Evan menggorok leher para korbannya. Evan tergeragap, wajah memucat dan dadanya sesak, karena sosok misterius ini betul-betul menginjaknya. 

“Apa pendapatmu soal kematian?” sosok itu bersuara, rendah dan berat. Seperti besi baja saling bergesekan, menimbulkan kengerian luar biasa. Injakan kaki sosok itu terasa semakin kuat, dada Evan semakin sesak. “Bagaimana kalau kamu merasakan kematian?” dengan satu gerakan, sesuatu terasa menebas leher even secepat kilat, diiringi suara teriakan, Evan dipaksa bangun dari tidurnya.

Dengan tergeragap Evan membuka mata, kejadian barusan terasa sangat nyata. Wajah Evan masih pucat pasi, keringat mengucur deras, dan leher serta dadanya terasa sangat sesak dan panas. Dia menunduk, jam menunjukkan pukul 06.00, seharusnya 30 menit lalu dia sudah kembali ke tempat tinggalnya. Berusaha tidak memikirkan itu, Evan kembali berpakaian dan bersegera meninggalkan hotel.

…………………………………………………….

Arak cina adalah minuman keras yang cukup sulit ditemui di seantero negeri ini. Meminumnya adalah sebuah kehormatan bagi setiap penjahat. Malam itu, merayakan keberhasilan pembunuhan terhadap boss penjahat kelompok saingan, Evan diundang oleh ketua sindikat untuk berpesta. Bersama beberapa pembunuh bayaran langganan, mereka dihidangkan arak cina terbaik, makanan-makanan eksotis dan tentu gadis-gadis penghibur.

Pesta dimulai, gelas pertama arak telah dituang, masing-masing orang mulai sibuk dan berceloteh sendiri-sendiri. Botol demi botol, suap demi suap, music keras mengiringi pesta malam itu dengan sangat menyenangkan. Purnama bersinar cerah diluar sana, seolah merestui pesta maksiat malam itu. Tetapi, ada satu orang yang tidak bisa menikmati pesta malam itu.

Evan hanya bisa terdiam, pandangan matanya jauh menerawang. Belum ada satupun gelas arak dia sesap, satu makanan dia makan, dan satu wanita dia sentuh. Sedangkan berbotol-botol arak telah bergelimang, bahkan diapun tidak sadar kapan teman-temannya mulai tertidur dalam mabuknya. Mimpi malam itu, kejadian malam itu terasa sangat nyata dalam pikirannya. Teka-teki siapa mahluk itu, dan segala kengeriannya benar-benar membuat nya was-was untuk kembali tidur. Tetapi malam sudah larut, tubuhnya sudah menjerit meminta istirahat.

Demi pertimbangan keamanan, dia meminta izin kepada kepala sindikat untuk menumpang tidur. Kepala sindikat sempat mengerenyit, namun restu segera diberikan saat tubuhnya mengingnkan hasrat yang lain. Entah kenapa Evan sempat jijik melihat pemandangan tersebut, namun dia masih sempat menghormat dan bersegara masuk ke kamar, mengistirahatkan tubuhnya dengan harapan pikirannya juga bisa beristirahat.

………………………………………………
Evan terbangun, bedanya dia terbangun dalam kondisi berdiri. Sayup-sayup dia mendengar suara gemericik air dibawah kakinya, dan dari jauh terlihat sebuah cahaya mendekati dirinya. Sedikit was-was, dia mengambil kuda-kuda jika cahaya itu dibawa sosok mahluk yang menerornya kemarin malam. Namun dia salah, setelah mendekat, ternyata cahaya itu hanyalah sebuah perahu.

Rupanya Evan tengah berdiri diatas sebuah dermaga, Evan berusaha mengedarkan pandangan diluar cahaya lampion di ujung perahu, namun dia tidak bisa melihat apa-apa. Mendadak sesosok mahluk melompat dari dalam perahu, mengitari kaki Evan. Dengan panik, evan melihat kebawah, ternyata sesosok kucing hitam dengan mata kuning tengah bergelendotan di kaki Evan, seolah memberi isyarat untuk bersegera menaiki perahu.

Tidak memiliki pilihan, Evan menggendong kucing itu dan segera melompat kedalam perahu. Didalamnya ada sebuah kursi, dan sebuah dayung. Evan segera mengenggam gagang dayung, menggunakannya perlahan untuk membawa kapal bergerak. Sang kucing hitam mengeong nyaring, seolah memberi tanda mulainya sebuah perjalanan.

Perlahan-lahan, perahu membelah air, kegelapan sepekat ini belum pernah dialaminya. Samar-samar suara aneh terdengar di kejauhan, kecipak air dengan dayung, dan suara desiran angin menggoyang pepohonan. Dia hanya mendayung, terus mendayung. Kucing hitam entah milik siapa, hanya saja dia sembari terus melihat kedepan, entah ada apa disana. Dayung terus bergerak, entah menuju kemana aliran air ini, dia hanya terus maju dan maju.

Perlahan Evan mulai merasakan sentuhan-sentuhan di mukanya, sempat dia bertanya, pohon apakah yang memiliki sentuhan selembut sutera ini. Dayung pun mulai terasa berat, padahal Evan yakin, perahunya masih berada di perairan yang sama. Kucing hitam yang tadinya diam mulai mengeong pelan. Perlahan tapi pasti, cahaya lampion tadi terasa semakin terang dan mulai menunjukkan objek-objek di sekeliling kapan.

Pohon-pohon asing tumbuh di sekitar perairan ini, seperti rawa-rawa gelap di Florida mungkin. Entah kenapa tetapi air dibawah perahu memang terlihat berwarna hitam, karena tiada satupun benda diatasnya yang terpantul cahayanya, seolah semua cahaya terserap oleh air itu. Di kejauhan sana, terlihat sebuah pintu gerbang tengah terbuka, memancarkan kabut berwarna hitam, sedangkan dibalik gerbang terlihat cahaya redup berwarna kemerahan.

Entah apa alasannya, telinga Evan menjadi sangat sensitive, dia mendengar sebuah suara yang puluhan tahun tidak pernah dia dengar. Suara teriakan ibunya, saat Evan menghabisinya malam itu. Dengan panic Evan mulai mengedarkan pandangan, entah kemana larinya kucing hitam di kapalnya tadi, segera insting pembunuhnya mengatakan, dia butuh senjata. Berusaha dia keluarkan dayungnya dari air, namun sesuatu yang berat menyulitkannya, dayung tersebut seperti tersangkut.
 
Betapa terkejutnya Evan, ketika melihat gayungnya ternyata tidak tersangkut. Sesosok mahluk dengan wajah teriris menggenggam erat gayungnya, sosok ini tidak bisa mengeluarkan suara lagi dan Evan tahu alasannya, Lehernya sudah berlubang dalam. Dengan panic Evan membuang dayungnya, dan segera bersiap, hanya saja, dia terlambat, seseok mahluk dengan pecahan kaca di lehernya telah mengunci pergerakan Evan. Sosok ibunya semakin mendekat ke perahu, sedangkan sosok sang ayah mulai mengguncangkan perahu.

Evan mulai berteriak tidak karuan, merasakan aroma kematian menyengat, bau darah, dan kengerian. Tiba-tiba, didalam naungan cahaya perahu, terlihat perlahan gurat-gurat merah. Mahluk itu! Yang menebasnya di mimpinya kemarin hadir kembali. Saat ini sosoknya terlihat semakin jelas, dan tiada berbeda, hakikatnya sosok itu memang berwarna hitam dengan gurat merah di sekujur tubuhnya.
“Apa pendapatmu soal kematian?” pertanyaan dengan suara mengerikan yang sama kembali hadir. Dengan Ngeri Evan hanya mampu berteriak keras, karena di waktu bersamaan, mahluk-mahluk mengerikan yang merubungnya telah habis mencabik tubuhnya satu demi satu.

………………………………………………………….
Tergeragap Evan kembali bangun, dan dia hanya mampu berteriak-teriak dalam ketakutan. Dengan panic dia berpakaian, membuka kamarnya, dan bersegera meninggalkan markas besar sindikatnya. Sisa aroma pesta terasa sangat menyengat dan menjijikkan, bahkan Evan hanya mampu berpaling. Malam ini, tidak satu teguk pun arak dia minum, satupun daging haram dia makan, bahkan tidak ada satu wanita pun yang dia sentuh. Evan hanya ingin pergi, pergi jauh.

Dikendarainya mobil Audi kesayangannya menjauhi rumah tersebut, cahaya purnama masih menyambutnya saat dia keluar. Malam ini masih belum berakhir, dan sepertinya akan menjadi malam panjang bagi Evan.

…………………………………………………………….
Mesin berat dari Audi nya membawa dirinya sejauh 2000Km dari tempatnya terakhir berdiri. Tempat itu adalah kota pertama dia tinggal bersama keluarganya setelah pindah dari Negara asalnya, jauh sebelum Evan berkarir menjadi seorang pembunuh bayaran. Rumah tinggalnya dahulu berada tepat di depannya, bekas-bekas garis polisi terlihat masih mengelilingi rumah itu. Peringatan rumah ini ditutup untuk umum masih tersisa di depannya, terlihat tiada satu orangpun mau menempati rumahnya ini. Semua jendela, dinding dan pintu masih Nampak sama.

Evan membuka pintu rumah itu, matahari belum selesai menampakkan dirinya, namun dia mampu melihat bekas genangan darah, dan samar-samar jejak kapur tim forensic. Dibalik pintu inilah ayah kandungnya meregang nyawa dengan mengerikan ditangannya sendiri. Evan terus melangkah, membawa dirinya menuju kamar ibunya. Sulur cahaya matahari mulai mengintip dibalik jendela yang diblokade, terlihat kasur tempat ibu dan teman kencannya tewas masih seperti sedia kala, bedanya, seluruh lemari di kamar ini isinya sudah berantakan. Mungkin hasil penggeledahan tim forensik.

Saat itulah dia menemukan keanehan, jejak darah di bawah ranjang berlaku tiada semestinya. Evan melongok kebawah ranjang, meraba-raba. Betapa terkejutnya saat dia menemukan sebuah kotak tersembunyi rapi dibawah ranjang. Tidak tahu mungkin tim forensic beranggapan bahwa benda ini tidak ada hubungannya dengan kasus pembunuhan, maka sepertinya benda itu ditinggalkan begitu saja disana. 

Dengan sekuat tenaga, dia buka kotak itu. Foto dan foto tersimpan rapih disana, hanya foto, beserta sebuah buku berbahasa asing. Evan membuka halaman pertama buku itu, betapa terkejutnya, dia mengenali kata-kata yang tertulis disana. Buku itu tidak lain adalah Al-Qur’an, dan semua foto-foto yang berada disana, adalah kenangan saat dia berada di pondok pesantren dahulu kala, jauh sebelum dia meninggalkan negara asalnya.

Terlihat ayah dan ibunya berpose dengan kyainya dahulu, mengapit Evan kecil di tengah. Terlihat Evan kecil membaw mushaf yang sama dengan yang tengah dia genggam sekarang. Air mata mulai mengaliri wajah Evan, entah sejak kapan terakhir kali dia merasakan hatinya tersentuh dan tersayat dalam kesedihan. Bahkan ketika dia membunuh kedua orang tuanya, dia hampir lupa, apakah saat itu dia menangis atau tidak.
“Allah adalah tuhan kita, dialah sang maha pengampun..” seperti mendengar kembali suara gurunya, jiwa Evan terasa tidak lagi berada di tempat itu. Dia tengah berada di sebuah surau, di tengah-tengah pesawahan. Sayup-sayup desir angin menghembus, mengajak janggut sang Kyai untuk berjoget. Peristiwa ini, yang dia ingat adalah berpuluh-puluh tahun sebelum dia mampu mengenggam sebilah pisau. Sang Kyai menyentuh kepala Evan Hangat, dan entah kenapa dia merasa sang Kyai Betul-betul dekat.

Tanpa sadar Evan mulai berdiri, menuju wastafel di dapur. Metahari tidak malu lagi menampakkan diri, dan sudah terlihat jelas bagian dalam rumah ini seperti apa. Diraihnya keran wastafel, yang entah kenapa masih mampu memancarkan air. Mungkin perusahaan air lupa memutus aliran air di dalam rumahnya. Bersegera dia membasuh muka, tangan, rambut dan kakinya, hanya itu yang mampu dia ingat. Bersegera, Evan melangkahkan kaki menuju kamar ibunya.

Dia bersihkan sedikit ruang di kamar itu, dia bentangkan jas hitam miliknya sebagai alas, samar-samar di balik jendela Evan melihat kesibukan di bangunan sebelahnya. Instingnya berkata, dia harus segera pergi, namun saat itu, nurani Evan betul betul hanya ingin berada di ruangan itu. Entah bagaimana, Evan bersujud dan terseungkur dalam linangan air mata. “Jika kamu merindukan tuhanmu, letakkanlah keningmu di atas tanah, bersujudlah. Karena saat itu dia sangatlah dekat” air mata kembali berlinang, satu demi satu membawa kembali kesedihan dan memori masa lalu. Masa lalu, yang lebih indah.

Saat wajahnya terangkat, dia melihat cahaya matahari telah dihalangi sesuatu. Gurat-gurat merah itu menjadi tanda pengenal efektif. Siapa sangka? Sosok itu ternyata memiliki sayap berwarna hitap pekat dan gurat-gurat merah itu adalah darah yang menghiasi sayapnya?

“Apa pendapatmu soal kematian?” pertanyaan itu muncul kembali, bedanya, tiada lagi diiringi suara mengerikan seperti sebelumnya.

“Kematian itu, adalah saat keadilan sejati, dan tiada satupun yang bisa menduga, kematian seperti apa yang akan dia alami. Hanya saja, aku tahu ini adalah saatku..”

“Bersyukurlah kau telah diberi peringatan, dan kau menjawab peringatan itu”

Tangan hitam itu menyentuh ubun-ubun nya lembut dan hangat, namun tiba-tiba sesuatu melesat melebihi kecepatan suara. Membelah sulur cahaya matahari, Evan akrab sekali dengan benda itu. Dengan kecepatan tinggi, benda itu menembus kening hingga belakang kepala Evan, darah segar menghiasi pagi itu. Mahluk hitam bersayap itu tersenyum..

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah, kembalilah kepada naungan tuhanmu..”

Sayap hitam berat itu perlahan terangkat, membawa ruh seorang manusia yang menjawab hidayah tuhannya. Memohon ampunan di saat yang tepat, dan akhirnya, memperoleh senyuman kebaikan di akhir hidupnya.
………………………………………………………………
Peraturan pertama para pembunuh adalah tidak boleh berada di suatu tempat 2 kali, apalagi jika itu tempat dia pernah melakukan pembunuhan. Karena seringkali, penjahat lain juga mendiami tempat tersebut, menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.

Sangat jarang ada orang yang bersegera menerima hidayah. Maka, meskipun itu penjahat sekalipun, ketika di akhir hayat dia memutuskan untuk memohon ampunan, maka Allah akan memberikan yang terbaik baginya. Dosa-dosa tetap harus dipertanggungjawabkan, namun setidaknya di akhir hayatnya dia lancar menyebut dan mengakui Allah sebagai tuhannya.
…………………………………………………………………

Wallahu ‘Alam
Surakarta, kamis, 9 Dzulhijjah 1438 Hijirah

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/sendiri.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 

No comments:

Post a Comment