Dul, Physical Education dan Tour de PPNK
Banyak orang diluar sana mungkin mengira
pondok pesantren adalah tempat tegas, disiplin dan keras. Dan anda betul! 100
untuk keluarga anda! Pondok memang tempat seperti itu, tidak salah,
bener-bener-bener, sejak awal santri memang dituntut kedisiplinan dan ketahanan
fisiknya. Jika anda sekalian merasa lemah syahwat, segera berobat sebelum masuk
pesantren (eh kata siapa? Buat apa?) karena bisa jadi anda-anda sekalian akan
habis dan tumbang pada pekan pertama.
Itulah pengalaman ane dan
teman-teman, hari pertama memang penuh dengan beban mental. Tetapi, hari-hari
berikutnya tidak hanya mental saja yang habis, fisik dan staminapun terkuras
habis. Agenda PSNK dimulai sejak jam 03.00 pagi, dan seperti biasa, paket fisik
menjadi sarapan. Hari ini, hari kedua, paket fisik yang biasanya bending
diganti dengan push-up. Porsi nya sama, ditambah dengan hitungan hukuman. Jelas
bukan sesuatu yang ringan, haha, apalagi buat anak-anak SD. Ane sempet lihat
Jean bermelas-melas ria, dia bahkan tidur dengan menggunakan seragam PSNK, usut
punya usut, di hari pertama dia kena hukuman spesial 100 push up karena
terlambat datang ke masjid.
Setelah paket pagi hingga subuh,
dalam 45 menit kami semua harus sudah mandi dan sarapan, untuk memulai agenda
berikutnya. Suara sirene dan pukulan rotan menjadi alarm dan penanda
keterlambatan atau pergantian agenda. Kakak-kakak panitia bener-bener kelihatan
sangarnya, apalagi jika sudah masuk hitungan hukuman. Kakak yang kemarin jadi
pemimpin upacara sering menjadi eksekutor-eksekutor dalam hukuman, dan gilanya,
dia menghukum kami dengan senyum. Psiko.
Sebenarnya ane agak nggak paham,
kenapa kok stamina ane dan temen-temen dikuras habis, untuk tujuan apa ane juga
nggak paham. Karena bahkan sampai hari kedua, kami lebih sering duduk di
lapangan mendengarkan taujih dari ustadz-ustadz. Betul, waktu taujih adalah
waktunya kami tidur dan istirahat. Ane pun sama, dengan ember yang wajib kami
bawa artinya kami memiliki meja portable untuk tempat tidur, dan paling asik
memang tidur diatas meja. Setiap kali taujih dimulai, kompak semua manusia
mendengkur berjama’ah, bahkan kakak panitia. Tapi, selepas taujih, kembali,
push-up dan bending diamalkan. Kakak panitia terlihat segar ketika masuk
hukuman.
Sial, mereka berisitirahat agar
bisa melihat penderitaan para peserta.
Fiks selama 2 hari, push-up dan
sejenisnya menjadi makanan pokok, dan ketika kembali ke asrama, kami semua
terlalu lelah untuk ngobrol apalagi bermain. Setelah berbagai agenda malam,
kami semua bersiap untuk tidur, iseng-iseng ane membuka jadwal agenda esok
hari.
“agenda besok, pukul 07.00-15.00
jejak petualang”
Jejak petualang? Ane
bertanya-tanya, dan agenda itu selama 8 jam! Bayangkan 8 jam!
“Jean, jejak petualang itu agenda
apaan..?”
“Ane ngga tau dul, tapi kata kakak
musyrif, semacam jalan-jalan gitu..”
Oh sial. Ane ngerti sekarang, besok
kami bener-bener akan berjalan-jalan sejauh mungkin. Mengelilingi kompleks PPNK
dan desa-desa sekitarnya, hanya itu ide yang terlintas di kepala ane.
“Ayo semuanya tidur, besok agenda
nya capek banget loh..”
Mas-mas gendut sekaligus musyrif
ane, Kak Fajri memperkuat firasat ane. Besok akan jalan-jalan, dan bener-bener
capek, banget.
Keesokan harinya adalah hari
penghakiman, tebakan ane bener atau nggak. Hari ketiga dimulai saat shubuh,
kami semua dikumpulkan di masjid untuk sebuah pengumuman penting.
“Assalamualaikum, adik-adik,
setelah ini kalian semua harap segera mandi. Pukul 06.00 berkumpul di lapangan
basket, untuk persiapan jejak petualang. Hari ini agenda PSNK cuman
jalan-jalan! Jangan lupa bawa botol minum dan sapu lidi”
Singkat, padat, jelas, benar-benar
seperti komandan pasukan khusus memberikan perintah. Sekarang ane jelaskan
kenapa kok ane panik.
Pertama, PPNK terletak di kaki
gunung, otomatis, kontur daerahnya curam dan terjal. Akan banyak lembah-lembah
dan tanjakan-tanjakan. Ditambah posisi PPNK yang dikelilingi berbagai dusun,
bukan kota, otomatis akan banyak jalan-jalan yang belum beraspal.
Kedua, sejak hari pertama kami
disiapkan betul fisiknya. Maka disimpulkan, rute jejak petualang kali ini akan
“betul-betul jejak petualang”, alias sama seperti di TV. Mendaki gunung,
melewati lembah, menerabas hutan. Daerah di sekitar PPNK memang masih asri,
jadi tidak heran akan cukup banyak sungai, hutan, sawah-ladang untuk medan
perjalanan standar PPNK.
Ketiga, mungkin kalian akan bilang
“halah, presenter jejak petualang saja berani kok naik turun gunung, padahal
cewek”. Memang nggak salah, cuman lihat dia! Sepatunya sepatu standar outdoor,
barang-barang dimuat dalam tas punggung, peralatan keselamatan pun selalu
sedia. Hla kita? Barang-barang disimpan dalam ember yang diikatkan ke tubuh
dengan seutas tali raffia. Sepatu kami adalah spesies sepatu indoor, bukan
sepatu multi-fungsi seperti yang di TV. Ane pernah liat seorang santri
terpleset jatuh di lapangan dan dilarikan ke klinik karena mengalami
pendarahan, padahal lapangan kami adalah lapangan plester semen. Coba bayangkan
jika sepatu adidas KW ini bertemu dengan tebing terjal, curam dan licin. Hah!
Tiga alasan tadi cukup untuk
membuat ane was-was dan takut, cukup banyak hal dipertaruhkan untuk acara
orientasi konyol ini. Dan jujur, ane ngga siap mati di acara konyol semacam
ini.
Peringatan, tulisan ini penuh dengan kalimat hiperbola dan segala macam
alay-alay, jangan diseriusi (tapi beberapa emang bener sih)
Perjalanan-pun dimulai, semua
santri baru dibagi dalam kelompok beranggotakan 12 orang. Dengan teriakan
takbir kami semua diberangkatkan, dan ane melihat lapangan basket PPNK
lekat-lekat untuk terakhir kalinya (ini contoh alay-nya).
Jalanan aspal menyambut kami, cukup
menenangkan karena kami masih berjalan melewati kawasan hutan bambu disekita
pondok. Tetapi, muka ane segera pias, karena di sebuah jembatan kecil,
dibawahnya ada sungai mongering, kami semua dipaksa turun ke sungai kering itu,
dan kami bergerak keatas, menuju hulu sungai. Rute yang berbatu-batu, dengan
sedikit aliran air, rute tersebut benar-benar licin. 250 orang laki-laki,
berkerumun melintasi sungai tersebut.
Ane terus berjalan, terlihat
beberapa bagian air menggenang dan berwarna keruh, dan setumpuk sampah menghiasi
sungai. Air sungai tidak segar, betul-betul dia berbau busuk, mungkin karena
musim kemarau kali ya?
Selepas menemui semacam air terjun
buatan, kami diminta naik keatas dan menuju pemukiman penduduk di sekitar
pondok. Rasa lega, karena tidak ada satupun peserta yang terpleset atau
terjatuh. Termasuk ane. Perlu ane ingetin, kami tidak memakai tas sebagai alat
pembawa barang. Kami sekelompok orang membawa ember dan sapu lidi. Inget, ember
dan sapu lidi.
Selepas masuk pemukiman, kami semua
beristirahat dan memakan bekal. Jangan dikira bekal-nya berupa makanan-makanan
enak seperti bekal pecinta alam. Ane akan jelasin, bekal khas PPNK.
Dalam setiap acara jalan-jalan,
PPNK selalu memiliki bekal khas.
Pertama, bekal berupa roti bakpia
bermerek nama-cewek-di-lagi-Sheila on Seven (SO7). Roti ini murah, dimasa itu
satu potong berharga 500 dan berukuruan cukup besar. Roti ini sangat enak,
karena komposisi terigu dan kacang hijau isinya, lebih banyak kacang hijaunya.
Roti ini seperti makanan pokok, dalam setiap perjalanan PPNK.
Kedua, 5 butir permen kopi. Ane
sebenarnya agak kurang paham khasiat dari permen kopi, tapi satu saja alasan,
permen kopi ini memang enak jika dijadikan teman ngemut sepanjang jalan.
Ketiga, sepotong besar gula jawa.
Madu sebenarnya sumber energy terbaik, tapi harga madu kadang mahal dan ribet
dibawa. Jadilah gula jawa sebagai pilihan. Masalahnya, gula jawa di Kota Logam
ini ukurannya sebesar batok kelapa. Gede banget. Ukuran cup nya apa ya? Ah
lupakan. Akhirnya seringkali satu gula jawa dipakai sekelompok. Bagaimana cara
membaginya? Ada dua cara, dipecah dengan batu atau diemut bersama-sama.
Keempat, botol kosong. Jarang
banget ada santri PPNK kalau jalan-jalan begini bawa botol penuh, alasannya
simple, berat. Akhirnya kami memilih membawa botol kosong, yang nanti akan
diisi dengan air. Air apa? Apapun air itu selama itu jernih dan mengalir, itu
jadi sumber air kami. Mau itu air irigasi atau apapun, kami semua sepakat
menyebutnya “mata air”. Nggak, nggak ada, kita semua menyebut semua itu “mata
air”. Kubilang, itu semua “mata air”, oke? Ngerti? “MATA AIR!”.
Beberapa santri terlihat mengambil
air di “mata air” terdekat, di sekitar pemukiman itu ada sawah soalnya. Dan
kami menanti keberangkatan berikutnya, menembus pemukiman penduduk. Alhamdulillah,
trek perjalanannya lebih ringan dari rute sungai kering sebelumnya. Seorang
teman seperjalanan, namanya Muhammad kalau tidak salah, terlihat meminum air
dari “mata air”. Rasa hauslan yang menang, akhirnya ane mencoba dan meminum
“mata air” itu, dan, rasanya tidak buruk. Air, iya, itu air, air.
Rute nyaman hanya berlangsung
singkat, karena seorang kakak senior sudah menanti di sebuah jembatan. Bedanya,
sungai satu ini sangat deras. Terdengar suara air terjun dalam jarak dekat.
“kalian jalan mengikuti pinggiran
sungai ini ya, hati-hati, jangan terpeleset. Sungai ini deras dan sangat dalam”
Akhirnya kami berjalan,
berhati-hati meniti pinggiran beton pembatas sungai. Kami tidak bisa berjalan
di tanah, karena jarak antara pembatas dan tanah adalah setinggai 2 meter. Mau
tidak mau, secara was-was kami berjalan pelan-pelang, hingga bertemu dengan
sumber suara berisik itu.
Sebuah pintu air, tertulis tahun
1985 disana. Dengan plang buka tutup terbuat dari besi, terlihat sudah tua.
Berkubik-kubik air terlihat turun melintasi pintu air kecil itu, terlihat
pinggiran beton di pinggir pintu air agak basah-basah aneh. Seperti ada
seseorang yang ditarik keatas. Dua orang kakak panitia menyambut kami dengan
senyum.
“Alhamdulillah kalian selamat ya.
Sebelum kalian ada anak yang nyemplung di sungai, untung nggak jauh di air
terjun-nya. Haha..”
HAHA! Katanya HAHA coba! Seolah
manusia ini pernah berhadapan dengan sesuatu yang lebih konyol daripada seorang
anak kecil terjebur di sungai yang cukup dalam.
“silahkan kalian ikutin jalan ini
ya, hati-hati, kalian akan masuk hutan soalnya”
Belum sempat kami bertanya
bagaimana kondisi anak yang tercebur, kami disuruh langsung melanjutkan
perjalanan, dan betul, rute didepan murni hutan cukup lebat. Tanah dibawah kami
terasa sangat lembab, udara terasa berat, dan berbagai jenis laba-laba terlihat
membuat sarang-sarang raksasa diatas kami. Terlihat laba-laba seukuran telapak
tangan manusia dewasa tengah menikmati makan siangnya. Seekor cecak pohon.
Diujung jalan, ane terkejut karena
hutannya sudah berakhir, dan di depan kami terbentang tebing super tinggi. Tingkat
kecuramannya sekitar 75 derajat.
“AYO YANG DIBAWAH!! 10 HITUNGAN
SUDAH HARUS SAMPE ATAS SINI!!!!”
Pontang-panting ane dan teman-teman
berlari menaiki tebing curam itu. Bisa dibayangkan, tebing itu betul-betul
terdiri dari tanah merah. Karena beberapa kelompok sebelumnya sempat
menaikinya, maka tebing itu betul-betul licin, karena licin itu, ane punya
kesempatan untuk menjadi pahlawan.
Seorang teman seperjalanan bernama
Patih, bertubuh kecil, tentu tidak imbang dengan ember besar yang dia bawa. Ditambah
dengan dia berlari pontang-panting, maka ember besar itu benar-benar menjadi
beban tersendiri buat dia. Ember berisi peralatan yang cukup berat ini
terombang-ambing kekanan dan kekiri, dan terlihat sangat berbahaya.
Bersyukurlah kepada Allah, dan
terkutuklah sepatu Adidas KW buatan PPNK. Pada satu langkah, Patih menginjak
tanah yang sangat licin, betul-betul licin, dan membuat pijakannya goyah. Ember
jelek menariknya kebawah karena bebannya, dan dia sudah ada posisi hampir
jatuh. Ane didepannya, entah dengan reflek apa, berhasil menggenggam tangannya
dan menahan dia agar tidak jatuh. Tutup ember melayang dan jatuh ke tanah,
Patih terlihat sangat pucat, dan ane setengah tidak percaya atas aksi ane
barusan. AMAJING!
Ane jadi pahlawan! Menyelamatkan nyawa
orang! Bayangkan! Padahal di SD bisa dibilang ane ngga punya banyak teman. Bahkan
lebih sering berkelahi dengan teman-teman sekelas. Dan di hari ketiga ane di
PPNK ane menyelematkan seorang teman dari tebing! Ketinggiannya saat itu sudah
mencapai 4 meter, jika Patih betul-betul jatuh kepala duluan, bisa dibilang dia
habis.
Setelah sampai ke atas tebing, kakak
panitia terlihat mengecek keadaan Patih, yang lainnya turun kebawah untuk
memungut peralatan Patih yang berhamburan di dasar tebing. Ane pun terduduk
sambil menikmati “mata air”, menghapus sisa-sisa ketegangan barusan.
Kemudian dengan pucat, Patih
memegang pundak ane. Kasian banget mukanya dia, tingginya paling ngga sampe 140
CM!, putih, bersih, rambutnya belah tengah, dan mukanya pucat! Dia ngga ngomong
banyak sih, tapi mungkin kata-kata itu sangat penting. Karena terlihat diapun
kesulitan untuk berdiri, tapi dia memaksa untuk berbicara kepada ane.
“Dul, makasih ya, barusan ente
nyelametin ane..”
Angin gunung dan sawah seolah
berhembus sangat keras, menyentuh jiwa ane yang terdalam. Terus terang ane
belum pernah mengalami itu selama ane hidup di sekolah dasar. Ane mungkin juga
pernah menangis karena masalah ini dulu, tapi sekarang ane menyadari sesuatu..
Mungkin disinilah ane bener-bener bisa memahami apa artinya”teman”
-Continued
Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
Atau kalau mau baca tulisan ane yang lain bisa klik disini:
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!
Share, Follow and Comment!!
No comments:
Post a Comment