Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Wednesday, April 26, 2017

Hikayat Santren : Dul, Physical Education dan Tour de PPNK



Dul, Physical Education dan Tour de PPNK

Banyak orang diluar sana mungkin mengira pondok pesantren adalah tempat tegas, disiplin dan keras. Dan anda betul! 100 untuk keluarga anda! Pondok memang tempat seperti itu, tidak salah, bener-bener-bener, sejak awal santri memang dituntut kedisiplinan dan ketahanan fisiknya. Jika anda sekalian merasa lemah syahwat, segera berobat sebelum masuk pesantren (eh kata siapa? Buat apa?) karena bisa jadi anda-anda sekalian akan habis dan tumbang pada pekan pertama.

Itulah pengalaman ane dan teman-teman, hari pertama memang penuh dengan beban mental. Tetapi, hari-hari berikutnya tidak hanya mental saja yang habis, fisik dan staminapun terkuras habis. Agenda PSNK dimulai sejak jam 03.00 pagi, dan seperti biasa, paket fisik menjadi sarapan. Hari ini, hari kedua, paket fisik yang biasanya bending diganti dengan push-up. Porsi nya sama, ditambah dengan hitungan hukuman. Jelas bukan sesuatu yang ringan, haha, apalagi buat anak-anak SD. Ane sempet lihat Jean bermelas-melas ria, dia bahkan tidur dengan menggunakan seragam PSNK, usut punya usut, di hari pertama dia kena hukuman spesial 100 push up karena terlambat datang ke masjid.

Setelah paket pagi hingga subuh, dalam 45 menit kami semua harus sudah mandi dan sarapan, untuk memulai agenda berikutnya. Suara sirene dan pukulan rotan menjadi alarm dan penanda keterlambatan atau pergantian agenda. Kakak-kakak panitia bener-bener kelihatan sangarnya, apalagi jika sudah masuk hitungan hukuman. Kakak yang kemarin jadi pemimpin upacara sering menjadi eksekutor-eksekutor dalam hukuman, dan gilanya, dia menghukum kami dengan senyum. Psiko.

Sebenarnya ane agak nggak paham, kenapa kok stamina ane dan temen-temen dikuras habis, untuk tujuan apa ane juga nggak paham. Karena bahkan sampai hari kedua, kami lebih sering duduk di lapangan mendengarkan taujih dari ustadz-ustadz. Betul, waktu taujih adalah waktunya kami tidur dan istirahat. Ane pun sama, dengan ember yang wajib kami bawa artinya kami memiliki meja portable untuk tempat tidur, dan paling asik memang tidur diatas meja. Setiap kali taujih dimulai, kompak semua manusia mendengkur berjama’ah, bahkan kakak panitia. Tapi, selepas taujih, kembali, push-up dan bending diamalkan. Kakak panitia terlihat segar ketika masuk hukuman.

Sial, mereka berisitirahat agar bisa melihat penderitaan para peserta.

Fiks selama 2 hari, push-up dan sejenisnya menjadi makanan pokok, dan ketika kembali ke asrama, kami semua terlalu lelah untuk ngobrol apalagi bermain. Setelah berbagai agenda malam, kami semua bersiap untuk tidur, iseng-iseng ane membuka jadwal agenda esok hari.

“agenda besok, pukul 07.00-15.00 jejak petualang”
Jejak petualang? Ane bertanya-tanya, dan agenda itu selama 8 jam! Bayangkan 8 jam!
“Jean, jejak petualang itu agenda apaan..?”
“Ane ngga tau dul, tapi kata kakak musyrif, semacam jalan-jalan gitu..”

Oh sial. Ane ngerti sekarang, besok kami bener-bener akan berjalan-jalan sejauh mungkin. Mengelilingi kompleks PPNK dan desa-desa sekitarnya, hanya itu ide yang terlintas di kepala ane.

“Ayo semuanya tidur, besok agenda nya capek banget loh..”

Mas-mas gendut sekaligus musyrif ane, Kak Fajri memperkuat firasat ane. Besok akan jalan-jalan, dan bener-bener capek, banget.

Keesokan harinya adalah hari penghakiman, tebakan ane bener atau nggak. Hari ketiga dimulai saat shubuh, kami semua dikumpulkan di masjid untuk sebuah pengumuman penting. 

“Assalamualaikum, adik-adik, setelah ini kalian semua harap segera mandi. Pukul 06.00 berkumpul di lapangan basket, untuk persiapan jejak petualang. Hari ini agenda PSNK cuman jalan-jalan! Jangan lupa bawa botol minum dan sapu lidi”

Singkat, padat, jelas, benar-benar seperti komandan pasukan khusus memberikan perintah. Sekarang ane jelaskan kenapa kok ane panik.

Pertama, PPNK terletak di kaki gunung, otomatis, kontur daerahnya curam dan terjal. Akan banyak lembah-lembah dan tanjakan-tanjakan. Ditambah posisi PPNK yang dikelilingi berbagai dusun, bukan kota, otomatis akan banyak jalan-jalan yang belum beraspal.

Kedua, sejak hari pertama kami disiapkan betul fisiknya. Maka disimpulkan, rute jejak petualang kali ini akan “betul-betul jejak petualang”, alias sama seperti di TV. Mendaki gunung, melewati lembah, menerabas hutan. Daerah di sekitar PPNK memang masih asri, jadi tidak heran akan cukup banyak sungai, hutan, sawah-ladang untuk medan perjalanan standar PPNK.

Ketiga, mungkin kalian akan bilang “halah, presenter jejak petualang saja berani kok naik turun gunung, padahal cewek”. Memang nggak salah, cuman lihat dia! Sepatunya sepatu standar outdoor, barang-barang dimuat dalam tas punggung, peralatan keselamatan pun selalu sedia. Hla kita? Barang-barang disimpan dalam ember yang diikatkan ke tubuh dengan seutas tali raffia. Sepatu kami adalah spesies sepatu indoor, bukan sepatu multi-fungsi seperti yang di TV. Ane pernah liat seorang santri terpleset jatuh di lapangan dan dilarikan ke klinik karena mengalami pendarahan, padahal lapangan kami adalah lapangan plester semen. Coba bayangkan jika sepatu adidas KW ini bertemu dengan tebing terjal, curam dan licin. Hah!

Tiga alasan tadi cukup untuk membuat ane was-was dan takut, cukup banyak hal dipertaruhkan untuk acara orientasi konyol ini. Dan jujur, ane ngga siap mati di acara konyol semacam ini. 

Peringatan, tulisan ini penuh dengan kalimat hiperbola dan segala macam alay-alay, jangan diseriusi (tapi beberapa emang bener sih)

Perjalanan-pun dimulai, semua santri baru dibagi dalam kelompok beranggotakan 12 orang. Dengan teriakan takbir kami semua diberangkatkan, dan ane melihat lapangan basket PPNK lekat-lekat untuk terakhir kalinya (ini contoh alay-nya).

Jalanan aspal menyambut kami, cukup menenangkan karena kami masih berjalan melewati kawasan hutan bambu disekita pondok. Tetapi, muka ane segera pias, karena di sebuah jembatan kecil, dibawahnya ada sungai mongering, kami semua dipaksa turun ke sungai kering itu, dan kami bergerak keatas, menuju hulu sungai. Rute yang berbatu-batu, dengan sedikit aliran air, rute tersebut benar-benar licin. 250 orang laki-laki, berkerumun melintasi sungai tersebut.

Ane terus berjalan, terlihat beberapa bagian air menggenang dan berwarna keruh, dan setumpuk sampah menghiasi sungai. Air sungai tidak segar, betul-betul dia berbau busuk, mungkin karena musim kemarau kali ya?

Selepas menemui semacam air terjun buatan, kami diminta naik keatas dan menuju pemukiman penduduk di sekitar pondok. Rasa lega, karena tidak ada satupun peserta yang terpleset atau terjatuh. Termasuk ane. Perlu ane ingetin, kami tidak memakai tas sebagai alat pembawa barang. Kami sekelompok orang membawa ember dan sapu lidi. Inget, ember dan sapu lidi.

Selepas masuk pemukiman, kami semua beristirahat dan memakan bekal. Jangan dikira bekal-nya berupa makanan-makanan enak seperti bekal pecinta alam. Ane akan jelasin, bekal khas PPNK.
Dalam setiap acara jalan-jalan, PPNK selalu memiliki bekal khas. 

Pertama, bekal berupa roti bakpia bermerek nama-cewek-di-lagi-Sheila on Seven (SO7). Roti ini murah, dimasa itu satu potong berharga 500 dan berukuruan cukup besar. Roti ini sangat enak, karena komposisi terigu dan kacang hijau isinya, lebih banyak kacang hijaunya. Roti ini seperti makanan pokok, dalam setiap perjalanan PPNK.

Kedua, 5 butir permen kopi. Ane sebenarnya agak kurang paham khasiat dari permen kopi, tapi satu saja alasan, permen kopi ini memang enak jika dijadikan teman ngemut sepanjang jalan.

Ketiga, sepotong besar gula jawa. Madu sebenarnya sumber energy terbaik, tapi harga madu kadang mahal dan ribet dibawa. Jadilah gula jawa sebagai pilihan. Masalahnya, gula jawa di Kota Logam ini ukurannya sebesar batok kelapa. Gede banget. Ukuran cup nya apa ya? Ah lupakan. Akhirnya seringkali satu gula jawa dipakai sekelompok. Bagaimana cara membaginya? Ada dua cara, dipecah dengan batu atau diemut bersama-sama.

Keempat, botol kosong. Jarang banget ada santri PPNK kalau jalan-jalan begini bawa botol penuh, alasannya simple, berat. Akhirnya kami memilih membawa botol kosong, yang nanti akan diisi dengan air. Air apa? Apapun air itu selama itu jernih dan mengalir, itu jadi sumber air kami. Mau itu air irigasi atau apapun, kami semua sepakat menyebutnya “mata air”. Nggak, nggak ada, kita semua menyebut semua itu “mata air”. Kubilang, itu semua “mata air”, oke? Ngerti? “MATA AIR!”.

Beberapa santri terlihat mengambil air di “mata air” terdekat, di sekitar pemukiman itu ada sawah soalnya. Dan kami menanti keberangkatan berikutnya, menembus pemukiman penduduk. Alhamdulillah, trek perjalanannya lebih ringan dari rute sungai kering sebelumnya. Seorang teman seperjalanan, namanya Muhammad kalau tidak salah, terlihat meminum air dari “mata air”. Rasa hauslan yang menang, akhirnya ane mencoba dan meminum “mata air” itu, dan, rasanya tidak buruk. Air, iya, itu air, air.

Rute nyaman hanya berlangsung singkat, karena seorang kakak senior sudah menanti di sebuah jembatan. Bedanya, sungai satu ini sangat deras. Terdengar suara air terjun dalam jarak dekat.

“kalian jalan mengikuti pinggiran sungai ini ya, hati-hati, jangan terpeleset. Sungai ini deras dan sangat dalam”

Akhirnya kami berjalan, berhati-hati meniti pinggiran beton pembatas sungai. Kami tidak bisa berjalan di tanah, karena jarak antara pembatas dan tanah adalah setinggai 2 meter. Mau tidak mau, secara was-was kami berjalan pelan-pelang, hingga bertemu dengan sumber suara berisik itu.

Sebuah pintu air, tertulis tahun 1985 disana. Dengan plang buka tutup terbuat dari besi, terlihat sudah tua. Berkubik-kubik air terlihat turun melintasi pintu air kecil itu, terlihat pinggiran beton di pinggir pintu air agak basah-basah aneh. Seperti ada seseorang yang ditarik keatas. Dua orang kakak panitia menyambut kami dengan senyum.

“Alhamdulillah kalian selamat ya. Sebelum kalian ada anak yang nyemplung di sungai, untung nggak jauh di air terjun-nya. Haha..”

HAHA! Katanya HAHA coba! Seolah manusia ini pernah berhadapan dengan sesuatu yang lebih konyol daripada seorang anak kecil terjebur di sungai yang cukup dalam.

“silahkan kalian ikutin jalan ini ya, hati-hati, kalian akan masuk hutan soalnya”

Belum sempat kami bertanya bagaimana kondisi anak yang tercebur, kami disuruh langsung melanjutkan perjalanan, dan betul, rute didepan murni hutan cukup lebat. Tanah dibawah kami terasa sangat lembab, udara terasa berat, dan berbagai jenis laba-laba terlihat membuat sarang-sarang raksasa diatas kami. Terlihat laba-laba seukuran telapak tangan manusia dewasa tengah menikmati makan siangnya. Seekor cecak pohon.

Diujung jalan, ane terkejut karena hutannya sudah berakhir, dan di depan kami terbentang tebing super tinggi. Tingkat kecuramannya sekitar 75 derajat.

“AYO YANG DIBAWAH!! 10 HITUNGAN SUDAH HARUS SAMPE ATAS SINI!!!!”

Pontang-panting ane dan teman-teman berlari menaiki tebing curam itu. Bisa dibayangkan, tebing itu betul-betul terdiri dari tanah merah. Karena beberapa kelompok sebelumnya sempat menaikinya, maka tebing itu betul-betul licin, karena licin itu, ane punya kesempatan untuk menjadi pahlawan.

Seorang teman seperjalanan bernama Patih, bertubuh kecil, tentu tidak imbang dengan ember besar yang dia bawa. Ditambah dengan dia berlari pontang-panting, maka ember besar itu benar-benar menjadi beban tersendiri buat dia. Ember berisi peralatan yang cukup berat ini terombang-ambing kekanan dan kekiri, dan terlihat sangat berbahaya.

Bersyukurlah kepada Allah, dan terkutuklah sepatu Adidas KW buatan PPNK. Pada satu langkah, Patih menginjak tanah yang sangat licin, betul-betul licin, dan membuat pijakannya goyah. Ember jelek menariknya kebawah karena bebannya, dan dia sudah ada posisi hampir jatuh. Ane didepannya, entah dengan reflek apa, berhasil menggenggam tangannya dan menahan dia agar tidak jatuh. Tutup ember melayang dan jatuh ke tanah, Patih terlihat sangat pucat, dan ane setengah tidak percaya atas aksi ane barusan. AMAJING!

Ane jadi pahlawan! Menyelamatkan nyawa orang! Bayangkan! Padahal di SD bisa dibilang ane ngga punya banyak teman. Bahkan lebih sering berkelahi dengan teman-teman sekelas. Dan di hari ketiga ane di PPNK ane menyelematkan seorang teman dari tebing! Ketinggiannya saat itu sudah mencapai 4 meter, jika Patih betul-betul jatuh kepala duluan, bisa dibilang dia habis. 

Setelah sampai ke atas tebing, kakak panitia terlihat mengecek keadaan Patih, yang lainnya turun kebawah untuk memungut peralatan Patih yang berhamburan di dasar tebing. Ane pun terduduk sambil menikmati “mata air”, menghapus sisa-sisa ketegangan barusan.

Kemudian dengan pucat, Patih memegang pundak ane. Kasian banget mukanya dia, tingginya paling ngga sampe 140 CM!, putih, bersih, rambutnya belah tengah, dan mukanya pucat! Dia ngga ngomong banyak sih, tapi mungkin kata-kata itu sangat penting. Karena terlihat diapun kesulitan untuk berdiri, tapi dia memaksa untuk berbicara kepada ane.

“Dul, makasih ya, barusan ente nyelametin ane..”

Angin gunung dan sawah seolah berhembus sangat keras, menyentuh jiwa ane yang terdalam. Terus terang ane belum pernah mengalami itu selama ane hidup di sekolah dasar. Ane mungkin juga pernah menangis karena masalah ini dulu, tapi sekarang ane menyadari sesuatu..

Mungkin disinilah ane bener-bener bisa memahami apa artinya”teman”

-Continued

Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com

Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini : 

Atau kalau mau baca tulisan ane yang lain bisa klik disini:
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!

No comments:

Post a Comment