Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Wednesday, November 9, 2016

Saya dan Sumpah Pemuda : Lingkar Peradaban



Lingkar-lingkar peradaban

Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam
Baktinusa 6 (Enam) UNS

Beberapa orang mungkin telah terjun jauh kedasar samudera, menanam terumbu karang demi kelestarian ekosistem bawah laut. Beberapa orang mungkin tersesat berhari-hari di hutan hujan Borneo untuk mempelajari alkali-alkali baru, konon bisa menyembuhkan kangker. Beberapa orang mungkin bergerak naik turun di Mahameru, memungut sampah-sampah dan menjaga ekosistem eidelweiss. Beberapa orang diluar sana mungkin telah beranjak, melakukan hal besar baik otentik, ataupun meneruskan gagasan para pemimpi.

Mereka hebat dan menginspirasi, seolah ribuan kata tidak mampu untuk menggambarkan betapa dunia berhutang kepada mereka. Bukan hanya nasib manusia yang diselamatkan, namun juga nasib milayaran mahluk hidup yang menghuni bumi ini. Bahkan, beberapa orang yang berpikiran maju, berusaha turut mengelola dan mempelajari kehidupan mahluk diluar angkasa sana, mengirim sinyal radio, mengirimkan misi-misi satelit, hingga memprediksi di planet mana manusia bisa hidup dan berkembang biak. Cerita fantasi Keppler menjadi nyata, koloni-koloni manusia tengah menuju tahap realisasi.

Ditengah hingar binger dunia aku hanya menegok sekilas keluar jendela, jendela yang sempit, kecil, bahkan sinar matahari tidak mampu masuk dan membuat kamarku lembab. Sangat sulit menjaga buku di kamar seperti itu, koleksi 120 judul buku-ku berkali-kali dihinggapi jamur. Meliat dunia seperti aku melihat janji-janji tuhan sedang dijajal oleh manusia. Janji tuhan, “hai manusia dan jin, jika kamu mau kamu dapat menjelajah hingga ujung alam semesta dan ujung bumi. Dan kamu tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan kekuatan”. Seolah berlomba orang mewujudkan impian itu, menjadi yang pertama menyentuh ujung angkasa, atau bersentuhan dengan ujung bumi. Disaat itu aku hanya menatap pada segerombolan anak kecil yang suka berlarian dan bermain-main, dan perlahan berbisik, “akan jadi apa mereka”.

Aku mengerti betul, banyak orang diluar sana telah melakukan hal besar, hal-hal luar biasa yang aku saat ini belum mampu melakukannya. Beberapa orang anak emas persepakbolaan telah menjajal karier professional bahkan di piala dunia saat berumur 18 atau 19 tahun. Beberapa orang lain telah memperoleh hingga gelar master disaat aku masih tertatih-tatih mengejar target seminar proposal. Namun sekali lagi aku teringat anak-anak itu, mereka bermain dengan riang gembira, mereka bermain dengan kesenangan. Sinar kebahagiaan dan masa depan terpancar jelas di bola mata anak-anak itu, seolah mereka berkata “aku akan meneruskan langkahmu kakak”.

Disaat itulah aku memperoleh suatu kesadaran, kesadaran yang mungkin tidak akan dating lagi jika aku tidak menanggapinya dengan serius. Kesadaraan itu berkali-kali berkata, merekalah amanahmu, tetapi kamu tidak akan mampu mengelola mereka sendirian. Pemikiran liar itu berkali-kali melintas, saya ingin memberikan sesuatu, menyiapkan sebuah dunia dimana mereka, para anak-anak itu, tinggal menyelesaikan dan mewujudkan cita-cita besar kemakmuran peradaban Indonesia. Iya, aku, sekarang tengah berporses menuju peradaban yang akan dilihat dan dinikmati oleh mereka, aku, yang merupakan produk akhir dari rezim otoriter akan menyiapkan sebuah tatanan peradaban bagi mereka, putra-putri reformasi.

Maka, aku memutuskan menyiapkan sumber utama untuk mewjudkan sebuah peradaban, mewujudkan sebuah tatanan ideal. Melihat para manusia dengan kiprah luar biasa untuk dunia, aku terpanggil, ditambah dengan kesadaran yang menghantam kepalaku, aku memahami sesuatu, sesuatu yang dulu pernah menyelamatkanku dan mungkin akan mampu mewujudkan obsesi besarku untuk menciptakan sebuah tatanan peradaban. Aku, akan mencetak sebanyak mungkin orang yang mampu menjadi actor-aktor peradaban, aku akan mengabdikan diri dan kapabilitasku untuk menjadikan sosok-sosok impian, representasi sebuah peradaban tinggi.

Aku mengkoreksi rencana hidup awalku yang penuh dengan obsesi individu. Aku dengan tegas mencoret keinginanku untuk masuk ke sebuah industry petroleum terkemuka milik asing, karena aku tidak mampu karunia Allah yang aku miliki dipakai untuk kepentingan asing. Aku memilih mengabdikan diriku pada pengetahun, pengetahuan yang mempelajari dan membentuk sosok-sosok manusia unggul. Aku, berusaha bekerja bersama bayangan, dibalik mereka, para cahaya hasil buah tanganku.

Mulailah aku mencari mutiara-mutiara terpendam itu. Mencoba senantiasa hadir bersama mereka, mencintai mereka bahkan memberikan waktu dan tenaga untuk mendorong mereka. Buah pertama aku petik, sebuah mutiara berhasil bersinar menjadi maahasiswa berprestasi di sebuah fakultas. Berikutnya aku panen, seorang aktifis pacaran menyerah dan berhenti, serta memilih terjun untuk berdakwah, seorang mentari berhasil membukukan omset jutaan dengan bisnis distro-nya, dan mentari yang lain Berjaya memenangkan sebuah kompetisi nasional. Aku hanya tersenyum, menyaksikan keindahan mereka, menikmati hasil kerjaku dari kejauhan, aku mengakui, aku menangis bahagia.

Berikutnya, aku melanjutkan langkahku, aku memperluas bidang pencarianku, berusaha menyentuh titik terjauh yang bisa aku gapai. Berkumpulah 5 mutiara, bersama kami berjuang membangun sebuah dusun, melawan hegemoni kaum misionaris dengan sebuah rumah belajar sederhana, haisl derma dari saudagar-saudagar muslim di kota Surakarta maupun Semarang. Senyum anak-anak yang kulihat di jendelaku dulu aku nikmati dari dekat. Celoteh riang saat bersama belajar, bersama membaca, bersama bercerita menjadi sebuah hiburan tersendiri. Di tengah pekatnya udara kampus, senyuman mereka hadir menyibak sempitnya pikiran. Selama setahun, kami hadir dan berhasil membawa senyuman. Bersama para mutiara itu, aku hanya melihat dari kejauhan, namun, aku puas, pada akhirnya kebahagiaan bisa kami bawa ke dusun itu.

Namun kebahagiaan itu berlangsung sangat singkat, buah yang kunikmati menghilang dalam sekejap. Transisi kepemimpinan dan pengelolaan dusun menuntut kerja ekstra kami untuk menyiapkan generasi penerus, dan aku tidak memliki kemampuan untuk menangani hal ini. Mutiara-mutiara baru yang harus aku kelola memiliki cahaya yang jauh lebih terang, lebih bersemangat, dan tentu saja, apa yang aku miliki menghilang begitu saja. Aku gagal menjadi inspirasi bagi mereka, yang berarti, aku gagal mengelola mereka. 

Akhirnya, aku memutuskan aku harus memiliki sebuah system, sebuah kurikulum yang tidak lagi mengandalkan kedekatan kultural. Akupun memulai mengelola berbagai lingkaran, bahkan dalam setiap kesempatan aku ingin membuat lingkaran-lingkaran itu. Dengan system mentoring, aku mencoba menciptakan sebuah ikatan kekeluargaan yang jauh lebih kuat dari ikatan kulturalku sebelumnya. Ikatan kultural dan sturktural yang senantiasa menuntutku untuk menjadi contoh bagi mereka yang ada di dalam lingkaranku. Lingkaran-lingkaran yang aku bisa menentukan, akan jadi apa mereka, akan berperan apa mereka dalam mewujudkan sebuah peradaban.

Akhirnya semua berjalan, buah mulai terlihat masak untuk dipanen, dan pewarisan obsesi serta cita-cita telah berjalan dalam sebuah system. Gambaran peradaban ideal telah terporyeksi pada para anggota lingkaran, bukan sembarang proyeksi, namun proyeksi tunggal dengan frekuensi yang sama. Muncullah mutiara-mutiara itu, bukan mutiara alamiah, namun mutiara yang dikondisikan. Mutiara pertama lahir dalam sosok pemimpin, berhasil meuwujudkan sebuah agenda bertaraf nasional saat pertama kali diluncurkan. Mutiara kedua menetas, keluar dari kungkungan kesulitan ekonomi, dia menokoh dan bekerja untuk 8 (delapan) lembaga mahasiswa berbeda. Berikutnya muncullak sosok pebisnis ulet, berawal dari cita-cita membuat sebuah warung soto, dia “dipaksa” mengelola produk konveksi dan mendatangkan keuntungan tidak sedikit bagi organisasi.

Mutiara-mutiara itu terus bersinar, membagi kemanfaatan, dan menjadi inspirasi. Sedangkan aku? Aku tidak diam membatu seperti dulu, menyerahkan obsesiku pada alam. Saat ini aku menolak dan bangkit, aku bangkit membawa diriku dengan tujuan tempat yang lebih tinggi. Tempat yang lebih terang dari para mutiara yang aku bina, yang aku bentuk. Aku berusaha keras menjadi contoh, berperan lebih banyak dari mereka. Selain itu, di berbagai kesempatan yang aku diizinkan berbicara pada khalayak, senantiasa obsesi peradaban itu aku sebar. Bukan apa apa, karena aku yakin, peradaban tinggi adalah cita-cita para pendiri bangsa ini. Aku yakin, di tangan kita-lah, perwujudan dari obsesi itu.

Aku masih berkutat dengan lingkaran-lingkaranku. Seperti seorang pemahat dengan batu marmer-nya atau pandai besi dengan bijih besi-nya. Bedanya aku menolak utuk menyerah, aku senantiasa belajar. Karena selain aku menjadi bayangan bagi para mutiara itu, aku pun adalah mutiara, hasil  pengorbanan guru-guru ku dahulu. Dan tidaklah sebuah kebaikan dibalas dengan kebaikan.
Untuk peradaban Indonesia, Muhammad Abdullah ‘Azzam

Muhammad Abdullah ‘Azzam adalah mahasiswa jurusan manajemen FEB UNS. Sekarang tengah menjadi ketua umum BPPI FEB UNS, sebuah lembaga dakwah di FEB UNS. Selain itu, dia juga aktif di Komisi A puskomnas FSLDK Indonesa dan Dewan Mahasiswa FEB UNS. Selain memiliki kegiatan di berbagai lembaga, dia juga aktif mengelola beberapa kelompok binaan dan beberapa website, termasuk blog pribadinya di fellofello.blogspot.com. mahasiswa berprestasi FEB UNS 2016 ini bisa dihubuni di felloloffee@gmail.com atau di 085647058903. Berkarya!,

No comments:

Post a Comment