Lingkar-lingkar peradaban
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam
Baktinusa 6 (Enam) UNS
Beberapa orang mungkin telah terjun
jauh kedasar samudera, menanam terumbu karang demi kelestarian ekosistem bawah
laut. Beberapa orang mungkin tersesat berhari-hari di hutan hujan Borneo untuk
mempelajari alkali-alkali baru, konon bisa menyembuhkan kangker. Beberapa orang
mungkin bergerak naik turun di Mahameru, memungut sampah-sampah dan menjaga
ekosistem eidelweiss. Beberapa orang diluar sana mungkin telah beranjak, melakukan
hal besar baik otentik, ataupun meneruskan gagasan para pemimpi.
Mereka hebat dan menginspirasi,
seolah ribuan kata tidak mampu untuk menggambarkan betapa dunia berhutang
kepada mereka. Bukan hanya nasib manusia yang diselamatkan, namun juga nasib milayaran
mahluk hidup yang menghuni bumi ini. Bahkan, beberapa orang yang berpikiran
maju, berusaha turut mengelola dan mempelajari kehidupan mahluk diluar angkasa
sana, mengirim sinyal radio, mengirimkan misi-misi satelit, hingga memprediksi
di planet mana manusia bisa hidup dan berkembang biak. Cerita fantasi Keppler
menjadi nyata, koloni-koloni manusia tengah menuju tahap realisasi.
Ditengah hingar binger dunia aku
hanya menegok sekilas keluar jendela, jendela yang sempit, kecil, bahkan sinar
matahari tidak mampu masuk dan membuat kamarku lembab. Sangat sulit menjaga
buku di kamar seperti itu, koleksi 120 judul buku-ku berkali-kali dihinggapi
jamur. Meliat dunia seperti aku melihat janji-janji tuhan sedang dijajal oleh
manusia. Janji tuhan, “hai manusia dan jin, jika kamu mau kamu dapat menjelajah
hingga ujung alam semesta dan ujung bumi. Dan kamu tidak akan mampu
melakukannya kecuali dengan kekuatan”. Seolah berlomba orang mewujudkan impian
itu, menjadi yang pertama menyentuh ujung angkasa, atau bersentuhan dengan
ujung bumi. Disaat itu aku hanya menatap pada segerombolan anak kecil yang suka
berlarian dan bermain-main, dan perlahan berbisik, “akan jadi apa mereka”.
Aku mengerti betul, banyak orang
diluar sana telah melakukan hal besar, hal-hal luar biasa yang aku saat ini
belum mampu melakukannya. Beberapa orang anak emas persepakbolaan telah
menjajal karier professional bahkan di piala dunia saat berumur 18 atau 19
tahun. Beberapa orang lain telah memperoleh hingga gelar master disaat aku
masih tertatih-tatih mengejar target seminar proposal. Namun sekali lagi aku
teringat anak-anak itu, mereka bermain dengan riang gembira, mereka bermain
dengan kesenangan. Sinar kebahagiaan dan masa depan terpancar jelas di bola
mata anak-anak itu, seolah mereka berkata “aku akan meneruskan langkahmu
kakak”.
Disaat itulah aku memperoleh suatu
kesadaran, kesadaran yang mungkin tidak akan dating lagi jika aku tidak
menanggapinya dengan serius. Kesadaraan itu berkali-kali berkata, merekalah
amanahmu, tetapi kamu tidak akan mampu mengelola mereka sendirian. Pemikiran
liar itu berkali-kali melintas, saya ingin memberikan sesuatu, menyiapkan
sebuah dunia dimana mereka, para anak-anak itu, tinggal menyelesaikan dan
mewujudkan cita-cita besar kemakmuran peradaban Indonesia. Iya, aku, sekarang
tengah berporses menuju peradaban yang akan dilihat dan dinikmati oleh mereka,
aku, yang merupakan produk akhir dari rezim otoriter akan menyiapkan sebuah
tatanan peradaban bagi mereka, putra-putri reformasi.
Maka, aku memutuskan menyiapkan sumber
utama untuk mewjudkan sebuah peradaban, mewujudkan sebuah tatanan ideal.
Melihat para manusia dengan kiprah luar biasa untuk dunia, aku terpanggil,
ditambah dengan kesadaran yang menghantam kepalaku, aku memahami sesuatu,
sesuatu yang dulu pernah menyelamatkanku dan mungkin akan mampu mewujudkan
obsesi besarku untuk menciptakan sebuah tatanan peradaban. Aku, akan mencetak
sebanyak mungkin orang yang mampu menjadi actor-aktor peradaban, aku akan
mengabdikan diri dan kapabilitasku untuk menjadikan sosok-sosok impian,
representasi sebuah peradaban tinggi.
Aku mengkoreksi rencana hidup
awalku yang penuh dengan obsesi individu. Aku dengan tegas mencoret keinginanku
untuk masuk ke sebuah industry petroleum terkemuka milik asing, karena aku
tidak mampu karunia Allah yang aku miliki dipakai untuk kepentingan asing. Aku
memilih mengabdikan diriku pada pengetahun, pengetahuan yang mempelajari dan
membentuk sosok-sosok manusia unggul. Aku, berusaha bekerja bersama bayangan,
dibalik mereka, para cahaya hasil buah tanganku.
Mulailah aku mencari
mutiara-mutiara terpendam itu. Mencoba senantiasa hadir bersama mereka,
mencintai mereka bahkan memberikan waktu dan tenaga untuk mendorong mereka.
Buah pertama aku petik, sebuah mutiara berhasil bersinar menjadi maahasiswa
berprestasi di sebuah fakultas. Berikutnya aku panen, seorang aktifis pacaran
menyerah dan berhenti, serta memilih terjun untuk berdakwah, seorang mentari
berhasil membukukan omset jutaan dengan bisnis distro-nya, dan mentari yang
lain Berjaya memenangkan sebuah kompetisi nasional. Aku hanya tersenyum,
menyaksikan keindahan mereka, menikmati hasil kerjaku dari kejauhan, aku
mengakui, aku menangis bahagia.
Berikutnya, aku melanjutkan
langkahku, aku memperluas bidang pencarianku, berusaha menyentuh titik terjauh
yang bisa aku gapai. Berkumpulah 5 mutiara, bersama kami berjuang membangun
sebuah dusun, melawan hegemoni kaum misionaris dengan sebuah rumah belajar
sederhana, haisl derma dari saudagar-saudagar muslim di kota Surakarta maupun
Semarang. Senyum anak-anak yang kulihat di jendelaku dulu aku nikmati dari
dekat. Celoteh riang saat bersama belajar, bersama membaca, bersama bercerita
menjadi sebuah hiburan tersendiri. Di tengah pekatnya udara kampus, senyuman
mereka hadir menyibak sempitnya pikiran. Selama setahun, kami hadir dan
berhasil membawa senyuman. Bersama para mutiara itu, aku hanya melihat dari
kejauhan, namun, aku puas, pada akhirnya kebahagiaan bisa kami bawa ke dusun
itu.
Namun kebahagiaan itu berlangsung
sangat singkat, buah yang kunikmati menghilang dalam sekejap. Transisi
kepemimpinan dan pengelolaan dusun menuntut kerja ekstra kami untuk menyiapkan
generasi penerus, dan aku tidak memliki kemampuan untuk menangani hal ini.
Mutiara-mutiara baru yang harus aku kelola memiliki cahaya yang jauh lebih
terang, lebih bersemangat, dan tentu saja, apa yang aku miliki menghilang
begitu saja. Aku gagal menjadi inspirasi bagi mereka, yang berarti, aku gagal
mengelola mereka.
Akhirnya, aku memutuskan aku harus
memiliki sebuah system, sebuah kurikulum yang tidak lagi mengandalkan kedekatan
kultural. Akupun memulai mengelola berbagai lingkaran, bahkan dalam setiap
kesempatan aku ingin membuat lingkaran-lingkaran itu. Dengan system mentoring,
aku mencoba menciptakan sebuah ikatan kekeluargaan yang jauh lebih kuat dari
ikatan kulturalku sebelumnya. Ikatan kultural dan sturktural yang senantiasa
menuntutku untuk menjadi contoh bagi mereka yang ada di dalam lingkaranku.
Lingkaran-lingkaran yang aku bisa menentukan, akan jadi apa mereka, akan
berperan apa mereka dalam mewujudkan sebuah peradaban.
Akhirnya semua berjalan, buah mulai
terlihat masak untuk dipanen, dan pewarisan obsesi serta cita-cita telah
berjalan dalam sebuah system. Gambaran peradaban ideal telah terporyeksi pada
para anggota lingkaran, bukan sembarang proyeksi, namun proyeksi tunggal dengan
frekuensi yang sama. Muncullah mutiara-mutiara itu, bukan mutiara alamiah,
namun mutiara yang dikondisikan. Mutiara pertama lahir dalam sosok pemimpin,
berhasil meuwujudkan sebuah agenda bertaraf nasional saat pertama kali
diluncurkan. Mutiara kedua menetas, keluar dari kungkungan kesulitan ekonomi,
dia menokoh dan bekerja untuk 8 (delapan) lembaga mahasiswa berbeda. Berikutnya
muncullak sosok pebisnis ulet, berawal dari cita-cita membuat sebuah warung
soto, dia “dipaksa” mengelola produk konveksi dan mendatangkan keuntungan tidak
sedikit bagi organisasi.
Mutiara-mutiara itu terus bersinar,
membagi kemanfaatan, dan menjadi inspirasi. Sedangkan aku? Aku tidak diam
membatu seperti dulu, menyerahkan obsesiku pada alam. Saat ini aku menolak dan
bangkit, aku bangkit membawa diriku dengan tujuan tempat yang lebih tinggi.
Tempat yang lebih terang dari para mutiara yang aku bina, yang aku bentuk. Aku
berusaha keras menjadi contoh, berperan lebih banyak dari mereka. Selain itu,
di berbagai kesempatan yang aku diizinkan berbicara pada khalayak, senantiasa
obsesi peradaban itu aku sebar. Bukan apa apa, karena aku yakin, peradaban
tinggi adalah cita-cita para pendiri bangsa ini. Aku yakin, di tangan kita-lah,
perwujudan dari obsesi itu.
Aku masih berkutat dengan
lingkaran-lingkaranku. Seperti seorang pemahat dengan batu marmer-nya atau
pandai besi dengan bijih besi-nya. Bedanya aku menolak utuk menyerah, aku
senantiasa belajar. Karena selain aku menjadi bayangan bagi para mutiara itu,
aku pun adalah mutiara, hasil
pengorbanan guru-guru ku dahulu. Dan tidaklah sebuah kebaikan dibalas
dengan kebaikan.
Untuk peradaban Indonesia, Muhammad
Abdullah ‘Azzam
Muhammad Abdullah ‘Azzam adalah
mahasiswa jurusan manajemen FEB UNS. Sekarang tengah menjadi ketua umum BPPI
FEB UNS, sebuah lembaga dakwah di FEB UNS. Selain itu, dia juga aktif di Komisi
A puskomnas FSLDK Indonesa dan Dewan Mahasiswa FEB UNS. Selain memiliki
kegiatan di berbagai lembaga, dia juga aktif mengelola beberapa kelompok binaan
dan beberapa website, termasuk blog pribadinya di fellofello.blogspot.com.
mahasiswa berprestasi FEB UNS 2016 ini bisa dihubuni di felloloffee@gmail.com atau di
085647058903. Berkarya!,
No comments:
Post a Comment