Parinem,
Ibu Tangguh yang Melahirkan Sosok Guru dari Buah Pisang
Ditulis oleh :
Muhammad Abdullah 'Azzam
Aksi CInta Budaya Indonesia, Beasiswa Aktivis Nusantara UNS
Suasana
Pasar Gede Surakarta, seperti biasanya gerah dan tidak bersahabat dengan tubuh
gempal saya. Peluh bercucuran, dan rasa dahaga menghinggapi, namun nyeri terasa
saat melihat dompet hampa milik saya. Saking hampanya, seolah lubang hitam bisa
saja keluar sewaktu-waktu, melahap impian saya. Bersyukur rekan saya berbaik
hati meminjamkan lembaran berwarna biru, dan rekan saya yang lain memberikan
mangkuk dawet secara cuma-Cuma. Setidaknya impian saya masih bisa berpendar
girang di tengah pasar ini.
Sembari
menyesap manisnya dawet, pandangan saya berkeliling menyisir pasar ter-mewah di
Surakarta ini. Ornament art deco khas Belanda masih terkesan kuat,
tangga-tangga kecil penghubung antar lantai, langit-langit yang tinggi denga
beberapa ventilasi besar, dan tatanan para pedagang, membuat pasar gede
terlihat kaya, dan penuh harap. Terbayang rombongan anak dan sanak family yang
berdiri dibalik gairah para pedagang, mengharap keberkahan dan keejahteraan.
Celetukan ibu penjual dawet membuat saya semakin takjub, “mas, pedagang disini
rata-rata sudah bergenerasi mas. Ketika ibu-nya meninggal, anaknya siap
menggantikan posisi sang ibu di pasar ini”, rantai sejarah perekonomian Surakarta,
luar biasa.
Saat akan
berjalan keluar, saya dan rekan-rekan bertemu dengan seorang pedagang. Senyuman
ramah dipadukan dengan tumpukan pisang dan papaya menata indah harmoni di wajah
senja-nya. Ibu ini tidak lagi muda, wajah yang berkeriput dan gigi yang tidak
lagi lengkap menunjukkan seberapa lama dia bergelut dengan dunia dan pasar ini.
Tatapan mata rentanya masih nyala dan penuh harap, seolah ingin berkata “aku
mampu bertahan di dunia ini anak muda”. Saya dan rekan berhenti sejenak, saling
menatap dan memutuskan untuk membeli satu sisir pisang dan mulai bercakap.
Pisang
seharga 18.000 rupiah menjadi kunci awal mengalirnya cerita ini, cerita dari
seorang ibu pedagang berusia 85 tahun. Ibu Parinem namanya, beliau adalah saksi
hidup zaman orang Indonesia masih berjual beli menggunakan Gulden. Beliau pun
juga menjadi saksi bagaimana bangsa ini menyuarakan proklamasi dan merdeka.
Bahkan, disaat Presiden Soeharto menjabat pertama kali sebagai presiden
Indonesia, beliau sudah menjajakkan pisang dan papaya di Pasar Gede. “Dulu Los
disini dibagikan gratis mas, jadi saya tidak membayar sewa awal untuk los pasar
ini”, cerita beliau saat pertama kali membuka dagangan di pasar mewah Surakarta
ini.
Bukan
cerita mudah hidup di pasar, namun mengharukan dan menyejarah. Ibu Parinem
tidak hanya memiliki satu atau dua anak, tetapi delapan. Luar biasa, anak-anak
ibu parinem sudah mampu berdiri menatap dunia, “anak-anak saya hidup dan saya
biayai dari pisang-pisang dan papaya ini mas”, cerita beliau sambil tersenyum.
Sebagian besar anak-nya mengikuti jejak hidup nya, berdagang di berbagai
penjuru. Beberapa anak ada yang berdagang ikan dan ayam, yang lain berdagang
sayur-mayur dan sebagainya. “Suami saya pun dulu juga berdagang mas, berdagang
kayu gelondongan”. Memang dari cerita itu, anak-anak Ibu Parinem hanya sekedar
mengikuti kisah hidup orang tua nya, namun, cerita menjadi lain ketika beliau
menceritakan cucu-nya.
“Cucu saya,
ada beberapa yang sekolah di STIS mas, bahkan, salah satu cucu saya sudah ada
yang menjadi guru” senyuman bangga mengembang, “bahkan anak-anak saya juga saya
sekolahkan mas, minimal sampai STM”, lagi-lagi, senyuman bangga itu mengembang.
Saya hanya menatap sambil merenung, “pendidikan sudah diberikan ibu parinem
kepada anak-anak nya” gumam saya. Keegoisan saya memaksa saya bertanya lagi,
“apakah ibu benar-benar membiayai semua itu dari dagangan ibu ini?” pertanyaan
picik seorang mahasiswa, dijawab hanya dengan senyuman dan jawaban mantap “iya
mas, semua dari yang saya jual ini, ya papaya, ya pisang” lagi-lagi, dengan
senyuman.
Hidup
mahasiswa, hidup rakyat Indonesia. Auman jalanan yang saya teriakkan seolah
menampar saya keras, dengan tanpa saya berteriak, seorang ibu berhasil
menyekolahkan anak dan cucu-nya, hanya dari seoongok kecil tempat di Pasar
Gede. Tuhan Maha Mulia, Maha Agung. Saat itulah saya meneriakkan kesadaran,
berusaha mencari klarifikasi dan jawaban atas peran terbesar mahasiswa
Indonesia di zaman Modern, Reformasi.
“pasar ini
semua dibakar mas, api berkobar dan melalap semuanya” saya terenyuh, senyum itu
masih mengembang, namun disertai tatapan nanar, seolah menerawang jauh memori
kelam Surakarta saat itu. “saya dan pedagang lain terpaksa dipindah mas, tetapi
saya tidak takut mas, karena ya, rezeki sudah ada yang mengatur” lagi-lagi dengan
senyum, api panas yang membakar dan menjatuhkan hegemoni Keluarga Cendana,
dismabut Ibu Parinem dengan senyum tegar, dan bukti nyata, kehadiran beliau
dengan pisang dan pepayanya, sebagaimana 19 Tahun lalu, saat Indonesia jatuh
dalam kobaran api.
Kepada para
perindu kejayaan, saksikanlah. Tuhan mencintai orang yang cinta kepada-Nya,
tuhan mencintai orang yang cinta kepada-Nya. “Saya bangun pukul 02.00 pagi mas,
ambil dagangan, jadi saya masih sempat sembahyang pagi sembari siap-siap
jualan” senyum terakhir beliau yang menghantam saya telak, membuat saya hanya
tersenyum sambil menahan rasa malu luar biasa.
Hari itu
langit bersinar sangat cerah, dengan hawa lembab membakar. Saya melangkahkan
kaki keluar Pasar Gede, dengan sayup-sayup di kepala 30.000 mahasiswa 1998
menyanyikan lagi mars mahasiswa yang membuat gentar Cendana. Suara itu
memekakkan telinga dan menawarkan janji serta harapam reformasi, model
Indonesia baru yang adil dan berdemokrasi. Namun, disudut kota kecil bernama
Surakarta, seorang ibu tangguh berdiri diatas nyala api, atas dasar cinta
kepada keluarga, beliau mereformasi keluarganya, melahirkan generasi pembaharu
bangsa dari tumpukan pepaya dan pisang. Senyuman ramah beliau, lebih mampu
mengetuk langit, dan dengan cintanya, mampu menyuburkan bumi. Wanita Pahlawan
Pasar Gede, Wanita Api, Ibu Parinem.
Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management
Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com
or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6
No comments:
Post a Comment