Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Monday, November 14, 2016

Fragmen Pasar Tradisional: Pisang-ku Mampu Lahirkan Guru




Parinem, Ibu Tangguh yang Melahirkan Sosok Guru dari Buah Pisang

Ditulis oleh :
Muhammad Abdullah 'Azzam
Aksi CInta Budaya Indonesia, Beasiswa Aktivis Nusantara UNS


 
   Suasana Pasar Gede Surakarta, seperti biasanya gerah dan tidak bersahabat dengan tubuh gempal saya. Peluh bercucuran, dan rasa dahaga menghinggapi, namun nyeri terasa saat melihat dompet hampa milik saya. Saking hampanya, seolah lubang hitam bisa saja keluar sewaktu-waktu, melahap impian saya. Bersyukur rekan saya berbaik hati meminjamkan lembaran berwarna biru, dan rekan saya yang lain memberikan mangkuk dawet secara cuma-Cuma. Setidaknya impian saya masih bisa berpendar girang di tengah pasar ini.

   Sembari menyesap manisnya dawet, pandangan saya berkeliling menyisir pasar ter-mewah di Surakarta ini. Ornament art deco khas Belanda masih terkesan kuat, tangga-tangga kecil penghubung antar lantai, langit-langit yang tinggi denga beberapa ventilasi besar, dan tatanan para pedagang, membuat pasar gede terlihat kaya, dan penuh harap. Terbayang rombongan anak dan sanak family yang berdiri dibalik gairah para pedagang, mengharap keberkahan dan keejahteraan. Celetukan ibu penjual dawet membuat saya semakin takjub, “mas, pedagang disini rata-rata sudah bergenerasi mas. Ketika ibu-nya meninggal, anaknya siap menggantikan posisi sang ibu di pasar ini”, rantai sejarah perekonomian Surakarta, luar biasa.

   Saat akan berjalan keluar, saya dan rekan-rekan bertemu dengan seorang pedagang. Senyuman ramah dipadukan dengan tumpukan pisang dan papaya menata indah harmoni di wajah senja-nya. Ibu ini tidak lagi muda, wajah yang berkeriput dan gigi yang tidak lagi lengkap menunjukkan seberapa lama dia bergelut dengan dunia dan pasar ini. Tatapan mata rentanya masih nyala dan penuh harap, seolah ingin berkata “aku mampu bertahan di dunia ini anak muda”. Saya dan rekan berhenti sejenak, saling menatap dan memutuskan untuk membeli satu sisir pisang dan mulai bercakap.

   Pisang seharga 18.000 rupiah menjadi kunci awal mengalirnya cerita ini, cerita dari seorang ibu pedagang berusia 85 tahun. Ibu Parinem namanya, beliau adalah saksi hidup zaman orang Indonesia masih berjual beli menggunakan Gulden. Beliau pun juga menjadi saksi bagaimana bangsa ini menyuarakan proklamasi dan merdeka. Bahkan, disaat Presiden Soeharto menjabat pertama kali sebagai presiden Indonesia, beliau sudah menjajakkan pisang dan papaya di Pasar Gede. “Dulu Los disini dibagikan gratis mas, jadi saya tidak membayar sewa awal untuk los pasar ini”, cerita beliau saat pertama kali membuka dagangan di pasar mewah Surakarta ini. 

   Bukan cerita mudah hidup di pasar, namun mengharukan dan menyejarah. Ibu Parinem tidak hanya memiliki satu atau dua anak, tetapi delapan. Luar biasa, anak-anak ibu parinem sudah mampu berdiri menatap dunia, “anak-anak saya hidup dan saya biayai dari pisang-pisang dan papaya ini mas”, cerita beliau sambil tersenyum. Sebagian besar anak-nya mengikuti jejak hidup nya, berdagang di berbagai penjuru. Beberapa anak ada yang berdagang ikan dan ayam, yang lain berdagang sayur-mayur dan sebagainya. “Suami saya pun dulu juga berdagang mas, berdagang kayu gelondongan”. Memang dari cerita itu, anak-anak Ibu Parinem hanya sekedar mengikuti kisah hidup orang tua nya, namun, cerita menjadi lain ketika beliau menceritakan cucu-nya.

   “Cucu saya, ada beberapa yang sekolah di STIS mas, bahkan, salah satu cucu saya sudah ada yang menjadi guru” senyuman bangga mengembang, “bahkan anak-anak saya juga saya sekolahkan mas, minimal sampai STM”, lagi-lagi, senyuman bangga itu mengembang. Saya hanya menatap sambil merenung, “pendidikan sudah diberikan ibu parinem kepada anak-anak nya” gumam saya. Keegoisan saya memaksa saya bertanya lagi, “apakah ibu benar-benar membiayai semua itu dari dagangan ibu ini?” pertanyaan picik seorang mahasiswa, dijawab hanya dengan senyuman dan jawaban mantap “iya mas, semua dari yang saya jual ini, ya papaya, ya pisang” lagi-lagi, dengan senyuman.

   Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia. Auman jalanan yang saya teriakkan seolah menampar saya keras, dengan tanpa saya berteriak, seorang ibu berhasil menyekolahkan anak dan cucu-nya, hanya dari seoongok kecil tempat di Pasar Gede. Tuhan Maha Mulia, Maha Agung. Saat itulah saya meneriakkan kesadaran, berusaha mencari klarifikasi dan jawaban atas peran terbesar mahasiswa Indonesia di zaman Modern, Reformasi.

   “pasar ini semua dibakar mas, api berkobar dan melalap semuanya” saya terenyuh, senyum itu masih mengembang, namun disertai tatapan nanar, seolah menerawang jauh memori kelam Surakarta saat itu. “saya dan pedagang lain terpaksa dipindah mas, tetapi saya tidak takut mas, karena ya, rezeki sudah ada yang mengatur” lagi-lagi dengan senyum, api panas yang membakar dan menjatuhkan hegemoni Keluarga Cendana, dismabut Ibu Parinem dengan senyum tegar, dan bukti nyata, kehadiran beliau dengan pisang dan pepayanya, sebagaimana 19 Tahun lalu, saat Indonesia jatuh dalam kobaran api.

  Kepada para perindu kejayaan, saksikanlah. Tuhan mencintai orang yang cinta kepada-Nya, tuhan mencintai orang yang cinta kepada-Nya. “Saya bangun pukul 02.00 pagi mas, ambil dagangan, jadi saya masih sempat sembahyang pagi sembari siap-siap jualan” senyum terakhir beliau yang menghantam saya telak, membuat saya hanya tersenyum sambil menahan rasa malu luar biasa.

   Hari itu langit bersinar sangat cerah, dengan hawa lembab membakar. Saya melangkahkan kaki keluar Pasar Gede, dengan sayup-sayup di kepala 30.000 mahasiswa 1998 menyanyikan lagi mars mahasiswa yang membuat gentar Cendana. Suara itu memekakkan telinga dan menawarkan janji serta harapam reformasi, model Indonesia baru yang adil dan berdemokrasi. Namun, disudut kota kecil bernama Surakarta, seorang ibu tangguh berdiri diatas nyala api, atas dasar cinta kepada keluarga, beliau mereformasi keluarganya, melahirkan generasi pembaharu bangsa dari tumpukan pepaya dan pisang. Senyuman ramah beliau, lebih mampu mengetuk langit, dan dengan cintanya, mampu menyuburkan bumi. Wanita Pahlawan Pasar Gede, Wanita Api, Ibu Parinem.



Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6

No comments:

Post a Comment