Sumber : http://setkab.go.id/wp-content/uploads/2016/07/Selama-Reshufle.jpg |
Kabinet Jilid II
Dagelan Politik. Hanya Tuhan yang Tahu
Alhamdulillah Negara kita
tercinta memiliki jajaran eksekutif baru. Tidak tanggung-tanggung mayoritas
menteri dalam cabinet kerja jilid I diganti, dan bukan main, pergantian ini
bisa jadi sebuah cerita yang menyejarah. Disisi lain, pergantian struktur pemerintah
baik eksekutif maupun legislative bahkan yudikatif senantiasa meninggalkan
Tanya, para penggerak perekonomian bertanya-tanya, kebijakan seperti apa hasil
karyanya, beberapa pengamat politik menerka, dari partai mana menteri
selanjutnya, dan lain hal lain cerita di seluruh Indonesia. Masyarakat
bergairah, menanti sebuah ralisasi kata manis bernama harapan, harapan titipan
230 juta penduduk Indonesia, diamanatkan dari gelar pesta demokrasi lima
tahunan.
Banyak pihak melihat
pergantian Kabinet kerja jilid 2 ini dengan beragam perpektif. Pergantian
massal menteri-menteri bahkan termasuk nama-nama yang tidak terduga, (sebut
saja menteri ESDM dan mentri pendidikan) menimbulkan Tanya berbagai pihak.
Ditambah fakta beberapa menteri yang cenderung kontroversial dengan ukuran
kerja tidak jelas bahkan dinilai tanpa kontribusi oleh sebagian orang
dipertahankan. Wacana perampingan kementerian masih sekadar wacana karena
sampai detik ini belum ada satupun usaha untuk merampingkan struktur
kementrian, termasuk beberapa menteri dengan struktur kementrian tidak jelas.
Pertanyaan ini semakin bergelanyut dengan dipecahkannya rekor jabatan menteri
tercepat, terjadi pada drama paska perombakan kabinet.
Menteri ESDM baru, hanya
menjabat 10 hari dikarenakan paspor dan dugaan kewarganegaraan ganda, dan muncullah menteri sementara dengan
kapasitas tanda Tanya. Konom katanya dimunculkan untuk memuluskan negosiasi
Freeport di negeri Papua. Namun tetap saja, perombakan kabinet ini adalah layak
diperbincangkan. Banyak aspek bahasan bisa dikaji baik dari segi ekonomi hingga
konspirasi. Disini penulis akan mencoba memaparkan sudut pandangan penulis
tentang perombakan kabinet. Penulis akan mengambil bebrapa sudut pandang dan
akan penulis bandingkan dengan kondisi di masyarakat dan beberapa dampak yang
mungkin timbul di kemudian hari.
1. Standarisasi
Kinerja, Manajemen Pengendalian Kualitas Kabinet dan Realitas
Standarisasi
kinerja menjadi topic bahasan bidang manajemen hampir 20 tahun terakhir.
Kemunculan bahasan ini dikarenakan orang lebih suka dinilai berdasarkan hasil
kerja-nya, dan penilaian berdasarkan lama pengabdian pada perusahaan tidak lain
hanya variabel tambahan atau bahkan dianggap bias. Maka, masyarakat dewasa ini
lebih suka melihat hasil karya seseorang, dibandingkan melihat senioritas nya.
Dengan demikian dalam melihat kinerja pemerintahan masyarakat akan senantiasa
melihat apa yang dihasilkan. (catatan : penilaian dengan metode ini
mengutamanakn hasil fisik).
Mengomentari
pergantian kabinet, masyarakat banyak memandang dari sudut pandang satu ini,
maka ketika beberapa nama yang tidak terduga dikeluarkan dari kabinet,
masyarakat cenderung bersikap skeptic, menyayangkan sembari menilai-nilai
kinerjanya, pola penilaian demikian akan berkaitan dengan bahasan berikutnya,
mengapa? Media senantiasa menunjukkan beberapa hal menarik, dalam hal ini
kebijakan kontroversial menteri-menteri baru. Respon pertama masyarakat selalu
sederhana, “menteri dahulu ngga begitu kok”, dan tentu,dampaknya penolakan
massal. Ingat kembali pernyataan kontroversial soal sekolah seharian penuh,
rokok senilai 50.000 dan lain-lain.
Coba kita
Tarik garis lurus dengan kebijakan pemerintah dalam melakukan perombakan
kabinet. Disayangkan frekuensi pola pikir masyarakat belum ada pada satu
frekeuensi. Buktinya beberapa menteri yang dinilai dibawah performa justru mash
dipertahankan, bahkan beberapa menteri yang lain dikenal suka memunculkan
kebijakan-kebijakan kontroversial. Akhirnya, akan muncul bahasan kedua, apakah
ada wacana titipan berbaga pihak dalam perombakan kabinet? Dengan adanya wacana
demikian beberapa konstituen bahkan mungkin sebagian besarnya akan lebih ketat
dalam enilai kebijakan pemerintah dan akan semakin sering memunculkan tindakan
penolakan dari masyarakat.
Setidaknya
pada bahasan ini, perombakan kabinet periode ini telah menimbulkan sebuah tanda
Tanya, dan menunjukkan sebuah kualitas perombakan. Penulis mengakui perombakan
kabinet pada era bapak Jokowi sangat luar biasa karena sama sekali tidak
variabel ekonomis yang terpengaruh, justru selama beberapa hari IHSG mengalami
trend peningkatan. Namun disayangkan, frekuensi yang belum sama dengan
masyarakat menimbulkan masalah tersediri yang akan dibahas berikutnya.
2. Pergantian
Kilat dan Wacana Titipan Asing
Arcandra
Tahar menjadi cerita besar, mewarnai drama perombakan kabinet. Memecahkan rekor
sebagai menteri dengan masa kerja tercepat paska reformasi, penggantian dan
masalah yang diangkat pada kasus Acrcandra Tahar menjadi isu bahasan masyarkat,
dan berujung pada kesimpulan “apakah pemerintah kita masih dikendarai asing
atau pihak-pihak tertentu?”. Kebijakan presiden dalam mempertahankan putri
Megawati juga menjadi tanda Tanya, dengan hasil kerja 0 alias tidak bisa
dirasakan dampaknya oleh masyarakat, membuat public memberikan kesimpulan bahwa
kepentingan partai politik masih erat dengan kabinet baru pemerintahakan
Jokowi-JK.
Tetapi perlu
kita pahami bersama, pemerintahan atau pihak berkuasa memiliki hak mutlak untuk
menentukan warna kekuasaan, metode bahkan kepada pihak mana pemerintah memihak.
Meskipun kesemuanya melibatkan Negara, namun ini adalah konsekuensi yang harus
ditanggung Negara melalui pesta demokrasi-nya. Maka, tidak bisa kita mutlak
mengkoreksi hingga menyalahkan pemerintah atas kemelut yang terjadi, bahkan
hingga tergadaninya Negara, perlu diingat pemerintah dilahirkan dari
warga-nya, dan itu mutlak sebagai konsekuensi.
Adalah wajar
sebuah pengelola Negara memiliki keberpihakan, namun peru dikaji ulang adalah
kepada pihak siapa dan dengan metode pendekatan seperti apa. Era soekarno
dengan nasakomnya menunjukkan keberpihakan erat pada soviet dengan mengatakan
poros Moskow, Peking dan Jakarta dan berujung pada petaka 30 September. Era
Soeharto diwarnai dengan keberpihakan pada NATO dengan pinjaman IMF dan Bank
Dunia yang luar biasa membunuh, dan terus diwariskan hingga paska reformasi.
Namun perlu dicatat, perbedaan besar di masing-masing era adalah metode
pendekatan dan pemutusan keberpihakan, yang sangat berbeda. Era Soeharto
disebut sebagai era paling berhasil dalam menjaga poros keberpihakan
pemerintahan dan baru bisa digulingkan 32 tahun kemudian. Sedangkan era reformasi dan setelahnya adalah
era keberpihakan menjadi isu sensitive dan menimbulkan penilaian atas kinerja
pemerintah. Semakin terlihat condong pada kepentingan asing atau pihak
tertentu, maka semakin memicu antipati di kalangan masyrakat.
Dalam
perombakan kaninet tahun ini, pemerintahan partai figure tunggal menjadi wacana
terkuat, istilah “kanjeng mami” umum
digunakan berbagai kalangan untuk menyebut seorang pemimpin partai, dimana
putrinya akan senantiasa aman di kabinet apapun kondisinya. Keberpihakan pada
China menguat dengan sentiment-sentimen pro China, kua diusung pemerintah.
Sedangkan wacana Freeport yang menghilang paska terror Sarinah seolah menjadi
garansi bercokolnya kepentingan barat di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Archandra Tahar hanya sekelumit cerita di permukaan, selebihnya masyarakat
hanya mampu menunggu, seperti sebuah eksekusi tembakan penalty.
3. Isu Panas di
Awal, Program atau Popularitas
Korea Utara,
sebuah Negara sosialis terakhir di Semenanjung Korea setiap tahun rutin
menunjukkan kapabilitas militer mereka dengan parade-parade ataupun uji coba
nuklir. Dalam setiap unjuk gigi itu, masyarakat senantiasa dilibatkan, tentu,
dengan kebijakan represif khas Negara sosialis untuk mendukung apapun yang
dilakukan pemerintah. Hasilnya, masyarakat akan berada pada kesadaran, bangsa
mereka adalah bangsa besar, kuat lagi perkasa. Meskipun dilanda keterpurukan
sebagian besar orang korea utara masih memilih untuk bertahan dan tidak
melakukan perlawanan kepada pemerintah.
Berbeda di
Indonesia, masyarakat sangat terlibat langsung dan sangat diizinkan untuk
mengambil sikap atas berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah. Sehingga
sangat umum pada awal masa jabatan, banyak pihak di pemerintahan yang memulai
dengan kebijakan-kebijaka kontroversial, bahkan beberapa acara kenegaraan
dirubah konsepnya sedemikian rupa sehingga menimbulkan ruang bagi masyarakat
untuk memberikan komentar, berpihak, bahkan menolak. Namun disayangkan,
seringkali perilaku demikian hanya terhenti pada tahapan “oke saya sudah
populer, saya selesai”. Akhirnya, bukan menjadi sebuah program yang
dilaksanakan guna kepentingan masyarakat, tidak lain isu-isu tersebut hanya
menjadi “sarana menyibukkan masyarakat”.
Pada bahasan
pertama, masyarakat dengan pola pikir peniliaian kinerja betul-betul melihat
secara fisik dari sebuah kebijkan baik itu bagi diri mereka sendiri mupun
secara umum. Didukung dengan media, akhirnya masyarakat memilih untuk
“mengeluarkan” penilaian mereka dan tentu, perbedaan penilaian akan membuka
ruang-ruang diskusi, dan, diskusi itu menyibukkan. Padahal, setelah itu tidak
ada apa-apa yang diperoleh.
Dengan
demikian sampai pada perombakan detik ini, kabinet baru masih belum berubah
gaya. Popularitas dan penyembunyian isu masih menjadi kepentingan utama.
Nyatanya, belum ada satupun isu panas yang digulirkan menjadi program kerja,
seolah semua menguap. Akan menjadi tanda Tanya besar, apakah pemerintahan atau
kabinet baru ini akan bekerja, atau hanya mencari popularitas? Karena kenyataan
berbicara, drama paling seru dan paling konyol adalah drama pemerintahan.
4. Harapan dan
Kesadaran Berislam, Pemenuhan Zakat, dan Haji Illegal
Islam adalah
agama dengan pemeluk paling banyak secara nasional. Tercatatat 70-80%
masyarakat Indonesia masih muslim. Bahkan beberapa memiliki pandanga islam yang
beragam, maka, jika mencari heterogenitas dalam islam, lihatlah Indonesia. Patut
bersyukur sampai perombakan kali ini hampir seluruh menteri masih mengucapkan
“Assalamualaikum” dengan fasih, masih memakai kopiah hitam, dan doa-doa di MPR
masih diawali dengan bacaan basmalah.
Namun, jika
kita membicarakan potensi dengan harapan, Indonesia masih menjadi sebuah ironi
dalam peradaban islam global. Ummat Islam seluruh penjuru dunia berkali-kali
menyampaikan harapan, harapan yang dulu diikrarkan dan diwujudkan bangsa ini
melalui konferensi Asia Afrika tahun 1955. Bisa dikatakan, bangsa Indonesia
sagat ditunggu perannya secara global terutama dari potensi keislaman yang
dimiliki, namun memang belum terlihat adanya wujud nyata dari pemerintahan saat
ini tentang realisasi peran global tersebut.
Terlalu jauh
jika kita membahas isu kebebasan Palestina, kita akan coba melihat indikator
ekonomi dan kemakmuran sebuah Negara dari aspek islam. Islam adalah agama
social, bahkan memiliki istrumen solusi ekonomi real time dan applicable untuk
segala kondisi bernama zakat. Akan penulis buat ungkapan sederhana tentang
pengelolan zakat, “siapakah stakeholder terbesar pengelolaan zakat? Pemerintah
atau Negara melalui masyarakat?”. Kenyataannya, meskipun BAZNAS mengelola zakat
secara legal atas seluruh PNS minimal dalam tubuh Kementrian Keagamaan,
penghimpunan zakat masih jauh dibawah lembaga-lembaga swasta yang bahkan
cakupan sebarannya sudah internasional.
Selain zakat
ada sebuah ibadah wajib yang kekayaan mutlak menjadi syarat terpenuhinya ibadah
tersebut. Ya, haji, ibadah palig sakral dan secara ekonomis memiliki nilai
paling besar nyatanya masih belum bisa ada penjaminan kenyamanan berhaji,
karena sampai detik ini haji masih dikelola pemerintah, maka, pihak yang pantas
dipertanyakan adalah seberapa becus muslim di kabinet dalam mengelola aspekyang
satu ini. 177 calon haji yang terdampar di Filipina karena terjebak biro
perjalanan nakal menjadi sebuah tanda Tanya, kok bisa? Ditambah lagi nominal
uang yang bermain berkali lipat diatas haji pada umumnya. Hanya Allah yang
tahu.
Ambil nasi
goreng dan coba nikmati sebuah dagelan lucu di Indonesia. Beberapa aspek yang
terlihat dan menjadi objek diskusi masyarakat kecil adalah indikator, bagaimana
masyarakat memandang perombakan kabinet. Peran kita apa? Berdoa, ranah diatas
sana saat ini cukup jauh untuk digapai Megaphone, karena tidak banyak orang mau
meminggul megaphone dewasa ini. Karya generasi muda menjadi harapan lain, ya,
tentu jika generasi itu masih ada. Wallahu ‘Alam.
Sumber :
Wikipedia.org/Archandra-tahar
Google.com
Kapanlagi.com
Dan berbagai sumber dan diskusi yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management
Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6
No comments:
Post a Comment