Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Wednesday, August 31, 2016

Keajaiban Ekonomi 12 Jam; Refleksi Ekonomi Paska-Ramadhan

Idul Fitri dan  Keshalehan Sosial
Keajaiban Ekonomi 12 Jam –Refleksi Ekonomi Paska-Ramadhan

Ramadhan telah selesai dengan gelegar kembang api, pekatnya kuah opor, hingar bingar orang betakbir keliling (kecuali DKI Jakarta dan sekitarnya), serta pemudik yang memadati jalan-jalan utama diseluruh penjuru indonesia. Lembaran baru telah dibuka, gelar menjadi rijaaluttaqwa adalah hadiah bagi orang-orang yang sukses dalam ramadhan-nya, amalan-amalan disempurnakan dengan zakat fitrah nan membersihkan. Pintu maaf dibuka selebar-lebarnya, sebagaimana dompet-dompet dibuka, guna menyambut limpahan angpau ataupun THR, entah apa sebutannya. Ummat bersukacita, menyambut sebuah kemeriahan yang disunnnahkan untuk dirayakan sebahagia mungkin, bahkan kaum papa-pun bergembira, setidaknya di hari itu tidak adalagi nasi aking sebagai sarapan.
Bulan ramadhan hadir dan pergi bukan tanpa memberikan kesan. Jutaan mubaligh diseluruh dunia berulangkali menyampaikan tentang urgensi menjaga amalan baik di bulan-bulan selepas ramadhan. Anjuran untuk senantiasa dekat dengan AlQur’an, anjuran untuk ramah kepada sesama, anjuran untuk selalu berdzikir, bersedekah, menjaga berbagai kapasitas kebaikan yang telah di-upgrade saat ramadhan senantiasa diserukan, semenjak awal ramadhan dimulai. Maka tidak lain dan tidak bukan, secara spiritual bulan ramadhan adalah sebuah model ideal bagi wujud pribadi muslim sesungguhnya. Maka beberapa lelucon menyeruak tentang bagaimana jika selama setahun penuh senantiasa menjadi bulan ramadhan, tidak lain karena faktafakta diatas.
Selain seara spiritual, bulan ramadhan juga memberikan kesan luar biasa secara sosial, juga seluruh aspek keduniaan, seperti pendidikan, hukum, ketahanan negara, hingga ekonomi. selain sebagai madrasah jiwa,ramadhan juga dinilai sukses sebagai madrasah ahlak, madrasah tingkah laku. Dibuktikan dengan bagaimana mudahnya menemukan dermawan di bulan ramadhan, bagaimana orang saling menjaga diri dari perliaku rafas dan merusak. Bagaimana ketika ramadhan serua Tuhan dihargai sangat tinggi, dimana orang malu untuk menengak minuman keras, dan lain-lain, maka, selain mendidik orang menjadi rahib-rahib yang tunduk patuh pada Tuhan, ramadhan menjadi madrasah pendidikan untuk insan-insan yang memuliakan sesamanya, menyayangi yang lebih muda, dan menghormati yang lebih tua. Betul kiranya, jika keshalihan kita manusia secara sosial, dibentuk dengan sangat tegas dengan proses terbaik di bulan ramadhan, tentu, dengan harapan sebagaimana kita secara spiritual, bisa diteruskan kebaikannya pada bulan-bulan setelah ramadhan.  
Terbentuknya manusia shalilh secara social tidak lepas dari bagaimana ramadhan mengelola aspek paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia modern dewasa ini tidak pernah lepas dari sebuah motivasi, yaitu motivasi ekonomi. Meminjam istilah cak nun, dalam tulisan beliau di “Demokrasi Indonesia 2009”, Cak Nun menyatakan bahwa ummat di Indonesia tela bersatu dan dipersatukan dalam sebuah semangat nasional, yaitu semangat ingin kaya. Semangat ingin kaya ini, bagaimanapun sejalan dengan teori dasar ekonomi dalam sudut pandang Adam Smith, bahwa manusia adalah homo economicus (lihat di Mankiw, 2006, Pengantar Ekonomi Makro).  Maka, manusia dalam hidupnya akan senantiasa terikat dengan aspek ekonomi tersebut, dan apapun yang dilakukan manusia berdasarkan teori dan frasa tersebut, senantiasa dilandasi dengan motif ekonomi. Disimpulkan, aspek yang paling berpengaruh, sering menuntun manusia dalam mengambil keputusan, serta tentunya berbahaya (baik dalam artian positif maupun negatif) adalah aspek ekonomi.
Namun, entah bagaimana, aspek tersebut bisa dikelola dengan sangat luar biasa sepanjang bulan ramadhan. Disini penulis menggambarkan sebuah gagasan tentang perbedaan pola tindakan ekonomi khususnya masyarakat Indonesia selama bulan ramadhan, dan selama bulan non ramadhan. Pada dasarnya, proses ekonomi senantiasa dilakukan manusia, bahkan saat dalam kondisi hilang kesadaran (aik pingsan maupun tidur), karena dalam kondisi tidur ada kemungkinan dia tengah tertidur di sebuah kamar hotel, atau ketida dia pingsan dia berada di sebuah rumah sakit dan harus memenuhi tagihan rumah sakit. Maksudnya, ekonomi memandang manusia sebagai entitas yang senantiasa melaksanakan tindakan-tindakan ekonomis, baik fiscal, moneter bahkan sector riil. Jadi, ekonomi adalah sebuah bagian kehidupan yang senantiasa membersamai manusia selama 24 jam hidup-nya setiap hari.
Namun selama bulan ramadhan, ummat muslim bahkan seluruh manusia dipaksa untuk melakukan tindakan ekonomi khususnya konsumse secara lebih hati-dan tentu saja lebih teratur. Bahkan bisa dikatakan, perilaku konusmsi manusia ditekan hanya mulai pukul 17.00-03.00 dini hari. Mengapa demikian? Pada siang hari, dengan diberlakukan ibadah puasa, manusia dipaksa untuk lebih mengutamakan kesuksesan puasa-nya ketimbang perilaku konsumsinya. Pembelian barang-barang mewah pun dipertimbangkan karena menyangkut pemenuhan kebtuhan spiritual ataupun social. Ummat islam yang berhasil dalam puasanya, akan berhasil juga dalam mengelola ekonomi-nya dengan standarisasi ketat dan ideal, sebuah prinsip dasar mementingkan kebutuhan lebih dari keinginan, dan berdampak bagus pada ekonomi secara umum.
Selama bulan ramadhan, Negara mayoritas muslim seperti Indonesia, mengalami fenomena inflasi, namun, bedanya, inflasi yang terjadi cenderung inflasi sehat. Mengapa disebut inflasi sehat? Kenaikan harga barang tidak diperparah dengan adanya monopoli sumber daya tertentu, dan lebih dibantu dengan kebiasaan berbagi orang-orang di bulan puasa. Dengan demikian, inflasi yang terjadi selama bulan ramadhan memang secara nasional berpengaruh signifikan dan cukup mengkhawatirkan, bahkan dampaknya bisa terus dirasakan paska ramadhan, namun selama bulan ramadhan inflasi ini berdampak positif baik bagi konsumen maupun produsen. Produsen diuntungkan dengan terbelinya barang produksi mereka, sedangkan konsumen diuntungkan dengan tersedianya variasi pilihan produk di pasar. Dua hal ini, fenomena perilaku ekonomi 12 jam dan inflasi sehat, adalah kunci utama yang membedakan kondisi ekonomi di bulan ramadhan dengan bulan-bulan setelahnya.
Terjadinya kedua fenomena yang memberikan perbedaan signifikan perekonomian, didukung oleh beberapa perilaku sehat selama bulan ramadhan. Penulis akan memaparkan perilaku sehat ini baru kemudian melakukan komparasi dengan kondisi paska ramadhan dengan melihat pada kedua fenomena diatas. Berikut beberapa perilaku sehat yang dilakukan ummat islam selama bulan ramadhan, khususnya di Indonesia.
1.      Dijunjungnya konsep berbagi
Kunci utama ini melahirkan fenomena ekonomi 12 jam dan menjamin terjualnya produk yang ditawarkan di pasar. Dengan berbagi,orang akan melakukan 2 hal yang sangat berpengaruh dalam perekonomian. Pertama, dia melakukan proses konsumsi, dalam hal ini bisa berupa konsumsi apapun. Kedua, dia tidak melakukan/menghindari monopoli dengan membagikan produk yang dia konsumsi. Kebiasaan jaburan, berbagi takjil, bersedekah setiap malam adalah bukti bagaimana dalam bulan ramadhan, kebiasaan ini berusaha untuk diinternalisasi kedalam jiwa ummat islam, khususnya di Indonesia. Bahkan terlepas dari motif politis, pemimpin-pemimpin baik skala nasional maupun lokal beramai-rama turun dan berbagi denga masyarakatnya. Tentu, ditutup dengan pemenuhan berbagai kewajiban zakat seperti zakat fitrah dan zakat-zakat lain yang biasanya ditunaikan saat ramadhan.
2.      Adanya kebiasaan menahan diri
Waktu berpuasa bisa dibilang cukup lama, dari pukul 04.00 dini hari hingga 18.00 waktu senja. Sekitar 14-16 jam, tergantung lokasinya. Waktu yang cukup lama ini mendominasi kehidupan manusia, bahkan dalam beberapa hal memaksa manusia untuk memotong dan menambah waktu-waktu tertentu. Amil contoh waktu tidur, kita semua dipaksa bangun dini hari untu memenuhi kewajiban sahur, otomatis, waktu tidur kita dipotong. Di sore hari, kita dipaksa meluangkan waktu barang 15 menit untuk mempersiapkan berbuka, yang artinya waktu kerja kita turut dipotong. Ditambah dengan dibatasinya aktifitas di siang hari (karena kondisi lapar dan haus), otomatis manusia yang melaksanakan ibadah puasa ramadhan benar-benar dipaksa menahan dirinya. Mau tidak mau, dorongan psikologis dan psikis ini membawa manusia pada dua kondisi. Kondisi pertama adalah melaksanakan balas dendam, atau, justru malah semakin menahan diri. Pengalaman penulis pribadi, meskipun penulis memiliki nafsu makan cukup besar, namun penulis justru tidak bisa makan sebanyak hari-hari biasanya, lebih nyaman jika penulis mampu membagikan apa yang hendak penulis konsumsi. Dengan menahan dirinya, artinya kita juga turut menahan kebiasaan konsumsi, bahkan tidak jarang keluarga-keluarga selama ramadhan lebih memilih memproduksi produk sendiri, seperti kue-kue dan hal lain.
3.      Dilakukannya aturan-aturan ketat dalam konsumsi
Akan sulit menemukan tempat hiduran mahal, seperti kelab malam atau apapun yang melanggar perda syari’ah yang berani buka siang hari. Penulis mengesampigkan dihapusnya ribuan perda syari’ah oleh pemerintah, karena kenyataannya beberapa orang yang memiliki bisnis seperti itu masih menjunjung tinggi toleransi (beberapa). Padahal secara umum, bisnis yang demikian perputara uangnya luar biasa, karena barang atau jasa yang diperdagangkan bernilai mahal. Ditambah lagi adanya larangan menahan lapar, haus dan hasrat seksual selama bulan ramadhan. Otomatis, sumber daya yang dimiliki orang yang melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan akan lebih dialokasikan kepada hal-hal lain yang mungkin lebih produktif.
4.      Kebiasaan bersilaturrahim
Meskipun sederhana namun kebiasaan inilah yang memungkinkan ketiga hal diatas terjadi. Kebiasaan ummat islam Indonesia untuk ngabuburit contohnya, dengan berkumpul akan banyak terjadi transaksi yang memberikan dampak positif bagi perekonomian. Terjalinnya relasi baik pertemanan maupun professional, proses konsumsi untuk sajian berbuka, pembicaraan bisnis pun tak jarang terjadi selama proses ngabuburit. Intinya, keberadaan ritual ibadah di bulan ramadhan dengan segala syarat dan ketentuannya lebih memudahkan/memunculkan kebutuhan bagi manusia untuk berkumpul. Dengan berkumpulnya manusia secara fisik, maka akan banyak terjadi berbagai hal, dan tentu saja, beberapa hal tersebut memiliki nilai ekonomis yang tidak bisa dipandang sepele.
Keempat hal tersebut menurut penulis merupakan hal yang membuat bulan ramadhan berbeda dengan bulan lain, dan tentu menghasilkan sebuah system ekonomi 12 jam dan inflasi sehat yang terjadi selama bulan ramadhan. Penerapan ha-hal tersebut, di bulan lain akan terasa sulit, dan tentu saja memberikan dampak yang berbeda bagi ekonomi. Dengan dipaksanya manusia untuk terus melakukan aktifitas ekonomi tanpa adanya batasan atau aturan tertentu, bahkan manusia tidak diberikan kesempatan melakukan silaturrahim, jelas sebuah perbedaan mendasar yang menghasilkan dampak ekonomi yang berbeda. Kebiasaan berbagi yang sempat tumbuh selama bulan ramadhan, digantikan paksa oleh motof monopoli, dimana sumber daya apapun akan dikuasi, serta hal lain yang tidak kita temukan selama bulan ramadhan. Secara sekilas mungkin ekonomi tumbuh pesat, namun ada dampak residu yang menimbulkan dampak jangka panjang yang berbahaya, dan ini umum terjadi dilain bulan ramadhan.
Kami akan mengambil beberapa contoh, perbedaan mendasar antara kebiasaan yang umum terjadi di bulan ramadhan dengan apa yang terjadi di hari-hari biasa
1.      Kebiasaan berbagi versus monopoli
Memonopoli, menguasai dan hasrat memiliki adalah sifat dasar manusia yang ditekan habis pada bulan ramadhan, terutama bagi yang menjalankan ibadah puasa. Namun pada hari-hari biasa, orang berhak memilih apakah dia mau berbagi atau memonopoli. Akan tetapi sebagian besar manusia umumnya memilih menguasai sesuatu untuk dirinya sendiri. Amat jarang ditemukan, pembagian makanan gratis selama bulan-bulan biasa, bila dibandingkan intensitasnya di bulan ramadhan.
2.      Silaturrahim versus individualism
Pertemuan individu sebetulnya terjadi juga selama bulan-bulan biasa, namun dalam nuansa yang berbeda. Pertemuan antar manusia biasanya dilandasi factor pertama diatas, motif memonopoli. Secara umum memang terjadi proses ekonomi, bahkan mungkin bernilai lebih besar dibanding di bulan ramadhan. Namun, dengan membawa motif keinginan menguasai/memiliki, menimbulkan dampak psikologis, stress. Stress bisa muncul ketika tujuan tersebut tidak dapat terpenuhi, ditambah dengan tidak adanya anjuran-anjuran menahan diri, sebagaimana yang ada di bulan ramadhan. Bisa jadi, pertemuan individu ini malah bisa memunculkan masalah baru yang krusial.
3.      Ketiadaan perda-erda sebagaimana dalam bulan ramadhan
Meskipun tidak semua daerah memiliki perda-perda syari’ah, namun keberadaan perda syari’ah tetap berpengaruh bagi keberjalanan seorang muslim mejadi lebih baik. Namun sayangnya, perda-perda syarah tersebut seringkali hanya diaktifkan pada momen-momen tertentu seperti bulan ramadhan. Secara ekplisit, hal inilah yang paling bisa kita nilai dalam kaitannya perilaku manusia pada saat dan di luar bulan ramadhan.
Lantas bagaimana dengan predikat muttaqqin? Bukankaah sesungguhnya hamba Allah yang lulus dari bulan ramadhan memperoleh berbagai gelar kebajikan?. Tidak dipungkiri lagi bahwa bulan ramadhan adalah akademi ampuh untuk mencetak insan muslim yang shalih secara spiritual maupun social. Namun, manusia pun juga diberikan sesuatu yang membuat tidak semua hal seperti yang dibayangkan. Manusia berhak memilih untuk menjaga atau menghentikan kebaikan yang telah diperbuat selama bulan ramadhan, pada bulan-bulan selepasnya. Bagaimanapun, manusia tetap memiliki bebera[a sifat dasar yang berpotensi menjadi dosa, dan manusia berhak untuk memilih, untuk mengarahkan kemana potensi tersebut.
Apabila selepas idul fitri, bulan syawal dan seterusnya manusia memilih untuk menjunjung tinggi kebiasaan-kebiasaan baik yang telah dipupuk selama ramadhan, bukan tidak mugkin kita mengalami ekonomi 12 jam dan inflasi sehat sebagaimana saat bulan ramadhan. Kalaupun tidak seperti itu, setidaknya akan mengurangi potensi terjadinya transaksi-transaksi ekonomi negative, baik secara dzat maupun akad –nya. Kembali kita mempertanyakan selaku ummat islam, pada sisi mana kita memilih? Apakah kembali pada kebiasaan lama atau mempertahankan kebiasaan baik selama bulan ramadhan?.
Ramadhan telah menjadi semacam bukti bagaimana sebuah momentum bisa memberikan dampak ekonomi secara makro dan riil. Dampak makro dan riil tersebut bisa dirasakan oleh mayoritas orang baik yang menjalankan (melaksanakan ibadah di bulan ramadhan) ataupun tidak menjalankan. Hal ini menjadi hipotesis terakhir penulis, bahwa kebiasaan diatas bisa memberikan dampak nyata jika dilakukan secara kolektif. Maka, ummat islam membutuhkan kesatuan gerak dan persatuan ummat dalam mengemban visi ekonomi ini. Sulit jika merubah kondisi makro degan gerakan-gerakan mikro yang tidak terkoordinasi, karena permasalahan ekonomi yang kita hadapi adalah permasalahan ekonomi bersifat nasional, bahkan global. Penutup, siapkah kita membentuk keshalihan kolektif?


-Wallahu ‘Alam

No comments:

Post a Comment