Idul Fitri dan Keshalehan Sosial
Keajaiban Ekonomi 12 Jam –Refleksi
Ekonomi Paska-Ramadhan
Ramadhan telah selesai dengan gelegar kembang api, pekatnya kuah opor,
hingar bingar orang betakbir keliling (kecuali DKI Jakarta dan sekitarnya),
serta pemudik yang memadati jalan-jalan utama diseluruh penjuru indonesia.
Lembaran baru telah dibuka, gelar menjadi rijaaluttaqwa adalah hadiah bagi
orang-orang yang sukses dalam ramadhan-nya, amalan-amalan disempurnakan dengan
zakat fitrah nan membersihkan. Pintu maaf dibuka selebar-lebarnya, sebagaimana
dompet-dompet dibuka, guna menyambut limpahan angpau ataupun THR, entah
apa sebutannya. Ummat bersukacita, menyambut sebuah kemeriahan yang
disunnnahkan untuk dirayakan sebahagia mungkin, bahkan kaum papa-pun
bergembira, setidaknya di hari itu tidak adalagi nasi aking sebagai sarapan.
Bulan ramadhan hadir dan pergi bukan tanpa memberikan kesan. Jutaan
mubaligh diseluruh dunia berulangkali menyampaikan tentang urgensi menjaga
amalan baik di bulan-bulan selepas ramadhan. Anjuran untuk senantiasa dekat
dengan AlQur’an, anjuran untuk ramah kepada sesama, anjuran untuk selalu
berdzikir, bersedekah, menjaga berbagai kapasitas kebaikan yang telah di-upgrade
saat ramadhan senantiasa diserukan, semenjak awal ramadhan dimulai. Maka tidak
lain dan tidak bukan, secara spiritual bulan ramadhan adalah sebuah model ideal
bagi wujud pribadi muslim sesungguhnya. Maka beberapa lelucon menyeruak tentang
bagaimana jika selama setahun penuh senantiasa menjadi bulan ramadhan, tidak
lain karena faktafakta diatas.
Selain seara spiritual, bulan ramadhan juga memberikan kesan luar biasa
secara sosial, juga seluruh aspek keduniaan, seperti pendidikan, hukum,
ketahanan negara, hingga ekonomi. selain sebagai madrasah jiwa,ramadhan juga
dinilai sukses sebagai madrasah ahlak, madrasah tingkah laku. Dibuktikan dengan
bagaimana mudahnya menemukan dermawan di bulan ramadhan, bagaimana orang saling
menjaga diri dari perliaku rafas dan merusak. Bagaimana ketika ramadhan
serua Tuhan dihargai sangat tinggi, dimana orang malu untuk menengak minuman
keras, dan lain-lain, maka, selain mendidik orang menjadi rahib-rahib yang
tunduk patuh pada Tuhan, ramadhan menjadi madrasah pendidikan untuk insan-insan
yang memuliakan sesamanya, menyayangi yang lebih muda, dan menghormati yang
lebih tua. Betul kiranya, jika keshalihan kita manusia secara sosial, dibentuk
dengan sangat tegas dengan proses terbaik di bulan ramadhan, tentu, dengan
harapan sebagaimana kita secara spiritual, bisa diteruskan kebaikannya pada
bulan-bulan setelah ramadhan.
Terbentuknya manusia
shalilh secara social tidak lepas dari bagaimana ramadhan mengelola aspek
paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia modern dewasa ini
tidak pernah lepas dari sebuah motivasi, yaitu motivasi ekonomi. Meminjam
istilah cak nun, dalam tulisan beliau di “Demokrasi Indonesia 2009”, Cak Nun
menyatakan bahwa ummat di Indonesia tela bersatu dan dipersatukan dalam sebuah
semangat nasional, yaitu semangat ingin kaya. Semangat ingin kaya ini,
bagaimanapun sejalan dengan teori dasar ekonomi dalam sudut pandang Adam Smith,
bahwa manusia adalah homo economicus (lihat di Mankiw, 2006, Pengantar Ekonomi
Makro). Maka, manusia dalam hidupnya
akan senantiasa terikat dengan aspek ekonomi tersebut, dan apapun yang
dilakukan manusia berdasarkan teori dan frasa tersebut, senantiasa dilandasi
dengan motif ekonomi. Disimpulkan, aspek yang paling berpengaruh, sering
menuntun manusia dalam mengambil keputusan, serta tentunya berbahaya (baik
dalam artian positif maupun negatif) adalah aspek ekonomi.
Namun, entah bagaimana,
aspek tersebut bisa dikelola dengan sangat luar biasa sepanjang bulan ramadhan.
Disini penulis menggambarkan sebuah gagasan tentang perbedaan pola tindakan
ekonomi khususnya masyarakat Indonesia selama bulan ramadhan, dan selama bulan
non ramadhan. Pada dasarnya, proses ekonomi senantiasa dilakukan manusia,
bahkan saat dalam kondisi hilang kesadaran (aik pingsan maupun tidur), karena
dalam kondisi tidur ada kemungkinan dia tengah tertidur di sebuah kamar hotel,
atau ketida dia pingsan dia berada di sebuah rumah sakit dan harus memenuhi
tagihan rumah sakit. Maksudnya, ekonomi memandang manusia sebagai entitas yang
senantiasa melaksanakan tindakan-tindakan ekonomis, baik fiscal, moneter bahkan
sector riil. Jadi, ekonomi adalah sebuah bagian kehidupan yang senantiasa
membersamai manusia selama 24 jam hidup-nya setiap hari.
Namun selama bulan
ramadhan, ummat muslim bahkan seluruh manusia dipaksa untuk melakukan tindakan
ekonomi khususnya konsumse secara lebih hati-dan tentu saja lebih teratur.
Bahkan bisa dikatakan, perilaku konusmsi manusia ditekan hanya mulai pukul
17.00-03.00 dini hari. Mengapa demikian? Pada siang hari, dengan diberlakukan
ibadah puasa, manusia dipaksa untuk lebih mengutamakan kesuksesan puasa-nya
ketimbang perilaku konsumsinya. Pembelian barang-barang mewah pun
dipertimbangkan karena menyangkut pemenuhan kebtuhan spiritual ataupun social.
Ummat islam yang berhasil dalam puasanya, akan berhasil juga dalam mengelola
ekonomi-nya dengan standarisasi ketat dan ideal, sebuah prinsip dasar
mementingkan kebutuhan lebih dari keinginan, dan berdampak bagus pada ekonomi
secara umum.
Selama bulan ramadhan,
Negara mayoritas muslim seperti Indonesia, mengalami fenomena inflasi, namun,
bedanya, inflasi yang terjadi cenderung inflasi sehat. Mengapa disebut inflasi
sehat? Kenaikan harga barang tidak diperparah dengan adanya monopoli sumber
daya tertentu, dan lebih dibantu dengan kebiasaan berbagi orang-orang di bulan
puasa. Dengan demikian, inflasi yang terjadi selama bulan ramadhan memang
secara nasional berpengaruh signifikan dan cukup mengkhawatirkan, bahkan
dampaknya bisa terus dirasakan paska ramadhan, namun selama bulan ramadhan
inflasi ini berdampak positif baik bagi konsumen maupun produsen. Produsen
diuntungkan dengan terbelinya barang produksi mereka, sedangkan konsumen
diuntungkan dengan tersedianya variasi pilihan produk di pasar. Dua hal ini,
fenomena perilaku ekonomi 12 jam dan inflasi sehat, adalah kunci utama yang
membedakan kondisi ekonomi di bulan ramadhan dengan bulan-bulan setelahnya.
Terjadinya kedua fenomena
yang memberikan perbedaan signifikan perekonomian, didukung oleh beberapa
perilaku sehat selama bulan ramadhan. Penulis akan memaparkan perilaku sehat
ini baru kemudian melakukan komparasi dengan kondisi paska ramadhan dengan
melihat pada kedua fenomena diatas. Berikut beberapa perilaku sehat yang
dilakukan ummat islam selama bulan ramadhan, khususnya di Indonesia.
1. Dijunjungnya
konsep berbagi
Kunci utama
ini melahirkan fenomena ekonomi 12 jam dan menjamin terjualnya produk yang
ditawarkan di pasar. Dengan berbagi,orang akan melakukan 2 hal yang sangat
berpengaruh dalam perekonomian. Pertama, dia melakukan proses konsumsi, dalam
hal ini bisa berupa konsumsi apapun. Kedua, dia tidak melakukan/menghindari
monopoli dengan membagikan produk yang dia konsumsi. Kebiasaan jaburan, berbagi
takjil, bersedekah setiap malam adalah bukti bagaimana dalam bulan ramadhan,
kebiasaan ini berusaha untuk diinternalisasi kedalam jiwa ummat islam,
khususnya di Indonesia. Bahkan terlepas dari motif politis, pemimpin-pemimpin
baik skala nasional maupun lokal beramai-rama turun dan berbagi denga
masyarakatnya. Tentu, ditutup dengan pemenuhan berbagai kewajiban zakat seperti
zakat fitrah dan zakat-zakat lain yang biasanya ditunaikan saat ramadhan.
2. Adanya kebiasaan
menahan diri
Waktu
berpuasa bisa dibilang cukup lama, dari pukul 04.00 dini hari hingga 18.00
waktu senja. Sekitar 14-16 jam, tergantung lokasinya. Waktu yang cukup lama ini
mendominasi kehidupan manusia, bahkan dalam beberapa hal memaksa manusia untuk
memotong dan menambah waktu-waktu tertentu. Amil contoh waktu tidur, kita semua
dipaksa bangun dini hari untu memenuhi kewajiban sahur, otomatis, waktu tidur
kita dipotong. Di sore hari, kita dipaksa meluangkan waktu barang 15 menit
untuk mempersiapkan berbuka, yang artinya waktu kerja kita turut dipotong.
Ditambah dengan dibatasinya aktifitas di siang hari (karena kondisi lapar dan
haus), otomatis manusia yang melaksanakan ibadah puasa ramadhan benar-benar
dipaksa menahan dirinya. Mau tidak mau, dorongan psikologis dan psikis ini
membawa manusia pada dua kondisi. Kondisi pertama adalah melaksanakan balas
dendam, atau, justru malah semakin menahan diri. Pengalaman penulis pribadi,
meskipun penulis memiliki nafsu makan cukup besar, namun penulis justru tidak
bisa makan sebanyak hari-hari biasanya, lebih nyaman jika penulis mampu
membagikan apa yang hendak penulis konsumsi. Dengan menahan dirinya, artinya
kita juga turut menahan kebiasaan konsumsi, bahkan tidak jarang keluarga-keluarga
selama ramadhan lebih memilih memproduksi produk sendiri, seperti kue-kue dan
hal lain.
3. Dilakukannya
aturan-aturan ketat dalam konsumsi
Akan sulit
menemukan tempat hiduran mahal, seperti kelab malam atau apapun yang melanggar
perda syari’ah yang berani buka siang hari. Penulis mengesampigkan dihapusnya
ribuan perda syari’ah oleh pemerintah, karena kenyataannya beberapa orang yang
memiliki bisnis seperti itu masih menjunjung tinggi toleransi (beberapa).
Padahal secara umum, bisnis yang demikian perputara uangnya luar biasa, karena
barang atau jasa yang diperdagangkan bernilai mahal. Ditambah lagi adanya
larangan menahan lapar, haus dan hasrat seksual selama bulan ramadhan.
Otomatis, sumber daya yang dimiliki orang yang melaksanakan ibadah puasa di
bulan ramadhan akan lebih dialokasikan kepada hal-hal lain yang mungkin lebih
produktif.
4. Kebiasaan
bersilaturrahim
Meskipun
sederhana namun kebiasaan inilah yang memungkinkan ketiga hal diatas terjadi.
Kebiasaan ummat islam Indonesia untuk ngabuburit contohnya, dengan berkumpul
akan banyak terjadi transaksi yang memberikan dampak positif bagi perekonomian.
Terjalinnya relasi baik pertemanan maupun professional, proses konsumsi untuk
sajian berbuka, pembicaraan bisnis pun tak jarang terjadi selama proses
ngabuburit. Intinya, keberadaan ritual ibadah di bulan ramadhan dengan segala
syarat dan ketentuannya lebih memudahkan/memunculkan kebutuhan bagi manusia
untuk berkumpul. Dengan berkumpulnya manusia secara fisik, maka akan banyak
terjadi berbagai hal, dan tentu saja, beberapa hal tersebut memiliki nilai
ekonomis yang tidak bisa dipandang sepele.
Keempat hal tersebut
menurut penulis merupakan hal yang membuat bulan ramadhan berbeda dengan bulan
lain, dan tentu menghasilkan sebuah system ekonomi 12 jam dan inflasi sehat
yang terjadi selama bulan ramadhan. Penerapan ha-hal tersebut, di bulan lain
akan terasa sulit, dan tentu saja memberikan dampak yang berbeda bagi ekonomi.
Dengan dipaksanya manusia untuk terus melakukan aktifitas ekonomi tanpa adanya
batasan atau aturan tertentu, bahkan manusia tidak diberikan kesempatan
melakukan silaturrahim, jelas sebuah perbedaan mendasar yang menghasilkan
dampak ekonomi yang berbeda. Kebiasaan berbagi yang sempat tumbuh selama bulan
ramadhan, digantikan paksa oleh motof monopoli, dimana sumber daya apapun akan
dikuasi, serta hal lain yang tidak kita temukan selama bulan ramadhan. Secara
sekilas mungkin ekonomi tumbuh pesat, namun ada dampak residu yang menimbulkan
dampak jangka panjang yang berbahaya, dan ini umum terjadi dilain bulan
ramadhan.
Kami akan mengambil beberapa contoh,
perbedaan mendasar antara kebiasaan yang umum terjadi di bulan ramadhan dengan
apa yang terjadi di hari-hari biasa
1. Kebiasaan
berbagi versus monopoli
Memonopoli,
menguasai dan hasrat memiliki adalah sifat dasar manusia yang ditekan habis
pada bulan ramadhan, terutama bagi yang menjalankan ibadah puasa. Namun pada
hari-hari biasa, orang berhak memilih apakah dia mau berbagi atau memonopoli.
Akan tetapi sebagian besar manusia umumnya memilih menguasai sesuatu untuk
dirinya sendiri. Amat jarang ditemukan, pembagian makanan gratis selama
bulan-bulan biasa, bila dibandingkan intensitasnya di bulan ramadhan.
2. Silaturrahim
versus individualism
Pertemuan
individu sebetulnya terjadi juga selama bulan-bulan biasa, namun dalam nuansa
yang berbeda. Pertemuan antar manusia biasanya dilandasi factor pertama diatas,
motif memonopoli. Secara umum memang terjadi proses ekonomi, bahkan mungkin
bernilai lebih besar dibanding di bulan ramadhan. Namun, dengan membawa motif
keinginan menguasai/memiliki, menimbulkan dampak psikologis, stress. Stress
bisa muncul ketika tujuan tersebut tidak dapat terpenuhi, ditambah dengan tidak
adanya anjuran-anjuran menahan diri, sebagaimana yang ada di bulan ramadhan.
Bisa jadi, pertemuan individu ini malah bisa memunculkan masalah baru yang
krusial.
3. Ketiadaan
perda-erda sebagaimana dalam bulan ramadhan
Meskipun
tidak semua daerah memiliki perda-perda syari’ah, namun keberadaan perda
syari’ah tetap berpengaruh bagi keberjalanan seorang muslim mejadi lebih baik.
Namun sayangnya, perda-perda syarah tersebut seringkali hanya diaktifkan pada
momen-momen tertentu seperti bulan ramadhan. Secara ekplisit, hal inilah yang
paling bisa kita nilai dalam kaitannya perilaku manusia pada saat dan di luar
bulan ramadhan.
Lantas bagaimana dengan
predikat muttaqqin? Bukankaah sesungguhnya hamba Allah yang lulus dari bulan
ramadhan memperoleh berbagai gelar kebajikan?. Tidak dipungkiri lagi bahwa
bulan ramadhan adalah akademi ampuh untuk mencetak insan muslim yang shalih
secara spiritual maupun social. Namun, manusia pun juga diberikan sesuatu yang
membuat tidak semua hal seperti yang dibayangkan. Manusia berhak memilih untuk
menjaga atau menghentikan kebaikan yang telah diperbuat selama bulan ramadhan,
pada bulan-bulan selepasnya. Bagaimanapun, manusia tetap memiliki bebera[a
sifat dasar yang berpotensi menjadi dosa, dan manusia berhak untuk memilih,
untuk mengarahkan kemana potensi tersebut.
Apabila selepas idul
fitri, bulan syawal dan seterusnya manusia memilih untuk menjunjung tinggi
kebiasaan-kebiasaan baik yang telah dipupuk selama ramadhan, bukan tidak mugkin
kita mengalami ekonomi 12 jam dan inflasi sehat sebagaimana saat bulan
ramadhan. Kalaupun tidak seperti itu, setidaknya akan mengurangi potensi
terjadinya transaksi-transaksi ekonomi negative, baik secara dzat maupun
akad –nya. Kembali kita mempertanyakan selaku ummat islam, pada sisi
mana kita memilih? Apakah kembali pada kebiasaan lama atau mempertahankan
kebiasaan baik selama bulan ramadhan?.
Ramadhan telah menjadi
semacam bukti bagaimana sebuah momentum bisa memberikan dampak ekonomi secara
makro dan riil. Dampak makro dan riil tersebut bisa dirasakan oleh mayoritas
orang baik yang menjalankan (melaksanakan ibadah di bulan ramadhan) ataupun
tidak menjalankan. Hal ini menjadi hipotesis terakhir penulis, bahwa kebiasaan
diatas bisa memberikan dampak nyata jika dilakukan secara kolektif. Maka, ummat
islam membutuhkan kesatuan gerak dan persatuan ummat dalam mengemban visi
ekonomi ini. Sulit jika merubah kondisi makro degan gerakan-gerakan mikro yang
tidak terkoordinasi, karena permasalahan ekonomi yang kita hadapi adalah
permasalahan ekonomi bersifat nasional, bahkan global. Penutup, siapkah kita
membentuk keshalihan kolektif?
-Wallahu ‘Alam
No comments:
Post a Comment