Manajemen Asset dan Liabilitas
Critical Review
"Likuidasi 16 Bank Bukan Obat Mujarab yang
Ditunggu-tunggu"
Manajemen Perbankan Kelas A
Kelompok Tujuh
Antonius Khrisna Bayu HP
(F0213 )
Muhammad Abdullah ‘Azzam
(F0213062)
JURUSAN
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016
Penjabaran
Kasus
Maklum saja, di antara pemiliki dari 16 bank yang
dicabut izinnya, terdapat nama-nama konglomerat " kelas kakap " yang
tercatat sebagai pemilik dan pemegang saham. Sebut saja putra Presiden
Soeharto, Bambang Trihatmodjo, sebagai pemegang saham Bank Andromeda. Ada Ponco
Sutowo, putra bekas dirut Pertamina Ibnu Sutowo yang menjadi pemegang saham
Bank Pacific. Selain itu, ada pula pengusaha pribumi kondang Probosutedjo, yang
juga saudara Pak Harto, pemilik Bank Jakarta. Ada juga Titiek Prabowo yang
menjadi salah satu pemegang saham Bank Industri.
Dan untuk pertama kali juga Menkeu RI diajukan ke PTUN
dalam kasus likuidasi bank. Bambang Trihatmodjo telah memasukkan gugatan ke
PTUN Jakarta atas keputusan Menkeu dan Gubernur BI itu. Gugatan dimasukkan pada
Rabu lalu di Jakarta. Bambang � yang
dikabarkan Harian Merdeka menandatangani surat gugatan di atas kap mobil
Jaguarnya -- merasa banknya cukup sehat dan nama baiknya sebagai pengusaha
tercemar akibat likuidasi itu.
Tak cuma Bambang Trihatmodjo yang tersengat. Nasabah
16 bank itu pun seperti tersambar petir menyaksikan kantor-kantor bank ditutup
dan uang mereka "terbenam" di sana.
Berdirinya ratusan bank yang menjamur setelah Pakto
88, ternyata membawa akibat luas. Bank-bank milik konglomerat, bukan rahasia
lagi, dipakai sebagai "modal" untuk membiayai proyek-proyek grup
usaha itu sendiri. Bank Indonesia mematok hanya 20 persen kredit dari total
yang dikucurkan yang boleh dipakai oleh grup sendiri. Tapi siapa yang bisa
memastikan ketentuan ini dipatuhi oleh sang pengusaha yang kelewat "enak"memerah
sapi gemuk bernama bank -- miliknya sendiri tadi.
Kasus semacam ini bisa dilihat dalam hal Bank Artha
Prima (BAP), milik Oka Mas Agung atau Bank Pacific (BP) punya Ibnu Sutowo.
Keduanya limbung lantaran duitnya dikuras oleh sipemiliknya dengan cara
menyalurkan kredit ke grup sendiri dan macet. Jumlah kredit bermasalah di BAP
mencapai Rp 889 miliar, yang terdiri atas Rp 345 miliar akibat penerbitan surat
promes, dan Rp 565 miliar kredit macet.
Bank Indonesia sebenarnya sudah mendeteksi adanya pemberian
kredit sebesar Rp 900 miliar itu. Namun dengan kemampuan dan kelihaian Hindoro
alias Liem Bun Hin menyuap aparat BI, pelanggaran yang dilakukannya tidak
terungkap. Akhirnya BI memecat salah seorang direktur Bank Perniagaan, Djulie
Danuar. Bank Perniagaan kini diambialih oleh pengusaha Nirwan D. Bakrie.
Kasus commercial paper juga terjadi di Bank Artha.
Commercial paper fiktif juga pernah dipakai oleh Bambang
Samiyono, pemilik Bank Dwipa dan dan juga pemegang saham minoritas Bank Citra,
untuk menangguk untung besar. Kedua bank yang kini dilikuidasi itu dijual
CP-nya oleh Bambang dengan cara menjaminkannya kepada Bank Dwipa. Rupanya CP
itu fiktif. Jumlah kerugian yang dialami bank itu adalah sekitar Rp 300 miliar
lebih.
Maka, langkah pemerintah melikuidasi 16 bank, agaknya
merupakan langkah yang tepat untuk melindungi masyarakat banyak. Walaupun, kata
pengamat Faisal Basri, sebetulnya pemerintah tidak boleh mendiskriminasi latar
belakang kepemilikan bank yang dilikuidasi. "Toh ada bank BUMN, bank Pemda
dan bank swasta. Kalau prinsipnya penyehatan, bank yang sakit ya harus dihantam
semua. Buktinya Bapindo tidak kena. Bank milik pemda lima puluh persen sakit
parah, tapi masih dipertahankan," kritik Faisal Basri (lihat
Wawancara Basri: "Buat Rakyat, Deregulasi Kemarin ini Belum Cukup").
Bagi pengamat Christianto Wibisono, likuidasi 16 bank
ini adalah langkah yang terlalu cepat. "Saya dengar ada bank yang hingga
bulan Juni 1997 masih mengeluarkan neracanya, tetapi tetap dilikuidasi. Saya
melihat bank yang memang sudah sakit sebelum terjadinya krisis rupiah,
disamakan dengan bank yang "sakit" akibat krisis rupiah. Jadi penyamarataan
ini langkah yang salah besar. Seharusnya berbeda, dong," kata
Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia itu (lihat
Wawancara Christianto:"Tak
Cukup 23 Miliar Dollar AS atau Likuidasi, Tapi Perlu Reformasi Politik").
Likuidasi bank -- satu langkah yang kata Faisal hanya
kecil saja pengaruhnya dalam membenahi krisis moneter ini � saja barangkali memang tidak cukup untuk menyehatkan
ekonomi RI. Krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini, menurut Christianto,
sudah tidak lagi sebatas ekonomi, tetapi juga masalah politik. Ada
faktor-faktor yang akan selalu menggerogoti fundamental ekonomi jika tidak
dihilangkan. Faktor-faktor ini adalah kolusi, korupsi dan monopoli yang banyak
terjadi dalam perekonomian kita. Obatnya, tak lain dan tak bukan, adalah
reformasi total di bidang ekonomi dan juga politik.
Permasalahan
Secara umum, kondisi perekonomian
indonesia pada era 1996-1998 berada dalam kondisi krisis disemua sektor.
Jangankan asepk perbankan, berbagai sektor lain pun mengalami kelesuan akibat
krisis moneter. Namun, yang membuat sektor perbankan menarik adalah fakta dan
rahasia umum fungsii bank yang didirikan di era tersebut. Pada kasus kami
menemukan bahwa cukup banyak tindakan yang merugikan bank yang justru malah
dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Sebut saja Edi Tansi, dan kawan-kawan
sebagaimana yang disebutkan pada kasus diatas. Selain itu, ada fakta menarik
yang melatarbelakangi kenapa kejadian seperti itu bisa muncul.
Latar belakang daripada munculnya kasus
tersebut, tidak lain adalah berbagai kejadian sebagai berikut. Kejadian tersenut adalah
dimunculkannya berbagai macam paket kebijakan perbankan yang puncaknya ada pada
paket kebijakan 1988 dimana mengijinkan seluruh jenis manusia untuk bisa
membuat bank. Dampaknya, jelas sebagaimana yang tersaji dikasus. Bank dibuat
tidak lain adalah sebagai sapi perah bagi para pemiliknya, dan inilah yang
terjadi pada perbankan indonesia pada waktu itu.
Paket Juni
1983
Inilah langkah penting deregulasi sektor perbankan di
Indonesia. Di dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi bank
untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan
Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Deregulasi pertama itu
juga memperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan
perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil "menarik" dana masyarakat
ke bank secara drastis.
Paket 27
Oktober 1988
Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang
sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa
mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak
mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam
angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang
dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan,
serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.
Secara kualitas keberhasilan tampak pada peningkatan
sumber daya manusia yang lebih profesional, mutu pelayanan perbankan yang lebih
baik, penggunaan perangkat keras dan lunak yang super canggih, juga komunikasi
antar pelaku perbankan yang tidak terlalu birokratis.
Paket
Pebruari 1991
Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah
meluncurkan Paktri yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur
adalah syarat bahwa modal sendiri bank haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset.
Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau
perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen mengharuskan
bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak
bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 persen saja.
Terbitnya paket itu ditandai dengan berbagai kejadian
pahit di dunia perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank Duta yang kolaps
gara-gara permainan valuta asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit.
UU
Perbankan Nomor 7 tahun 1992
Undang Undang itu lahir pada tanggal 25 Maret 1992
guna menyempurnakan UU nomor 14 tahun 1967. Inti aturan itu adalah meniadakan
pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan – misalnya pemilikan bank oleh
pemerintah, swasta dan daerah. Dalam hal pendirian bank baru, UU tersebut mengatur
berbagai syarat seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian
di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Syarat itu ditetapkan
oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992
Melalui Peraturan Pemerintah itu, pemerintah menaikkan
modal minimum pendirian bank, dari Rp 10 milyar menjadi Rp 50 Milyar. Langkah
itu jelas dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan bank yang nyaris tak
terkendali. Pada tahun 1992 tercatat ada bank 17 ribu bank, 8400 di antaranya
adalah BPR (bank perkreditan rakyat). Ada sekitar 100 nama baru pemilik bank.
Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal, yang
dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia.
Akibat sampingannya juga ada, yaitu menjamurnya
bank-bank gelap. Agaknya gairah memanfaatkan pertumbuhan bank itu membuka
"mata nakal" para spekulan yang tahu benar keinginan nasabah untuk
mendapat bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya.
Pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun
1994. Dan itulah yang membuat ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995,
misalnya, di sektor properti saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41
trilyun.
Sementara itu, bank asing juga diizinkan membuka
cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank asing dan swasta
nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN oleh bank-bank
milik negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena
syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan kompetisi
sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana deposito
dan tabungan. Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan kredit dan
pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam menyalurkan kredit
menjadi terabaikan. Akibatnya pasti: kredit macet menggunung.
Ada empat "penyakit" perbankan yang dibawa
Pakto 88. Yaitu, bank-bank banyak dikuasai para konglomerat. Di tangan
konglomerat, suburlah praktek insider lending alias pemberian
kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Padahal praktek tersebut terlarang
bagi dunia perbankan. Salah satu contoh betapa maraknya praktek insider
lending itu adalah ambruknya Bank Summa yang dilikuidasi BI pada
tanggal 14 Desember 1992.
"Penyakit" lain adalah tingginya suku bunga.
Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 persen setahun. Suku bunga
tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme kredit makin tidak
sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan sendiri. Kredit macet
makin tak terkendali. "Penyakit" lain lagi, pemilik bank
memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi
dalam masyarakat. "Penyakit" lainnya, investasi banyak dikucurkan ke
sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu
yang dianggap sebagai kemubaziran investasi.
Paket Mei
1993
Paktri dinilai kelewat "menekan" dunia
perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Pakmei yang intinya
melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar delapan
persen. Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam
komponen modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 50 persen saja dari laba tahun
lalu yang boleh dimasukkan dalam komponen modal sendiri.
Soal penyaluran kredit juga diatur. Antara lain,
pemberian kredit oleh bank bagi grup usahanya diturunkan dari 50 persen menjadi
hanya 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Ketentuan lain, cadangan
minimum turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari aktiva lancar. Pelonggaran
itu jelas menaikkan kapasitas pemberian kredit.
Penyaluran kredit kecil juga diatur. Pakmei memberikan
kebebasan bagi bank untuk memberikan kredit kecil maksimal Rp 25 juta tanpa
melihat penggunaannya. Menurut Trenggono, Ketua Perbanas ketika itu, hal
tersebut akan mendorong kredit konsumsi yang berlebih.
Paket Juli
1997
Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group
on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli
(Pakjul). Di bidang moneter, paket itu menentukan pembatasan pemberian kredit
kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti. Hal tersebut
dilakukan karena kredit macet bidang properti sudah kelewat tinggi. Bayangkan,
pertumbuhan kredit secara umum antara 23-24 persen, sedang pertumbuhan kredit
properti 35 persen.
Sebelum Pakjul, tepatnya 16 April, Bank Indonesia
membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib
minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi 5 persen. Pada bulan September
keluar kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu diharapkan mampu
mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah lilitan
kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta
dengan dana raksasa.
Pengumuman
Pemerintah 1 November 1997
Pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di sektor
perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang sejak
lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger. Pertanyaan
selanjutnya, apakah benar pernyataan BI bahwa tak akan ada lagi bank yang
dilikuidasi.
Pembahasan
Terlepas dari kondisi ekonomi yang
tengah berada dalam keadaan krisis, kami akan membahas beberapa titik poin yang
seharusnya menjadi perhatian agar kejadian seperti 1 November 1996 kemabli
terulang pada era mendatang. Titik bahasan ini kami bagi menjadi 3 bagian,
1. Kebijakan ALMA dan solusi awal masalah
Pada
dasarnya, ALMA adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh bank untuk
mengelola aset dan utang-piutang nya, baik dari segi bank itu sendiri ataupun
bank dengan para pelanggannya. Apabila bank menerapkan ALMA dengan sebaik
mungkin dengan tanpa dipengaruhi oleh pemilik, ada beragam kemungkinan
perbaikan dan tidak perlu terjadinya musibah perbankan pada tahun 1996
tersebut. Namun pada kenyataannya, tetap unit bisnis akan selalu patuh pada
pimpinannya, ALMA sendiri tidak akan mampu untuk menjaga kebaikan dari
bank-bank tersebut, diperlukan beberapa bantuan dari pihak-pihak eksternal.
Namun,
tetap kita perlu menjadikan landasan awal pengelolaan bank adalah pada ALMA.
Akan sangat baik kiranya, jika pemilik pun diatur kepemilikan dan hak atas
pinjamannya, sehingga tidak semena-mena sebagaimana yang terjadi dahulu.
Mungkin beberapa regulasi dari BI sudah mengatur hal ini, namun tetap saja,
dari bank dan pemilik juga harus memiliki kesepakatan jelas, berapa persentasi
yang menjadi hal pemilik dan bagaimana tatacara pemanfaatannya. Begitu pula
dengan pihak pelanggan, bank lain, bank sentral dan pemerintah, sehingga tidak
perlu terjadi hal-hal demikian. Berikutnya akan kami bahas beberapa institusi
pengawas moneter dan perannya dalam menjaga kesehatan bank.
2. Apa kabar lembaga-lembaga pengawas moneter?
Berdasarkan
kasus, kami menemukan bahwa pada saat itu belum banyak lembaga pengawas moneter
apalagi perbankan, bahkan fungsi LPS saat itu bisa dibilang sangat kerdil.
Bahkan bank sentral saja hanya memiliki sedikit peran dan kekuatan untuk dapat
mengatur dan mengurusi masalah perbankan, apalagi kementrian keuangan. Maka
bisa dikatakan wajar, jika kasus likuidasi bank dalam bentuk apapun yang
dikorbankan adalah nasabah dan yang diuntungkan adalah pemilik.
Kondisi
dengan era sekarang jelas jauh berbeda, tidak hanya lembaga lama seperti
kementrian keungan dan BI saja yang terlibat dalam pengelolaan moneter diindonesia.
Lembaga anti rasuah seperti KPK, otoritas jasa keuangan, bahkan dewan syari’ah
nasional sekarang terlibat dalam berbagai isu-isu dan perumusan kebijakan
moneter. Apabila keseluruhan lembaga diatas berfungsi dengan baik, sebagaimana
fungsi dan tupoksi, kemungkinan besar akan terdengar banyak kabar baik dari
aspek moneter dan perbankan. Namun jika tidak? Disinilah sebenarnya peran besar
bagi lembaga-lembaga tersebut. Memastikan lembaga tersebut berfungsi dengan
baik bisa menjadi salah satu jawaban untuk menjaga indonesia dari berbagai
bencana moneter yang mungkin terjadi di indonesia.
3. Regulasi yang benar-benar regulasi
Sampai
malam kami menulis kasus ini, kami belum berhasil menemukan UU baru mengenai
perbankan meskipun pada akhirnya kami berhasil menemukan peraturan Bank
Indonesia (PBI) no. 11/1/PBI/2009 tentang bank umum yang telah sedikit banyak
merubah point krusial dalam pakto 88 yang kami bahas sebelumnya. Namun demikian
memang belum ada regulasi khusus yang mewadahi kewajiban bank untuk melakukan ALMA
ini, sehingga sebagian besar regulasi yang ada baru mencakup aspek-aspek
normatif dari perbankan itu sendiri.
Penutupan
Di akhir, kami akan menyimpulkan
beberapa hal dari hasil penjabaran dari kasus ini, pertama, kasus ini adalah
kasus yang sangat lama, terjadi 20 tahun lalu, namun kasus ini masih menjadi
rapor buruk perbankan indonesia. Kedua, kepemilikan dari bank memang diatur
oleh undang-undang adalah milik siapapun yang memenuhi syarat untuk mendirikan
dan mengelola bank, namun memang sangat disayangkan, seringakali hal ini malah
menjadi bumerang terutama jika para pemilik berperilaku seperti Edi Tansil dan
kawan-kawannya. Ketiga, ada berbagai macam instrumen yang bisa memperkuat dan
membantu menjalankan praktik manajemen aset dan liabilitas dengan lebih baik,
seperti lembaga-lembaga pegawas moneter dan perbanka, serta berbagai regulasi
yang mungkin dibuat. Dan terakhir, puncak dari kegagalan sebuah bank atau
isntitusi perbankan adalah ketika pasar memaksanya untuk melikuidasi usahanya.
Bagaimanapun hal ini bisa menjadi perhatian, pengelolaan aset dan liabilitas
bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu bank atau institusi
perbankan. Harap ini menjadi perhatian bersama.
No comments:
Post a Comment