Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Tuesday, May 3, 2016

Perbankan Case : Likuidasi 16 Bank Bukan Obat Mujarab yang Ditunggu-tunggu

Manajemen Asset dan Liabilitas
Critical Review
"Likuidasi 16 Bank Bukan Obat Mujarab yang Ditunggu-tunggu"
Manajemen Perbankan Kelas A
Kelompok Tujuh
Antonius Khrisna Bayu HP (F0213  )
Muhammad Abdullah ‘Azzam (F0213062)

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016
Penjabaran Kasus
Inilah kejadian paling pahit dalam sejarah perbankan Indonesia: 16 bank dilikuidasi pada 1 November lalu. Untuk pertama kali juga ada sejumlah nama beken di Republik Indonesia yang dicekal ke luar negeri. Kabarnya, pihak Departemen Keuangan meminta semua pemilik bank yang dilikuidasi untuk dicekal ke luar negeri, walau pihak Kejaksaan Agung belum mengeluarkan surat pencekalan.
Maklum saja, di antara pemiliki dari 16 bank yang dicabut izinnya, terdapat nama-nama konglomerat " kelas kakap " yang tercatat sebagai pemilik dan pemegang saham. Sebut saja putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, sebagai pemegang saham Bank Andromeda. Ada Ponco Sutowo, putra bekas dirut Pertamina Ibnu Sutowo yang menjadi pemegang saham Bank Pacific. Selain itu, ada pula pengusaha pribumi kondang Probosutedjo, yang juga saudara Pak Harto, pemilik Bank Jakarta. Ada juga Titiek Prabowo yang menjadi salah satu pemegang saham Bank Industri.
Dan untuk pertama kali juga Menkeu RI diajukan ke PTUN dalam kasus likuidasi bank. Bambang Trihatmodjo telah memasukkan gugatan ke PTUN Jakarta atas keputusan Menkeu dan Gubernur BI itu. Gugatan dimasukkan pada Rabu lalu di Jakarta. Bambang yang dikabarkan Harian Merdeka menandatangani surat gugatan di atas kap mobil Jaguarnya -- merasa banknya cukup sehat dan nama baiknya sebagai pengusaha tercemar akibat likuidasi itu.
Tak cuma Bambang Trihatmodjo yang tersengat. Nasabah 16 bank itu pun seperti tersambar petir menyaksikan kantor-kantor bank ditutup dan uang mereka "terbenam" di sana.
Berdirinya ratusan bank yang menjamur setelah Pakto 88, ternyata membawa akibat luas. Bank-bank milik konglomerat, bukan rahasia lagi, dipakai sebagai "modal" untuk membiayai proyek-proyek grup usaha itu sendiri. Bank Indonesia mematok hanya 20 persen kredit dari total yang dikucurkan yang boleh dipakai oleh grup sendiri. Tapi siapa yang bisa memastikan ketentuan ini dipatuhi oleh sang pengusaha yang kelewat "enak"memerah sapi gemuk bernama bank -- miliknya sendiri tadi.
Kasus semacam ini bisa dilihat dalam hal Bank Artha Prima (BAP), milik Oka Mas Agung atau Bank Pacific (BP) punya Ibnu Sutowo. Keduanya limbung lantaran duitnya dikuras oleh sipemiliknya dengan cara menyalurkan kredit ke grup sendiri dan macet. Jumlah kredit bermasalah di BAP mencapai Rp 889 miliar, yang terdiri atas Rp 345 miliar akibat penerbitan surat promes, dan Rp 565 miliar kredit macet.
Bank Indonesia sebenarnya sudah mendeteksi adanya pemberian kredit sebesar Rp 900 miliar itu. Namun dengan kemampuan dan kelihaian Hindoro alias Liem Bun Hin menyuap aparat BI, pelanggaran yang dilakukannya tidak terungkap. Akhirnya BI memecat salah seorang direktur Bank Perniagaan, Djulie Danuar. Bank Perniagaan kini diambialih oleh pengusaha Nirwan D. Bakrie. Kasus commercial paper juga terjadi di Bank Artha.
Commercial paper fiktif juga pernah dipakai oleh Bambang Samiyono, pemilik Bank Dwipa dan dan juga pemegang saham minoritas Bank Citra, untuk menangguk untung besar. Kedua bank yang kini dilikuidasi itu dijual CP-nya oleh Bambang dengan cara menjaminkannya kepada Bank Dwipa. Rupanya CP itu fiktif. Jumlah kerugian yang dialami bank itu adalah sekitar Rp 300 miliar lebih.
Maka, langkah pemerintah melikuidasi 16 bank, agaknya merupakan langkah yang tepat untuk melindungi masyarakat banyak. Walaupun, kata pengamat Faisal Basri, sebetulnya pemerintah tidak boleh mendiskriminasi latar belakang kepemilikan bank yang dilikuidasi. "Toh ada bank BUMN, bank Pemda dan bank swasta. Kalau prinsipnya penyehatan, bank yang sakit ya harus dihantam semua. Buktinya Bapindo tidak kena. Bank milik pemda lima puluh persen sakit parah, tapi masih dipertahankan," kritik Faisal Basri (lihat Wawancara Basri: "Buat Rakyat, Deregulasi Kemarin ini Belum Cukup").
Bagi pengamat Christianto Wibisono, likuidasi 16 bank ini adalah langkah yang terlalu cepat. "Saya dengar ada bank yang hingga bulan Juni 1997 masih mengeluarkan neracanya, tetapi tetap dilikuidasi. Saya melihat bank yang memang sudah sakit sebelum terjadinya krisis rupiah, disamakan dengan bank yang "sakit" akibat krisis rupiah. Jadi penyamarataan ini langkah yang salah besar. Seharusnya berbeda, dong," kata Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia itu (lihat Wawancara Christianto:"Tak Cukup 23 Miliar Dollar AS atau Likuidasi, Tapi Perlu Reformasi Politik").
Likuidasi bank -- satu langkah yang kata Faisal hanya kecil saja pengaruhnya dalam membenahi krisis moneter ini saja barangkali memang tidak cukup untuk menyehatkan ekonomi RI. Krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini, menurut Christianto, sudah tidak lagi sebatas ekonomi, tetapi juga masalah politik. Ada faktor-faktor yang akan selalu menggerogoti fundamental ekonomi jika tidak dihilangkan. Faktor-faktor ini adalah kolusi, korupsi dan monopoli yang banyak terjadi dalam perekonomian kita. Obatnya, tak lain dan tak bukan, adalah reformasi total di bidang ekonomi dan juga politik.







Permasalahan
          Secara umum, kondisi perekonomian indonesia pada era 1996-1998 berada dalam kondisi krisis disemua sektor. Jangankan asepk perbankan, berbagai sektor lain pun mengalami kelesuan akibat krisis moneter. Namun, yang membuat sektor perbankan menarik adalah fakta dan rahasia umum fungsii bank yang didirikan di era tersebut. Pada kasus kami menemukan bahwa cukup banyak tindakan yang merugikan bank yang justru malah dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Sebut saja Edi Tansi, dan kawan-kawan sebagaimana yang disebutkan pada kasus diatas. Selain itu, ada fakta menarik yang melatarbelakangi kenapa kejadian seperti itu bisa muncul.
Latar belakang daripada munculnya kasus tersebut, tidak lain adalah berbagai kejadian sebagai berikut. Kejadian tersenut adalah dimunculkannya berbagai macam paket kebijakan perbankan yang puncaknya ada pada paket kebijakan 1988 dimana mengijinkan seluruh jenis manusia untuk bisa membuat bank. Dampaknya, jelas sebagaimana yang tersaji dikasus. Bank dibuat tidak lain adalah sebagai sapi perah bagi para pemiliknya, dan inilah yang terjadi pada perbankan indonesia pada waktu itu.
Paket Juni 1983
Inilah langkah penting deregulasi sektor perbankan di Indonesia. Di dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Deregulasi pertama itu juga memperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis.
Paket 27 Oktober 1988
Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.
Secara kualitas keberhasilan tampak pada peningkatan sumber daya manusia yang lebih profesional, mutu pelayanan perbankan yang lebih baik, penggunaan perangkat keras dan lunak yang super canggih, juga komunikasi antar pelaku perbankan yang tidak terlalu birokratis.
Paket Pebruari 1991
Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah meluncurkan Paktri yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur adalah syarat bahwa modal sendiri bank haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 persen saja.
Terbitnya paket itu ditandai dengan berbagai kejadian pahit di dunia perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit.
UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992
Undang Undang itu lahir pada tanggal 25 Maret 1992 guna menyempurnakan UU nomor 14 tahun 1967. Inti aturan itu adalah meniadakan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan – misalnya pemilikan bank oleh pemerintah, swasta dan daerah. Dalam hal pendirian bank baru, UU tersebut mengatur berbagai syarat seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Syarat itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992
Melalui Peraturan Pemerintah itu, pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank, dari Rp 10 milyar menjadi Rp 50 Milyar. Langkah itu jelas dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan bank yang nyaris tak terkendali. Pada tahun 1992 tercatat ada bank 17 ribu bank, 8400 di antaranya adalah BPR (bank perkreditan rakyat). Ada sekitar 100 nama baru pemilik bank. Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal, yang dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia.
Akibat sampingannya juga ada, yaitu menjamurnya bank-bank gelap. Agaknya gairah memanfaatkan pertumbuhan bank itu membuka "mata nakal" para spekulan yang tahu benar keinginan nasabah untuk mendapat bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya.
Pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Dan itulah yang membuat ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995, misalnya, di sektor properti saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41 trilyun.
Sementara itu, bank asing juga diizinkan membuka cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank asing dan swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana deposito dan tabungan. Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan. Akibatnya pasti: kredit macet menggunung.
Ada empat "penyakit" perbankan yang dibawa Pakto 88. Yaitu, bank-bank banyak dikuasai para konglomerat. Di tangan konglomerat, suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Padahal praktek tersebut terlarang bagi dunia perbankan. Salah satu contoh betapa maraknya praktek insider lending itu adalah ambruknya Bank Summa yang dilikuidasi BI pada tanggal 14 Desember 1992.
"Penyakit" lain adalah tingginya suku bunga. Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 persen setahun. Suku bunga tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme kredit makin tidak sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan sendiri. Kredit macet makin tak terkendali. "Penyakit" lain lagi, pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat. "Penyakit" lainnya, investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu yang dianggap sebagai kemubaziran investasi.

Paket Mei 1993
Paktri dinilai kelewat "menekan" dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Pakmei yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar delapan persen. Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 50 persen saja dari laba tahun lalu yang boleh dimasukkan dalam komponen modal sendiri.
Soal penyaluran kredit juga diatur. Antara lain, pemberian kredit oleh bank bagi grup usahanya diturunkan dari 50 persen menjadi hanya 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Ketentuan lain, cadangan minimum turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari aktiva lancar. Pelonggaran itu jelas menaikkan kapasitas pemberian kredit.
Penyaluran kredit kecil juga diatur. Pakmei memberikan kebebasan bagi bank untuk memberikan kredit kecil maksimal Rp 25 juta tanpa melihat penggunaannya. Menurut Trenggono, Ketua Perbanas ketika itu, hal tersebut akan mendorong kredit konsumsi yang berlebih.
Paket Juli 1997
Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Di bidang moneter, paket itu menentukan pembatasan pemberian kredit kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti. Hal tersebut dilakukan karena kredit macet bidang properti sudah kelewat tinggi. Bayangkan, pertumbuhan kredit secara umum antara 23-24 persen, sedang pertumbuhan kredit properti 35 persen.
Sebelum Pakjul, tepatnya 16 April, Bank Indonesia membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi 5 persen. Pada bulan September keluar kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu diharapkan mampu mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah lilitan kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta dengan dana raksasa.
Pengumuman Pemerintah 1 November 1997
Pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di sektor perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger. Pertanyaan selanjutnya, apakah benar pernyataan BI bahwa tak akan ada lagi bank yang dilikuidasi.
Pembahasan 
          Terlepas dari kondisi ekonomi yang tengah berada dalam keadaan krisis, kami akan membahas beberapa titik poin yang seharusnya menjadi perhatian agar kejadian seperti 1 November 1996 kemabli terulang pada era mendatang. Titik bahasan ini kami bagi menjadi 3 bagian,
1. Kebijakan ALMA dan solusi awal masalah
            Pada dasarnya, ALMA adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh bank untuk mengelola aset dan utang-piutang nya, baik dari segi bank itu sendiri ataupun bank dengan para pelanggannya. Apabila bank menerapkan ALMA dengan sebaik mungkin dengan tanpa dipengaruhi oleh pemilik, ada beragam kemungkinan perbaikan dan tidak perlu terjadinya musibah perbankan pada tahun 1996 tersebut. Namun pada kenyataannya, tetap unit bisnis akan selalu patuh pada pimpinannya, ALMA sendiri tidak akan mampu untuk menjaga kebaikan dari bank-bank tersebut, diperlukan beberapa bantuan dari pihak-pihak eksternal.
            Namun, tetap kita perlu menjadikan landasan awal pengelolaan bank adalah pada ALMA. Akan sangat baik kiranya, jika pemilik pun diatur kepemilikan dan hak atas pinjamannya, sehingga tidak semena-mena sebagaimana yang terjadi dahulu. Mungkin beberapa regulasi dari BI sudah mengatur hal ini, namun tetap saja, dari bank dan pemilik juga harus memiliki kesepakatan jelas, berapa persentasi yang menjadi hal pemilik dan bagaimana tatacara pemanfaatannya. Begitu pula dengan pihak pelanggan, bank lain, bank sentral dan pemerintah, sehingga tidak perlu terjadi hal-hal demikian. Berikutnya akan kami bahas beberapa institusi pengawas moneter dan perannya dalam menjaga kesehatan bank.
2. Apa kabar lembaga-lembaga pengawas moneter?
            Berdasarkan kasus, kami menemukan bahwa pada saat itu belum banyak lembaga pengawas moneter apalagi perbankan, bahkan fungsi LPS saat itu bisa dibilang sangat kerdil. Bahkan bank sentral saja hanya memiliki sedikit peran dan kekuatan untuk dapat mengatur dan mengurusi masalah perbankan, apalagi kementrian keuangan. Maka bisa dikatakan wajar, jika kasus likuidasi bank dalam bentuk apapun yang dikorbankan adalah nasabah dan yang diuntungkan adalah pemilik.
            Kondisi dengan era sekarang jelas jauh berbeda, tidak hanya lembaga lama seperti kementrian keungan dan BI saja yang terlibat dalam pengelolaan moneter diindonesia. Lembaga anti rasuah seperti KPK, otoritas jasa keuangan, bahkan dewan syari’ah nasional sekarang terlibat dalam berbagai isu-isu dan perumusan kebijakan moneter. Apabila keseluruhan lembaga diatas berfungsi dengan baik, sebagaimana fungsi dan tupoksi, kemungkinan besar akan terdengar banyak kabar baik dari aspek moneter dan perbankan. Namun jika tidak? Disinilah sebenarnya peran besar bagi lembaga-lembaga tersebut. Memastikan lembaga tersebut berfungsi dengan baik bisa menjadi salah satu jawaban untuk menjaga indonesia dari berbagai bencana moneter yang mungkin terjadi di indonesia.
3. Regulasi yang benar-benar regulasi
            Sampai malam kami menulis kasus ini, kami belum berhasil menemukan UU baru mengenai perbankan meskipun pada akhirnya kami berhasil menemukan peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 11/1/PBI/2009 tentang bank umum yang telah sedikit banyak merubah point krusial dalam pakto 88 yang kami bahas sebelumnya. Namun demikian memang belum ada regulasi khusus yang mewadahi kewajiban bank untuk melakukan ALMA ini, sehingga sebagian besar regulasi yang ada baru mencakup aspek-aspek normatif dari perbankan itu sendiri.
Penutupan

          Di akhir, kami akan menyimpulkan beberapa hal dari hasil penjabaran dari kasus ini, pertama, kasus ini adalah kasus yang sangat lama, terjadi 20 tahun lalu, namun kasus ini masih menjadi rapor buruk perbankan indonesia. Kedua, kepemilikan dari bank memang diatur oleh undang-undang adalah milik siapapun yang memenuhi syarat untuk mendirikan dan mengelola bank, namun memang sangat disayangkan, seringakali hal ini malah menjadi bumerang terutama jika para pemilik berperilaku seperti Edi Tansil dan kawan-kawannya. Ketiga, ada berbagai macam instrumen yang bisa memperkuat dan membantu menjalankan praktik manajemen aset dan liabilitas dengan lebih baik, seperti lembaga-lembaga pegawas moneter dan perbanka, serta berbagai regulasi yang mungkin dibuat. Dan terakhir, puncak dari kegagalan sebuah bank atau isntitusi perbankan adalah ketika pasar memaksanya untuk melikuidasi usahanya. Bagaimanapun hal ini bisa menjadi perhatian, pengelolaan aset dan liabilitas bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu bank atau institusi perbankan. Harap ini menjadi perhatian bersama.

No comments:

Post a Comment