Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Oleh :
Muhammad Abdullah ‘Azzam
Membayangkan 1945 dan tahun-tahun
sebelum dan setelahnya, seperti membayangkan jabang bayi pertama kali
meninggalkan Rahim ibunya. Belum memiliki kekuatan militer terlatih,
perekonomian amburadul paska penjajahan, dan kekacauan sosial akibat perang. Belum
lagi masih banyak kepentingan internasional dengan berbagai modus mengintai. Serangan
sekutu 10 November 1945 di Surabaya, agresi militer Belanda I dan II menjadi
bukti pada tahun-tahun tersebut kita belum bisa menikmati kemerdekaan. Kemerdekaan
dalam arti luas, baik itu ekonomi, sosial, politik mungkin supremasi hukum.
Tetapi banyak anggapan, “setidaknya
saat itu kita berhasil berdiri diatas kaki sendiri”, memiliki hak menentukan
nasib sendiri, dan seterusnya. Positif, dan menjadi pikiran bersama seluruh
rakyat Indonesia waktu itu. Maka tidak heran, pada masa negara ini meraba-raba
membentuk sebuah negara dan sistem kenegaraan, para bapak bangsa kita melalui
panitia Sembilan meremuskan sebuah konsep. Konsep yang nantinya menjadi
landasan bagaimana negara ini dibangun dan berkembang. Konsep itu adalah
pancasila, kelima sila entah kenapa saing berkaitan, dan tentu tidak dapat
dibayangkan bagaimana bangsa muda bernama Indonesia mampu mewujudkan kelima hal
tersebut.
Sila kelima, sila terakhir
sekaligus penutup pancasila tentu menjadi bahan tertawaan pada saat itu. Bagaimana
mungkin sebuah bangsa yang baru menderita kelaparan akibat kerja Rodi dan
Romusha mampu membicarakan sebuah keadilan sosial apalagi objeknya adalah
seluruh warganya? Bangsanya? Tentu apabila ada orang mengatakan seperti itu dan
berusaha mewujudkan seperti itu pada hari ini, dengan kondisi sama seperti 71
tahun lalu jelas menjadi bahan tertawaan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
begitu bunyinya, meskipun telah tertulis dan disahkan sejak 71 tahun lalu,
banyak kiranya orang masih menganggap sila kelima ini sebagai angan, cita-cita.
Ditambah dengan kondisi beberapa tahun kebelakang, sepertinya keyakinan
terhadap cita-cita itu semakin memudar.
Namun itulah bagaimana bapak bangsa
kita mendidik rakyatnya saat itu. Mendidik dengan optimisme dan visi
terang-benderang, mendidik dengan keteladanan, mendidik dengan proses. Jelas cita-cita
keadilan sosial sangat tidak mungkin diwujudkan pada saat itu, dan justru keadaan
saat itu berbalik, kelaparan dan kurang pangan masih terjadi dimana-mana. Namun,
visi itu tetap disahkan karena visi dan harapan para bapak bangsa serta rakyat Indonesia
saat itu, dengan melaksanakan tuntunan dalam pancasila, satu demi satu secara
menyeluruh kelak dimasa mendatang bangsa ini benar-benar bisa mewujudkan sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Sistem, mungkin gambaran itu layak
disematkan pada Pancasila. Mengalami banyak hal dalam perjalanannya dan bahkan
di tahun terakhir menjadi kendaraan politik yang digunakan untuk mendiskeditkan
kalangan tertentu, Pancasila tetap merupakan warisan dan cita-cita kebangsaan
Bangsa Indonesia. Dimana kita semua sebagai warga dan penduduknya harus
berusaha mewujudkan cita-cita tersebut, tentu dengan cara-cara tauladan dan
elegan.
Sistem dalam Pancasila sangat
rapih, dimana untuk mewujudkan sebuah keadilan sosial, setiap warga Indonesia harus
selesai dengan urusah rohani-nya. Kemudian menciptakan masyarakat bermoral dan
beradab, dimana mereka bersatu dalam sebuah kehendak kebangsaan. Karena tidak
mungkin jutaan manusia duduk dalam satu meja untuk menentukan sebuah keputusan,
sistem perwakilan dipandang perlu, tentu sistem perwakilan dimana orang-orang
terbaik, dari warga negara bermoral dan beradab duduk bersama memutuskan suatu
kebijakan.
Sistem dimana terbentuknya individu
utuh dari sisi spiritual, moral, kebangsaan dan intelektual akan mewujudkan cita-cita
keadilan. Sederhana, logikanya orang bermoral akan berpikir ribuan kali sebelum
berbuat kejahatan kepada individu lain, karena dia paham betul konsekuensi
berbuat jahat dihadapan Tuhan, dan dampaknya pada bangsa. Maka berusahalah
setiap individu, putra-putri bangsa Indonesia berusaha berbuat adil. Karena jelas,
Tuhan menjanjikan imbalan besar, dan negara beserta aparaturnya menghargai dan
menjadi teladan untuk berbuat demikian. Terwujudlah cita-cita luhur keadilan
sosial, yang pada akhirnya memunculkan kesejahteraan dan dampak positif lain
dari keadilan.
Namun sejarah manusia senantiasa
berulang, dan sekali lagi kita semua hanya manusia. Mahluk ciptaan Tuhan (bagi
yang percaya) dengan seluruh kelemahan dan kekurangannya. Allah SWT dalam
firmannya menjelaskan manusia bisa menjadi lebih mulia dari malaikat dengan
kebaikan, sebaliknya, bisa lebih rendah dari binatang dengan tindak kejahatan. Cita-cita
luhur Bangsa Indonesia dalam Pancasila pun sama, pelaksanaannya kembali kepada
manusia Indonesia. Allah SWT dalam Al-Qur’an berkata, nasib suatu kaum tidak
akan berubah kecuali kaum itu merubahnya sendiri.
Duka mungkin semakin pekat
menyelimuti negeri ini, menyelimuti Bangsa Indonesia. Mungkin hanya perasaan
penulis saja, atau mungkin beberapa dari anda merasa demikian. Api harapan yang
sempat berkobar saat akhirnya Bangsa Indonesia merebut kembali hak-nya dari
rezim otoriter Orde Baru pada reformasi 1998, semakin lama semakin padam. Harapan
akan kesejahteraan ekonomi terkubur dalam realitas semakin tenggelamnya dalam
jurang kapitalisme. Dimana jelas dalam kapitalisme, “Persaingan”, apapun bentuk
persainggan yang kuat-lah yang menang, para pecundang dimusnahkan.
Maka, riskan jika akhir-akhir ini
kita membicarakan soal keadilan sosial dan kesejahteraan. Kedua kata-kata tadi
sering menjadi dongeng manis politisi dan calon-calon pemegang kekuasaan dalam
orasi politiknya. Diwujudkan dalam berbagai program yang “katanya” berusaha
dituntaskan dalam 5 tahun. Ya, setidaknya setiap 5 tahun sekali, Indonesia menyalakan
harapan-harapan baru, dimana sang kepala pemerintahan mampu memberikan suatu
dampak positif, dimana cita-cita akan keadilan sosial kembali diwujudkan. Karena
bagaimanapun, seorang kepala pemerintahan jika kita mengacu pada Pancasila,
adalah semulia-mulainya akhlak dan spiritual, sebaik-baiknya dalam berperilaku,
menjunjung tinggi persatuan kebangsaan (tidak memihak), dan unggul secara
intelektual, serta rela bekerja siang malam demi sebuah keadilan sosial.
Itulah, jika kita benar-benar
seorang pancasilais atau apapun itu sebutan akhir-akhir ini, manusia sekelas
itulah hasil didikan Pancasila. Maka, harapan dinyalakan, masyarakat menanti
dengan optimisme tinggi, “apakah dimasa ini cita-cita keadilan sosial berhasil
diwujudkan?”. Tetapi kembali pada kenyataan, kita hanya manusia. Lemah dan
penuh tipu daya serta kecemasan. Khawatir, apakah kelak eksistensinya didunia
dianggap, dan lain-lain. Sehingga wajar jika kemudian ego dikedepankan, entah
posisinya sebagai apa, baik pengemis maupun pejabat tentu memiliki ego.
Namun jika kita membicarakan
harapan kebangsaan, ego pribadi dan golongan tentu akan berhadapan dengan
jutaan ego manusia lain. Tanggung jawab moral kepada pemilih maupun kepada
kompetitor dan pendukungnya dipertaruhkan. Harapan sudah dinyalakan, waktunya
untuk mewujudkan, sederhananya seperti itu. Tentu, dalam praktiknya tidak
sesederhana itu, banyak halangan! Hingga akhirnya seringkali harapan itu
semakin memudar, seiring dengan hampir usainya masa jabatan.
Wajar jika sebagai warga negara,
berbagai pertanyaan dan pengingatan dilakukan. “Ingat 5 tahun lalu anda pernah
berjanji begini dan begitu” mungkin seperti itu gambarannya. Pertanyaan ini
jelas diperbolehkan baik oleh undang-undang maupun hak warga negara sebagai
manusia. Namun, diibaratkan seorang anak menagih janji sepeda baru saat
kelulusan, tidak semua orang tua mampu menanggapi pertanyaan sang anak dengan
positif. Bahkan tak jarang pertanyaan sederhana tadi membuat baik anak maupun
orang tua jatuh kejalan binatang.
Begitu juga dalam bernegara,
pertanyaan sederhana tadi belum tentu bisa dijawab dengan bijak oleh para
aparatur negara. Beberapa pemerintahan melakukan tindakan dengan berdiam diri
sembari mempersiapkan jawaban pas saat pertanggung jawaban dihadapan mahkamah rakyat. Beberapa yang
lain meminta masyarakat untuk bersabar. Sedang beberapa yang lain balik menekan
masyarakat, melemparkan kesalahan kepada pihak lain, bahkan menebarkan terror dan
ketakutan, untuk membungkam perilaku kritis masyarakat.
Ketika ketakutan berhasil menguasai
rakyat, maka kerja pemerintah jelas lebih mudah. Tidak akan ada lagi aksi-aksi
dijalanan, tidak aka nada lagi opini nyinyir di media yang terang mengkritisi
pemerintah, bahkan forum-forum santai keluarga akan sungkan membahas kondisi
negara. Mudah! Karena tidak peduli harga bahan pokok melambung setinggi apa,
dan korupsi merajalela, rakyat akan tetap bungkam.
Dirancanglah berbagai scenario dan
ini lumrah kita temukan di berbagai pojok dunia. Kamp kerja paksa di Korea
Utara, eksekusi mati terbuka di China menjadi salah satu contoh sederhana
bagaimana kerja sebuah ketakutan. Pertanyaannya, apakah dengan menebarkan
ketakutan bisa mempercepat terwujudnya keadilan? Tentu tidak. Ketakutan sendiri
telah memperkosa dan merampas hak dasar manusia, yaitu membangun perspektif dan
berpendapat.
Perspektif, cara pandang adalah
garansi pikiran dan hati seorang manusia masih merdeka. Jika secara sitemastis
hal ini dimatikan, dengan ancaman serius secara hukum bagi mereka yang
berpendapat, maka otomatis penjajahan kembali melanda, tidak hanya secara
kebangsaan, tetapi secara individu. Mengerikan bukan? Tetapi, jika berbicara “mudah
kerja” ketakutan adalah salah satu cara efektif untuk memudahkan kerja-kerja
kita. Karena pada akhirnya, tidak ada satupun orang mau bertanya “apakah anda berhasil
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan?”.
Sebuah sistem pemerintahan yang
takut dan menyebarkan ketakutan jelas akan telak menampar rakyat dan
pemerintahan itu sendiri. Rakyat karena secara terang-terangan rakyat dijauhkan
dari hak-hak nya, dijauhkan dari cita-cita luhurnya. Pemerintahan itu sendiri,
karena jelas mereka menyembunyikan sesuatu, merancang sesuatu dengan
tergesa-gesa, panik. Persis seperti orang tenggelam, berusaha bertahan hidup,
namun usahanya berakhir ketika akhirnya dia kelelahan dan akhirnya mati. Alasan
logis mengapa menyelamatkan orang tenggelam lebih beresiko pada diri
penyelamatnya, karena orang tenggelam berada dalam ketakutan akut, kehilangan
ketenangan dan harapan.
Maka, jangan diharapkan sebuah
keadilan sosial bisa terwujud dari negara dan komponen negara yang terbelenggu
dalam ketakutan. Justru jika ketakutan sudah melanda, persiapkan
sebaik-baiknya, kita kembali memasuki era penjajahan. Era dimana sekelompok golongan
memperoleh benefit luar biasa, sedangkan golongan lain dijadikan kambing hitam
dan dirampas hak-hak nya. Era dimana berbicara melawan arus adalah dosa dengan
ganjaran tiang gantungan, sedangkan menjilat dan sujud takluk dihdapan penguasa
berarti memperoleh kehidupan nyaman sentosa. Era dimana pola pikir dibelenggu,
dan akhirnya manusia kehilangan persepktifnya sendiri, cara pandangnya sendiri.
Bangsa Indonesia masih jauh dari
itu semua, jauh. Bangsa Indonesia dan cita-cita kesejahterannya masih jauh jika
dibandingkan dengan gambaran mengerikan soal ketakutan. Bangsa ini masih mampu
berbicara, masih memiliki cara pandang. Namun, bukankah peristiwa akhir-akhir
ini menunjukkan gambaran berbeda? Perlingungan dan pemberian hak istimewa terhadap
golongan tertentu, terror fisik bahkan ancaman pembunuhan kepada golongan lain,
bahkan monopoli dan akuisisi serta menjadikan Pancasila sebagai sebuah senjata
propaganda golongan tertentu menjadi sebuah potret nyata. Seolah diluar
golongan tersebut, mereka bukan anak negara Indonesia, pengkhianat bangsa, dan
label-label lain yang mengerikan.
Konflik ditumbuhkan dimana-mana,
perlahan-lahan opini digiring, untuk menyalahkan sebuah golongan atas “gagalnya”
janji-janji dan ketimpangan kesejahteraan. Lebih mengherankan lagi, ketika
negara dan berbagai aparaturnya terang melakukan tindakan “yang tidak
semestinya”. Secara terang-terangan memberikan keistimewaan kepada sebuah
golongan, dan menekan golongan lain yang meminta hak serupa, tentu, dengan
kekerasan. Hingga puncaknya, nyawa putra-putri Bangsa Indonesia diprtaruhkan,
dikorbankan untuk memuaskan kepentingan sekelompok kecil individu semata. Seolah,
putra-putri Indonesia hanya domba, siap disembelih.
Sangat riskan jika kita berbicara
soal keadilan, begitulah belakangan orang memandang. Cita-cita para bapak
bangsa seolah semakin kabur, turun kelas menjadi “apakah saya dan golongan saya
mampu hidup esok hari?” atau sesuatu seperti melanggengkan kekuasaan semaksimal
mungkin. Tetapi perlu disadari, tanggung jawab mewujudkan cita-cita luhur
Bangsa juga menjadi amanah kita, Rakyat Indonesia. Tentu Allah akan menagih hal
itu, tetapi, sebagai rakyat apa yang bisa diberikan?. Sederhana, pastikan bahwa
kita semua masih memiliki perspektif, menolak untuk bungkam, dan bekerja
sepenuh hati mengabdi untuk bangsa dan negara.
Siapapun kita, apapun golongan
kita, laksanakan kerja-kerja terbaik untuk ibu pertiwi. Seonggok sampah di
tengah kota mungkin adalah dosa kita bersama, karena kita membiarkan ibu
pertiwi terlihat kumuh. Menolak perilaku korupsi, baik itu dimulai dari sekolah
maupun keluarga menjadi langkah positif membangun etika dan moral. Terakhir,
tidak bungkam dan berani berbicara atas nama kebenaran dan kesabaran saat
terjadi tindak kejahatan, oleh siapapun kepada siapapun, dan sebarkan kebaikan
dimanapun kita berada, menjadi perwujudan manusia sejati, hamba Tuhan sejati.
Namun, jika akhirnya negara dan
bangsa ini jatuh dalam ketakutan, jatuh dalam penjajahan individu. Maka, jangan
sekali-kali mencari siapa yang salah, siapa penyebabnya. Karena cukup kita
semua, warga negara Indonesia megambil cermin, dan melihat ke arahnya. Sosok yang
terpantul di cermin adalah penyebab semua bencana itu. Bencana, yang cukup kuat
untuk membuat kita berkata “selamat tinggal cita-cita luhur, Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”.
Wallahu ‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35828/Mewujudkan-Keadilan-Sosial
Untuk tulisan lain, bisa klik pranala dibawah ini
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35828/Mewujudkan-Keadilan-Sosial
Untuk tulisan lain, bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/kemenangan-menyejarah.html
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment