Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Thursday, May 25, 2017

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia




Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam


Membayangkan 1945 dan tahun-tahun sebelum dan setelahnya, seperti membayangkan jabang bayi pertama kali meninggalkan Rahim ibunya. Belum memiliki kekuatan militer terlatih, perekonomian amburadul paska penjajahan, dan kekacauan sosial akibat perang. Belum lagi masih banyak kepentingan internasional dengan berbagai modus mengintai. Serangan sekutu 10 November 1945 di Surabaya, agresi militer Belanda I dan II menjadi bukti pada tahun-tahun tersebut kita belum bisa menikmati kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti luas, baik itu ekonomi, sosial, politik mungkin supremasi hukum.

Tetapi banyak anggapan, “setidaknya saat itu kita berhasil berdiri diatas kaki sendiri”, memiliki hak menentukan nasib sendiri, dan seterusnya. Positif, dan menjadi pikiran bersama seluruh rakyat Indonesia waktu itu. Maka tidak heran, pada masa negara ini meraba-raba membentuk sebuah negara dan sistem kenegaraan, para bapak bangsa kita melalui panitia Sembilan meremuskan sebuah konsep. Konsep yang nantinya menjadi landasan bagaimana negara ini dibangun dan berkembang. Konsep itu adalah pancasila, kelima sila entah kenapa saing berkaitan, dan tentu tidak dapat dibayangkan bagaimana bangsa muda bernama Indonesia mampu mewujudkan kelima hal tersebut.

Sila kelima, sila terakhir sekaligus penutup pancasila tentu menjadi bahan tertawaan pada saat itu. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang baru menderita kelaparan akibat kerja Rodi dan Romusha mampu membicarakan sebuah keadilan sosial apalagi objeknya adalah seluruh warganya? Bangsanya? Tentu apabila ada orang mengatakan seperti itu dan berusaha mewujudkan seperti itu pada hari ini, dengan kondisi sama seperti 71 tahun lalu jelas menjadi bahan tertawaan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, begitu bunyinya, meskipun telah tertulis dan disahkan sejak 71 tahun lalu, banyak kiranya orang masih menganggap sila kelima ini sebagai angan, cita-cita. Ditambah dengan kondisi beberapa tahun kebelakang, sepertinya keyakinan terhadap cita-cita itu semakin memudar.

Namun itulah bagaimana bapak bangsa kita mendidik rakyatnya saat itu. Mendidik dengan optimisme dan visi terang-benderang, mendidik dengan keteladanan, mendidik dengan proses. Jelas cita-cita keadilan sosial sangat tidak mungkin diwujudkan pada saat itu, dan justru keadaan saat itu berbalik, kelaparan dan kurang pangan masih terjadi dimana-mana. Namun, visi itu tetap disahkan karena visi dan harapan para bapak bangsa serta rakyat Indonesia saat itu, dengan melaksanakan tuntunan dalam pancasila, satu demi satu secara menyeluruh kelak dimasa mendatang bangsa ini benar-benar bisa mewujudkan sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Sistem, mungkin gambaran itu layak disematkan pada Pancasila. Mengalami banyak hal dalam perjalanannya dan bahkan di tahun terakhir menjadi kendaraan politik yang digunakan untuk mendiskeditkan kalangan tertentu, Pancasila tetap merupakan warisan dan cita-cita kebangsaan Bangsa Indonesia. Dimana kita semua sebagai warga dan penduduknya harus berusaha mewujudkan cita-cita tersebut, tentu dengan cara-cara tauladan dan elegan. 

Sistem dalam Pancasila sangat rapih, dimana untuk mewujudkan sebuah keadilan sosial, setiap warga Indonesia harus selesai dengan urusah rohani-nya. Kemudian menciptakan masyarakat bermoral dan beradab, dimana mereka bersatu dalam sebuah kehendak kebangsaan. Karena tidak mungkin jutaan manusia duduk dalam satu meja untuk menentukan sebuah keputusan, sistem perwakilan dipandang perlu, tentu sistem perwakilan dimana orang-orang terbaik, dari warga negara bermoral dan beradab duduk bersama memutuskan suatu kebijakan.

Sistem dimana terbentuknya individu utuh dari sisi spiritual, moral, kebangsaan dan intelektual akan mewujudkan cita-cita keadilan. Sederhana, logikanya orang bermoral akan berpikir ribuan kali sebelum berbuat kejahatan kepada individu lain, karena dia paham betul konsekuensi berbuat jahat dihadapan Tuhan, dan dampaknya pada bangsa. Maka berusahalah setiap individu, putra-putri bangsa Indonesia berusaha berbuat adil. Karena jelas, Tuhan menjanjikan imbalan besar, dan negara beserta aparaturnya menghargai dan menjadi teladan untuk berbuat demikian. Terwujudlah cita-cita luhur keadilan sosial, yang pada akhirnya memunculkan kesejahteraan dan dampak positif lain dari keadilan.

Namun sejarah manusia senantiasa berulang, dan sekali lagi kita semua hanya manusia. Mahluk ciptaan Tuhan (bagi yang percaya) dengan seluruh kelemahan dan kekurangannya. Allah SWT dalam firmannya menjelaskan manusia bisa menjadi lebih mulia dari malaikat dengan kebaikan, sebaliknya, bisa lebih rendah dari binatang dengan tindak kejahatan. Cita-cita luhur Bangsa Indonesia dalam Pancasila pun sama, pelaksanaannya kembali kepada manusia Indonesia. Allah SWT dalam Al-Qur’an berkata, nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum itu merubahnya sendiri.

Duka mungkin semakin pekat menyelimuti negeri ini, menyelimuti Bangsa Indonesia. Mungkin hanya perasaan penulis saja, atau mungkin beberapa dari anda merasa demikian. Api harapan yang sempat berkobar saat akhirnya Bangsa Indonesia merebut kembali hak-nya dari rezim otoriter Orde Baru pada reformasi 1998, semakin lama semakin padam. Harapan akan kesejahteraan ekonomi terkubur dalam realitas semakin tenggelamnya dalam jurang kapitalisme. Dimana jelas dalam kapitalisme, “Persaingan”, apapun bentuk persainggan yang kuat-lah yang menang, para pecundang dimusnahkan.

Maka, riskan jika akhir-akhir ini kita membicarakan soal keadilan sosial dan kesejahteraan. Kedua kata-kata tadi sering menjadi dongeng manis politisi dan calon-calon pemegang kekuasaan dalam orasi politiknya. Diwujudkan dalam berbagai program yang “katanya” berusaha dituntaskan dalam 5 tahun. Ya, setidaknya setiap 5 tahun sekali, Indonesia menyalakan harapan-harapan baru, dimana sang kepala pemerintahan mampu memberikan suatu dampak positif, dimana cita-cita akan keadilan sosial kembali diwujudkan. Karena bagaimanapun, seorang kepala pemerintahan jika kita mengacu pada Pancasila, adalah semulia-mulainya akhlak dan spiritual, sebaik-baiknya dalam berperilaku, menjunjung tinggi persatuan kebangsaan (tidak memihak), dan unggul secara intelektual, serta rela bekerja siang malam demi sebuah keadilan sosial.

Itulah, jika kita benar-benar seorang pancasilais atau apapun itu sebutan akhir-akhir ini, manusia sekelas itulah hasil didikan Pancasila. Maka, harapan dinyalakan, masyarakat menanti dengan optimisme tinggi, “apakah dimasa ini cita-cita keadilan sosial berhasil diwujudkan?”. Tetapi kembali pada kenyataan, kita hanya manusia. Lemah dan penuh tipu daya serta kecemasan. Khawatir, apakah kelak eksistensinya didunia dianggap, dan lain-lain. Sehingga wajar jika kemudian ego dikedepankan, entah posisinya sebagai apa, baik pengemis maupun pejabat tentu memiliki ego.

Namun jika kita membicarakan harapan kebangsaan, ego pribadi dan golongan tentu akan berhadapan dengan jutaan ego manusia lain. Tanggung jawab moral kepada pemilih maupun kepada kompetitor dan pendukungnya dipertaruhkan. Harapan sudah dinyalakan, waktunya untuk mewujudkan, sederhananya seperti itu. Tentu, dalam praktiknya tidak sesederhana itu, banyak halangan! Hingga akhirnya seringkali harapan itu semakin memudar, seiring dengan hampir usainya masa jabatan.

Wajar jika sebagai warga negara, berbagai pertanyaan dan pengingatan dilakukan. “Ingat 5 tahun lalu anda pernah berjanji begini dan begitu” mungkin seperti itu gambarannya. Pertanyaan ini jelas diperbolehkan baik oleh undang-undang maupun hak warga negara sebagai manusia. Namun, diibaratkan seorang anak menagih janji sepeda baru saat kelulusan, tidak semua orang tua mampu menanggapi pertanyaan sang anak dengan positif. Bahkan tak jarang pertanyaan sederhana tadi membuat baik anak maupun orang tua jatuh kejalan binatang.

Begitu juga dalam bernegara, pertanyaan sederhana tadi belum tentu bisa dijawab dengan bijak oleh para aparatur negara. Beberapa pemerintahan melakukan tindakan dengan berdiam diri sembari mempersiapkan jawaban pas saat pertanggung jawaban dihadapan mahkamah rakyat. Beberapa yang lain meminta masyarakat untuk bersabar. Sedang beberapa yang lain balik menekan masyarakat, melemparkan kesalahan kepada pihak lain, bahkan menebarkan terror dan ketakutan, untuk membungkam perilaku kritis masyarakat.

Ketika ketakutan berhasil menguasai rakyat, maka kerja pemerintah jelas lebih mudah. Tidak akan ada lagi aksi-aksi dijalanan, tidak aka nada lagi opini nyinyir di media yang terang mengkritisi pemerintah, bahkan forum-forum santai keluarga akan sungkan membahas kondisi negara. Mudah! Karena tidak peduli harga bahan pokok melambung setinggi apa, dan korupsi merajalela, rakyat akan tetap bungkam. 

Dirancanglah berbagai scenario dan ini lumrah kita temukan di berbagai pojok dunia. Kamp kerja paksa di Korea Utara, eksekusi mati terbuka di China menjadi salah satu contoh sederhana bagaimana kerja sebuah ketakutan. Pertanyaannya, apakah dengan menebarkan ketakutan bisa mempercepat terwujudnya keadilan? Tentu tidak. Ketakutan sendiri telah memperkosa dan merampas hak dasar manusia, yaitu membangun perspektif dan berpendapat.

Perspektif, cara pandang adalah garansi pikiran dan hati seorang manusia masih merdeka. Jika secara sitemastis hal ini dimatikan, dengan ancaman serius secara hukum bagi mereka yang berpendapat, maka otomatis penjajahan kembali melanda, tidak hanya secara kebangsaan, tetapi secara individu. Mengerikan bukan? Tetapi, jika berbicara “mudah kerja” ketakutan adalah salah satu cara efektif untuk memudahkan kerja-kerja kita. Karena pada akhirnya, tidak ada satupun orang mau bertanya “apakah anda berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan?”.

Sebuah sistem pemerintahan yang takut dan menyebarkan ketakutan jelas akan telak menampar rakyat dan pemerintahan itu sendiri. Rakyat karena secara terang-terangan rakyat dijauhkan dari hak-hak nya, dijauhkan dari cita-cita luhurnya. Pemerintahan itu sendiri, karena jelas mereka menyembunyikan sesuatu, merancang sesuatu dengan tergesa-gesa, panik. Persis seperti orang tenggelam, berusaha bertahan hidup, namun usahanya berakhir ketika akhirnya dia kelelahan dan akhirnya mati. Alasan logis mengapa menyelamatkan orang tenggelam lebih beresiko pada diri penyelamatnya, karena orang tenggelam berada dalam ketakutan akut, kehilangan ketenangan dan harapan.


Maka, jangan diharapkan sebuah keadilan sosial bisa terwujud dari negara dan komponen negara yang terbelenggu dalam ketakutan. Justru jika ketakutan sudah melanda, persiapkan sebaik-baiknya, kita kembali memasuki era penjajahan. Era dimana sekelompok golongan memperoleh benefit luar biasa, sedangkan golongan lain dijadikan kambing hitam dan dirampas hak-hak nya. Era dimana berbicara melawan arus adalah dosa dengan ganjaran tiang gantungan, sedangkan menjilat dan sujud takluk dihdapan penguasa berarti memperoleh kehidupan nyaman sentosa. Era dimana pola pikir dibelenggu, dan akhirnya manusia kehilangan persepktifnya sendiri, cara pandangnya sendiri.

Bangsa Indonesia masih jauh dari itu semua, jauh. Bangsa Indonesia dan cita-cita kesejahterannya masih jauh jika dibandingkan dengan gambaran mengerikan soal ketakutan. Bangsa ini masih mampu berbicara, masih memiliki cara pandang. Namun, bukankah peristiwa akhir-akhir ini menunjukkan gambaran berbeda? Perlingungan dan pemberian hak istimewa terhadap golongan tertentu, terror fisik bahkan ancaman pembunuhan kepada golongan lain, bahkan monopoli dan akuisisi serta menjadikan Pancasila sebagai sebuah senjata propaganda golongan tertentu menjadi sebuah potret nyata. Seolah diluar golongan tersebut, mereka bukan anak negara Indonesia, pengkhianat bangsa, dan label-label lain yang mengerikan.

Konflik ditumbuhkan dimana-mana, perlahan-lahan opini digiring, untuk menyalahkan sebuah golongan atas “gagalnya” janji-janji dan ketimpangan kesejahteraan. Lebih mengherankan lagi, ketika negara dan berbagai aparaturnya terang melakukan tindakan “yang tidak semestinya”. Secara terang-terangan memberikan keistimewaan kepada sebuah golongan, dan menekan golongan lain yang meminta hak serupa, tentu, dengan kekerasan. Hingga puncaknya, nyawa putra-putri Bangsa Indonesia diprtaruhkan, dikorbankan untuk memuaskan kepentingan sekelompok kecil individu semata. Seolah, putra-putri Indonesia hanya domba, siap disembelih.

Sangat riskan jika kita berbicara soal keadilan, begitulah belakangan orang memandang. Cita-cita para bapak bangsa seolah semakin kabur, turun kelas menjadi “apakah saya dan golongan saya mampu hidup esok hari?” atau sesuatu seperti melanggengkan kekuasaan semaksimal mungkin. Tetapi perlu disadari, tanggung jawab mewujudkan cita-cita luhur Bangsa juga menjadi amanah kita, Rakyat Indonesia. Tentu Allah akan menagih hal itu, tetapi, sebagai rakyat apa yang bisa diberikan?. Sederhana, pastikan bahwa kita semua masih memiliki perspektif, menolak untuk bungkam, dan bekerja sepenuh hati mengabdi untuk bangsa dan negara.

Siapapun kita, apapun golongan kita, laksanakan kerja-kerja terbaik untuk ibu pertiwi. Seonggok sampah di tengah kota mungkin adalah dosa kita bersama, karena kita membiarkan ibu pertiwi terlihat kumuh. Menolak perilaku korupsi, baik itu dimulai dari sekolah maupun keluarga menjadi langkah positif membangun etika dan moral. Terakhir, tidak bungkam dan berani berbicara atas nama kebenaran dan kesabaran saat terjadi tindak kejahatan, oleh siapapun kepada siapapun, dan sebarkan kebaikan dimanapun kita berada, menjadi perwujudan manusia sejati, hamba Tuhan sejati.

Namun, jika akhirnya negara dan bangsa ini jatuh dalam ketakutan, jatuh dalam penjajahan individu. Maka, jangan sekali-kali mencari siapa yang salah, siapa penyebabnya. Karena cukup kita semua, warga negara Indonesia megambil cermin, dan melihat ke arahnya. Sosok yang terpantul di cermin adalah penyebab semua bencana itu. Bencana, yang cukup kuat untuk membuat kita berkata “selamat tinggal cita-cita luhur, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.


Wallahu ‘Alam


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6






Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini

https://www.selasar.com/jurnal/35828/Mewujudkan-Keadilan-Sosial

Untuk tulisan lain, bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/kemenangan-menyejarah.html


Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 

No comments:

Post a Comment