Padahal yang Punya Pfizzer kan….
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam, SM.
Sederhananya saat ini kita sudah terlalu banyak masalah, dan sudah selayaknya tidak nambah masalah lagi. Kira-kira ini gambaran mental yang tepat saat ide untuk tulisan ini muncul. Anehnya manusia, sejatinya sudah banyak hal yang membuat kita fokus, gage-gage agar dampak kerusakan tidak semakin menjadi. Tetapi kita di media social ada “sesuatu” , wah bisa dibayangkan, Pandhawa dan Kurawa pun malu melihatnya, karena sudah bukan pertarungan ksatria lagi, tetapi para peasant dengan akun-akun anonym, bikin analisis yang guru besar pun geleng-geleng kepala, “ini orang habis makan apa semalam?” mungkin begitu pikirnya.
Tetapi sebuah bahasan menjadi menarik saat melihat realitas bagaimana vaksin covid-19 saat ini, sudah berada pada posisi bukan hanya “obat”, tetapi menjadi bargaining chip bagi kelompok yang punya akses atasnya. Sebenarnya sudah bukan hal asing, sejak awal covid-19 dideklarasikan sebagai pandemic global para ahli sudah memprediksi ini. Tetapi apa boleh buat? Namanya juga manusia.
Akhirnya terbagilah dunia menjadi 1. Negara-negara yang bisa menepuk dada karena bisa membuat vaksin, yang tidak hanyaa digunakan didalam negeri tetapi juga mulai dijual, dan 2. Negara yang hanya bisa harap-harap cemas menanti kapan vaksin tiba di teritorinya. Kok ya ndelalah ada warga negara, yang sejatinya masuk ke negara kedua, yang tiba-tiba koar-koar membenturkan sebab negaranya masuk ke kategori negara kedua, yang cuman bisa ngowoh menunggu stok vaksin dari luar negeri, karena peran agama. Sejak saat ini saya kok menjadi semakin yakin, tulisan semacam ini di media social itu tidak ubahnya bungkus gorengan, yaudah, buang aja.
Ini sebenarnya masalah yang sudah sangat klasik, ketika kemunduran sesuatu yang pertama kali disasar adalah keyakinan. Entah kepercayaan, entah takhayui, entah mistik, tetapi kok sekarang semakin sering kita dengar agama langsung dibenturkan dengan ilmu pengetahuan. Sesuatu yang bersifat keyakinan, entah mengapa harus juga tunduk dengan hukum-hukum logika, yang sebenarnya, logikanya pun masih terus berkembang loh, bukan mutlak. Sekarang yang diketahui manusia adalah mutlak, nggak, pengetahuan akan terus berkembang. Ini jelas sesuatu yang sebenarnya tidak hanya ngga bisa dibenturkan, namun juga memang berada pada bracket yang berbeda, emang dasarnya sudah beda!.
Maka kembali pada kalimat pembuka di artikel ini, kok suka sekali manusia menambah masalah. Siapapun yang menulis sesuatu, yang membenturkan antara agama dengan sesuatu pastilah tahu konsekuensi atas tulisannya. Kenapa? Ya karena dia juga hidup, berdampingan dan berasal dari lingkungan yang demikian. Dia pasti tahu betul demografi masyarakat, kondisi sosiologis masyarakat, tapi tetap saja, akhrnya ditulis. Bisa jadi emang kedamaian bukan jalan ninja penulis semacam ini.
Maka sejatinya sangat-sangat tidak diperlukan usaha-usaha menanggapi tulisan dan perilaku dari manusia semacam ini. Perlakukan saja bak beruk yang ngemis minta makanan di Goa Kreo, atau seperti kata pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Tetapi masalahnya, sebagaimana monyet di Goa Kreo, kalau mereka ngga diperhatikan, udah siap makanan kita diembat. Atau kayak anjing juga, kalau udah jeguk-jeguk ngga di krangkeng, sudah auto digigit kita. Susah memang, tetapi yasudah cobalah kita diskusikan hal ini dari berbagai sudut pandang.
Satu konsepsi yang sering gagal dipahami terutama bagi manusia-manusia terpelajar adalah masih sangat mungkin sejatinya, kita hidup dengan 2 bahkan berbagai peran. Kenapa kemudian saya bilang terpelajar disini? Coba saja tanya ke orang pintar yang menganut paham feminism ekstrem tentang bagaimana peran seorang laki-laki dalam rumah tangga. Atau tanya ke orang atheis tentang konsep ketuhanan. Jawaban yang didapatkan paling adalah, ya dan tidak, yes or no, padahal sejatinya kalau aspek kehidupan sangat jarang kita bisa mendapati kata mutlak.
Bahkan islam saja, yang katanya ketat, mengekang, lalalala, punya buanyak ruksoh, keringanan. Sebut saja sholat, sholat ya harusnya berdiri, tapi nek ngga bisa berdiri, monggo duduk. Kalau ngga kuat duduk, bisa berbaring. Kalau ngga kuat berbaring, monggo bisa dengan isyarat mata. Kalau emang wes ora iso, udah tidak sadar, yasudah, apalagi koma dan hilang kesadaran ya gausah sholat.
Sekarang coba cari sekolah apapun, yang bisa memberikan opsi belajar kayak sholatnya islam. Loh sekolah ya buat belajar, bukan buat main-main, tapi mentok;-mentok keringanan yang diberikan guru saat sekolah ya boleh makan permen. Kita tetep harus bangun, duduk memperhatikan. Sekalinya tidur, kapur, penghapus, hingga penggaris bisa melayang. Jos.
Itulah kenapa akan susah mengatakan ke orang-orang yang katanya berpendidikan, kalau sejatinya kita sangat bisa menjadi muslim yang taat, namun juga tetap menjadi manusia yang rasional. Karena sejatinya ketaatan spiritual, yang bersifat kepercayaan yang dilandasi dengan iman, emang berbeda realm-nya, dunianya, dengan pikiran kritis cendekiawan. Loh bagaimana tidak? Tidak ada larangan menuntut ilmu dalam islam, bahkan disuruh kita menuntut ilmu sampai ke China loh, saking pentingnya ilmu itu. Tetapi islam cuman minta, luangkan waktu, 5 kali untuk sholat dari 24 jam mu. Masya Allah sholat itu paling lama 10 menit bro! rata-rata 5 menit. Main game PES Mobile 1 kali main aja udah 7 menit! Bayangkan.
Akhirnya urusan ini kembali kepada masing-masing individu. Manusia memang diberikan hak oleh Tuhan yang Maha Esa untuk memilih. Pilihan ini yang tidak dimiliki oleh malaikat, karena malaikat hanya punya 1 pilihan yaitu beribadah. Maka ketika pilihan manusia baik, dia bisa memperoleh derajat lebih tinggi dari malaikat, karena manusia sangat bisa untuk memilih jalan kesesatan. Dengan demikian, sangat bisa manusia memilih untuk menjadi orang beriman, namun juga menjunjung tinggi pembuktian logis. Karena kedua hal tersebut bisa berjalan secara berdampingan sejatinya, jika ego manusia tidak dilibatkan disitu.
Ego manusialah yang akhirnya membuat seolah-olah agama senantiasa menjadi penghalang “sesuatu” yang dianggap progresif. Susah memang orang yang sudah tidak mau sholat dipaksa sholat, karena sederhana, dia akan punya 1.000 alasan untuk menghindari bahkan mendiskreditkan sholat sebagai sesuatu yang membuang waktu. Susah juga menyampaikan kepada para penikmat seks jalanan tentang bahaya zina, karena emang itu hobinya, itu kesenangannya. Akan dia bikin berbagai macam dalih yang seolah kredibel, untuk mendukung logika dari selangkangannya itu.
Ulama dan orang pintar zaman dahulu senantiasa punya cara mudah, agar ilmu pengetahuan mereka yang terbatas tidak akhirnya berbenturan dengan kuasa Allah. Cara mudah namun sangat susah ini adalah berkata “AKU TIDAK TAHU”. Coba saja di forum Bharatayudha akun anonym di twitter kita cari tahu, ada ngga kata-kata semacam ini muncul. Pegang omongan saya, kalau kata-kata ini muncul sudah pasti yang mengatakan akan dihajar habis oleh forum.
Dunia kita sudah bergerak menuju masa dimana sangat haram hukumnya siapapun kita mengakui kebodohan dan kelemahan diri sendiri sebagai manusia. Lihat saja ketika terjadi sesuatu yang tidak semestinya, sangat jarang orang-orang bersikap jantan dan mengakui hal itu sebagai kesalahannya. Se-jantan-jantannya orang zaman sekarang mentok-mentpok cuman bakal bilang “iya ini ada porsi kesalahan saya, tetapi kalian juga salah dong karena bla..bla..bla”.
Tidak percaya? Coba aja tanya ke orang-orang yang bilang agama itu adalah halangan untuk maju dan suka melakukan labelling pada agama tertentu. Adakah dalam agama-agama orang anjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi? Adakah anjuran dalam agama-agama, untuk menghabisi nyawa orang lain?. Sekarang coba saja kita lihat model manusia-manusia yang memiliki kuasa atas harta negara dan nyawa manusia dibawahnya, yang mayoritas berasal dari agama tertentu.
Suka korupsi yang bahkan dijadikan bancakan dan senjata buat menang pilkada. Suka sekali mencuri bahkan bantuan social korban pandemi juga ditilep. Nyawa manusia tidak ubahnya bungkusan snack, buang-buang saja. Orang yang berbeda pendapat auto masuk penjara atau tiba-tiba menghilang. Sangat otoriter, curang, jahat dan lalim, bahkan ada yang literally masih berdiri sebagai dictator! Selama bertahun-tahun perang saudara dan membunuhi rakyatnya dia masih bisa loh bikin museum untuk mengenang saudara kandungnya.
Sekarang mau menumbuhkan ilmu pengetahuan darimana kalau manusia hidup di lingkungan semacam ini? Salah satu alasan ilmu pengetahuan berkembang ya karena memang ada kritik dari doktrin yang sudah ada, dan terus dikembangkan, di cek ulang, dibuktikan ulang sehingga semakin mendekati kebenaran. Dalam satu aspek kecil saja dalam studi perilaku organisasi, komitmen organisasional, Porter dengan OCQ nya saja memperoleh sanggahan kok dari Meyer dan Allen dengan 3 (tiga) konsepsi komitmen yang terdiri dari komitmen afektif, normative dan continuance.
Hla ini, ngurus negara kok dikritik di media social malah baper. Langsung kirim buzzer. Yang ngeritik dibully sampai kering. Terus dengan mudah mengatakan “kita sudah berhasil”, yakali.
Maka siapapun anda, termasuk saya sepertinya benar-benar harus banyak-banyak mawas diri, muhasabah, evaluasi. Sudah terlalu sering sepertinya kita menyalahkan hal-hal lain yang ngga ada kaitannya sama masalah kita, terlalu sering kita lupa bahwa sebenarnya biang keroknya ya diri kita sendiri. Bagi siapapun yang masih bertanya apa peran individu yang memiliki kepercayaan agama tertentu kepada perkembangan ilmu pengetahuan dunia, mending ngaca dulu dah. Orang-orang ini ada yang sudah dapat nobel, dapat penghargaan tertinggi dari komunitas orang-orang pintar dunia. Hla kita paling mentok bikin acara debat kusir atau artikel sampah di media social. Mending pulang, ketemu ibu, minta didoakan biar kembali jadi anak baik.
Dan ini termasuk saya.
Wallahu ‘Alam.
No comments:
Post a Comment