Sumber : https://www.republika.co.id/berita/q1i8wg313/selamat-hari-guru-guru-sejahtera-manusia-berdaya |
Guru : Di Tengah Pusaran Digitalisasi
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam, SM.
Pendemi covid-19 membawa perubahan, penyesuaian akan cara umat manusia menjalani hidup. Kondisi pandemic dengan tingkat penularan lebih besar dari influenza, membuat kita dipaksa bertahan dan membatasi diri. Penggunaan masker menjadi sesuatu yang wajib jika kita bepergian, beberapa negara dunia menerpakan kebijakan lockdown guna membatasi penularan dari orang asing, dan bahkan kita dihimbau untuk tidak keluar rumah. Bekerja, berolahraga bahkan mengikuti proses pendidikan formal dilakukan di rumah saja dengan bantuan teknologi.
Penggunaan teknologi canggih menjadi semakin lumrah bagi kita di tengah masa pandemic. Dalam keberjalanannya, dengan segala kekurangan ternyata dengan modal internet yang bagus dan piranti gawai yang memadai proses transfer of knowledge, penyampaian ilmu pengetahuan tetap bisa dilakukan. Bahkan jika menilik proses pendidikan student self-learning, proses belajar mengajar jarak jauh ini benar-benar mengoptimalkan proses tersebut. Dalam dunia internet ilmu pengetaghuan terserak, semua bisa diakses tergantung dengan kebutuhan. Bahkan sangat mungkin dengan internet kita bisa memperoleh pengetahuan baru langsung dari ahlinya, yang bisa jadi “lebih ahli” dari guru-guru di sekolah formal.
Tidak heran jika kemudian, dalam proses belajar-mengajar jarak jauh ini ada guru-guru yang akhirnya “memposisikan diri” sebagai pembawa perintah. Bertemu dengan siswa hanya memberikan tugas dan siswa dibebankan mencari pengetahuan secara mandiri. Jujur hal ini penulis rasakan sendiri, karena artikel dalam blog pribadi penulis yang memuat pengetahuan ekonomi umum hingga level mahasiswa S1 ramai dikunjungi dan mengalami penilngkatan trafik signifikan setelah terjadinya pandemi. Dengan fakta bahwa “murid ternyata bisa belajar sendiri” akhirnya muncul sebuah pertanyaan, buat apa kemudian siswa sekolah dalam format pembelajaran formal di kelas-kelas?
Jika kita menilik bagaimana pendidikan di Indonesia, kita masih mudah menemukan bahwa hampir semua proses pendidikan dinilai secara kuantitatif. Jika ditemukan seorang anak memiliki nilai matematika 100 maka sangat mudah dihukumi anak tersebut pintar. Lebih jauh lagi, pengetahuan di aspek lain seperti kesenian, olahraga, Bahasa, bahkan ilmu social masih memperoleh pandangan miring dari khalayak. Yang saya alami sendiri sampai tahun 2011, di sebuah sekolagh ternama di Jawa Barat, terdapat komposisi kelas 1 Kelas XI IPA, 1 Kelas XI Keagaaman dan 2 Kelas XI IPS. Secara kasat mata mungkin dapat disimpulkan bahwa sekolah ini menghargai siswa-siswinya yang ingin mendalami pengetahuan social. Kenyataannya adalah, alasan kenapa terdapat 2 kelas IPS saat itu, adalah karena baik jurusan IPA ataupun Keagamaan menerapkan system seleksi. Tidak semua anak yang memilih untuk masuk IPA atau Keagamaan diterima, alhasil seluruh siswa yang ditolak memasuki kedua jurusan tersebut terlempar seluruhnya jadi siswa kelas XI IPS. Pahit sekali bukan?
Inilah yang akhirnya menciptakan sebuah iklim pendidikan yang sangat transaksional. Penilaian dari nilai kuantitatif, dan tugas guru seringkali hanya berhenti pada proses transfer pengetahuan sembari memastikian peserta didik memperoleh nilai memuaskan. Padahal saat peserta didik akhirnya mentas dan memasuki dunia paska sekolah, fakta menunjukkan bahwa tidak sampai 20% pengetahuan yang di enyam selama masa sekolah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya ambil kasus sederhana, jabatan direktur keuangan di sebuah perusahaan dituntut memiliki latar belakang sebagai akuntan. Sekarang coba bayangkan berapa banyak ilmu pengetahuan yang harus dia koleksi untuk bisa memperoleh gelar akuntan. Dalam matematika saja, jika dia memilih untuk masuk jurusan IPA dia dituntut untuk bisa menyelesaikan perhitungan trigonometri, padahal akhirnya pekerjaan sang direktur hanya menuntun keahlian matematis minimal, kali bagi tambah kurang!. ‘
Maka pertanyaan seberapa pentingnya sekolah semakina jadi menjadi, dan menggaung semakin keras setelah dihadapkan pada fakta, fondasi pendidikan formal di Indonesia tidak mampu menghadapi gempuran pandemic. Kelas-kelas terbengkalai, guru akhirnya dihadapkan fakta bahwa mereka juga mungkin memiliki anak yang harus dididik, serta hal-hal lain yang menuntut sekolah formal menyesuaikan diri, melakukan proses pendidikan layaknya sekolah non-formal. Lantas, apakah dengan demikian profesi guru akhirnya punah?
Pandemi : Re-Definisi Profesi Guru
Salah satu tugas seorang guru adalah melakukan transfer pengetahuan. Itulah kenapa, instrument pembelajaran mulai buku ajar, kurikulum, hingga adanya penghapus papan tulis semuanya digunakan untuk mendukung proses satu ini. Tidak pula bisa dipungkiri bahwa inilah salah satu tugas utama guru, dan menjadi persyaratan yang menentukan apakah seorang individu bisa atau tidak menjadi seorang guru. Bukan main-main, salah satu universitas di Jawa Tengah dalam setahun menerima pendaftaran 2.500 lebih calon guru! Karena apa? Untuk jadi guru memang perlu gelar.
Tapi coba kita saksikan realitas yang terjadi. Tidak ada guru di dunia ini yang mungkin bisa sepintar seorang Thomas Alfa Edison, bahkan si Edison ini menjadi korban dari sebuah system pendidikan yang tidak mampu mendidik manusia semacam ini. Diluar sana terdapat banyak ahli yang mempublikasikan karya-karya akademik bermutu yang bisa jadi lebih maju dari buku teks, lebih mudah dipahami, dan dengan adanya computer dan fungsi Ctrl+C dan Ctrl+V, sangat mudah sekali “memindahkan” pengetahuan itu dari platform digital menjadi tugas-tugas sekolah. Karena teknologi semakin maju, bisa disaksikan sekarang para ahli itu terjun ke platform audio-visual, menyampaikan ilmu pengetahuan dengan tampilan yang menarik, mudah dipahami dan ringkas. Tidak perlu duduk 90 menit untuk membahas satu bab, cukuo 10-20 menit! Dengan dibimbing para ahli peserta didik dapat lebih mudah memahami suatu masalah dengan lebih mudah dan lebih cepat.
Jika guru terus bertahan hanya di fungsi ini, maka dengan kemajuan teknologi semata sangat mungkin profesi guru sebagai pengajar, kukud. Bangkrut. Bubar. Pailit. Mendingan belajar di rumah, lebih murah, lebih ringkas, lebih praktis.
Inilah kenapa kita perlu melihat fakta lain, bahwa diluar masa pandemic, anak-anak menghabiskan, lebih dari 6 jam waktu hidupnya di sekolah. Fakta sangat mencengangkan karena berarti, selama 12 tahun masa pendidikan, mulai dari SD, SMP hingga SMA, secara total anak menghabiskan 3 tahun kehidupannya hanya untuk berada di sekolah saja. Maka pernyataan sebagian kehidupan peserta didik di sekolah adalah sebuah understatement karena faktanya sekolah memang menjadi kehidupan bagi si peserta didik!
Maka jika mau berpikir jernih, dalam waktu 3 tahun kehidupan mereka, yang dihabiskan secara sadar, bukan tidur, mereka menyaksikan para guru sebagai role model, sosok manusia yang dilihat. Peribahasa guru kencing berdiri murid kencing berlari menjadi penggambaran mutlak tentang proses ini, dan sungguh proses ini benar adanya. Bagaimana mungkin seorang murid berhenti menjadi perokok, merubah gaya hidup dan meninggalkan rokok jika ternyata dalam jajaran guru masih ada para perokok yang bahkan merokok di area sekolah?
Guru harus mencoba memunculkan definisi sebagai role model ini dalam kerja-kerjanya, karena hal inilah yang tidak dapat ditemukan dalam interaksi dunia maya. Seperti namanya, interkasi dunia maya adalah interaksi kosong, sangat mudah orang mendesain dirinya menjadi orang lain di dunia maya. Lain halnya dengan dunia nyata, peserta didik dapat banar melihat, benar merasa, benar mendengar perilaku, dan perkataan mereka-mereka yang “seharusnya” mendidik mereka. Akan sangat sulit menjadi seorang raja jika semua orang tahu tabiat kita lebih mirip seorang pencuri. Maka dari sini, guru sebagai role model adalah salah satu asset yang masih dimiliki pendidikan formal agar tidak tergerus kemajuan teknologi. Hadirkan interaksi yang nyata, interaksi yang hangat dan saling mendukung dengan peserta didik. Bukan interaksi dingin yang hanya didasarkan pada penilaian-penialaian kuantitatif yang akhirnya hanya memberikan 20% kebermanfaatan dalam dunia pasca sekolah.
Karena jika guru masih merasa nyaman dengan berfungsi hanya sebagai orang yang ngajari sebuah ilmu, diluar sana banyak ilmuwan NASA, analis bank dunia, dan ahli-ahli Bahasa dengan tariff super mahal yang siap mengajari murid anda dengan ilmu pengetahuan terbaru. Dengan gratis, praktis, mudah dan cepat.
Sekolah dengan Fungsi Laboratorium Sosial
3 tahun dihabiskan secara utuh, seorang anak manusia di sekolah formal. Disana dia bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Tidak hanya sesekali waktu tapi setidaknya 6 jam sehari mereka bersinggungan. Semua ini memang tidak bisa dilakukan di tengah-tengah pandemi. Tetapi apakah diluar pandemic, sekolah dan guru sudah memaksimalkan potensi luar biasa ini?
Esensi dari pendidikan adalah meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif peserta didik. Maka bisa kita uji, kalau disebut kata “sekolah” apa yang kita bayangkan? Sangat sangat jarang sekali terbayang anak-anak sekolah yang lagi olahraga, meningkatkan kemampuan ektrakurikuler, dan akan sangat susat terbayangkan sekolah yang terbentuk interaksi social disana. Gambaran yang sangat umum dari kata sekolah adalah kelas, kursi, meja, guru, papan tulis dan buku pelajaran. Padahal saat ditanya kepada mereka-mereka yang lulus, apa yang berkesan dari kehidupan sekolah? Jawaban umum adalah interaksi social didalamnya.
Lantas kenapa sekolah tidak coba menyajikan sebuah lingkungan social yang demikian? Lingkungan dimana terbentuk interaksi social yang organic, namun penuh dengan nilai-nilai moral yang luhur, misalkan nilai Pancasila, norma-norma positif. Nilai dan norma bahkan Pancasila sendiri hanya berhenti pada bab-bab di buku-buku pelajaran! Implementasi nilainya bisa dikatakan hampir tidak ada. Karena jika ada, akan sangat minim terjadinya kasus kenakalan remaja yang kadang melampaui batas, bahkan bukan hal aneh saat ternyata seorang guru juga kedapatan melakukan sesuatu yang tidak pantas!
Sekolah memiliki hampir semua set-up yang diperlukan untuk dapat membentuk pribadi yang tidak hanya cerdas , namun juga sehat-kuat, berbudi luhur, dan memiliki rasa tenggang rasa serta kasih sayang terhadap sesame. Namun sekali lagi, karena seringkali sekolah, para guru dan murid-murid cukup memandang sekolah sebagai “sekolah”, akhirnya bukan menjadi pembentuk generasi berbudi pekerti luhur dan cinta bangsa dan tanah air, malah muncul manusia-manusia culas nan jahat, karena bisa jadi selama sekolah ada salah pergaulan. Atau bisa jadi sederhana, karena tiada sosok dan lingkungan yang mendorong seseorang untuk menjadi individu yang lebih baik.
Sekolah dan guru berada di tengah sebuah pusaran, dan kondisi pandemic mempercepat pusaran itu. Bukti-bukti empiric menunjukkan bahwa proses transfer pengetahuan sangat bisa dilakukan tanpa bantuan sekolah dan guru-guru formal. Inilah mengapa, sekolah dan guru harus berani melakukan sebuah re-definisi. Karena sejatinya, tanggung jawab guru jauh diluar sekadar proses transfer pengetahuan. Karena Guru adalah seseorang yang digugu (di turuti) dan ditiru.
Wallahu ‘Alam
No comments:
Post a Comment