Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Saturday, September 2, 2017

Selamat Datang






Selamat Datang

Aku tidak mengerti kenapa orang selalu menatapku aneh, bahkan beberapa meneriaki aku gila. Aku tidak mengerti, apakah mungkin mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda? Aku, aku yang pemenang kompetisi sains internasional ini mereka anggap gila? Aku jadi membayangkan, mungkin mereka semua layak masuk penangkaran. Iya kan Fa? Hanya kamu satu-satu nya yang bisa mengerti aku, dan senantiasa menemaniku disini, aku harap kita bisa terus bersama.

Jakarta, 28 Juli 2004

Keluarga muda itu pindah di sebelah rumah kami, konon katanya dia adalah kolega ayah dari perusahaan finansial ternama. Ayahku sendiri ada manajer di perusahan produksi makanan, jadi dalam berbagai kesempatan memang mereka sering bertemu. Ayah menyambut kehadiran keluarga muda itu dengan senyum, ah yang dimaksud muda bukan karena apa, tetapi keluarga mereka baru memiliki satu orang anak perempuan, seusia denganku. Sedangkan ayahku sudah memiliki 2 orang anak, aku dan Inas, adik perempuanku.

Sore itu terasa sangat indah, ayah terlihat bercakap hangat dengan Tuan Agus, kepala dari keluarga itu. Bunda bercakap akrab dengan Ibu Ratih, masih terlihat Ibu Ratih jauh lebih muda dari Bunda ku, aku hanya tersenyum membayangkan apa yang mereka bicarakan. Pada saat itulah aku bertemu Fa, dengan jilbab biru muda nya dia terlihat anggun saat sedang bermain dengan Inas. Tidak mungkin kan anak kelas 5 SD merasakan cinta? Perasaan itu terlalu berat buatku. Maka dari jauh aku hanya memandanginya, mengagumi nya sebagai seorang kawan.

Waktu berlau dan keluarga Fa mohon izin pamit, kami mengantarkan mereka semua ke gerbang depan. Mendadak terjadi semacam kegaduhan, terlihat Tuan Agus tergopoh ke mobil, mengeluarkan sesuatu. Kemudian Ibu Ratih memberikan sesuatu itu kepada Fa. Dengan malu-malu Fa menyerahkan bungkusan itu kepadaku, namun malu itu mendadak hilang saat dia menyerahkan bungkusan lain untuk Inas. Itu cinta? Jelas tidak mungkin, aku bilang kan, kami terlalu muda untuk perasaan itu.

Bergegas aku kembali masuk rumah, naik ke kamarku di lantai dua, tentu karena tidak sabar ingin membuka bingkisan pemberian Fa. Kuambil gunting dan mulai membuka bungkusan itu, aku semakin tersenyum. Bingkisan itu adalah bingkai foto berwarna biru muda, terlihat terlalu manis untu laki-laki seperti ku. “Hai! Salam kenal. Simpan memori terindahmu disini ya! –Fa” begitu tulisan di depannya. Dengan tenang aku menyimpan nya diatas meja belajar, lumayan kan? Untuk memberikan suasana baru bagi kamarku.

29 Juli 2004, Jakarta, Sekolahku

Pagi ini hatiku sudah berkedut tidak karuan, sosok berjilbab biru yang sudah aku kenal itu berdiri di depan kelas ku.

“Teman-teman, perkenalkan, kita kedatangan murid baru, silahkan memperkenalkan diri!” Ibu Asih, wali kelas kami membersamainya didepan kelas.

Dengan malu dan menunduk, Fa membuka mulutnya..

“Emm.. nama saya Farhanah, ee.. panggil saja saya Fa,  saya.. pindahan dari Bogor.. anu.. salam kenal semuanya..” pipinya bersemu merah, sepertinya menahan malu yang sangat. Duh!

“Fa!! Rumah kamu dimana?!” Budi, teman kelas paling usil dan berisik langsung bertanya tanpa memberi waktu.

Dengan tergeragap, Fa terlihat berusaha berkata sesuatu, tetapi matanya juga mencari sesuatu, apa ya kira kira? Gumamku.

Tiba-tiba, telunjuknya diarahkan kepadaku, yang tengah termangu-mangu. “Anu, rumah saya.. di sebelah dia..” begitu katanya. Sontak kelas bergemuruh, dibawah komando Budi, mereka mulai “Men-Cie” kan kami. Dasar maniak ganteng-ganteng serigala. Terlihat muka Fa semakin memerah, sedangkan aku yang berusaha cuek mulai bobol rasa cuek nya. 

Segera Bu Asih menenangkan kelas kami, menyurh Fa duduk di sebalah Ayu, dan memulai pelajaran. Aduh, kenapa ini harus terjadi sih?

30 Juli 2004, Rumahku

Cukup melelahkan sehabis berlari pagi, ditambah kejadian kemarin di kelas sedikit mengangguku. Beruntung hari ini sudah sabtu dan sekolah ku memang libur, jadi aku bisa berjogging dan berkeliling untuk menenangakan pikiranku. Si Budi, lihat saja nanti aku balas dia. Sambil beringsut-ingsut, aku melepas sepatu di teras, mengetuk pintu rumah, sudah kubayangkan porsi nasi goreng bikinan Bunda sudah siap memenuhi rasa laparku.

Sedikit aneh karena pintu belum juga dibuka, aku sempat mendengar suara suara aneh di dalam. Kugenggam pintu, berusaha kubuka, mendadak, pintu itu terbuka sendiri. Jilbab biru muda itu! Sambil menunduk dia membuka pintu dan berkata “Haii, Okaeri Nasai (Baik, selamat datang)”, sepertinya tidak tahu siapa yang dia bukakan pintu.

Saat dia mengangkat wajahnya dan melihatku berselimut peluh, wajah lucunya mendadak pucat, berganti warna menjadi merah, dan berteriak histeris “Kyaaaa!!!!!!” dan segera berlari masuk ke rumah. Aku sendiri? Hanya bisa melongo melihat pemandangan barusan. Lalu kulihat diriku, ah, baju jogging ku yang berkeringat tadi sudah aku lepas, kebiasaan.

Tergopoh inas datang ke muka pintu, menyambutku sembari ngomel

“kakak ih! Udah dibilang jangan buka baju sebelum masuk rumah! Malah buka baju lagi. Kasian kak Fa tuh! Kayaknya dia malu banget! Sini masuk!”

Hanya mengangguk, aku memasuki rumah masih dalam kondisi tidak percaya. Segera ku menuju kamar mandi, dan kulihat Fa masih menutupi wajahnya dengan tangan. Insting usilku muncul, namun geraman Inas membuatku mundur dan melanjutkan langkah ku ke kamar mandi.

30 Juli 2004, Ruang Tengah

Terlihat masih malu, meskipun kami di ruangan yang sama Fa belum pernah mau menatapku langsung. Meskipun bunda sudah menyampaikan maaf, dan Fa menerimanya, sepertinya dia memang belum berkenan memaafkanku. Inas? Dia hanya sibuk menggeram kepadaku, kadang adik perempuan jenis ini memang menyebalkan. Tetapi, jujur, aku paling suka saat Fa memerah wajahnya seperti ini, sayang, sebelum aku melihat lebih lama, bunda sudah memberi senyum aneh kepadaku. Gawat, segera aku menundukkan pandangan, kembali fokus pada konsol game ku.

Aku masih tidak mengerti kenapa Fa dititipkan di rumah kami, sampai ibu bercerita kalau Tuan Agus tengah ada penugasan di Luar Negeri. Sedangkan istrinya, Bu Ratih harus merawat nenek mereka yang sakit-sakitan. Jadilah, untuk keamanan Fa dititipkan disini, lagipula disini ada Inas, timpal ibu, yang bisa menemani dan mengajak main Fa. Sembari mempersiapkan makan malam,bunda memekik.

Ternyata sore ini adalah jadwal kontrol Inas ke dokter, kontrol ini biasanya tidak lama, hanya sebentar saja. Segera ibu memberi pesan singkat pada Fa bahwa dia harus bersamaku untuk sekejap karena alasan itu. Terlihat wajah Fa kembali memerah, dan dengan malu-malu dia menghadap kepada ku, memberi isyarat memohon kerjasama. Aku tidak tahu, tapi ibu pernah cerita kalau Tuan Agus dan Nona Ratih serta Fa pernah tinggal cukup lama di Jepang sampai Fa kelas 4. Jadi, wajar mungkin kalau dia sampai bilang bahasa asing dan berlaku aneh seperti tadi ya?

Sore itu menjadi sore yang hening, aku hanya khusyuk bermain konsol game sedangkan Fa membaca majalah. Tentu kami berdua sudah sholat ashar, sendiri-sendiri pastinya. Tiba-tiba, perutku terasa mulas, dan tanpa bisa kutahan sedikit gas keluar. Terlihat Fa mati-matian menahan senyum, dengan malu, aku segera berlari menuju kamar mandi, menuntaskan hasrat dan panggilan alam ini.

Menit-menit berlalu, memang perjuangan keras, akhirnya aku berhasil memenangkannya dengan mutlak. Hell yeah! Dikarenakan perutku selesai di kuras, rasa lapar menghampiri. Sejenak aku mampir ke kulkas, mengambil snack dan soda, tentu untuk Fa juga, siapa tahu dia mau. Dengan bahagian aku berjalan menuju ruang tengah.

Langkahku mendadak terhenti, aku mendengar suara dan gumaman aneh dari ruang tengah..

“Jangan.. jangan mendekat, berhenti..”

Penuh tanya aku mengintip sekilas di ruang tengah. Perumahan ini adalah perumahan maha elit, selama 30 tahun belum pernah ada maling atau apapun masuk kesini! Jadi tidak mungkin Fa bertemu salah satu dari mereka. Dengan perasaan bingung, aku memasuki ruang tengah, ku lihat Fa tengah meringkuk di pojokan, kelihatannya dia menggigil. 

Kuletakkan snack dan soda tadi, lalu menghampirinya perlahan-lahan. Kusentuh pundaknya, berusaha menyadarkannya.

Betapa terkejutnya aku, mata nya berubah memerah dan penuh air mata. Tetapi bukan air mata kesedihan, pandangan mata Fa terlihat buas dan nyalang, terdengar geraman berat keluar dari hidung dan mulutnya, sama sekali tidak menyenangkan. Tubuh dan jiwaku berkata diriku dalam bahaya, tetapi kaki ku membeku.

Tepat saat itu, Fa mencengkeram leherku, hei, dia kan perempuan, mana mungkin dia mampu menjatuhkan..

“GRKKHHHHHHHAAAAAAAA AKU BILANG JANGAN MENDEKAAATTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 

 Lolongan itu terdengar sangat keras, memecahkan kesadaranku. Seketika itu aku merasa tubuhku didorong dengan kuat menuju lantai, kemudian sempat kurasakan sebuah benturan. Kemudian gelap.

Entah Kapan, Sepertinya Masih di Tahun 2004

Rumahku mendadak ramai, bunda terlihat panik sambil memeluk inas yang menangis. Sebelahnya terlihat ayah masih berbicara dengan polisi dan paramedis. Di sebelahku ada kasur, da nada yang tergeletak disana, hanya jilbab biru itulah yang membuatku tahu siapa dia. Terlihat beberaoa sabut mengikat tangan dan kakinya.

Jilbab biru itu dipenuhi bercak berwarna kemerahan, aku mengalihkan pandangan ku kepada ayah. Biasaya dalam kondisi begini ayah akan mengamuk, tetapi entah kenapa dia seperti berbicara sedih dengan seseorang di telepon. Rasa tidak nyaman mulai menjalari kepalaku, rasa tidak nyaman ini kemudian berubah menjadi penggalan memori, memori, memori kapan ya?

Pintu itu berwarna hitam legam, penuh dengan noda darah. Aku memberanikan diriku untuk mengetuknya. Terdengar suara aneh dari dalam, kemudian, gagang pintu berputar, pintu terbuka. Sosok itu menggunakan jilbab biru, tetapi, jilbab itu sudah koyak dan penuh noda darah. Dia termangu sambil menunduk di belakang pintu yang terbuka, aku tidak tahu kenapa.

Sosok itu mengangkat wajahnya, perlahan, aku pucat saat wajah itu sempurna mengangkat wajahnya. Salah satu matanya sudah menghilang, dan darah senantiasa keluar dari tempat seharusnya bola mata tersimpan. Sedangkan satu matanya masih ada, namun mata itu berwarna merah darah, terus menerus mengeluarkan air mata. Dengan berat .. suara itu keluar, suara mengerikan, seperti bukan dari sosok yang aku kenal..

“Oo..ka..e..r..i Na..S..A..I.. Se..La..M..At.. D..At..Ang” senyum iblis mencuat selepas dia selesai mengatakan itu. Sebelum kesadaranku hilang, aku sempat melihatnya, dia berada di belakang sosok berjilbab biru yang aku kenal itu, bedanya, dia betul mencengkeram leher sosok yang aku kenal itu erat-erat. Sedangkan sosok yang aku kenal itu, tepat dengan sisi wajahnya yang masih berbentuk manusia.. mulai menitikkan air mata.

Suara itu bergema dalam kepalaku, dalam sisa kesadaranku, tepat sebelum gelap menyelimuti pandangan ku

“to..long.. a..ku..”

Di Rumah Sakit, Entah Kapan, Tetapi Masih di Jakarta

Aku kembali harus menjalani kontrol. Aku bersumpah tidak akan bermain roller skate di dalam rumah lagi, mungkin aku bisa mati konyol karenanya. Dokter Hendra dengan tersenyum berkata, fungsi-fungsi di dalam kepalaku sudah lebih baik, dan dengan senyum dia kembali mengingatkanku untuk berhati hati. Dengan senyum aku beranjak dari kursi ku.

Terlihat di luar Inas sudah menungguku, terlihat seragam SMP nya mulai kusut karena pengaruh full day school. Ditambah dia harus mengantarkan kakaknya ke rumah sakit. Dengan merengut sebenarnya, dia menyambutku. Namun saat melihat aku tidak memakai perban lagi, Inas tersenyum lebar, bahkan air matanya terlihat mengumpul di kelopak matanya. 

“Kakak udah ngga pakai perban lagi!!!!” Inas berlari, melompat kedalam pelukanku. Air matanya mengalir deras, sepertinya ada sesuatu yang sangat melegakannya. Aku hanya tersenyum, masak hanya karena kekonyolanku bermain roller skate di dalam rumah dia sampai sebahagia ini? Aku pun tidak peduli, dan hanya mengusap kepalanya saja.

Inas mengambil telepon genggam, kelihatannya dia menghubungi bunda dan mengatakan hal yang sama. Kemudian, dia kembali menatapku dengan senyumnya..

“kakak, kakak udah bener-bener ngga papa kan? Kepalanya udah ngga terasa sakit lagi kan?”

Aku hanya mampu tersenyum sambil mengangguk. Kecelakaan sial itu bener-benar berdampak buruk padaku. Selama 5 tahun terakhir aku mengalami kehilangan ingatan secara temporer dan rasa sakit berlebihan jika terlalu lelah. Kata dokter memang ada retakan yang cukup parah di kepalaku, namun dengan operasi dan terapi, perlahan lahan semua itu membaik. Bahkan aku mendapat bonus berupa kecepatan luar biasa dalam menangkan informasi.

Kekuatan inilah yang aku gunakan untuk berusaha menjadi jenius. Memberanikan diri mengikuti olimpiade sains level daerah dengan taktik belajar 3 jam sebelum lomba, aku berhasil mewakili daerah menuju level nasional. Dan dengan terapi, daya ingatku perlahan mulai kembali selayaknya manusia normal, namun, kecepatan ku dalam memperoleh informasi tidak menghilang, keren kan? Maka, wajar jika akhirnya di akhir kelas 3 SMP aku mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia dari ajang olimpiade sains internasional.

Bukan berarti sombong, di usiaku yang masih 15 tahun ini, Universitas Indonesia telah menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya di jurusan Fisika. Jadi ya masa depanku kurang lebih terjamin lah. Mungkin berkah juga ya kecelakaan roller skate itu?

Tapi, tentu aku tidak ingin itu terjadi lagi, karena hal ini.

Perlahan aku bangkit dan bangun, tiba-tiba sensasi pusing ini datang lagi. Inilah tidak enaknya, masih ada sensasi pusing yang harus aku lawan yang entah karena apa. Inas memegangi tangan ku erat, berusaha mengurangi dan menjagaku, biasanya pusing ini hanya sebentar saja, jadi aku pasti bisa bertahan.

Namun ada keanehan, perlahan ada sebentuk memori yang menyeruak masuk di otak ku. Memori ini sangat mengerikan, sebuah pintu ruang kontrol yang terbuka mendadak berubah menjadi berwarna hitam. Sosok itu muncul lagi, jilbab birunya berkibar, namun bercak darah di jilbabnya betul menghilangkan keindahan itu. Dia menoleh kepadaku, memberikan senyum terbaik yang bisa dia berikan.

Terlihat sebuah tangan masih erat mencengkeram lehernya, dan dengan tersedak, kalimat itu muncul lagi, mengaung keras di kepalaku..

“to..long.. a..ku..”
Sebuah hembusan angin menyadarkanku. Terlihat Inas masih pucat mengenggam tanganku..

“kakak.. ngga papa? Mau minum obat?” dengan panik Inas merogoh tas nya mencari obat penghilang nyeri yang memang dimiliki semua keluargaku. Dengan senyum aku menggeleng, namun kejadian barusan betul-betul mengangguku.

Hari yang Sama, Di Loteng Rumah

Entah kenapa hari ini aku sangat ingin segera pulang dan menuju kesini. Ya, loteng rumah keluargaku, entah ada apa disini, aku tidak tahu. Tetapi, instingku membawaku untuk membongkar sebuah kopor tua yang sangat berat. Aku membuka isinya, yang entah aku tidak tahu apa.

Namun, aku menemukan itu. Sebuah bingkai foto, bedanya sudah ada foto disitu. Foto itu adalah gadis manis berjilbab biru. Wajahnya lucu dengan pipi yang putih kemerahan. Terlihat senyuman manisnya mengembang lebar, mungkin foto ini diambil tahun lalu? Karena sekilas dari rona wajahnya dia benar-benar mirip dengan Inas. Kuambil bingkai foto itu, kulihat di belakangnya ada tulisan

“Farhanah”

Betul betul tidak memberikan satupun kunci untuk memecahkan masalah! tapi tetap aku simpan, karena jujur gadis ini sangat cantik. Hei, aku sudah remaja, boleh kan aku merasakan cinta?

Sebelum bunda dan Inas kembali, aku segera turun dari loteng untuk masuk ke kamarku. Kuletakkan bingkai dan foto itu di meja belajarku. Ah, dia sangat cantik, Farhanah ya? Eh mungkinkah dia punya akun media sosial? Tahulah, apa yang aku lakukan berikutnya.

Universitas Indonesia, Saya Kuliah

Sebagai orang jenius banyak orang berpikir waktuku habis untuk melakukan penelitian dan bertapa di perpustakaan. Anggapan itu jelas benar, namun bedanya waktu ku juga diminta oleh masjid dan jalanan. Sebagai anggota dari LDK Salam UI dan BEM UI, dengan penuh kebanggaan prestasi demi prestasi kuberikan. Kurang keren apa coba? Kata orang sekali kamu pernah berkarir di jalan orang jenius, selamanya kamu akan terjebak disana.

Maka, hari-hariku senantiasa dipenuhi hal-hal bermanfaat. Ya seperti rapat dan rapat misalnya, sesekali dibarengi demonstrasi dan melakukan penelitian. Sungguh hidup ideal! Karena aku tidak perlu risau soal IPK. Hah! Apasih IPK? Enteng! Karena yang di kelas seringkali sudah aku temui di lapangan atau saat aku mendengarkan ceramah di konferensi internasional. Dan Alhamdulillah, dengan dukungan Ayah, Bunda dan Inas, aku belum pernah jauh dari Allah.

Semua akan baik-baik saja, jika aku tidak mengalami hal ini. Dalam beberapa malam mimpi ini berulangkali menghampiriku. Senantiasa soal pintu berwarna hitam dengan gurat-gurat merah di depannya. Dalam mimpi itu aku selalu risau dan bimbang, apakah aku harus menyentuh gagang pintu dan membukanya atau tidak. Suara aneh dan bising selalu keluar dan terdengar samar dari pintu itu.

Aku selalu memilih untuk tidak membukanya, dan anehnya selepas itu aku pasti terbangun. Dengan tidak nyaman tentunya, karena kepalaku langsung berdenyut begitu kuat, bahkan pada beberapa kasus aku masih berteriak keras hingga membuat Inas, Ayah atau Bunda harus datang ke kamar untuk menenangkanku. Syukurlah itu tidak terjadi setiap malam, jadi aku anggap saja sebagai bunga tidur.

Oya, foto gadis itu? Tentu saja masih aku simpan di kamar tanpa sepengetahuan bunda. Memang ada keanehan karena tidak ada satupun akun media sosial bernama farhanah yang memiliki wajah seperti gadis itu. Tetapi biarlah, toh cukup banyak perempuan yang memilih tidak pamer wajah di media sosial. Jadi, senyuman manis itu senantiasa menjadi penyemangatku disaat aku dikejar deadline. Whops, ada deadline, sepertinya segini dulu ya?

Aku Tidak Tahu ini Dimana

Hutan itu terasa begitu lebat, tapi syukurlah aku mampu menembusnya. Pedomanku satu-satu nya hanyalah cahaya temaran dikejauhan, dan jujur aku tidak tahu apa itu. Rimbunan pohon yang semakin berkurang memberikan kesan yang lebih jelas tentang sumber cahaya itu, dan yang membuatku heran, itu adalah rumahku! Hei, bagaimana mungkin rumahku menjadi tempat seseram dan berada di lokasi seseram ini?

Setengah berlari aku menghampiri pintu depan, sedikit bergidik karena pintu dan keseluruhan rumahku berwarna hitam dengan gurat-guratan merah berbau anyir. Tanpa diberitahupun aku tahu, itu adalah darah, dengan penasaran aku berusaha mencari tahu apa yang ada di dalamnya. Sip, tidak terdengar suara-suara aneh didalamnya. Dengan penuh kemantapan hati, aku memegang gagang pintu, dan ternyata tidak dikunci.

Segera aku buka pintu itu dan menerobos masuk. Asam lambungku entah bagaimana langsung naik melihat fragmen mengerikan didalamnya. Bercak darah tersebar dimana-mana, bahkan ada beberapa wajah orang yang tidak aku kenal dipenuhi bercak-bercak darah. Ruangan ini diterangi lampu luar biasa terang, nyaris membuat mataku sakit. Rasa penasaran menuntunku untuk mencari apa-apa yang ada di rumah ini, entah apa yang bisa aku temukan.

Di sudut ruang, aku melihat sebuah foto. Foto itu bersanding rapi dengan sebuah foto lain, salah satu foto itu, adalah diriku. Diriku saat memasuki kelas 3 SMP, tepat sebelum aku memasuki SMA, wajah itu masih benar-benar culun. Sedangkan yang bersanding dengannya membuatku tercekat, foto itu juga berada di kamarku, menyemangatiku setiap pagi terutama saat aku dikejar deadline. Farhanah.

Kakiku gemetar ketakutan, apa-apaan ini? Aku belum pernah mengalami hal semacam ini! Kesemuanya terlalu mengerikan! Belum selesai keterkejutanku, pintu depan itu gagangnya berputar. Mendadak cahaya terang di dalam ruangan ini perlahan menjadi temaram. Instingku berkata, aku harus lari, tetapi semua sudah terlambat, pintu itu sudah terbuka.

“A..ku pu..la..ng” sosok itu mengenakan jilbab biru, masih penuh dengan bercak darah. Sedangkan sisi manusia yang mengeluarkan air mata itu masih seperti sedia kala. Namun sosok gelap yang mencengkeram lehernya sedikit demi sedikit terlihat wujudnya. Sosok mengerikan dengan darah senantiasa menetes dari luka-luka menganga. Matanya hanya tersisa satu, itupun berwarna merah pekat. Cakar-cakar panjangnya sesekali menggora kulit sosok berjilbab biru itu, menjawab teka-teki kenapa darah senantiasa menghiasi jilbabnya.

Sosok itu menyadari kehadiranku, terlihat dia melepas cengkramannya dari leher si jilbab biru, tapi entah kenapa, si jilbab biru justru menahannya. Terlihat mengamuk, sosok hitam mengerikan itu mengaum keras, membuat cahaya di ruangan ini berkedip tidak karuan. 

“La..ri! Ti..ngg..al..kan a..ku!” teriak si jilbab biru histeris..

Kemudian kegelapan pekat mulai menghampiri, rasa sakit kembali menyerang kepalaku begitu hebatnya. Kesadaranku nyaris hilang, saat si jilbab biru berkata..

“Maafkan Fa.. “ 

Kamarku

Aku berteriak histeris begitu kencangnya, saat aku melihatnya berada di sisiku, menggenggam tangan ku erat. Wajah lucu dengan senyum manis itu, aku sangat mengenalnya. Cuman, yang aku kenal dia hanya memiliki sebagian wujud manusia, sedang sisanya seperti mayat hidup dengan sosok mengerikan yang senantiasa mencengkeram lehernya.

Dia tersenyum manis kepadaku, tidak terkira, bahkan akupun meneteskan air mata bahagia.

“Fa..” kataku.

Bersamaan dengan itu, Ayah, Bunda dan Inas membuka pintu kamarku. Wajah mereka terlihat pias dan pucat, mungkin karena kaget mendengar lolongan ku. Ah iya, ada sesuatu yang harus segera aku sampaikan kepada mereka, sesuatu yang sangat penting!

“Ayah, Bunda, Inas, Fa ada disini, dia sudah pulang..” kataku dengan bulir air mata meleleh di pipi. Tidak terkira betapa bahagianya, gadis yang senantiasa menjadi motivasiku, yang aku sempat melupakan dia bertahun-tahun telah kembali di sisiku. Fa hanya terdiam, tanda tanya mulai menggelayuti pikiranku.

Kualihkan pandangan ku kepada Ayah. Lelaki tegar itu terlihat terguncang, aku belum pernah melihat ayah membuat ayah membuat wajah seperti itu, seolah ada sesuatu yang menghantam jiwanya keras-keras. Bunda? Wanita tegar itu terlihat sia sia menahan tangis, air mata sudah membanjir. Sedangkan Inas? Adik perempuan ku ini meman cengeng, tapi ini pertama kalinya dia memeluk bunda erat-erat, aku tahu dia menangis sangat keras.

“Kakak… kakak.. kakak..” begitu kata Inas, kenapa? Gumamku

Mendadak rasa sakit itu kembali menghampiri. Fa hanya terdiam, tatapannya lurus kedepan. Baru aku sadari, tatapan nya kosong, seperti mayat. Rasa sakit itu semakin menjadi, aku menggenggam kepalaku erat. Melihat itu ayah bersegera berlari memelukku, erat.

ARGGGGHHHHHHHHHHHHHH

Teriakan kerasku kembali mengguncang malam, sebelum semuanya gelap.

Rumah Baru ku

Aku tidak mengerti kenapa orang selalu menatapku aneh, bahkan beberapa meneriaki aku gila. Aku tidak mengerti, apakah mungkin mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda? Aku, aku yang pemenang kompetisi sains internasional ini mereka anggap gila? Aku jadi membayangkan, mungkin mereka semua layak masuk penangkaran. Iya kan Fa? Hanya kamu satu-satu nya yang bisa mengerti aku, dan senantiasa menemaniku disini, aku harap kita bisa terus bersama.

Fa masih sama, dia hanya bisa tersenyum dengan tatapan kosongnya. Tapi semua itu sudah cukup buatku, karena aku mencintai dia apa adanya. Beberapa kali orang-orang berpakaian putih, tentu aku tahu mereka dokter! Menatap ku dan Fa aneh. Aku tidak mengerti, namun entah kenapa aku masih bisa sholat, bahkan beberapa dokter berkata saat sholat lah aku “normal”. Disini pertanyaanku, apa yang mereka maksud dengan normal? Aku sangat sehat! Bahkan soal-soal kuliahku lancar kukerjakan! Apalagi ada Fa disisiku. Sungguh dunia semakin aneh.

Malam Itu

Aku kembali berada di ruangan itu, dengan kondisi Fa masih dicengkeram kuat oleh mahluk itu. Bedanya, kondisi Fa sudah betul betul lemah, tatapan matanya kosong, suara lirih itu sudah tidak terdengar lagi. Sedangkan mahluk itu terlihat semakin menyeramkan, tidak ubahnya iblis, dia adalah iblis yang buas.

Melihatku disana, Fa dicampakkan begitu saja, dilemparkan hingga terjatuh dibelakangku. Sosok berjilbab biru itu kembali menjadi manusia biasa, terlihat terengah-engah, seolah sudah sampai pada masanya. Saat aku berbalik melihat Fa, mahluk itu mendadak melompat dan menerkamku, aku terdorong ke tanah. Leherku terasa sesak dan sakit.

Aku menoleh sebentar melihat Fa, dia juga menatapku, tersenyum. Senyumnya sangat manis. 

“Terima.. kasih..” entah apa yang terjadi, tubuhnya bercahaya sangat terang, kemudian menghilang.
Kembali terjebak dalam kengerian, aku harus berhadapan lagi dengan mahluk itu. Mata satu dan tubuh hitamnya benar-benar mengerikan, aku sampai mual menghadapinya. Kulihat dia mengangkat tangan kirinya (sepertinya ini yang membuat Fa kehilangan separuh tubuhnya). Tepat sebelum tangan itu mencabik tubuhku, satu sosok bersayap datang dan menginjak si mengerikan itu hingga tidak bersisa.

“Entah kenapa aku sangat kesal ketika harus bertemu mahluk ini” gumamnya.

Kemudian dia menatapku, kemudian menghela nafas

“Sesungguhnya aku tidak mengerti, tapi kemarilah, ikut aku”

Aku Betul-betul Bingung

Aku dibawa pergi dari ruangan itu, hanya untuk kembali di ruangan berwarna putih. Bedanya, Fa ada disana dan dia terlihat benar-benar hidup. Mahluk bersayap itu menurunkanku, dan tentu saja aku segera berlari menyongsong Fa. Tentu, sebaliknya Fa juga berlari menyongsongku.

“Fa..” kataku sambil berlari.

Saat kami hampir berpelukan, mahluk bersayap itu berdehem dengan sangat keras, menganggu kami.
“EHEM!” dia menundukkan wajahnya, sembari menggelengkan kepala

“Pertama aku ucapkan keselamatan kepada kalian berdua, meskipun kalian mengalami sakit mental, tapi entah kenapa aku merasa seperti bertemu dengan orang-orang beriman. Allah juga menyampaikan salam kepada kalian berdua, dan mengundang kalian untuk kembali sebagai jiwa-jiwa yang tenang”

Sedikit pertanyaan didalam kepalaku, namun mahluk bersayap itu mengisyaratkan ku untuk diam.
“Kalian adalah manusia cerdas, pasti tahu kalau kalian sudah mati. Dan ya, kalian sudah mati. Kedua, kehendak Allah untuk jodoh adalah misteri, jadi mungkin inilah salah satu misterinya. Intinya, silahkan menunggu disini sampai aku kembali” sekejap dia terbang dan menghilang dari pandangan ku. Fa? Dia hanya membulatkan mulutnya, lucu sekali.

“jadi kita sudah mati?” Fa membuka suara sembari menatapku. Wajahnya masih tidak percaya dan itu lucu.

Sedikit bingung, aku membuka dan menutup mata, namun tidak ada reaksi apa-apa
Dengan bingung, aku hanya mengangguk. Kulihat wajah Fa, terlihat dia sangat lega, dia menghela nafas kuat kuat.

“akhirnya semua ini berakhir, ya, berakhir..” air mata itu kembali mengalir, aku, aku benar-benar ingin melindunginya!!!

Aku melompat untuk memeluknya, tepat sebelum tangan ku menyentuh tubuhnya,
“EHEM!!!”

Mahluk bersayap mengesalkan itu datang lagi.

“sudah waktunya, sebaiknya kalian tunda dulu hal itu” dia berkata dengan muka datar yang membuatku sebal. Entah kenapa, aku betul-betul kesal dengan mahluk bersayap ini, tapi tidak bisa membencinya.

Rumahku, Entah Kenapa ada Tratak di Depannya

Ayah dan Bunda terlihat sedang bercakap dengan dua orang lain, sebaya mereka sepertinya. Sedangkan dibelakang mereka ada sesuatu seperti ini :

Innalillahi wa Inna Ilaihi Raa’jiun
Telah Berpulang ke Rahmatullah
Alm. Yuda Aditya Wijaya
Pada hari Jumat, 10 Desember 2014 pukul 08.40

Ya tulisan itu mengesahkan aku sudah meninggal dunia, waw. Bersama Fa kami menghadiri pemakaman ku. Ya, dan entah kenapa aku dan Fa masih tersenyum, mungkinkah kami berdua berakhir dengan baik? 

“Fa bagaimana ibu?” itu suara bunda! Ternyata yang bunda ajak bicara adalah ibunya Fa.
“Alhamdulillah, Fa juga berpulang dengan bahagia. Jujur kami sekeluarga masih merasa tidak enak hati dengan ibu dan keluarga, karena Fa, Nak Yuda jadi harus mengalami hal seperti ini”
Terlihat mata Ibu Ratih basah oleh air mata.

“Tetapi sebelum Fa pergi, dia sempat berkata “Ibu, Yuda sudah maafin aku, Yuda juga yang nyelametin aku, Ibu aku seneng banget” semacam itu. Schizofernia Fa memang sudah sangat akut, ditambah Fa juga menderita penyakit kronis di otaknya. Sepertinya, kejadian yang dia lihat di mimpinya memberi beban yang terlalu berat untuk otaknya, sehingga, ya begitulah..”

Terlihat Tuan Agus mendekap istrinya erat. Aku melihat Fa hanya tersenyum sambil berusaha menahan tangis. Rupanya seperti itu, Fa terkena berbagai penyakit selama hidupnya. Hem, dan dengan itu dia senantiasa berusaha tersenyum.

“Kami sekeluarga juga sudah memaafkan Fa kok ibu. Memang berat bagi kami..” bunda menimpali
“Kejadian ketika Fa menyerang Yuda dan membenturkan kepalanya ke lantai, memang memicu trauma akut di kepala bagian belakangnya” ibu menjelaskan dengan bergetar

Oh, jadi bukan karena roller skate, aku memang diserang hingga mengalami cedera akut seperti ini. Dan yang menyerangku adalah Fa, aku menengok kea rah Fa. Aku mulai melihat rona matanya memancarkan kesedihan. Ditambah gesture yang seolah tidak mau melihatku, membuat nya semakin imut.

“tapi entah kenapa malah banyak berkah kami peroleh ibu. Medali dan piala di kamar Yudi menjadi saksi. Bahkan dia mendapat kursi dan beasiswa full dari universitas Indonesia. Mampu memberi banyak manfaat bagi lingkungannya” dengan air mata menetes, ibu tersenyum dan tampak bangga. Begitu juga ayah, Tuan Agus dan Ibu Ratih. 

“kami pun sudah diwanti-wanti oleh dokter, disebabkan ada memori yang tercerabut paksa, Yuda mungkin akan mengalami beberapa halusinasi. Terakhir demi menyelamatkan dia, kami memang memindahkan ke tempat karantina”

“tepat di sebelah kamar Fa” bunda dan Bu Ratih kompak menyebut ini bersama

Aku terkejut, menatap wajah Fa. Dia hanya tersipu malu, sudah, seperti itu! Apa banget coba?!

“dan di malam itu, kami memang dikabari tim dokter, mungkin di malam ini aka nada serangan di alam bawah sadar yang paling besar, resikonya memang kematian. Maka dari itu”

“justru akhirnya kita malah bertemu lagi ya ibu” bunda dan Bu Ratih kembali tersenyum.
Entah apa tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal malam hari itu. Inas! Inas tidak ada dibawah bersama bunda dan ayah.

Segera aku mencarinya, sayup sayup aku mendengar ibu berkata dimana Inas. Dan aku sudah menemukannya, dia duduk di meja belajar, menatap fotoku yang oleh siapa sudah disejajarkan dengan foto Farhanah. Sekelebat aku melihat bayangan mahluk hitam mengerikan di belakang Inas, siap menerkamnya.

Tanpa buang waktu aku segera berdiri dibelakang Inas. Kalian tentu ingat kan? Aku memang mengalami halusinasi berlebihan, tetapi aku masih orang jenius yang waras. Dan aku tahu betul bagaimana cara mengusir mahluk mengerikan ini.

Seperti dugaanku, Inas membuka laci ku, karena Inas selalu penasaran dengan isi kamar kakak kesayangannya. Aku sudah meninggalkan sesuatu disana, sembari mengawasi mahluk menjijikan itu, aku tersenyum sinis melihat mahluk itu hanya mengaum dan menggeliat benci.

“Dear Inas
Kalau kamu nemuin ini, mungkin kamu udah ngga bisa ketemu kakak berisik mu ini
Ngga ada yang ngehalangin kamu buat ngacak-ngacak kamar kakak
Kakak sayang sama Inas J
Dan kakak yakin Inas mungkin akan sedih banget karena kakak pergi
Jangan sedih Nas, kakak ngga mau lihat kamu sedih
Kalau kamu mau mengenang kakak, bacalah Qur’an peninggalan kakak ini. Rutin, terus menerus
Anggaplah kata-kata Allah didalamnya adalah kakak yang sedang bercanda sama kamu
Kakak yang sedang ngedengerin kamu nangis
Tapi, kamu juga langsung berbicara sama Allah Nas, dan Allah maha kuasa
Kakak yakin, Allah akan menjaga hati Inas, hadir dalam kesendirian Inas, bahkan mungkin mengirim pangeran terbaik untuk Inas
Mungkin kakak bakal cemburu juga (hehe) tapi kakak ngga kemana-mana kok. Inas hanya perlu lebih dalam, melihat hati Inas. Karena selamanya, kakak akan berada di situ
Udah ya, kakak mau istirahat J smile my little angel”
Inas memeluk surat itu erat, menangis, dan aku tidak melihat tanda-tanda mahluk menjijikan itu. Mungkin sudah waktunya aku pergi kah?

Fa telah menunggu di luar jendela, tersenyum. Aku segera berdiri di sisinya, sembari menatap Inas yang memperbaiki jilbabnya, dan mulai membaca Al-Qur’an

“Kamu ngga jatuh cinta sama adik mu kan Yud?” Fa berkata sambil tersenyum geli. Eh? Ternyata ini karakter aslinya ya?

“Nggak lah. Ngga boleh, lagipula, siapa yang tahu siapa jodoh kita baik di kehidupan atau di kematian?” tersenyum, tanganku berusaha menggenggam tangannya.

“EHEM!!!!” suara ini lagi, sedikit merengut, aku membalikkan badan, sedangkan Fa hanya tersipu menahan tawa. Dengan kesal, aku menggenggam tangan Fa, membuat Fa terkejut dan kembali tersipu malu, sedangkan mahluk bersayap itu hanya memasang wajah datar.

“kalian ini memang. Sudah sana, waktunya kamu memperoleh apa yang kamu perbuat di dunia. Dan entah kenapa sepertinya kalian berada dalam nikmat abadi”

Sebelum cahaya itu menyinari kami, kami berdua hanya saling berpegangan tangan, erat. Diiringi bacaan Al-Qur’an Inas, keikhlasan kedua orang tua kami, kami pergi. Selamanya.

Wallahu ‘Alam

FIKTIF INI


 Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/kematian.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 

No comments:

Post a Comment