Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Friday, August 25, 2017

Ritel Modern : Fondasi Sosio-Kultural





Fondasi Sosio-Kultural Ritel Modern
Perubahan Tren Bisnis

Sebagaimana manusia dan teknologi, dunia bisnis senantiasa berevolusi. Berbagai perubahan baik lingkungan maupun aliran peradaban senantiasa membawa dunia bisnis kepada level berbeda. Beberapa ahli dan ekonom, termasuk penulis sendiri, meyakini bahwa evolusi secara umum manusia dan faktor disekitarnya sebagian besar disebabkan faktor ekonomi, namun tidak menutup kemungkinan dunia bisnis (notabene bagian dari ekonomi) lebih kurang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Contoh mudahnya bisa dilihat dari bagaimana kebutuhan “memaksa” manusia mendesain uang kertas. Bagaimana pada akhirnya sebagian besar nasib bisnis ditentukan oleh lembaran kertas bernama saham daripada asset tetap. Serta beberapa hal lain. Intinya, baik langsung maupun tidak langsung bisnis akan senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kondisi lingkungan sekitarnya.

Begitupun bisnis ritel. Secara umum bisnis ritel yang menjual barang hasil produksi senantiasa berpegang pada pakem tertentu dari setiap zaman. Pada era revolusi industry, pedoman sederhana adalah membuat produk sebanyak-banyaknya, karena pasar pasti akan menerima semua hasil produksi tersebut, dan sumber daya modal keseluruhan digunakan untuk proses produksi. Dampaknya, isu kepemilikian atas asset-asset produksi mengemuka dan menjadi indikator kesuksesan suatu bisnis, semakin banyak membuat, semakin mungkin menjadi kaya.

Pada era itu lini-lini ritel lebih sering dikuasai pemain-pemain besar yang dapat mengakomodir jumlah pasokan dari produsen. Tentu dibantu dengan unit-unit ritel kecil yang berjumlah banyak dan menguasai pasar-pasar lokal. Konsumen pada masa itu ditawarkan pilihan tetapi tidak bisa memilih, karena sederhananya pasar lebih sering berlaku satu arah dimana produsen berlomba mencipta produk, peritel menawarkan produk. Banyak pilihan, namun tidak dibarengi banyaknya kesempatan “memilih”.

Pada era tersebut, mungkin beberapa generasi abad 20 masih merasakannya, barang apapun yang diiklankan di televise oleh artis ternama bisa dijamin akan memperoleh popularitas. Sesederhana itu, dan dimasa itu sangat memungkinkan suatu wilayah bahkan negara dalam produk tertentu dimonopoli oleh produsen tertentu. Selalu ada alasan kenapa orang jawa lebih umum menyebut sepeda motor dengan sebutan “Honda”, dan air mineral kemasan dengan sebutan “Aqua”.

Namun dewasa ini, dengan revolusi massif bernama revolusi teknologi informasi, produsen justru berlomba mencari apa yang konsumen inginkan. Bahkan, produsen berusaha membuat berbagai trend dengan melihat perkembangan di masyarakat. Kasus sederhana untuk wilayah pulau jawa adalah bisnis Tahu Bulat. Sebelumnya tidak ada satu manusiapun yang tahu makanan khas ciamis ini, meskipun konon sudah banyak tersebar luas di jawa barat. Namun, dengan sebuah gebrakan sederhana, suara panggilan tahu bulat dan moda angkutan tahu bulat yang unik, terciptalah boom tahu bulat. “tahu bulat, asli dari ciamis, digoreng dadakan di mobil 500an, halal. Tahu bulat, gurih-gurih nyoi, anget-anget..”. 

Dari hitungan produk, kualitas penyajian dan sebagainya tahu bulat jelas kalah jauh dengan penjual gorengan standar. Namun, bisa kita saksikan boom sekilas tadi benar-benar membuat pemilik usaha tahu bulat sempat kaya mendadak. Bahkan tahu bulat menjadi bagian dari budaya populer dalam bentuk lagu, game, hingga meme. Meskipun akhir-akhir ini popularitas tahu bulat sedikit meredup, namun perlu diingat kombinasi kemampuan menangkap peluang masyarakat yang suka ngemil gorengan dan sedikit reformasi di bidang pemasaran, tahu bulat sempat mencatatkan diri dalam dunia bisnis Indonesia.

Dengan kondisi yang semakin berkembang dan arus informasi yang bisa diakses konsumen betul-betul dari mana saja, telah melahirkan berbagai peluang perkembangan bisnis baru. Meskipun para pemain besar masih ada, namuan pemain-pemain kecil mampu mendapat tempatnya dari menjadi raja-raja lokal. Pilihan semakin beragam dan konsumen bisa memilih, bahkan konsumen benar-benar “bisa membunuh” suatu produk yang tidak lagi mereka inginkan. Pergantian model bisnis, seleksi alam, dan lain sebagainya telah tersaji dan senantiasa kita lihat setiap hari di sekitar kita.

Maka, peritel disini berusaha mencari sesuatu untuk diri mereka sendiri, dalam hal ini posisi di mata konsumen. Pekerjaan peritel memang “mudah”, tidak perlu memikirkan jauh-jauh soal proses produksi karena tugas utama peritel adalah menjual produk. Namun menjual produk dengan tiadanya pembeli sama dengan menggali kuburan sendiri, ditaambah kemampuan “membunuh” konsumen, peritel yang tidak hati-hati akan kolaps degan mudahnya.

Dewasa ini, sebuah fondasi bisnis ritel baru ditemukan dan dikembangkan, bahkan fondasi ini disiapkan jauh sebelum toko mulai berdiri dan harga ditentukan. Fondasi ini adalah fondasi sosio kultural. Fakta bahwa akhirnya McDonal memunculkan menu Ayam Geprak dan Es Teh menjadi bukti nyata, bahkan pemain besar pun harus takluk dihadapan konsumen. Jadi, mengesampingkan faktor sosio kultural tidak lain menghitung mundur untuk kematian bisnis ritel kita.


Aset Berharga, Faktor X Bernama Masyarakat

Bisa jadi sebuah entitas masyarakat telah berumur lebih lama dari bisnis itu sendiri. Coca cola yang baru ditemukan di Abad 19 jelas berumur jauh lebih muda dari kebudayaan China, dan tantangannya adalah bagaimana orang China mau melirik Coca Cola. Beras sebagai makanan pokok Masyarakat Indonesia jelas sudah dimulai sejak lama, dimana Kerajaan Demak pernah menjadi eksportir beras terbesar di Dunia daripada Mc Donald memperkenalkan burger pertamanya. 

Wajar jika kemudian masing-masing entitas masyarakat memiliki ragam budaya bahkan budaya bisnis. Beberapa budaya bisnis yang tersisa masih bisa kita saksikan sekarang, misalkan Hik dan Angkringan di Solo dan Jogja, Budaya Salaman Harga di Tanah Minang, dan lain sebagainya. Dan lebih unik lagi, dalam hal ini ritel Hik sampai hari ini masih mampu bersaing dengan peritel kuliner besar seperti McDOnalds dan KFC. Saya pernah melihat sebuah warung Hik tetap berdiri dan ramai meskipun di sebelahnya persis ada restoran modern. 

Jika ditambah dengan revolusi besar teknologi informasi, maka bukan tidak mungkin budaya-budaya bisnis masyarakat semakin memperoleh posisinya. Wajar jika kemudian, pemilik modal berlomba-lomba mengadopsi budaya bisnis ini dengan diberikan sentuhan-sentuhan terbaru. Saat ini Hik tidak hanya dikesankan sebagai warung gerobak, beberapa restoran dengan konsep Hik sudah berdiri, tentu membidik pangsa pasar lebih elit. Dan konsep-konsep lain yang tentu membuat kita sebagai konsumen “merasa dirumah” meskipun pada hakikatnya kita sudah bermain sangat jauh.

Maka, tren saat ini yang dilakukan para peritel adalah “bagaimana masuk ke masyarakat untuk kemudian membuat arus baru”. Jelas restoran Hik tadi tetap menjual menu Hik, namun variasi menu modern misalkan Smoothies, tempat yang full Ac, panggung music dan Wifi membuat para pemilik angkringan tradisional “melongo”. Arus baru sudah dibentuk yang pada akhirnya konsumen memiliki preferensi Hik berbeda, jika awal bulan makanlah disana, sedang jika akhir bulan mampir ke warung pak anu dibawah pohon mete. Semacam itulah.

Meskipun terkesan jahat dan menunjukkan kekuasaan mutlak dari modal, namun itulah kenyataannya. Maka kita tidak bisa menyalahkan satu dan lain hal, mengkritik satu hal dan meninggikan yang lain, pandangan saat ini harus bersifat objektif. Karena mau tidak mau, baik pemain besar maupun pemain kecil memerlukan kekuatan bernama masyarakat dengan segala kebudayaannya, tentu dengan garansi, bisnis mereka tetap berjalan. 

Menjadi Bagian dari Masyarakat

Dalam hal ini tim Semart memilih untuk menjadi bagian dari masyarakat. Meskipun diskenariokan Semart adalah instansi bisnis dengan modal besar, namun tetap dialokasikan beberapa porsi untuk industri-industri kecil untuk masuk dan bermain. Menjadikan produk makanan tradisional dan makanan lawas menjadi produk utama, jelas membuat Unilever maupun Lion gigit jari karena kedua hal ini belum mereka aneksasi. 

Selain dari produk, berbagai event promosi yang menyesuaikan kalender masyarakat Surakarta menjadi jawaban Semart atas pertanyaan “apakah Semart mampu bersaing?”. Karena Semart bukan hanya bersaing, justru kami merangkul masyarakat dengan memberikan penghormatan yang sama atas nilai-nilai luhur di masyarakat. Selain itu, beberapa fasilitas discount dan promosi disesuaikan sedimikian rupa dengan kondisi di masyarakat, sehingga wajar jika kemudian Semart mampu berdiri dengan dukungan dari berbagai kalangan.

Tidak hanya itu, sejak awal Semart memang berusaha menjadi bagian dari keluhuran budaya masyarakat Solo. Nama Semart yang merupakan akronim dari Semar, tokoh pewayangan yang merupakan tetua dari kelompok punokawan yang bijak adalah simbor pelayanan dan pengabdian yang merupakan ruh terdalam dari orang-orang jawa. Desain toko, kolaborasi apik dari ornament modern dan goresan aksen lokal menjadikan Semart sebagai toko yang nyolo, maka wajar jika dalam puncak perencanaan toko, Semart memperoleh apresiasi dari tim penilai dan investor.

Tidak hanya itu, dengan mempertaruhkan reputasi sebagai ritel modern, daripada memanggil artis-artis tenar Ibukota Semart lebih memilih memberdayakan komunitas dan artis-artis lokal. Mengundang komunitas teater dan seni hiburan di sekitar solo dalam agenda Grand Opening toko menjadi bukti perjudian kami. Toh kenyataannya, artis-artis lokal tadi lebih memiliki basis masa di Solo dibandingkan dengan artis-artis ibukota.

Maka, mau menjadi seperti apakah bisnis kita? Masyarakat dalam hal ini calon konsumen menyimpan potensi besar yang sayang jika tidak dimanfaatkan. Apakah kita memilih untuk berdiri melawan arus, atau ikut arus sebentar, untuk kemudian menciptakan arus yang secara fundamental mampu merubah arus itu sendiri? Pilihan ada di tangan anda. 

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/06/retail-modern-desain-pemasaran.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/retail-modern-mempersiapkan-operasional.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  

No comments:

Post a Comment