Salam
Sebuah Prosa Kemanusiaan
Pertemuan
itu harus selalu dirayakan, maka banyak orang berlomba untuk membuat sebuah
pertemuan istimewa. Beberapa kebudayaan menyembelih hewan ternak saat menyambut
kelahiran. Beberapa yang lain berpesta semeriah mungkin saat orang tersayang
bertambah usianya. Beberapa antusias meniup terompet dan membakar kembang api
saat tahun baru tiba. Pertemuan harus meriah! Harus mudah dikenang! Harus
istimewa.
Apakah hal
itu benar? Karena pertemuan ku tidak pernah se-meriah itu. hanya sebuah
dentuman dan setelah itu semua hilang. Pertemuan ku selalu membawa ketakutan,
membawa serta aroma darah dan penderitaan. Entah berapa liter air mata
membanjir setiap kali dia mengunjungi kami. Betul-betul berkesan bukan?
Namun pada
kunjungan berikutnya, aku sedikit banyak mengerti perasaannya. Dia hanya
berkesempatan mengunjungi dan berncang dengan kami dalam waktu sekian
milidetik, jadi dia berusaha memberikan salam terbaik. Terkadang dia juga
membawa serta teman-temannya, ada yang suka mencium kulit-kulit kami hingga
melepuh, ada yang bersarang didalam tanah menunggu diinjak baru dia mengucap
salam, bahkan ada teman nya yang membawa serta seribuan teman dan mereka
mengucap salam bersamaan. Sungguh indah! Aku sudah tidak lagi takut dengan nya,
karena suara dentuman itu adalah cara dia menyapa kami dengan
sehangat-hangatnya. Bahkan dalam beberapa kesempatan, salamnya itu mampu
membuat kami terbang, jauh diatas awan dan gemintang.
Terkadang
pertemuan kami diawali dengan salam meriah, dimana dia dan teman-teman bersama
dan beramai-ramai menyapa kami. Jika terjadi momen seperti itu aku merasa bumi
bergetar dan kami dengan mudah bisa merasakan momentum menjelang kami
diterbangkan olehnya. Jika saat seperti itu sudah dekat, kami biasanya tetap
berlari, mengapa? Agar kami disangka tidak menunggu kedatangannya, sehingga dia
kesal dan semakin kuat menerbangkan kami. Ah pemandangan saat itu benar-benar
indah, karena kami yang kebetulan tidak menjawab salamnya bisa melihat mereka
yang tersenyum setelah mereka menembus batas angkasa, senyum kedamaian.
Aku tidak
tahu kapan aku harus menjawab salamnya, karena entah kenapa setiap dia mengucap
salam aku berada jauh dengan nya, hanya berkesempatan mendengar dentuman
meriahnya. Meskipun hampir sebagian besar teman ku sudah menjawab salamnya, dan
dia menerbangkan mereka setinggi-tinggi nya. Kira-kira kapan kesempatan itu
datang kepadaku? Dalam rasa penasaran aku berjalan, menuju sekolah dimana bukti
kebahagiaan teman-teman ku terdapat di meja mereka. Tahu kan? Ada nama dan
tanggal disitu, serta kata-kata tambahan “syahid”.
Di tengah
perjalanan aku mendengar suara teriakan seorang paman, dia dengan keras
memanggil namaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sesaat setelah itu aku
mendengar suara desingan yang sangat keras, seperti benda besar menembus petala
langit. Eh? Apakah ini waktuku? Aku mendongakkan kepalaku keatas dan aku
melihat sosoknya. Ini adalah pertemuan ku yang pertama dengan dia! Dan
begitulah wujudnya, dia hijau, besar dan terlihat sangat berat. Meluncur sangat
deras dari kaki langit, berlomba mencium muka bumi.
Aku
tergeragap dan bersiap berlari, meskipun aku tahu bahwa dentuman yang
membersamai dia pasti mampu menjangkauku dalam radius minimal 300 meter. Pada
saat itulah, ketika kakiku mengambil langkah pertama mendadak dunia ini terasa
sangat ramai dengan sahutan salam, Assalamualaikum! Assalamualaikum!, membuatku
teringat momen saat idul fitri!. Aku mulai berlari sekencang kencangnya dan
saat itulah aku mendengar suara salam yang sangat keras. Dia menyapaku!
“Assalamualaikum,
wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada pangkuan Tuhan mu”
Dia
tersenyum dan setelah itu aku merasa diriku terbang dengan sangat cepat,
menembus kaki langit. Aku melihat sosoknya hancur menjadi serpihan, dan di
waktu bersamaan aku melihat paman yang memanggil namaku dan beberapa orang
terbang bersamaku. Sosoknya berubah menjadi debu dan serpihan logam yang
membumbung tinggi, disertai aroma mesiu yang sangat tajam. Aku mampu melihat
bahwa sosok itu tersenyum sembari menitikkan air mata, dan melambaikan tangan
kepada kami.
Pada momen
itulah aku menyaksikan tangan dan sayap-sayap dari cahaya menjemput tubuh-tubuh
kami, sembari terus, dengan koor meneriakkan salam.
“Assalamualaikum!
Assalamualaikum! Assalamualaikum! Assalamualaikum!”
Tangan-tangan
cahaya itu erat mendekap kami, membuat kami merasa lelah dan mengantuk. Oh ya
aku tidak boleh diam saja, aku harus menjawab salam mereka.
“Wa’alaikum
Salam”
There is still a War going on. What we can do?
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk tulisan lain berkaitan dengan manajemen, silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di : https://www.selasar.com/author/abdullah/
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment