Tuhan memberi karunia untuk melihat
30
Maret 1995, sore itu sepasang suami istri terlihat gelisah. Mereka baru saja
berkunjung ke bidan, dan bidang berkata hari itu adalah hari istimewa bagi
mereka. Kandungan sang istri sudah masuk masa melahirkan, kabarnya. Maka
disarankan si istri terus menerus bergerak, untuk mempercepat proses bukaan,
agar nanti bisa segera melahirkan. Di depan gudang sebuah sekolah, sang istri
terus menerus berjalan mengitari pohon rambutan dan durian, sang suami
mengawasi istrinya, lekat-lekat.
Menjelang
tengah malam, mulai terasa mules luar biasa, mules ini tidak ada hubungannya
dengan buang air besar, inilah tanda-tanda nya! Tanda sang bayi siap untuk
mendorong dirinya keluar. Bergegas sang suami bersiap, tabungan sebagai guru
wiyata bhakti, semacam guru honorer saat itu, ditambah honor tambahan sebagai
tukang kebun dipersiapkan. Dipapahnya sang istri keluar dari gudang sekolah
sekaligus tempat tingga mereka berdua. Hari sudah gelap, dan di kecamatan sebelah
barat daya Kota Semarang ini, jumlah manusia belum bisa menjamah dalamnya hutan
jati dan hutan karet milik pemerintah. Penerangan pun terbatas, beruntung sudah
ada beberapa lampu oranye di pinggir jalan besar antar kota.
Perlahan
mereka berdua berjalan menyusuri jalan besar itu, ditemani suasana lenggang
karena malamnya hari, dibarengin dzikir dan sholawat mereka menempun beberapa
kilometer guna menuju puskesmas terdekat. Kendaraan bermotor masihlah barang
mewah, sepeda onthel adalah milik sekolah. Berjalanlah mereka, satu langkah,
satu langkah, sembari beberapa kali sang istri mengerang, sedang sang suami
hanya bisa menatapinya lekat-lekat.
Sampailah
mereka pada sebuah gereja, penanda bahwa puskesmas hanya tinggal sebentar lagi.
Namun bencana, seekor anjing menunggu tepat di depan gerbang gereja tanpa
diikat. Dengan hari-hati, suami muda tersebut mengambil posisi di depan sang
istri, bersiap memprovokasi agar anjing itu mengejarnya. Sang istri diminta
terus berjalan perlahan menuju puskesmas. Sebuah teriakan memecah malam,
disusul gonggongan anjing, memulai sebuah pertarungan epic, adu strategi antara
isnting pemburu dan akal manusia. Sedangkan sang istri semakin kepayahan,
meneruskan langkah dibarengi dzikir dan sholawat, semakin kencang, semakin
banyak.
Tanpa
sadar langkah payah itu membawanya ke depan pintu gerbang puskesmas. Seorang
tukang parkir, paham betul dengan keadaan tersebut segera memapah sang istri.
Menyusul kemudian sang suami, mencapai gerbang puskesmas dengan terengah-engah.
Sepertinya akal manusia menang dan berhasil mengkadali si anjing. Tukang parkir
hanya mengulum senyum sembari berkata “dikejar anjing lagi ya pak?” mungkin
bermaksud mencairkan suasana, dan hanya dibalas dengan senyum kecut. Pasangan
muda ini pun berjalan bersama, memasuki ruangan puskesmas. Bersaamaan dengan
mereka, ada pasangan muda lain, baru saja turun dari kendaraan bermotor, konon
katanya mereka datang dari pegunungan. Segera masing-masing suami menuntaskan
tugasnya, mengantar istri masing-masing di ruang persalinan dan menunggu. Bidan
bersiap-siap, malam ini akan menjadi malam sibuk baginya.
Menjelang
dini hari, terdengar suara tangis pertama. Bu bidan memanggil bapak pembawa
sepeda motor ini, bayinya lahir dengan selamat, katanya. Guncangan saat
mengendarai motor mempercepat proses bukaan, sehingga sang istri hanya perlu
menjalani 3 bukaan saja saat di puskesmas. Bapak tadi menangis haru, dan segera
mengikuti bu bidan ke sebuah tempat. Sementara suami muda, masih terengah-engah
karena dikejar anjing, hanya bisa menatap langit-langit. Bapak-bapak tukang
parkir tadi bersiap untuk tidur. Hari semakin malam, entah ada apa gerangan
didalam ruang persalinan itu.
Adzan
shubuh berkumandang meyadarkan si suami muda ini. bergegas dia mengambil air
wudhu, menuju mushola didalam puskesmas. Dia tunduk dan sujud, mengharap
keselamatan bagi istri dan calon bayinya. Hanya mengharapkan keselamatan, itu
saja. Sebelum dia sempat menyelesaikan sujud terakhirnya, terdengar sebuah
suara nyaring, tangisan nyaring dari ruang persalinan.
Bapak
parkir itu mengerjap-ngerjapkan mata saat sang suami muda kembali dari mushola.
Terlihat matanya masih merah karena kelelahan dan mungkin kurang tidur. Segera
dia menemui suami muda tadi dan berkata
“Anaksmu uwis lahir mas, mau digawa bu bidan
ning tempat perawatan:
“Suara tangis e banter tenan mas,
aku war nganti kaget terus tangi. Kok koyok sempritan”
Terjemah
: anak anda sudah lahir, tadi dibawa ibu bidan ke ruang perawatan. Suara
tangisnya keras sekali, saya sampai kaget dan terbangun. Kok seperti suara
peluit.
Suami
muda ini sumringah, dari percakapan tadi, dia tahu istri dan anaknya semuanya
selamat. Bergegegas dia memasuki ruang perawatan, meninggalkan bapak tukang
parkir dengan kantuk dan kagetnya, menuju tempat dimana istri dan anaknya.
Mereka berdua disana, sudah dalam kondisi dibersihkan dan dirawat sebagaimana
mestinya, sang istri menyambut suaminya dengan senyum, sembari menggendong sang
anak. Sang suami menahan tangis, dia memiliki keturunan, darah daging miliknya
sendiri. Inilah harga diri seorang laki-laki.
Perlahan
di dekatkan kepalanya ke telinga kanan bayi merah itu, mulai mengumandangkan
takbir, syahadat. Inilah suara adzan, suara pertama yang didengar oleh setiap
bayi dari keluarga muslim. Sebuah suara yang menjadi doa pengharapan, sekaligus
syukur. Karena Allah SWT memberikan kehidupan kepada mahluk mungil ini, dan
agar mahluk mungil ini mengenali saat tuhannya memanggil dalam setiap sholat
dan ibadahnya. Adzan ini diselesaikan dengan iqomah di telinga kirinya,
menggaransi saat dia lahir tidak ada setan apapun mendekat. Allah SWT
melindunginya, begitulah kiranya.
Pagi
itu, 31 Maret 1995 seorang bayi baru lahir. Dia tidak tahu betapa beruntungnya
dia, karena di tahun tersebut angka kematian bayi di negeri ini masih cukup
besar. Masih ada peluang 7-10 bayi meninggal di setiap 1.000 kelahiran. Bayi
itu tidak tahu betapa beruntungnya dia, karena masih ada peluang dia lahir
dengan penyakit bawaan, sebut saja polio, hidrosefalus dan penyakit lain yang
umum menjangkiti bayi-bayi di negara dunia ketiga. Dia beruntung karena tidak
semua bayi generasinya, lahir melalui tangan bidan, di sebuah fasilitas
kesehatan. Karena banyak bayi-bayi, masih lahir dengan bantuan
instansi-instansi tidak resmi, di tempat tidak semestinya, dengan alat bantu
seadanya. Inilah fakta dari kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan
pada saat itu, padahal bayi ini lahir di
sebuah kota.
Maka
dia hanya bisa mennagis, dan berlatih membuka matanya, sembari kedua orang
tuanya menggendong dan membersamai dia. Karena dia tidak tahu, dunia ini masih
gelap baginya. Dia hanya tahu dia berada di tangan-tangan penyayang nan baik
hati, dia hanya tahu dia sudah dilahirkan dan mungkin ditakdirkan untuk hidup.
Itu saja.
Sedangkan
kedua orang tuanya hanya tersenyum meliat buah hatinya, mereka mencari-cari
tukang parkir baik hati tadi untuk mengucap terimakasih. Namun bapak itu sedang
tertidur pulas, mungkin kompensasi atas kelelahan malam itu. Motor yang
dikendarai sepasang suami istri dari gunung itu sudah lama pergi, mungkin
mereka sudah membawa sang anak ke keluarga besarnya. Hari itu, 2 anak Indonesia
lahir. Entah apa yang berikutnya akan mereka hadapi.
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk tulisan lain berkaitan dengan manajemen, silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di : https://www.selasar.com/author/abdullah/
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment