Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Wednesday, March 11, 2020

Dangdut Indonesia dan Konsep Survival for the Fittest #Millennial



sumber gambar : Istimewa

Dangdut Indonesia dan Konsep Survival for the Fittest

Opini tentang cara pandang generasi #millennial terhadap kehidupan

Tahun 2020 ini mungkin menjadi tahun yang cukup aneh dan menegangkan. Belum lewat bulan ke 3, dunia sudah disibukkan dengan kebakaran besar di Asutralia, wabah berbahaya yang disebabkan virus menular Covid-19, ancaman perang dunia ke 3 diawal tahun selepas Amerika membunuh salah satu jendral berpengaruh Iran dan berbagai hal lain yang seolah, berbagai faktor berlomba untuk membawa dunia ini menuju kehancurannya. Namun entah kenapa, selain masalah masalah apokaliptik tadi, ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di Indonesia.

Sebagaimana negara lain, indonesia juga memiliki kompetisi bernyanyi nasional yang disiarkan di televisi=televisi nasional. Terhidtung sejak tahun 2004 ada KDI (Kompetisi Dangdut Indonesia), AFI (Akademi Fantasi Indonesia), sekilas sempat mengalami X-Factor, Indonesia Got Talent, dan berbagai kompetisi yang lain. Namun, hanya 1 kompetisi saja yang keberadaan dan kualitas pemenangnya tidak diragukan, tumbuh bersamaan dengan AFI dan KDI di 2004, kompetisi ini masih bersinar hingga sekarang, kompetisi ini bernama Indonesia Idol. Sejak dulu, Idol terkenal berhasil mengorbitkan dan memunculkan artis-artis dan penyanyi pengisi industry hiburan tanah air. Hal ini tidak lepas dari standar kompetisi yang tinggi (mengikuti pakem dari Fremantle Media Amerika Serikat) , kualitas para peserta, dan bagaimana pemain besar di industry hiburan tanah air semuanya tumplek blek disini. Namun ada satu hal yang mungkin menjadi “keunikan” daripada kompetisi ini.

Sejak awal mengudara pada pertengahan 2000-an, Indonesian Idol dikenal berhasil menyajikan kompetisi music yang berkualitas dan sehat. Ditunjukkan dengan level juri, level lagu yang dilombakan, hingga variasi jenis music yang dimainkan di kompetisi ini, terhitung sangat beragam dan bisa dikatakan semua berkelas. Namun music dangdut, mungkin tidak mendapat apresiasi sebagaimana mestinya. Penulis sebagai penikmat music biasa saja bisa mengambil kesimpulan, Idol dan Dangdut adalah air dan minyak, tidak mungkin bersatu. Mungkin kerangka dari pendapat ini bisa ditelusuri dari mengenal apa itu dangdut.

Sebenarnya music dangdut sudah ada sejak lama, dikarenakan pengaruh orkes melayu pun sudah ada sejak indonesia kenal music. Berkembangnya campursari di Jawa menjadi awal rintisan music dangdut yang dikenal saat ini yang sekarang telah memiliki beragam varian. Music dangdut sangat ramah dan populer di kalangan masyarakat pedesaan dan kalangan ekonomi menengah kebawah. Sangat jarang irama music ini mampu menyentuh restoran-restoran elit karena music ini sama sekali bukan jazz atau blues. Bagi yang belum mengenal dangdut, mungkin bisa menyamakan karakterstik kultural dari music jenis ini dengan heavy metal dan sejenisnya.

Namun yang menarik, karena lirik lagu dangdut yang ringan, irama menghentak, dan variasi music yang melibatkan instrument tradisional (kendang dan ketipung) dengan instrument modern (solo organ dan gitar listrik) membuat music ini sebenarnya ramah untuk semua kalangan. Berjoged menjadi salah satu cara menikmati music dangdut, dan memang tanpa joged seolah tiada dangdut. Sehingga kalangan atas dan berpendidikan sekalipun, yang notabene mungkin memiliki pandangan dangdut adalah music kampung yang norak, tetap bisa menikmati music ini dan mungkin menjadi guilty pleasure bagi mereka.

Penggunaan dangdut selain sebagai hiburan saat kondangan dan kampanye, juga menjadi sarana bagi berbagai hal yang bahkan sifatnya politis dan ideologis. Kehadiran Raja dangdut Rhoma Irama menjadi awal bahwa dangdut dapat menjadi sarana menyampaikan berbagai topic termasuk agama. Selain itu, kualitas Rhoma sebagai seorang penyanyi pun menjadi pembeda bahwa dangdut pun bisa menjadi lahan berkarya bagi musisi berkualitas dengan tidak menghilangkan kesan ndeso, kesan “indonesia” yang dimiliki music dangdut hingga detik ini, artinya, perlahan pun dangdut bisa mulai meraih simpati dari berbagai kalangan.

Kaitannya dengan Indonesia Idol, pada tahun 2020 mungkin pertama kalinya acara puncak dari pentas music nasional ini melibatkan komponen dangdut sebagai salah satu muatan acaranya. Bagaimana Rhoma Irama menjadi tamu rahasia dan bahkan sempat menyanyikan dendang berjudul “seni” yang keras mengkritik kualitas seni itu sendiri, tampilnya penyanyi lagu dangdut aliran koplo yang sangat ndeso, hingga berduet dengan salah satu finalis menjadi titik balik tersendiri. Dangdut ini sudah ada sejak lama di Indonesia, sudah mendarah daging sebagai bagian dari budaya music masyarakat indonesia, hingga akhirnya, mau tidak mau, Indonesia Idol sekalipun harus menyerahkan hegemoni musical nya kepada music jenis ini.

Artinya, sebagai sebuah genre music, dangdut dengan segala kekurangan berhasil menjadi genre yang paling FIT, paling sesuai untuk mewarnai blantika music Indonesia, dan pada detik ini, musisi dangdut yang digelari raja dangdut, Rhoma Irama, masih sempat menyaksikan bahkan institusi yang digawangi Fremantle Media sekalipun harus tunduk dibawah kuasa dangdut. Sampai sekarang penulis merasa aneh menyaksikan vibe grand final indonesia idol yang tidak jauh beda dengan Liga Dangdut Indonesia (LIDA) milik stasiun televisi lainnya. Tetapi bisa disimpulkan, dangdut dan generasinya telah berhasil memenangkan kontes bertahan hidup, band-band pop lahir dan mati, namun sampai kapanpun, Soneta tetap di hati.

Inilah kemudian titik dimana mentalitas generasi millennial diuji. Dengan latar belakang individualistic dan kecenderungan memiliki fokus terhadap eksistensi diri, secara tidak langsung mindset millennial telah di setting untuk bertarung dalam format survival for the fittest. Masing-masing millennial yang memiliki gagasan dari hasil pemikirannya sendiri mau tidak mau harus bertarung dengan jutaan gagasan dari generasi seumurannya dan dia harus memenangkan pertempuran itu. Lomba banyak-banyakan jumlah like, follower, views, subscriber, dan lain-lain, ini adalah persaingan yang umumnya terjadi pada sebuah lomba, pada sebuah kompetisi. Tetapi millennial menjalani ini sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Maka tidak heran ketika angka depresi dan bunuh diri di kalangan generasi muda amatlah tinggi. Di negara-negara OECD, angka ini mencapai poin 1 bunuh diri dalam sekian menit. Jelas saja, tuntutan tradisional dari masyarakat seperti pendidikan yang baik, pekerjaan dan berkeluarga, harus dipenuhi bersamaan dengan eksistensi di media sosial atau di leaderboard berbagai game online baik pada telepon pintar ataupun konsol game. Seolah-olah, kamu memang berdiri sendirian menghadapi dunia, selayaknya music dangdut yang terus berdiri melawan gempuran Jazz, Pop, Hip-Hop, K-Pop, J-Pop, EDM yang berlangsung bertahun tahun, bedanya, kamu bukanlah entitas genre music dengan segudang musisi berbakat, kamu hanyalah kamu kecil, berumur mungkin dibawah 20 tahun dengan harapan dan gagasan mu sendiri.

Maka disini, tidak bisa semudah ini kita merubah struktru sosial baik di internal generasi millennial maupun struktur sosial di masyarakat. Membutuhkan rekayasa sosial luar biasa untuk dapat mendobrak segala hal yang menjadi komponen kemasyarakatan kita. Namun, selalu ada momen untuk merubah diri dan cara pandang kita, generasi millennial dan sebenarnya cara pandang ini sudah sering kita lakukan. Melakukan kolaborasi.

Bukan tidak mungkin sebenarnya millennial berkolaborasi, namun kondisi diri dan lingkungan mereka betul-betul memaksa mereka untuk harus berjuang sendiri. Namun, kalau kita memulai dengan bersyukur dan memandang aspek yang sebenarnya tidak terlalu berguna dalam hidup misal jumlah follower, jumlah likes, dan leaderboard game hanya sebagai imbuhan saja, penulis kira sangat mungkin kita untuk dapat memperoleh peluang untuk bertahan. Mulai fokus dan menjalin kolaborasi dengan orang-orang, pada aspek-aspek yang sebenarnya lebih bermakna bagi hidup.

Komunitas belajar, komunitas hobi, usaha bersama dan sejenisnya sebenarnya menjadi ruang-ruang yang mana kaum millennial seharusnya lebih Berjaya dibanding dengan generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan, anak-anak ini lebih mampu untuk memperoleh dan mengelola akses informasi. Mengapa? Sederhana, sejak awal memang inilah native mereka, bawaan mereka. Bagaimana mungkin generasi yang dibesarkan oleh game seperti Pokemon dan Legend of Zelda yang menuntut kemampuan individu untuk mencari dan mengelola informasi, gagap dalam melakukan hal tersebut di kehidupan sehari-hari mereka?

Maka sangat mungkin setelah millennial berkolaborasi akan muncul hal-hal besar dalam hidup mereka. Lihat saja unicorn-unicorn startup, se benci-benci nya ojek pangkalan terhadap ojek online, tukang ojek pangkalan ini mungkin tetap belanja di Tokopedia, sebagaimana warung kelontong akan tetap memakai jasa ojek online atau grab meskipun bisnis mereka dikikis habis oleh toko online. Inilah realitas bahwa millennial sangat mampu menjadi generasi guilty pleasure manusia abad ini jika saja mereka mampu fokus berkolaborasi untuk bertahan hidup, dimana dangdut melakukan ini, dengan cara mempertahankan ciri khasnya sembari melakukan berbagai pembenahan seperti misal, adopsi alat-alat music modern dan bahkan membuat lirik lagu aneh seperti “Kartonyono ning Ngawi Medot Janji” atau “Cendol Dawet”.

Maka bagi para millennial mulai menyadari bahwa diri kita bermain survival for the fittest pada hal yang tidak perlu bisa menjadi awal terbukanya pintu-pintu kolaborasi bagi hal-hal yang hakikatnya lebih bermanfaat dalam kehidupan. Hal ini bisa meningkatkan potensi kita pada batas-batas tertinggi, dan memberikan makna persahabatan dan tujuan hidup yang seringkali menjadi alasan bunuh diri dan depresi orang jika mereka tidak memilikinya. Selain itu, bisa jadi dihasilkan produk-produk yang memiliki kekuatan mendobrak batas-batas masyarakat yang akhirnya tidak hanya menjadi guilty pleasure saja, tetapi memang diterima sebagai orde kemasyarakatan yang baru.

Kalau dangdut aja bisa masuk ke Indonesia Idol, masak kamu ngga bisa membuat hidupmu jadi lebih cool?

Wallahu ‘Alam

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.


For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk tulisan lain , silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di :

No comments:

Post a Comment