sumber gambar : Istimewa
Dangdut Indonesia dan Konsep Survival for the Fittest
Opini
tentang cara pandang generasi #millennial terhadap kehidupan
Tahun 2020
ini mungkin menjadi tahun yang cukup aneh dan menegangkan. Belum lewat bulan ke
3, dunia sudah disibukkan dengan kebakaran besar di Asutralia, wabah berbahaya
yang disebabkan virus menular Covid-19, ancaman perang dunia ke 3 diawal tahun
selepas Amerika membunuh salah satu jendral berpengaruh Iran dan berbagai hal
lain yang seolah, berbagai faktor berlomba untuk membawa dunia ini menuju
kehancurannya. Namun entah kenapa, selain masalah masalah apokaliptik tadi, ada
sebuah fenomena menarik yang terjadi di Indonesia.
Sebagaimana
negara lain, indonesia juga memiliki kompetisi bernyanyi nasional yang
disiarkan di televisi=televisi nasional. Terhidtung sejak tahun 2004 ada KDI
(Kompetisi Dangdut Indonesia), AFI (Akademi Fantasi Indonesia), sekilas sempat
mengalami X-Factor, Indonesia Got Talent, dan berbagai kompetisi yang lain. Namun,
hanya 1 kompetisi saja yang keberadaan dan kualitas pemenangnya tidak
diragukan, tumbuh bersamaan dengan AFI dan KDI di 2004, kompetisi ini masih
bersinar hingga sekarang, kompetisi ini bernama Indonesia Idol. Sejak dulu,
Idol terkenal berhasil mengorbitkan dan memunculkan artis-artis dan penyanyi
pengisi industry hiburan tanah air. Hal ini tidak lepas dari standar kompetisi
yang tinggi (mengikuti pakem dari Fremantle Media Amerika Serikat) , kualitas
para peserta, dan bagaimana pemain besar di industry hiburan tanah air semuanya
tumplek blek disini. Namun ada satu hal yang mungkin menjadi “keunikan”
daripada kompetisi ini.
Sejak awal
mengudara pada pertengahan 2000-an, Indonesian Idol dikenal berhasil menyajikan
kompetisi music yang berkualitas dan sehat. Ditunjukkan dengan level juri,
level lagu yang dilombakan, hingga variasi jenis music yang dimainkan di
kompetisi ini, terhitung sangat beragam dan bisa dikatakan semua berkelas.
Namun music dangdut, mungkin tidak mendapat apresiasi sebagaimana mestinya.
Penulis sebagai penikmat music biasa saja bisa mengambil kesimpulan, Idol dan
Dangdut adalah air dan minyak, tidak mungkin bersatu. Mungkin kerangka dari
pendapat ini bisa ditelusuri dari mengenal apa itu dangdut.
Sebenarnya
music dangdut sudah ada sejak lama, dikarenakan pengaruh orkes melayu pun sudah
ada sejak indonesia kenal music. Berkembangnya campursari di Jawa menjadi awal
rintisan music dangdut yang dikenal saat ini yang sekarang telah memiliki
beragam varian. Music dangdut sangat ramah dan populer di kalangan masyarakat
pedesaan dan kalangan ekonomi menengah kebawah. Sangat jarang irama music ini
mampu menyentuh restoran-restoran elit karena music ini sama sekali bukan jazz
atau blues. Bagi yang belum mengenal dangdut, mungkin bisa menyamakan
karakterstik kultural dari music jenis ini dengan heavy metal dan sejenisnya.
Namun yang
menarik, karena lirik lagu dangdut yang ringan, irama menghentak, dan variasi
music yang melibatkan instrument tradisional (kendang dan ketipung) dengan
instrument modern (solo organ dan gitar listrik) membuat music ini sebenarnya
ramah untuk semua kalangan. Berjoged menjadi salah satu cara menikmati music
dangdut, dan memang tanpa joged seolah tiada dangdut. Sehingga kalangan atas
dan berpendidikan sekalipun, yang notabene mungkin memiliki pandangan dangdut
adalah music kampung yang norak, tetap bisa menikmati music ini dan mungkin
menjadi guilty pleasure bagi mereka.
Penggunaan
dangdut selain sebagai hiburan saat kondangan dan kampanye, juga menjadi sarana
bagi berbagai hal yang bahkan sifatnya politis dan ideologis. Kehadiran Raja
dangdut Rhoma Irama menjadi awal bahwa dangdut dapat menjadi sarana
menyampaikan berbagai topic termasuk agama. Selain itu, kualitas Rhoma sebagai
seorang penyanyi pun menjadi pembeda bahwa dangdut pun bisa menjadi lahan
berkarya bagi musisi berkualitas dengan tidak menghilangkan kesan ndeso, kesan “indonesia”
yang dimiliki music dangdut hingga detik ini, artinya, perlahan pun dangdut
bisa mulai meraih simpati dari berbagai kalangan.
Kaitannya dengan
Indonesia Idol, pada tahun 2020 mungkin pertama kalinya acara puncak dari
pentas music nasional ini melibatkan komponen dangdut sebagai salah satu muatan
acaranya. Bagaimana Rhoma Irama menjadi tamu rahasia dan bahkan sempat
menyanyikan dendang berjudul “seni” yang keras mengkritik kualitas seni itu
sendiri, tampilnya penyanyi lagu dangdut aliran koplo yang sangat ndeso, hingga
berduet dengan salah satu finalis menjadi titik balik tersendiri. Dangdut ini
sudah ada sejak lama di Indonesia, sudah mendarah daging sebagai bagian dari
budaya music masyarakat indonesia, hingga akhirnya, mau tidak mau, Indonesia
Idol sekalipun harus menyerahkan hegemoni musical nya kepada music jenis ini.
Artinya,
sebagai sebuah genre music, dangdut dengan segala kekurangan berhasil menjadi
genre yang paling FIT, paling sesuai untuk mewarnai blantika music Indonesia,
dan pada detik ini, musisi dangdut yang digelari raja dangdut, Rhoma Irama,
masih sempat menyaksikan bahkan institusi yang digawangi Fremantle Media
sekalipun harus tunduk dibawah kuasa dangdut. Sampai sekarang penulis merasa
aneh menyaksikan vibe grand final indonesia idol yang tidak jauh beda dengan
Liga Dangdut Indonesia (LIDA) milik stasiun televisi lainnya. Tetapi bisa
disimpulkan, dangdut dan generasinya telah berhasil memenangkan kontes bertahan
hidup, band-band pop lahir dan mati, namun sampai kapanpun, Soneta tetap di
hati.
Inilah kemudian
titik dimana mentalitas generasi millennial diuji. Dengan latar belakang individualistic
dan kecenderungan memiliki fokus terhadap eksistensi diri, secara tidak
langsung mindset millennial telah di setting untuk bertarung dalam format
survival for the fittest. Masing-masing millennial yang memiliki gagasan dari
hasil pemikirannya sendiri mau tidak mau harus bertarung dengan jutaan gagasan
dari generasi seumurannya dan dia harus memenangkan pertempuran itu. Lomba
banyak-banyakan jumlah like, follower, views, subscriber, dan lain-lain, ini
adalah persaingan yang umumnya terjadi pada sebuah lomba, pada sebuah
kompetisi. Tetapi millennial menjalani ini sebagai bagian dari kehidupannya
sehari-hari.
Maka tidak
heran ketika angka depresi dan bunuh diri di kalangan generasi muda amatlah
tinggi. Di negara-negara OECD, angka ini mencapai poin 1 bunuh diri dalam
sekian menit. Jelas saja, tuntutan tradisional dari masyarakat seperti
pendidikan yang baik, pekerjaan dan berkeluarga, harus dipenuhi bersamaan
dengan eksistensi di media sosial atau di leaderboard berbagai game online baik
pada telepon pintar ataupun konsol game. Seolah-olah, kamu memang berdiri
sendirian menghadapi dunia, selayaknya music dangdut yang terus berdiri melawan
gempuran Jazz, Pop, Hip-Hop, K-Pop, J-Pop, EDM yang berlangsung bertahun tahun,
bedanya, kamu bukanlah entitas genre music dengan segudang musisi berbakat,
kamu hanyalah kamu kecil, berumur mungkin dibawah 20 tahun dengan harapan dan
gagasan mu sendiri.
Maka disini,
tidak bisa semudah ini kita merubah struktru sosial baik di internal generasi
millennial maupun struktur sosial di masyarakat. Membutuhkan rekayasa sosial
luar biasa untuk dapat mendobrak segala hal yang menjadi komponen
kemasyarakatan kita. Namun, selalu ada momen untuk merubah diri dan cara
pandang kita, generasi millennial dan sebenarnya cara pandang ini sudah sering
kita lakukan. Melakukan kolaborasi.
Bukan tidak
mungkin sebenarnya millennial berkolaborasi, namun kondisi diri dan lingkungan
mereka betul-betul memaksa mereka untuk harus berjuang sendiri. Namun, kalau
kita memulai dengan bersyukur dan memandang aspek yang sebenarnya tidak terlalu
berguna dalam hidup misal jumlah follower, jumlah likes, dan leaderboard game
hanya sebagai imbuhan saja, penulis kira sangat mungkin kita untuk dapat
memperoleh peluang untuk bertahan. Mulai fokus dan menjalin kolaborasi dengan
orang-orang, pada aspek-aspek yang sebenarnya lebih bermakna bagi hidup.
Komunitas belajar,
komunitas hobi, usaha bersama dan sejenisnya sebenarnya menjadi ruang-ruang
yang mana kaum millennial seharusnya lebih Berjaya dibanding dengan generasi
sebelumnya. Hal ini disebabkan, anak-anak ini lebih mampu untuk memperoleh dan
mengelola akses informasi. Mengapa? Sederhana, sejak awal memang inilah native
mereka, bawaan mereka. Bagaimana mungkin generasi yang dibesarkan oleh game
seperti Pokemon dan Legend of Zelda yang menuntut kemampuan individu untuk
mencari dan mengelola informasi, gagap dalam melakukan hal tersebut di
kehidupan sehari-hari mereka?
Maka sangat
mungkin setelah millennial berkolaborasi akan muncul hal-hal besar dalam hidup
mereka. Lihat saja unicorn-unicorn startup, se benci-benci nya ojek pangkalan
terhadap ojek online, tukang ojek pangkalan ini mungkin tetap belanja di
Tokopedia, sebagaimana warung kelontong akan tetap memakai jasa ojek online
atau grab meskipun bisnis mereka dikikis habis oleh toko online. Inilah realitas
bahwa millennial sangat mampu menjadi generasi guilty pleasure manusia abad ini
jika saja mereka mampu fokus berkolaborasi untuk bertahan hidup, dimana dangdut
melakukan ini, dengan cara mempertahankan ciri khasnya sembari melakukan
berbagai pembenahan seperti misal, adopsi alat-alat music modern dan bahkan
membuat lirik lagu aneh seperti “Kartonyono ning Ngawi Medot Janji” atau “Cendol
Dawet”.
Maka bagi
para millennial mulai menyadari bahwa diri kita bermain survival for the
fittest pada hal yang tidak perlu bisa menjadi awal terbukanya pintu-pintu
kolaborasi bagi hal-hal yang hakikatnya lebih bermanfaat dalam kehidupan. Hal ini
bisa meningkatkan potensi kita pada batas-batas tertinggi, dan memberikan makna
persahabatan dan tujuan hidup yang seringkali menjadi alasan bunuh diri dan
depresi orang jika mereka tidak memilikinya. Selain itu, bisa jadi dihasilkan
produk-produk yang memiliki kekuatan mendobrak batas-batas masyarakat yang
akhirnya tidak hanya menjadi guilty pleasure saja, tetapi memang diterima
sebagai orde kemasyarakatan yang baru.
Kalau dangdut aja bisa masuk ke Indonesia Idol, masak kamu ngga bisa membuat hidupmu jadi lebih cool?
Wallahu ‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk tulisan lain , silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di :
No comments:
Post a Comment