Ujung Tanduk Moral
Jika kalimat moral diujung tanduk
menjadi judul, maka semua orang bisa membayangkan apa isi tulisan ini, paling
tidak jauh dari sebuah opini netizen yang mengatakan betapa buruknya moralitas
orang lain, bobroknya kondisi moral manusia zaman sekarang, dan bagaimana moral
sudah menjadi nilai kedua, ketiga bahkan nomor terakhir dalam prioritas
manusia. Banyak yang belum menyadari, bahwa sebagaimana moralitas sedang berada
pada titik nadirnya, moral sebagai rangkaian nilai-nilai luhur juga harus
berjuang menginternalisasikan dirinya dalam benak pikiran dan laku tindakan
anak manusia. Moral harus diperjuangkan agar tertanam, harus disampaikan agar
dipahami, dan dilaksanakan agar memberi dampak perbaikan. Inilah kenapa, kita
harus memiliki kepahaman bersama, bahwa moral juga memiliki ujung tanduk, garda
terdepan untuk bisa memasukkan dirinya dalam sela-sela kehidupan masyarakat.
Apa ujung tanduk moral kiranya kita
bertanya-tanya. Jika Tuhan masih berada dalam kepercayaan kita, dijelaskan
bahwa sejak awal manusia telah dibekali dengan serangkaian nilai yang membuat
dia bisa membedakan mana kebaikan dan keburukan. Dalam islam titipan tuhan ini
disebut fitrah, nilai asasi manusia. Fitrah ini sederhana penggambarannya, jika
kita hendak melakukan sesuatu yang secara hakikatnya salah seperti mencuri,
berbohong, membunuh dan memperkosa, maka secara instan tubuh memberontak,
memiliki reaksi berupa rasa bersalah, rasa tidak nyaman dan lain sebagainya.
Namun manusia memiliki fase-fase
kehidupan, dan bekal dari tuhan itu tidak langsung aktif sejak pertama kali
manusia di lahirkan, minimal hal tersebut dibatasi oleh kemampuan manusia pada
waktu dilahirkan. Hal terburuk apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang anak
kecil? Begitu sederhananya. Namun seiring berjalannya waktu, ada proses bernama
pembelajaran, anak secara aktif belajar dari lingkungannya. Menggunakan semua
indra yang Tuhan berikan, dia melihat, mendengar, turut berucap, menyentuh, dan
membaui apa-apa yang ada di sekitarnya. Lantas bagaimana anak bisa mengasah dan
menggunakan titipan Tuhan sebagaimana mestinya?
Jawabannya sederhana, pendidikan.
Secara otomatis tanpa sekolah sekalipun anak akan belajar dari lingkungan, dan
hasil pembelajaran itu akan diaplikasikan dalam kehidupannya. Maka masyarakat,
keluarga, orang tua akan mengusahakan sebuah pendidikan terbaik, dimana
anak-anak dipastikan menyerap nilai-nilai positif yang akhirnya membentuk
fondasi moral mereka, dan coba menghindarkan hal-hal negative, yang menjadi
titik batas, kerangka, sebuah tindakan dikategorikan pantas atau tidak. Inilah
ujung tanduk dari moral, senjata utama moral dalam menjadi eksistensinya di
tengah masyarakat.
Tidak heran jika akhirnya,
paham-paham rusak dan menyesatkan coba menemukan tempatnya melalui jalur
pendidikan. Sederhana, jika pendidikan berhasil menerima dan mengakomodir
paham-paham merusak itu, otomatis itulah nilai moral masyarakat, itulah penentu
standar baik dan buruk didalam masyarakat tersebut, kondisi ini memprihatinkan,
namun inilah realitas yang dihadapi.
Pendapat mantan aktivis pacaran, tentang pacaran
Bagaimana pendapat penulis tentang
pacaran? Well, penulis pernah menjadi salah satu dari sekian banyak generasi
muda yang melakukan kegiatan pacaran. Apakah penulis melakukan tindakan
tersebut ketika sedang menempuh pendidikan di lembaga-lembaga milik pemerintah?
No. Siapakah pacar penulis dahulu? Well silahkan menebak.
Namun jika ditanya apakah penulis
menikmati kegiatan berpacaran itu? pacaran itu menuntut komitmen, berbagi kasih
sayang, apalah. Namun ada beban tanggung jawab dalam setiap tindakan yang
diambil. Interaksi fisik yang terjadi di dalamnya, apapun bentuknya,
berpegangan tangan, berciuman, bahkan saling mendengar suara saja, aka nada
poin-poin tanggung jawab yang harus dipenuhi. Tanggung jawab ini, bukan hal
remeh jika ditanggung oleh anak berusia belasan tahun. Silahkan berkata cinta
monyet itu cinta monyet, cuman tidak lucu kalau karena monyet-monyetan kita
jadi monyet beneran, kawin tanpa tahu tempat, aturan dan etika, dan bebas
menghamili siapapun asal dialah pejantan alpha.
Mungkin akan muncul argumentasi
bahwa pacaran itu indah, penuh dengan arti, penuh pengorbanan, latihan
menyayangi, atau apalah. Itulah argumentasi dan argumentasi tidak bisa serta
merta diterima kebenarannya, juga tidak bisa langsung di judge kesalahannya.
Tetapi coba spectrum itu diperluas dengan melibatkan dampak-dampak yang terjadi
setelah pacaran. Apa yang terjadi pada pihak laki-laki, apa yang terjadi pada
pihak perempuan.
Ada istilah menarik dari lelucon
lawas yang berkata “kalau kunci yang bisa membuka berbagai macam gembok, itu
disebut kunci sakti. Tapi kalau gembok yang bisa dimasuki berbagai kunci,
itulah yang disebut gembok rusak”. Anekdot ini sangat tidak pantas sebenarnya
karena melakukan personifikasi pada salah satu fungsi bagian tubuh manusia,
namun modal awal yang diberikan tuhan kepada manusia salah satunya memiliki
fungsi kunci dan gembok ini, dan fungsi reproduksi manusia bisa berjalan kalau
kunci dan gemboknya berfungsi normal.
Apakah lantas saya menyatakan semua
yang berpacaran melaksanakan fungsi kunci dan gembok sebelum mereka menikah?
Tidak, ada sangat banyak argumentasi yang saya berlepas diri dari semua itu. Namun,
dengan berdekatan dengan itu semua, minimal terbuka sebuah kesempatan minimal
pada ranah pemikiran. Ya ini desain manusia, semua saling berkaitan! Maka jika
satu bagian dari sistem saja dipicu, seluruh sistem bisa ikut aktif, dan jika
sudah kejadian, korbannya adalah bagian dari masyarakat yang dibekali Tuhan
dengan gembok, dan kelak muncul stigma masyarakat, bahwa dia sudah menjadi
gembok yang rusak.
Mereka yang dibekali kunci, bodo
amat. Karena bahkan menjadi istilah umum bahwa keluar dair rumah para pemegang
kunci ini bisa mengatakan dengan mudah tanpa ada pembuktian empiric, bahwa
kuncinya masih “baru”, fresh. Ini memang mengerikan, tapi inilah kenyataan. Dan
dari kenyataan, pengalaman ini, munculah berbagai mazhab kunci dan gembok yang
baru, karena sederhana, fungsi ini sudah dilakukan dan pada akhirnya, sesuai
teori kepuasan Gosen, semakin sering dilakukan semakin bosan, dan jika ada
kesempatan melakukan “petualangan baru”, why not?
Ini framework paska pacaran yang
dijelaskan oleh mereka, kami, yang pernah berpacaran. Lantas, apa hubungan
framework ini dengan pendidikan sebagai sarana ujung tanduk internalisasi
moral? Urusan seperti ini, kalau tidak di clearkan lewat pendidikan, lalu lewat
apa? Kita berbicara tentang fungsi paling dasar sebagai manusia, berkembang
biak. Bagaimana mungkin hal ini tidak masuk dalam nilai moral yang harus disesuaikan
oleh masyarakat?
Pendekatan yang ditempuh memang
berbeda, ada yang men declare sejak awal silahkan berkembang biak sesuai
keinginan di sekolah ini, dan jujur saya tidak tahu sekolah mana yang seperti
ini. Ada sekolah yang tidak memberikan pernyataan apapun, namun berkali-kali
menyebut moral kami yang terbaik. Dan ada sekolah yang tegas membangun
konstruks berpikir, bagaimana interaksi berkembang biak ini bisa sejalan sesuai
norma-norma keagamaan, tidak memberikan dampak sebelum anak-anak ini siap
secara mental dan pengalaman.
Penulis adalah aktivis pacaran, dan
penulis melakukan ketika sedang bersekolah. Penulis tidak berasal dari sekolah
yang umum, sekolah penulis jelas mengeluarkan statement dan sekaligus menjadi
sebuah komiten untuk mendidik anak sebaik mungkin mengelola dan menjaga hati.
Bagaimana penulis bisa ketahuan? Well, penulis bukan tipe-tipe orang mudah
mengumbar rahasia. Memasang status berpacaran di media sosial? Why you did
that? Penulis memperoleh rangking 4 parallel diantara 500 siswa, dan nilai UTS
penulis ketika itu minimal 90, well, tidak terlalu buruk bukan? i think i am smart bruh.
Kesialan penulis hanya penulis
terlalu sering memberikan perhatian berlebihan kepada perempuan-perempuan lain.
Dan penulis bahwa hati manusia hanya tuhan yang tahu. Penulis menerima
konsekuensi nya, dan ya, itu yang diharapkan. Maksud penulis, dengan sukarela
penulis memilih sekolah di tempat itu, masak penulis tidak bisa menerima
konsekuensi yang sudah penulis sepakati sendiri?
Professionalisme Pendidikan
Ada sekelumit anekdot menarik, atau
mungkin common sense, jika ingin anak pintar menyanyi, jangan suruh belajar
pada pandai besi. Jika anda muslim bisa dilihat beberapa ayat yang menyatakan, “tanyalah
kepada ahli ilmu, ahlinya, jika kamu tidak mengetahui”. Artinya, sekolah yang
maaf, cuman menawarkan fasilitas fisik seperti gedung megah, biaya murah atau
apalah, tetapi tidak memiliki visi pendidikan yang jelas, maka perlu ditanyakan
apakah pengelola sekolah tersebut benar seorang pendidik, ataukah agen property.
Jika anda memasuki sebuah sekolah,
well, menggunakan kata sekolah karena hal ini lebih singkat dan umum untuk
menggambarkan sebuah lembaga pendidikan. Penulis ulangi lagi, jika anda
memasuki sebuah sekolah dan sejak awal tahu apa yang akan anda hadapi dan akan
jadi apa anda kelak nantinya, selamat, anda sudah memasuki sekolah yang bagus. Visi pendidikan, aturan-aturan,
metodologi pengajaran, kapasitas tenaga pendidik yang jelas, adalah beberapa
indikator yang erat kaitannya dengan paradigm berpikir sekolah yang nggenah. Apakah
selalu erat kaitannya dengan fasilitas? Penulis kira novel lascar pelangi karya
Andrea Hirata dan Eliana karya Tere Liye bisa menjadi wawasan awal betapa
kuatnya sebuah visi pendidikan. Ketika anda memilih untuk memasuki sekolah tersebut, tugas berikutnya tingal
expect what is expected.
Saya pernah bersekolah, dan bacaan
pertama saya selama 3 hari pertama adalah 1. Buku pedoman masa orientasi, dan
2. Buku aturan sekolah yang setebal buku tulis ukuran sedang, lengkap dengan
rincian poin dan konsekuensi jika saya melakukan pelanggaran. Inilah
konsekuensi wajar yang sudah saya pilih dengan sadar, sebagaimana dalam sebuah
warung kita sudah memesan menu ayam panggang dengan sambal lalap. Jika yang
sampai ke meja kita adalah paket lele bakar dengan bumbu rujak, pasti ada
kesalahan di dapur, namun jika kita mengharap dari yang kita pesan berubah
menjadi kalkun bakar, terus untuk apa dengan sadar kita memilih makanan di
menu?
Memang ada peluang sekolah atau
lembaga pendidikan tidak bisa memberikan sesuatu sesuai dengan ekspektasi kita.
Maksud penulis, inilah alasan pertama Gates memilih meninggalkan bangku
kuliahnya. Tetapi, perlu kiranya cara berpikir kita bersiap untuk menghadapi
apa yang sudah lembaga pendidikan paparkan tentang diri mereka.
Inilah kemudian jika kita memilih
sebuah lembaga pendidikan dengan visi pendidikan tertentu, besiaplah dengan
segala konsekuensinya. Itu adalah pilihan kita, dan tidak ada paksaan dari
pihak manapun dalam kita menentukan pilihan. Dan lembaga pendidikan yang baik
akan semaksimal mungkin memberikan sesuatu sesuai dengan yang mereka janjikan. Namun
apakah kita siap atau tidak menerimanya, ini adalah pilihan dari konsumen.
Inilah mengapa termasuk bagaimana
beragam lembaga pendidikan akhirnya memiliki alat dan metode internalisasi
nilai-nilai moral yang berbeda, dikarenakan masing-masing lembaga pendidikan
memiliki pengalaman yang berbeda, cara pandang yang berbeda tentang menghadapi
suatu masalah. Salah satu cara terbaik dalam menyikapi hal ini adalah dengan
menghormati argumentasi masing-masing, dan membuktikan dalam hasil output
peserta didik. Sebagai konsumen tugas kita hanya memilih mana yang dirasa cocok
dengan pilihan kita, dan setelah itu konsekuen dengan segala hal yang akan kita
alami.
Jika anda sebagai orang tua
menginginkan anaknya tumbuh dalam lingkungan yang menjaga interaksi dengan
lawan jenis, coba menjaga kesucian peserta didik selama dalam batas kemampuan
sekolah, dan menerapkan framework bahwa
pacaran memang memiliki dampak kurang baik bagi kehidupan seseorang, banyak
lembaga pendidikan yang masih menawarkan visi pendidikan demikian. Jika anda
menginginkan lembaga pendidikan yang well bersifat netral untuk urusan ini,
juga ada banyak pilihan. Namun jika menginginkan yang lain lagi, mungkin ada
kali ya lembaga seperti ini? well penulis masih belum tahu, tetapi ya entah
mungkin memang benar adanya.
Yang jadi masalah, ditengah
perkembangan zaman sekarang, mulai muncul orang-orang berpikiran sempit yang
diajak mikir panjang pun tidak bisa. Pikiran mereka hanya terbatas pada
headline tanpa ada usaha untuk membaca berita let alone mencari tahu kebenaran
atas sebuah informasi. Penulis pun terus terang pesimis, tulisan opini semacam
ini yang berhasil mengorbitkan politisi alumni 1998 masih relevan di zaman
sekarang. Apalagi jika orang dengan karakter tadi, menolah dan melarikan diri
saat dimintai pertanggung jawaban atas ujaran ngawur, tolol dan mendiskeditkan
orang lain. Apalagi sampe sembunyi dibalik ketek asem ujaran “saya diancem”
atau apalah, dan ogah dibawa berhadapan dihadapan hukum.
Penulis cuman ingin menyampaikan
buat orang-orang semacam ini.
Happy f**kin Birthday you piece of crab.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk tulisan lain , silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di :
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment