Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Tuesday, January 14, 2020

Ujung Tanduk Moral




Ujung Tanduk Moral

Jika kalimat moral diujung tanduk menjadi judul, maka semua orang bisa membayangkan apa isi tulisan ini, paling tidak jauh dari sebuah opini netizen yang mengatakan betapa buruknya moralitas orang lain, bobroknya kondisi moral manusia zaman sekarang, dan bagaimana moral sudah menjadi nilai kedua, ketiga bahkan nomor terakhir dalam prioritas manusia. Banyak yang belum menyadari, bahwa sebagaimana moralitas sedang berada pada titik nadirnya, moral sebagai rangkaian nilai-nilai luhur juga harus berjuang menginternalisasikan dirinya dalam benak pikiran dan laku tindakan anak manusia. Moral harus diperjuangkan agar tertanam, harus disampaikan agar dipahami, dan dilaksanakan agar memberi dampak perbaikan. Inilah kenapa, kita harus memiliki kepahaman bersama, bahwa moral juga memiliki ujung tanduk, garda terdepan untuk bisa memasukkan dirinya dalam sela-sela kehidupan masyarakat.

Apa ujung tanduk moral kiranya kita bertanya-tanya. Jika Tuhan masih berada dalam kepercayaan kita, dijelaskan bahwa sejak awal manusia telah dibekali dengan serangkaian nilai yang membuat dia bisa membedakan mana kebaikan dan keburukan. Dalam islam titipan tuhan ini disebut fitrah, nilai asasi manusia. Fitrah ini sederhana penggambarannya, jika kita hendak melakukan sesuatu yang secara hakikatnya salah seperti mencuri, berbohong, membunuh dan memperkosa, maka secara instan tubuh memberontak, memiliki reaksi berupa rasa bersalah, rasa tidak nyaman dan lain sebagainya.

Namun manusia memiliki fase-fase kehidupan, dan bekal dari tuhan itu tidak langsung aktif sejak pertama kali manusia di lahirkan, minimal hal tersebut dibatasi oleh kemampuan manusia pada waktu dilahirkan. Hal terburuk apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang anak kecil? Begitu sederhananya. Namun seiring berjalannya waktu, ada proses bernama pembelajaran, anak secara aktif belajar dari lingkungannya. Menggunakan semua indra yang Tuhan berikan, dia melihat, mendengar, turut berucap, menyentuh, dan membaui apa-apa yang ada di sekitarnya. Lantas bagaimana anak bisa mengasah dan menggunakan titipan Tuhan sebagaimana mestinya?

Jawabannya sederhana, pendidikan. Secara otomatis tanpa sekolah sekalipun anak akan belajar dari lingkungan, dan hasil pembelajaran itu akan diaplikasikan dalam kehidupannya. Maka masyarakat, keluarga, orang tua akan mengusahakan sebuah pendidikan terbaik, dimana anak-anak dipastikan menyerap nilai-nilai positif yang akhirnya membentuk fondasi moral mereka, dan coba menghindarkan hal-hal negative, yang menjadi titik batas, kerangka, sebuah tindakan dikategorikan pantas atau tidak. Inilah ujung tanduk dari moral, senjata utama moral dalam menjadi eksistensinya di tengah masyarakat.

Tidak heran jika akhirnya, paham-paham rusak dan menyesatkan coba menemukan tempatnya melalui jalur pendidikan. Sederhana, jika pendidikan berhasil menerima dan mengakomodir paham-paham merusak itu, otomatis itulah nilai moral masyarakat, itulah penentu standar baik dan buruk didalam masyarakat tersebut, kondisi ini memprihatinkan, namun inilah realitas yang dihadapi.

Pendapat mantan aktivis pacaran, tentang pacaran

Bagaimana pendapat penulis tentang pacaran? Well, penulis pernah menjadi salah satu dari sekian banyak generasi muda yang melakukan kegiatan pacaran. Apakah penulis melakukan tindakan tersebut ketika sedang menempuh pendidikan di lembaga-lembaga milik pemerintah? No. Siapakah pacar penulis dahulu? Well silahkan menebak.

Namun jika ditanya apakah penulis menikmati kegiatan berpacaran itu? pacaran itu menuntut komitmen, berbagi kasih sayang, apalah. Namun ada beban tanggung jawab dalam setiap tindakan yang diambil. Interaksi fisik yang terjadi di dalamnya, apapun bentuknya, berpegangan tangan, berciuman, bahkan saling mendengar suara saja, aka nada poin-poin tanggung jawab yang harus dipenuhi. Tanggung jawab ini, bukan hal remeh jika ditanggung oleh anak berusia belasan tahun. Silahkan berkata cinta monyet itu cinta monyet, cuman tidak lucu kalau karena monyet-monyetan kita jadi monyet beneran, kawin tanpa tahu tempat, aturan dan etika, dan bebas menghamili siapapun asal dialah pejantan alpha.

Mungkin akan muncul argumentasi bahwa pacaran itu indah, penuh dengan arti, penuh pengorbanan, latihan menyayangi, atau apalah. Itulah argumentasi dan argumentasi tidak bisa serta merta diterima kebenarannya, juga tidak bisa langsung di judge kesalahannya. Tetapi coba spectrum itu diperluas dengan melibatkan dampak-dampak yang terjadi setelah pacaran. Apa yang terjadi pada pihak laki-laki, apa yang terjadi pada pihak perempuan.

Ada istilah menarik dari lelucon lawas yang berkata “kalau kunci yang bisa membuka berbagai macam gembok, itu disebut kunci sakti. Tapi kalau gembok yang bisa dimasuki berbagai kunci, itulah yang disebut gembok rusak”. Anekdot ini sangat tidak pantas sebenarnya karena melakukan personifikasi pada salah satu fungsi bagian tubuh manusia, namun modal awal yang diberikan tuhan kepada manusia salah satunya memiliki fungsi kunci dan gembok ini, dan fungsi reproduksi manusia bisa berjalan kalau kunci dan gemboknya berfungsi normal.

Apakah lantas saya menyatakan semua yang berpacaran melaksanakan fungsi kunci dan gembok sebelum mereka menikah? Tidak, ada sangat banyak argumentasi yang saya berlepas diri dari semua itu. Namun, dengan berdekatan dengan itu semua, minimal terbuka sebuah kesempatan minimal pada ranah pemikiran. Ya ini desain manusia, semua saling berkaitan! Maka jika satu bagian dari sistem saja dipicu, seluruh sistem bisa ikut aktif, dan jika sudah kejadian, korbannya adalah bagian dari masyarakat yang dibekali Tuhan dengan gembok, dan kelak muncul stigma masyarakat, bahwa dia sudah menjadi gembok yang rusak.

Mereka yang dibekali kunci, bodo amat. Karena bahkan menjadi istilah umum bahwa keluar dair rumah para pemegang kunci ini bisa mengatakan dengan mudah tanpa ada pembuktian empiric, bahwa kuncinya masih “baru”, fresh. Ini memang mengerikan, tapi inilah kenyataan. Dan dari kenyataan, pengalaman ini, munculah berbagai mazhab kunci dan gembok yang baru, karena sederhana, fungsi ini sudah dilakukan dan pada akhirnya, sesuai teori kepuasan Gosen, semakin sering dilakukan semakin bosan, dan jika ada kesempatan melakukan “petualangan baru”, why not?

Ini framework paska pacaran yang dijelaskan oleh mereka, kami, yang pernah berpacaran. Lantas, apa hubungan framework ini dengan pendidikan sebagai sarana ujung tanduk internalisasi moral? Urusan seperti ini, kalau tidak di clearkan lewat pendidikan, lalu lewat apa? Kita berbicara tentang fungsi paling dasar sebagai manusia, berkembang biak. Bagaimana mungkin hal ini tidak masuk dalam nilai moral yang harus disesuaikan oleh masyarakat?

Pendekatan yang ditempuh memang berbeda, ada yang men declare sejak awal silahkan berkembang biak sesuai keinginan di sekolah ini, dan jujur saya tidak tahu sekolah mana yang seperti ini. Ada sekolah yang tidak memberikan pernyataan apapun, namun berkali-kali menyebut moral kami yang terbaik. Dan ada sekolah yang tegas membangun konstruks berpikir, bagaimana interaksi berkembang biak ini bisa sejalan sesuai norma-norma keagamaan, tidak memberikan dampak sebelum anak-anak ini siap secara mental dan pengalaman.

Penulis adalah aktivis pacaran, dan penulis melakukan ketika sedang bersekolah. Penulis tidak berasal dari sekolah yang umum, sekolah penulis jelas mengeluarkan statement dan sekaligus menjadi sebuah komiten untuk mendidik anak sebaik mungkin mengelola dan menjaga hati. Bagaimana penulis bisa ketahuan? Well, penulis bukan tipe-tipe orang mudah mengumbar rahasia. Memasang status berpacaran di media sosial? Why you did that? Penulis memperoleh rangking 4 parallel diantara 500 siswa, dan nilai UTS penulis ketika itu minimal 90, well, tidak terlalu buruk bukan? i think i am smart bruh.

Kesialan penulis hanya penulis terlalu sering memberikan perhatian berlebihan kepada perempuan-perempuan lain. Dan penulis bahwa hati manusia hanya tuhan yang tahu. Penulis menerima konsekuensi nya, dan ya, itu yang diharapkan. Maksud penulis, dengan sukarela penulis memilih sekolah di tempat itu, masak penulis tidak bisa menerima konsekuensi yang sudah penulis sepakati sendiri?

Professionalisme Pendidikan

Ada sekelumit anekdot menarik, atau mungkin common sense, jika ingin anak pintar menyanyi, jangan suruh belajar pada pandai besi. Jika anda muslim bisa dilihat beberapa ayat yang menyatakan, “tanyalah kepada ahli ilmu, ahlinya, jika kamu tidak mengetahui”. Artinya, sekolah yang maaf, cuman menawarkan fasilitas fisik seperti gedung megah, biaya murah atau apalah, tetapi tidak memiliki visi pendidikan yang jelas, maka perlu ditanyakan apakah pengelola sekolah tersebut benar seorang pendidik, ataukah agen property.

Jika anda memasuki sebuah sekolah, well, menggunakan kata sekolah karena hal ini lebih singkat dan umum untuk menggambarkan sebuah lembaga pendidikan. Penulis ulangi lagi, jika anda memasuki sebuah sekolah dan sejak awal tahu apa yang akan anda hadapi dan akan jadi apa anda kelak nantinya, selamat, anda sudah memasuki sekolah yang  bagus. Visi pendidikan, aturan-aturan, metodologi pengajaran, kapasitas tenaga pendidik yang jelas, adalah beberapa indikator yang erat kaitannya dengan paradigm berpikir sekolah yang nggenah. Apakah selalu erat kaitannya dengan fasilitas? Penulis kira novel lascar pelangi karya Andrea Hirata dan Eliana karya Tere Liye bisa menjadi wawasan awal betapa kuatnya sebuah visi pendidikan. Ketika anda memilih untuk memasuki sekolah tersebut, tugas berikutnya tingal expect what is expected.

Saya pernah bersekolah, dan bacaan pertama saya selama 3 hari pertama adalah 1. Buku pedoman masa orientasi, dan 2. Buku aturan sekolah yang setebal buku tulis ukuran sedang, lengkap dengan rincian poin dan konsekuensi jika saya melakukan pelanggaran. Inilah konsekuensi wajar yang sudah saya pilih dengan sadar, sebagaimana dalam sebuah warung kita sudah memesan menu ayam panggang dengan sambal lalap. Jika yang sampai ke meja kita adalah paket lele bakar dengan bumbu rujak, pasti ada kesalahan di dapur, namun jika kita mengharap dari yang kita pesan berubah menjadi kalkun bakar, terus untuk apa dengan sadar kita memilih makanan di menu?

Memang ada peluang sekolah atau lembaga pendidikan tidak bisa memberikan sesuatu sesuai dengan ekspektasi kita. Maksud penulis, inilah alasan pertama Gates memilih meninggalkan bangku kuliahnya. Tetapi, perlu kiranya cara berpikir kita bersiap untuk menghadapi apa yang sudah lembaga pendidikan paparkan tentang diri mereka.

Inilah kemudian jika kita memilih sebuah lembaga pendidikan dengan visi pendidikan tertentu, besiaplah dengan segala konsekuensinya. Itu adalah pilihan kita, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun dalam kita menentukan pilihan. Dan lembaga pendidikan yang baik akan semaksimal mungkin memberikan sesuatu sesuai dengan yang mereka janjikan. Namun apakah kita siap atau tidak menerimanya, ini adalah pilihan dari konsumen.

Inilah mengapa termasuk bagaimana beragam lembaga pendidikan akhirnya memiliki alat dan metode internalisasi nilai-nilai moral yang berbeda, dikarenakan masing-masing lembaga pendidikan memiliki pengalaman yang berbeda, cara pandang yang berbeda tentang menghadapi suatu masalah. Salah satu cara terbaik dalam menyikapi hal ini adalah dengan menghormati argumentasi masing-masing, dan membuktikan dalam hasil output peserta didik. Sebagai konsumen tugas kita hanya memilih mana yang dirasa cocok dengan pilihan kita, dan setelah itu konsekuen dengan segala hal yang akan kita alami.

Jika anda sebagai orang tua menginginkan anaknya tumbuh dalam lingkungan yang menjaga interaksi dengan lawan jenis, coba menjaga kesucian peserta didik selama dalam batas kemampuan sekolah, dan menerapkan framework  bahwa pacaran memang memiliki dampak kurang baik bagi kehidupan seseorang, banyak lembaga pendidikan yang masih menawarkan visi pendidikan demikian. Jika anda menginginkan lembaga pendidikan yang well bersifat netral untuk urusan ini, juga ada banyak pilihan. Namun jika menginginkan yang lain lagi, mungkin ada kali ya lembaga seperti ini? well penulis masih belum tahu, tetapi ya entah mungkin memang benar adanya.

Yang jadi masalah, ditengah perkembangan zaman sekarang, mulai muncul orang-orang berpikiran sempit yang diajak mikir panjang pun tidak bisa. Pikiran mereka hanya terbatas pada headline tanpa ada usaha untuk membaca berita let alone mencari tahu kebenaran atas sebuah informasi. Penulis pun terus terang pesimis, tulisan opini semacam ini yang berhasil mengorbitkan politisi alumni 1998 masih relevan di zaman sekarang. Apalagi jika orang dengan karakter tadi, menolah dan melarikan diri saat dimintai pertanggung jawaban atas ujaran ngawur, tolol dan mendiskeditkan orang lain. Apalagi sampe sembunyi dibalik ketek asem ujaran “saya diancem” atau apalah, dan ogah dibawa berhadapan dihadapan hukum.

Penulis cuman ingin menyampaikan buat orang-orang semacam ini.

Happy f**kin Birthday you piece of crab.


 Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk tulisan lain , silahkan kunjungi pranala dibawah ini
kunjungi juga profil selasar saya di :

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 


No comments:

Post a Comment