Sumber : http://bolaindo.com/ |
Untuk
Sepakbola Indonesia
Oleh: Muhammad Abdullah ‘Azzam
1930-an menjadi catatan sejarah teresendiri, ketika negara
Hindia Belanda mampu melaju ke piala dunia, dan memperoleh hasil apik menahan
imbang Uni Soviet. Digawangi para Bumiputera, kesempatan emas Uni Soviet di
kotak pinalti mampu dipatahkan oleh kiper Hindia Belanda waktu itu. Pada
pertandingan kandang untuk Hindia Belanda, Uni Soviet pulang dengan
bertanya-tanya, apa-apaan itu tadi. Negara koloni dengan materi pemain lokal,
mampu menahan imbang mereka. Berbanding terbaik dengan Hindia Belanda, mereka
pulang ke rumah dengan bangga, putra-putra mereka mampu menunjukkan “sesuatu”
kepada dunia. Menjadi memori indah tersendiri, untuk negara bernama Hindia
Belanda.
Kejayaan di dunia sepakbola tadi jelas ditorehkan oleh Hindia
Belanda. Entah fakta sejarah pada tahun 1945 Hindia Belanda tadi merdeka dan
menjadi Indonesia, itulah fakta sejarah. Namun jika dicermati, meskipun benar
para pemain adalah para Bumiputera, namun jika tanpa PSSI Hindia Belanda waktu
itu (tentu, mungkin dikepalai oleh para ambtenaar
Nederland) tidak mungkin 11 orang bumiputera mampu bersaing di kompetisi kasta
tertinggi sepakbola dunia. Pertanyaannya, apakah menahan imbang Uni Soviet
waktu itu adalah prestasi Pemerintahan Indonesia, atau Pemerintahan Hindia
Belanda waktu itu? Karena kenyataannya sampai bangsa ini menjadi “Indonesia”
dan berumur 71 tahun, menahan imbang Uni Soviet masih menjadi “kenangan manis”
kalangan bumiputera, hingga masa sekarang.
Sebagai salah satu olahraga tertua, sepakbola telah lama
menjadi bagian dari budaya masyarakat. Bahkan di banyak wilayah dunia, dimana
kita tidak dapat menemukan makanan disana, orang-orang masih fasih menyebutkan
nama klub atau bintang sepakbola terkenal. Pada sebuah liputan di Piala Dunia
Korea-Jepang, dikisahkan orang-orang Afrika sampai mencuri-curi listrik demi menyaksikan
piala dunia. Lihat? Sebelum era internet dunia lebih dahulu dipersatukan oleh
sepakbola, karena uniknya sepakbola adalah mereka tidak melihat siapa kamu dan
apa latar belakang kamu. Semua orang memiliki kesempatan sama jika berbicara
soal menendang dan menggiring bola.
Sebagai negara terkuat secara militer di Asia Tenggara tentu
Indonesia berhak memiliki catatan tersendiri untuk prestasi sepakbola. Tidak
terlalu mentereng memang jika dilihat dari jumlah piala, tetapi ketika Tim
Nasional Indonesia bertanding semua elemen turun bergandengan tangan bersama
mendukung sang Garuda. Itu sebuah prestasi tersendiri, karena simpelnya, momen
pertanding Tim Nasional Indonesia seperti melihat hegemoni persatuan 17.000
kepulauan. Mungkin jika tukar nasib, orang eropa menjadi penduduk Indonesia,
masing-masing pulau di kepulauan seribu memiliki bendera masing-masing.
Hegemoni persatuan tadi tentu bisa semakin diperkuat, jika bersama kita
bersujud syukur atau mengadahkan wajah keatas saat sebuah kejuaraan besar mampu
dimenangkan secara membanggakan oleh timnas atau tim lain.
Prestasi, mungkin sedikit sensitive jika membicarakan hal ini
pada dunia sepakbola. Jangankan prestasi, kata-kata birokrasi umum seperti
“pengelolaan” pun agaknya harus “diminimalisir” saat berbicara soal sepakbola.
Mampu mendatangkan 80.000 lebih setiap laga timnas, tentu membebankan tanggung
jawab besar, yaitu menjawab kepercayaan 80.000 orang serta jutaan pasang mata
di seluruh Indonesia. Sebagaimana Bung Karno pernah berkata bahwa “Bulutangkis
akan membawa kehormatan bagi bangsa Indonesia” agaknya terbukti nyata dengan
selalu menghuni peringkat atas secara dunia, agaknya kata-kata “Garuda Akan
Terbang Tinggi” atau “Merah Putih Terus-lah Berkibar” saat pertandingan tim
nasional memang harus dibuktikan.
Tentu bukan hal sepele jika membicarakan prestasi tadi,
karena prestasi adalah hasil akhir dari sebuah proses. Era kejayaan Spanyol
pada 2008-2012 adalah proses panjang, begitu pula dengan tradisi kemenangan
Brazil secara internasional. Di tempat-tempat tadi liga sepakbola bergulir
sepanjang tahun dengan berbagai kelas kompetisi hingga anak-anak, bahkan
tim-tim besar di negara-negara tadi seperti Barcelona dan Sao Paulo memiliki
akademi-akademi terstruktur yang rutin mengikuti berbagai kompetisi baik lokal
maupun nasional. Puncaknya, putra-putra mereka menjadi ikon dunia, dan berujung
pada dominasi negara tadi pada persepakbolaan internasional.
Masyarakat Indonesia memiliki budaya sepakbola tersendiri,
namun cukup muluk jika kita berkata “pengelolaan sepakbola kita sudah baik”.
Pada 5 atau 10 tahun kebelakang, secara umum ketidakpuasaan dan catatan hitam
pengelolaan sepakbola menjadi tayangan sehari-hari. Dimulai dengan kasus
korupsi di internal PSSI hingga intervensi pemerintah melalui Kementrian Pemuda
dan Olah Raga pada 2015 yang berujung pada sanksi FIFA. Konflik kepentingan
diatas menunjukkan sebenarnya semua orang juga tahu betapa penting dan
menguntungkannya sepakbola, namun sebagian besar orang ingin agar keuntungan
tadi dimiliki oleh dirinya sendiri. Pada akhirnya, sebelum tumbuh benar dan
dikelola maksimal, sepakbola habis sudah dilahap orang-orang jenis tadi.
Mengorbankan nasib ribuan orang dibawahnya baik itu klub, pemain, supporter
bahkan pedagang kacang di pinggir stadion.
Siapa yang harus disalahkan? Tidak ada siapapun di Indonesia
bisa menjawab masalah ini. Ya kasus seperti umum sih, bukan hanya sepakbola
saja, tetapi selama pertanyaan ini belum bisa dijawab, selama ini pula hingga
penulis menjadi kakek-kakek pun mungkin prestasi Hindia Belanda-lah yang akan
penulis ceritakan kepada cucu-cucu penulis. Orang-orang Uni Eropa bisa dengan
mudah menyalahkan UEFA dengan berbagai skandal dan ketidak adilannya. Orang-orang
inggris bisa menanyakan dan protes pada FA. Orang Indonesia? Protes ke
pemerintah juga ngga nyambung mau
jajak pendapat dengan PSSI-pun entah bagaimana. Pekerjaan rumah besar dunia
sepakbola kita adalah mencari pihak mana yang bisa disalahkan, lucu sekali kan?. Tentu bukan hal buruk jika berkata
demikian, disalahkan disini maksudnya dimintai pertanggung jawabannya.
Maka jangan berpikir terlalu tinggi, jika seorang Indra
Sjafri dengan terseok-seok mampu membawa Tim Nasional U-19 menjadi jawara di
Asean kemudian mendapat apresiasi. Bahkan banyak pihak menutup mata jika alumni
Tim Nasional U-19 menjadi tulang punggung bagi banyak klub besar di Indonesia. Jangan
terheran-heran, jika prestasi tim junior (entah timnas atau bukan) yang
baru-baru ini memenangi sebuah kompetisi junior internasional. Karena mungkin,
orang-orang di pucuk pimpinan negeri ini anak-anaknya tidak ikut serta disana.
Mungkin ini sedikit terlalu jauh, tapi bodo amat, putra-putra Indonesia yang
saat ini bersaing di akademi-akademi sepakbola eropa, jika memungkinkan
teruskan karier disana. Sampai kaya raya, minimal seperti Radja Nainggolan lah,
baru setelah dipanggil oleh timnas, pulang lagi ke kampong. Simple, penulis
tidak mau mereka menjadi Deigo Mandieta berikutnya, kasihan.
Potensi besar bangsa ini, dengan 250 juta penduduknya seolah
menguap begitu saja, terutama untuk urusan prestasi. Karena tadi, pertama tidak
ada yang mau bertanggung jawab, dan kedua, jika prestasi tadi ditumbuhkan
“bukan dari golongan saya” sampai lebaran monyet-pun tidak akan diapresiasi.
Miris kan? Padahal kalkulasi kasar penulis, jika dalam sebuah pertandingan PSIR
Rembang melawan PSIS Semarang mampu mendatangkan 13.000 orang, dikalikan 10.000
saja, maka 130.000.000 rupiah masuk ke tangan klub, mobil satu men! Belum jika
dihitung pendapatan para penjual kacang dan permen disekitar stadion, berapa
juta uang berputar dalam sebuah pertandingan tim divisi dua liga Indonesia. Potret nyata dari menyia-nyiakan
sebuah potensi bisnis, serius.
Persoalan pengelolaan ini akan menjadi masalah bahkan jika
suatu waktu, tiba-tiba Allah berkehendak Indonesia menjuarai piala dunia.
Pengelolaan supporter, pengaturan klub, bisnis merchandise, pengelolaan stadion, hingga (mungkin) judi bola sudah
menanti didepan mata. Jika menghidupkan sebuah kompetisi saja, atau minimal
memastikan timnas memperoleh pemain terbaik kita belum mampu, ya bisa jadi
nanti kompetisi sepakbola jadi mainan para mafia. Wong negara sekelas Italia, pemenang 4 kali piala dunia kompetisi
Serie A-nya bisa “dikerjain” sama mafia lewat skandal Calciopoli. Maka, ayo
bersama-sama, dukung PSSI menjadi pengelola sepakbola Indonesia. Insiden
intervensi pemerintah tahun 2015 sekiranya tidak perlu terjadi lagi. Rugi kan?
Coba yang 10.000 rupiah tadi dikalikan kapasitas maksimum Gelora Bung Karno,
kira-kira apa jadinya.
Adakah ide atau gagasan dari penulis soal pengelolaan
sepakbola? Ada sih, tadi bukan untuk PSSI, urusan PSSI terlalu pelik apalagi
jika berhadapan dengan orang narsis. Maka, gagasan ini untuk membangun tim
nasional Indonesia. Kita memiliki 33 provinsi dengan jutaan potensi, apa ya
tidak bisa jika masing-masing provinsi bertanggung jawab “membentuk” 2 orang
saja putra daerah mereka untuk menjadi delegasi timnas. Agak miris ketika
timnas diisi pemain naturalisasi sebenarnya, bukan apa-apa! Kalau
naturalisasinya sekelas Radja Nainggolan sih tidak ada masalah, lah ini? Bukti
nyata bahwa Evan Dhimas adalah putra daerah mampu menjadi seperti itu, hattrick melawan Korea Selatan Junior.
Apa ya tidak bisa 33 provinsi tadi membentuk 66 orang berkualitas seperti Evan
Dimas? Kan lucu sekali.
Memang benar dalam regulasi FIFA dana APBN dan APBD dilarang
digunakan untuk kepentingan mendanai klub. Tapi setahu saya tidak ada larangan
penggunaan dana tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sepakbola kan
termasuk cabang olahraga, yang di sekolah-sekolah menjadi satu paket dalam
pendidikan jasmani, ya bapak-bapak eselon lebih tau soal inilah. Pembinaan
pemain sepakbola sejak dini, baik jasmani dan moral tentu sangat bisa dilakukan
oleh pemerintah daerah di seluruh pelosok Indonesia. Teknisnya mau dibebankan
kepada klub lokal, atau dananya darimana itu bisa dijawab nanti. Soal dana?
Bukankan ada perusahaan besar di masing-masing provinsi? Aqua di Jawa Barat
misalkan, menyumbangkan 100.000.000 untuk pengembangan pemain kan bisa? Begitu
loh.
Ya mungkin 100.000.000 dari aku tadi disunat-sunat sedikit
lah, namanya juga kebiasaan. Mungkin juga ujung-ujungnya 2 orang putra daerah
tadi akhirnya putranya Pak Anu, gubernur petahana dan satunya putranya Pak Itu,
calon lawannya di Pilkada berikutnya, yasudahlah, namanya juga kebiasaan. Tapi
kalau memang jago dan betul-betul bisa main bola? Why Not? Tapi ya tetap pada
prosesnya “kesempatan sama” dalam sepakbola harus dijunjung tinggi setinggi-tingginya.
Ngga papa kan? Setidaknya diawal
mampu mengundang simpati banyak orang. Tetapi ya kebiasaan semacam itu baiknya
diperbaiki, cukup alat kelamin laki-laki saja yang disunat, anggaran jangan.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya kenapa penulis membahas
soal sepakbola, bahkan kalau dari postur tubuh-pun memang ketahuan jika penulis
tidak suka olahraga. Sederhana, sudah 5 bulan ini penulis menjalani rehab medik
karena kecelakaan. Tayangan televise seperti sinetron dan berita jujur membuat
kondisi penulis semakin memburuk. Alhamdulillah belakangan sepakbola lokal
kembali disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional. Lumayan lah, 90
menit hiburan sehat dan menghibur. Jadi ya gitu, alangkah baiknya jika semakin
banyak orang terhibur dengan hiburan sehat dan menyehatkan jika dilakukan.
Sumber : http://static.republika.co.id |
Terakhir, penulis sampai sekarang lupa-lupa ingat, Jembatan
Suramadu digagas, mulai dibangun dan diresmikan di era presiden siapa. Tetapi,
sampai detik ini, 1930, cerita sukses Hindia Belanda masih terngiang-ngiang
dipikiran. Penulis juga lupa-lupa ingat, di era siapa mulai program
naturalisasi dan siapa saja orang-orangnya, tapi penulis tidak pernah lupa
bahwa pada 2015 sepakbola kita sempat dibekukan sampai beku ole FIFA. Orang
cerdas mengambil hikmah dibalik sejarah, sedangkan orang bodoh hanya suka
bernostalgia dengan sejarah dan memanfaatkannya sebagai alat politik. Sekarang,
dimanakah posisi sepakbola kita dan sejarahnya kelak? Hikmah atau alat politik?
Wallahu ‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35736/Untuk-Sepakbola-Indonesia
Untuk tulisan lain bisa klik pranala dibawah ini
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35736/Untuk-Sepakbola-Indonesia
Untuk tulisan lain bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/newbs-gameplay-dream-league-soccer.html
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment