Sumber Gambar : https://simplescouting.files.wordpress.com/2016/03/sang_merah_putih.jpg |
Syarat Kemenangan
Indonesia
1945, Dwitunggal, dan Kehendak Kebangsaan
Oleh :
Muhammad Abdullah ‘Azzam
“Sesungguhnya
Allah adalah sebaik-baik Pembuat Rencana”-Al-Qur’an
1945 adalah
tahun puncak dimana bangsa Indonesia utuh menjadi bangsa merdeka, bebas dari
tekanan bangsa lain. 1945 adalah monument, dimana mulai detik itu, bangsa
Indonesia akan memutuskan nasibnya sendiri. 1945 adalah awal, keterlibatan
bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. 1945 adalah saat,
dimana Allah akan melihat apa yang diperbuat hamba-hambanya dengan kemerdekaan,
bagaimana nasib dan tingkah laku agen-agen kemerdekaan, dan bagaimana
penerusnya menjalani kemerdekaan itu.
Perjalanan
panjang episode kebangsaan Indonesia tentu melahirkan ratusan bahkan mungkin
ribuan tokoh. Ada tokoh nasional, ada tokoh-tokoh lokal. Ada yang wafat dalam
hingar bingar, dilayat oleh ribuan orang, ada mereka berdua bersama kematian
hingga akhir hayat. Ada para pahlawan, berdiri di depan public menghunus pedang
perjuangan, ada para penggerak, tersembunyi dalam kegelapan namun menjadi mesin
utama dari bangsa ini. Ada penikmat kemerdakaan, Allah berkehendak memberinya
kesempatan menghayati kemerdekaan, ada para matir, darahnya menjadi fondasi
sebuah bangsa. Mereka ada, saling lengkap melegkapi, tak ubahnya jari jemari
tangan kanan dan kiri.
Tersebutlah
dua orang laki-laki, cerdas, muda, bersemangat tinggi, dan tentu taat pada
kehendak illahi. Mereka adalah Bung Karno dan Bung Hatta, dikenal luas sebagai
Dwi Tunggal, founding fathers
sekaligus menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia. Sosok tersebut, sangat
disayangkan belakangan ini mulai dilupakan oleh warga Indonesia lintas
generasi, namanya mungkin tidak, tetapi jasa-nya, latar belakang historis-nya,
dan inspirasi-nya hilang menguap. Salah satu tokoh ada yang menjadi komoditas
politik golongan tertentu, namun perilaku golongan tersebut tak menunjukkan
secuilpun karakter dari beliau. Tokoh yang lain kalah tenar dengan tokoh fiksi
seperti Shiva, Boy Anak Jalanan, atau bahkan Naruto.
Bangsa besar
adalah bangsa pembelajar dari sejaranya, memahami sejarahnya, dan mampu
mengambil manfaat besar serta menularkan semangat-semangat perbaikan atas dasar
sejarah bangsanya. Mungkin saat ini Indonesia dan rakyatnya kembali pada era
perjuangan penjajahan, dimana saat itu mental inlander merajalela dan rakyat
diam ketika penguasa membodohi dan menipu mereka. Bedanya, mental inlander itu,
hinaan inlander itu hadir bukan dari penjajah asing-nyata dengan senjata di
pinggang. Hinaan inlander hadir dari bumiputera antek asing-aseng, mental
inlander dipupuk serajin mungkin oleh para bumiputera.
Tahun 1901
dan 1902 adalah tahun legendaris, pada kedua tahun itu lahirlah sang dwitunggal.
Bung karno lebih dulu, lahir pada 1901 dari keluarga jawa tulen, memahami
nilai-nilai jawa baik material maupun spiritual. Terasah jiwanya dalam
berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, terasah rasanya melalui ilmu-ilmu
bathin dan raga jawa, terasah mentalnya lewat buku-buku dan cerita-cerita
klasik pewayangan, yang ditulis oleh Sunan Kalijaga. Sedangkan pada 1902
lahirlah penerus para Paderi, martir klasik era perjuangan bersenjata. Terlahir
dalam balutan budaya minang yang kokoh dan santun, dididik oleh para kyai dan
guru-guru tak kenal takut. Sang nenek selalu mebawa pistol, berpakaian seperti
Paderi, menggetarkan jiwa hina para penjajah.
Sejak masa
muda kiprah mereka seperti angina musim semi. Melelehkan kerak-kerak es
kebodohan di kepala para bumiputera. Menghapuskan kekhawatiran, menusuk
keraguan sebagaimana tunas-tunas bangkit dan tumbuh kembali di musim semi.
Membangun persatuan dan kemandirian, selayaknya sekumpulan mahluk perkasa
terbangun dari hibernasi musim dingin. Paling penting, memupuk kesadaran
berbangsa, bangkit dari keterpurukan dan penjajahan, serta melaungkan syair
kemerdekaan.
Bung Karno
adalah orator ulung, dengan retorika dan olah suara beliau keluar masuk
kampong, melawan musuh bernama ketidaktahuan dan kebodohan. “saya berjuang
dengan kerongkongan saya”, tegas beliau. Ribuan massa berduyun, berhimpun dan
berseru ketika disampaikan makna-makna dari persatuan. Mereka antusias
menyimak, bagaimana mereka memiliki potensi besar dan sangat bisa dibangunkan
untuk sebuah perbaikan. Itulah sang orator, dimana Penjajah Belanda selalu
awasi langkah-nya, “Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan aku cabut dari
akarnya. Tapi berikan aku 10 pemuda yang cinta bangsanya, akan aku goncangkan
dunia!”. Membahana, kuat, membangun dengan inspirasi dan agitasi, dan tentu
saja dicintai.
Sedangkan
di tanah pengasingan Belanda, hiduplah seorang pemuda yang belajar ilmu
perekonomian. Namun hidupnya tidak dia lepaskan dari cita-cita kemerdekaan bagi
bangsanya, penanya tajam menguliti kebiadaban Penjajah Belanda hingga dunia
internasional mencium kebusukannya. Dialah Bung Hatta, sosok pendiam di balik
bayangan, tetapi tulisan dan sedikit kata keluar dari mulutnya dunia tahu dia
tidak bisa diremehkan. Berbagai majalah dan perhimpunan, produk kajian ilmiah,
surat-surat protes dan konferensi tingkat tinggi dunia menjadi saksi
kecemerlangan-nya. Sejak muda menggetarkan dunia, dengan pena dan kata,
kecerdasan dipakai untuk mencerna, kebusukan dari laku penjajahan dan
imperilisme.
Mereka berdua
bergerak dengan caranya masing-masing, ada yang menjadi gunung berapi
superaktif, meledakkan semangat penduduk negeri terjajah dari podium-podium,
dari jalan-jalan dan kampong-kampung. Ada pula menjadi tokoh perwakilan dari
suara kemerdekaan di panggung-panggung
internasional. Tetapi dalam berbagai kesempatan kerja mereka berpadu, seperti
angin dan air. Mereka saling hormat menghormati, saling mengasihi, dan saling
berempati. Bung Karno menjadikan penangkapan Bung Hatta sebagai titik balik
perjuangan melawan penjajahan, Bung Hatta bersimpati besar dan tetap berjuang
saat Bung Karno dipenjara.
Tercatat
juga beliau berdua memiliki para guru-guru politik pembentuk kepribadian mereka.
Revolusioner dalam bertindak, namun logis dan santun dalam metode dan caranya.
Tercatat Bung Karno adalah salah satu murid dari raja tanpa mahkota, HOS
Cokroaminoto. Bersama Semaun dan Kartosoewiryo kelak menjadi pemimpin-pemimpin
berpengaruh di Indonesia bahkan dunia. Sedangkan Bung Hatta dilahirkan dari
perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Soematra dan sejenisnya, bertemu dengan
Nazir Simanjuntak untuk kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam
Indische Verengging yang kelak akan menjadi Perhimpunan Indonesia. Kemudian
bersama mereka merapatkan barisan dan membidani Sumpah Pemuda 1928, untuk
kemudian menjadi awal pembentukan identitas kebangsaan.
Kehebatan
dan kekuatan personal beliau berdua meresonasi seantoro negeri. Hadir dalam
bentuk seruan tunggal kemerdekaan dan persatuan. Merapatlah puluhan organisasi
dan pergerakan nasional yang eranya dimulai oleh Sarikat Dagang Islam pada 1905
dan diambil titik tolaknya oleh Boedi Oetomo pada 1908. Bersama membentuk
berbagai kongres-kongres dan rapat umum, aksi-aksi dijalanan, selebaran,
bulletin, majalah dan poster-poster dengan tema kemerdekaan. Sangat disayangkan
pada 1926 aksi kudeta oleh PKI (Partai Komunis Indonesia, anggota Komunisme
Internasional (Komintren), membuat benih-benih tersebut harus menunggu untuk
tumbuh. Pengawasan dan pengintaian dari Belanda, membuat berbagai tokoh
pergerakan dibui, diasingkan bahkan dibunuh. Tetapi, pohon yang mampu tegak
berdiri diatas lapisan tanah pada adalah pohon yang kuat, dan jelas itulah yang
terjadi, itulah tantangan di depan Bung Karno dan Bung Hatta.
Persatuan
tetap digalakkan, perjuangan kemerdekaan tetap diteruskan, meskipun tetap ada
konflik tetapi tetap diketengahkan jalan penyelesaiaan secara kekeluargaan
dengan tidak mengorbankan tujuan kemerdekaan dan bangsa Indonesia. Disaat era
penjajahan Jepang atas prakarsa tokoh pergerakan dan para ‘ulama, masyarakat
Indonesia memperoleh pelatihan militer dan persenjataan. Dengan nama PETA
(Pembela Tanah Air), kelak akan menjadi nama besar yang akan menjadi tulang
punggung militer nasional. Nilai-nilai spiritual terus diamalkan dalam perjuangan
politik, seorang Inggit, istri Bung Karno senantiasa membawakan Al-Qur’an
ketika beliau dipenjara. Sedangkan Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang
sholeh dan santun. Keduanya rajin berpuasa, dan beraktifitas berdasarkan waktu
sholat, bahkan saat proklamasi kemerdekaan, Bung Karno yang sedang sakit tetap
menyelesaikan kewajiban Puasa Ramadhan.
Pepatah
bijak mendefinisikan bahwa perilaku dan kebiasaan akan membentuk sebuah
karakter. Jika ingin memiliki karakter pemimpin, terbiasalah menjadi pemimpin. Namun
jika hanya ingin menjadi pengepul sampah, akrab-akrablah dengan tong sampah.
Imam Syafi’I pun menyampaikan rasa sakit dalam mencari ilmu akan dapat
menyelamatkan diri dari penderitaan berkepanjangan akibat kebodhan. Bahkan
Rasulullah SAW diutus ke muka bumi dengan satu tujuan, memperbaiki ahlak. Tentu
saja, Allah SWT mendesain manusia dengan sebaik-baik penciptaan, dengan tujuan
menjadi sebaik-baik mahluk, dan dapat mewakili-Nya yang Maha Mulia dengan ahlak
mulia di dunia fana ini.
Disinilah
kita berbicara mengenai kedua tokoh diatas, kaitannya dengan kemerdekaan 1945
serta realitas dan kehendak kebangsaan dewasa ini. Dunia bergerak dan berputar
atas kehendak Allah SWT dan Allah SWT pasti tahu apa yang terjadi saat ini,
besok atau waktu yang akan datang. Allah juga lah yang mengingat dan menimbang
apa yang terjadi kemarin dan waktu lampau. Allah adalah katalis tunggal, dalam
hal terpenuhinya cita-cita luhur manusia, serta Allah-lah yang berhak menunda
atau bahkan mencabut nikmat dan amanah yang diterima manusia. Maka, 1945 dan
manusia dengan kualitas seperti ulama dan para bapak bangsa Indonesia masa itu,
juga masyarakat dengan kehendak kebangsaannya saat itu, yaitu ingin merdeka
dari segala bentuk penjajahan dan kebodohan, beresonasi sempurna dengan Kehendak
Allah SWT. 1945 menjadi saksi bahwa bangsa kita telah memenuhi syarat-syarat
kemenangan, sehingga Allah SWT berkenan memberikan amanah agung mengelola
zamrud khatulistiwa ini pada tangan-tangan lemah kita.
Kesadaraan
kebangsaan, nilai-nilai perjuangan modern seperti nasionalisme, sosialisme,
gerakan-gerakan organisasi manusia tidak lain adalah sarana-sarana perbaikan
sehingga Allah berkehendak menjadi kita pemimpin. Pemahaman keduniaan kita saat
itu, menjadi sebuah kekuatan yang dilandasi kokoh lewat kecerdasan spiritual
bangsa ini, kecerdasan yang telah dipupuk sejak bangsa ini memulai perjuangan
melawan kolonialisme. Sebagai symbol dari kemerdekaan, tentu saja dwitunggal
memiliki fondasi yang kurang lebih sama kuatnya, baik material maupun spiritual.
Dan tentu, saat mereka masih muda, kekuatan rasa atau spiritual-lah yang
terlebih dulu diasah dan diadakan, sehingga membentuk karakter. Kemudian
karakter itu diperkaya dengan pengetahuan-pengetahuan lain, sehingga
terbentuklah individu dengan “syarat kemenangan” di hati, pikiran dan fisiknya.
Sebagai
pembuktian, hanya orang pemberani saja yang bisa berdiri lantang dihadapan landraad untuk membacakan sesuatu pledoi
provokatif berjudul Indonesia menggugat. Hanya seorang cerdas dan santun-lah
yang mampu menggoreskan kata-kata setajam pedang namun juga menyejukkan bagi
sesiapa yang dikritiknya. Hanya seorang bermental baja yang tetap tersenyum dan
tenang, ketika propertinya digeledah paksa atau dirinya diasingkan seumur hidup
ke antah berantah. Dan tentu, hanya seorang dengan empati, yang mampu mencerna
dan merasakan penderitaan berkepanjangan akibat penjajahan, dan rela menjadi
martir demi terwujudnya kemerdekaan.
Aspek
karakter dan spiritual serta emosional dan tokoh-tokoh yang mengasahnya
seringkali luput dari sejarah. Dan seringkali demi memunculkan figure
“superhero dunia” digambarkan seolah para pahlawan muncul dan hadir dari
nilai-nilai duniawi seperti nasionalisme semata. Muncul begitu saja, dan seolah
kesadaran cinta tanah air disebabkan karena buku-buku barat dan teori-teori
kebangsaan di kelas-kelas atau konferensi-konferensi. Seolah kebesaran
tokoh-tokoh bahkan termasuk dwitunggal hadir karena bakat-bakat semu seperti
kemampuan mengagitas dan kemapuan menulis. Sehingga dewasa ini banyak orang tua
risau ketika anaknya tidak bisa menyanyi atau berhitung, dan tenang saja ketika
anak-anaknya lupa beribadah dan santai makan seperti keledai atau kuda.
Perlu kita
pahami kembali, hak menjadi pemimpin adalah milik semua orang, tetapi
mewujudkan diri menjadi pemimpin adalah pilihan diri, dan kesiapan kondisi
lingkungan sekitar. Misalkan jika Bung Karno tidak mondok di rumah HOS
Cokroaminoto, dan bergaul dengan para preman dan bromocorah penghuni Terminal
Tirtonadi atau Dermaga Tanjung Perak, akankah dia jadi pemimpin? Iya, tapi
bukan pemimpin bangsa, hanya pemimpin para kriminal. Jika Bung Hatta tidak
diasuh dengan tegas oleh sang nenek yang berpaikaian seperti Paderi namun
justru diasuh oleh figur nenek peniyihir seperti di sinetron lokal, apa
jadinya? Mungkin akan kita temui pasien di Zaal Batu degan nama Mohammad Hatta
sibuk memancing di jamban.
Penggambaran
sejarah tekstual dan tekstual hanya akan membawa perwujudan karakter pembangun
bangsa hanya sebagai sebuah utopia. Sejarah atas dasar cerita jujur tentang
karakteristik beliau dan sesiapa pendidiknya akan menciptakan sebuah gambaran
utuh tentang pendidik ideal dan karakter murid tauladan. Dan mengambil contoh
dari bapak-bapak pendiri bangsa adalah langkah relevan untuk mewujudkan in,
tentu jika hal tersebut terbebas dari propaganda politik ataupun fitnah untuk
mendikreditkan golongan tertentu. Mungkin, bisa jadi sebuah jawaban ditengah
kondisi bangsa yang kurang lebih sama seperti saat beliau hidup, namun bedanya,
musuh jahat itu adalah sesama bumiputera, hamba asing dan aseng.
Ditengah
kondisi perpecahan akibat ketiadaan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam
pemerintahan. Dalam kondisi dibodohkannya rakyat melalui propraganda-propaganda
politik dan absennya kejujuran dalam jurnalistik. Ketika pemodal-pemodal asing
ramai menjarah tanah air sedangkan pihak berkuasa berama-ramai melindungi
kriminal dengan segala tipu daya. Disinilah pemuda-pemuda unggul bumiputera
dibutuhkan kembali.
Pemuda yang
hadir dengan frekeuensi sama dengan frekeuensi Allah dan ajaran kebaikknya.
Pemuda dengan semangat menggebu, dimana jiwa-raganya diberikan untuk ummat dan
Bangsa Indonesia. Pemuda berkarakter! Soekarno, Hatta, dan pemuda lain di
masa-nya yang mampu memenuh syarat-syarat kemenangan. Dan tentu saja, pemuda
yang memposisikan Tuhan diatas segalanya, dan memposisikan bangsa didalam
sendi-sendiri tubuhnya.
Syarat
kemenangan itulah yang perlu kita kejar, bagaimana pribadi kita mampu mencuri
perhatian Allah SWT sebagaimana pendahulu kita. Syarat kemenangan itulah yang
perlu kita tumbuhkan, dengan menggali karakter, tidak hanya ilmu-ilmu duniawi
kosong dan dongeng serta mitos tidak jelas asalnya dari bapak-bapak bangsa. Syarat
kemenangan itulah nafas, sehingga dalam bekerja dan bergerak imbalan kebaikan
hanyalah hak Allah, sedang manusia bebas berkata-kata seperti binatang tak
beradab. Dan syarat kemenangan itulah cita-cita tertinggi, dengan konsistensi
sebagai pendamping agar episode kemenangan mampu dilanjutkan hingga hidup
setelah mati.
Maka dari
itu bangunlah karakter diri dan lingkungan dengan semakin mendekatkan diri
dengan landasan spiritual berupa agama dan nilai-nilai ketuhanan. Bekali diri
dengan ilmu, seni dan budaya yang selaras dengan nilai-nilai spiritual. Terjun
ke masyarakat dan jadilah inspirasi untuk persatuan dan kesatuan. Asah moral
dengan interaksi, dengan menghargai orang lain dan menghormati etika serta
landasan berperilaku masyarakat. Dan bekerja keras dan cerdas, demi terwujudnya
masyarakat adil sejahtera, sehingga bangsa pancasilais adalah kenyataan, bukan
hanya impian apalagi karangan.
Ilmu-ilmu
duniawi, paham-paham manusia kelak akan terhapus dengan sendirinya, mengalami
kejatuhan sebagaimana komunisme bangkrut setelah1992. Tetapi, paham-paham
duniawi yang dilandasi betul dengan nilai-nilai ketuhanan dan spiritual akan
kekal abadi, sebagaimana seruan jihad 10 November 1945 mampu mempertahankan
NKRI sebagaimana seruan jihad di Hari Badar mampu menjaga keberadaan islam.
Maka jangan lepaskan nilai-nilai spiritual dari sejarah maupun kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena dengannya bangsa dan negara hidup sebagaimana
mestinya. Tetapi, sekali kau memaksanya lepas bahkan menafikkan kehadirannya,
bangsa dan negara ini tak ubahnya omong kosong belaka.
“Kelak manusia akan menjadi tanah, tetapi arti hidup
sebagai manusia akan membekas selamanya” -Penulis
Wallahu
‘Alam
Resume dari
buku :
Sukarno
Hatta, Bukan Proklamator Paksaan
Oleh :
Walentina Waluyanti de Jonge, Penerbit Galang Pustaka, Yogyakarta, 2015
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini :
https://www.selasar.com/jurnal/35590/Syarat-Kemenangan-Sebuah-Bangsa
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment