Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Saturday, May 6, 2017

Indonesia 1945, Dwitunggal, dan Kehendak Kebangsaan



Sumber Gambar : https://simplescouting.files.wordpress.com/2016/03/sang_merah_putih.jpg

Syarat Kemenangan


Indonesia 1945, Dwitunggal, dan Kehendak Kebangsaan

Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam



“Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik Pembuat Rencana”-Al-Qur’an

1945 adalah tahun puncak dimana bangsa Indonesia utuh menjadi bangsa merdeka, bebas dari tekanan bangsa lain. 1945 adalah monument, dimana mulai detik itu, bangsa Indonesia akan memutuskan nasibnya sendiri. 1945 adalah awal, keterlibatan bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. 1945 adalah saat, dimana Allah akan melihat apa yang diperbuat hamba-hambanya dengan kemerdekaan, bagaimana nasib dan tingkah laku agen-agen kemerdekaan, dan bagaimana penerusnya menjalani kemerdekaan itu.

Perjalanan panjang episode kebangsaan Indonesia tentu melahirkan ratusan bahkan mungkin ribuan tokoh. Ada tokoh nasional, ada tokoh-tokoh lokal. Ada yang wafat dalam hingar bingar, dilayat oleh ribuan orang, ada mereka berdua bersama kematian hingga akhir hayat. Ada para pahlawan, berdiri di depan public menghunus pedang perjuangan, ada para penggerak, tersembunyi dalam kegelapan namun menjadi mesin utama dari bangsa ini. Ada penikmat kemerdakaan, Allah berkehendak memberinya kesempatan menghayati kemerdekaan, ada para matir, darahnya menjadi fondasi sebuah bangsa. Mereka ada, saling lengkap melegkapi, tak ubahnya jari jemari tangan kanan dan kiri.

Tersebutlah dua orang laki-laki, cerdas, muda, bersemangat tinggi, dan tentu taat pada kehendak illahi. Mereka adalah Bung Karno dan Bung Hatta, dikenal luas sebagai Dwi Tunggal, founding fathers sekaligus menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia. Sosok tersebut, sangat disayangkan belakangan ini mulai dilupakan oleh warga Indonesia lintas generasi, namanya mungkin tidak, tetapi jasa-nya, latar belakang historis-nya, dan inspirasi-nya hilang menguap. Salah satu tokoh ada yang menjadi komoditas politik golongan tertentu, namun perilaku golongan tersebut tak menunjukkan secuilpun karakter dari beliau. Tokoh yang lain kalah tenar dengan tokoh fiksi seperti Shiva, Boy Anak Jalanan, atau bahkan Naruto. 

Bangsa besar adalah bangsa pembelajar dari sejaranya, memahami sejarahnya, dan mampu mengambil manfaat besar serta menularkan semangat-semangat perbaikan atas dasar sejarah bangsanya. Mungkin saat ini Indonesia dan rakyatnya kembali pada era perjuangan penjajahan, dimana saat itu mental inlander merajalela dan rakyat diam ketika penguasa membodohi dan menipu mereka. Bedanya, mental inlander itu, hinaan inlander itu hadir bukan dari penjajah asing-nyata dengan senjata di pinggang. Hinaan inlander hadir dari bumiputera antek asing-aseng, mental inlander dipupuk serajin mungkin oleh para bumiputera.

Tahun 1901 dan 1902 adalah tahun legendaris, pada kedua tahun itu lahirlah sang dwitunggal. Bung karno lebih dulu, lahir pada 1901 dari keluarga jawa tulen, memahami nilai-nilai jawa baik material maupun spiritual. Terasah jiwanya dalam berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, terasah rasanya melalui ilmu-ilmu bathin dan raga jawa, terasah mentalnya lewat buku-buku dan cerita-cerita klasik pewayangan, yang ditulis oleh Sunan Kalijaga. Sedangkan pada 1902 lahirlah penerus para Paderi, martir klasik era perjuangan bersenjata. Terlahir dalam balutan budaya minang yang kokoh dan santun, dididik oleh para kyai dan guru-guru tak kenal takut. Sang nenek selalu mebawa pistol, berpakaian seperti Paderi, menggetarkan jiwa hina para penjajah.

Sejak masa muda kiprah mereka seperti angina musim semi. Melelehkan kerak-kerak es kebodohan di kepala para bumiputera. Menghapuskan kekhawatiran, menusuk keraguan sebagaimana tunas-tunas bangkit dan tumbuh kembali di musim semi. Membangun persatuan dan kemandirian, selayaknya sekumpulan mahluk perkasa terbangun dari hibernasi musim dingin. Paling penting, memupuk kesadaran berbangsa, bangkit dari keterpurukan dan penjajahan, serta melaungkan syair kemerdekaan.

Bung Karno adalah orator ulung, dengan retorika dan olah suara beliau keluar masuk kampong, melawan musuh bernama ketidaktahuan dan kebodohan. “saya berjuang dengan kerongkongan saya”, tegas beliau. Ribuan massa berduyun, berhimpun dan berseru ketika disampaikan makna-makna dari persatuan. Mereka antusias menyimak, bagaimana mereka memiliki potensi besar dan sangat bisa dibangunkan untuk sebuah perbaikan. Itulah sang orator, dimana Penjajah Belanda selalu awasi langkah-nya, “Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan aku cabut dari akarnya. Tapi berikan aku 10 pemuda yang cinta bangsanya, akan aku goncangkan dunia!”. Membahana, kuat, membangun dengan inspirasi dan agitasi, dan tentu saja dicintai.

Sedangkan di tanah pengasingan Belanda, hiduplah seorang pemuda yang belajar ilmu perekonomian. Namun hidupnya tidak dia lepaskan dari cita-cita kemerdekaan bagi bangsanya, penanya tajam menguliti kebiadaban Penjajah Belanda hingga dunia internasional mencium kebusukannya. Dialah Bung Hatta, sosok pendiam di balik bayangan, tetapi tulisan dan sedikit kata keluar dari mulutnya dunia tahu dia tidak bisa diremehkan. Berbagai majalah dan perhimpunan, produk kajian ilmiah, surat-surat protes dan konferensi tingkat tinggi dunia menjadi saksi kecemerlangan-nya. Sejak muda menggetarkan dunia, dengan pena dan kata, kecerdasan dipakai untuk mencerna, kebusukan dari laku penjajahan dan imperilisme. 

Mereka berdua bergerak dengan caranya masing-masing, ada yang menjadi gunung berapi superaktif, meledakkan semangat penduduk negeri terjajah dari podium-podium, dari jalan-jalan dan kampong-kampung. Ada pula menjadi tokoh perwakilan dari suara kemerdekaan di  panggung-panggung internasional. Tetapi dalam berbagai kesempatan kerja mereka berpadu, seperti angin dan air. Mereka saling hormat menghormati, saling mengasihi, dan saling berempati. Bung Karno menjadikan penangkapan Bung Hatta sebagai titik balik perjuangan melawan penjajahan, Bung Hatta bersimpati besar dan tetap berjuang saat Bung Karno dipenjara.

Tercatat juga beliau berdua memiliki para guru-guru politik pembentuk kepribadian mereka. Revolusioner dalam bertindak, namun logis dan santun dalam metode dan caranya. Tercatat Bung Karno adalah salah satu murid dari raja tanpa mahkota, HOS Cokroaminoto. Bersama Semaun dan Kartosoewiryo kelak menjadi pemimpin-pemimpin berpengaruh di Indonesia bahkan dunia. Sedangkan Bung Hatta dilahirkan dari perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Soematra dan sejenisnya, bertemu dengan Nazir Simanjuntak untuk kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam Indische Verengging yang kelak akan menjadi Perhimpunan Indonesia. Kemudian bersama mereka merapatkan barisan dan membidani Sumpah Pemuda 1928, untuk kemudian menjadi awal pembentukan identitas kebangsaan.

Kehebatan dan kekuatan personal beliau berdua meresonasi seantoro negeri. Hadir dalam bentuk seruan tunggal kemerdekaan dan persatuan. Merapatlah puluhan organisasi dan pergerakan nasional yang eranya dimulai oleh Sarikat Dagang Islam pada 1905 dan diambil titik tolaknya oleh Boedi Oetomo pada 1908. Bersama membentuk berbagai kongres-kongres dan rapat umum, aksi-aksi dijalanan, selebaran, bulletin, majalah dan poster-poster dengan tema kemerdekaan. Sangat disayangkan pada 1926 aksi kudeta oleh PKI (Partai Komunis Indonesia, anggota Komunisme Internasional (Komintren), membuat benih-benih tersebut harus menunggu untuk tumbuh. Pengawasan dan pengintaian dari Belanda, membuat berbagai tokoh pergerakan dibui, diasingkan bahkan dibunuh. Tetapi, pohon yang mampu tegak berdiri diatas lapisan tanah pada adalah pohon yang kuat, dan jelas itulah yang terjadi, itulah tantangan di depan Bung Karno dan Bung Hatta.

Persatuan tetap digalakkan, perjuangan kemerdekaan tetap diteruskan, meskipun tetap ada konflik tetapi tetap diketengahkan jalan penyelesaiaan secara kekeluargaan dengan tidak mengorbankan tujuan kemerdekaan dan bangsa Indonesia. Disaat era penjajahan Jepang atas prakarsa tokoh pergerakan dan para ‘ulama, masyarakat Indonesia memperoleh pelatihan militer dan persenjataan. Dengan nama PETA (Pembela Tanah Air), kelak akan menjadi nama besar yang akan menjadi tulang punggung militer nasional. Nilai-nilai spiritual terus diamalkan dalam perjuangan politik, seorang Inggit, istri Bung Karno senantiasa membawakan Al-Qur’an ketika beliau dipenjara. Sedangkan Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang sholeh dan santun. Keduanya rajin berpuasa, dan beraktifitas berdasarkan waktu sholat, bahkan saat proklamasi kemerdekaan, Bung Karno yang sedang sakit tetap menyelesaikan kewajiban Puasa Ramadhan.

Pepatah bijak mendefinisikan bahwa perilaku dan kebiasaan akan membentuk sebuah karakter. Jika ingin memiliki karakter pemimpin, terbiasalah menjadi pemimpin. Namun jika hanya ingin menjadi pengepul sampah, akrab-akrablah dengan tong sampah. Imam Syafi’I pun menyampaikan rasa sakit dalam mencari ilmu akan dapat menyelamatkan diri dari penderitaan berkepanjangan akibat kebodhan. Bahkan Rasulullah SAW diutus ke muka bumi dengan satu tujuan, memperbaiki ahlak. Tentu saja, Allah SWT mendesain manusia dengan sebaik-baik penciptaan, dengan tujuan menjadi sebaik-baik mahluk, dan dapat mewakili-Nya yang Maha Mulia dengan ahlak mulia di dunia fana ini. 

Disinilah kita berbicara mengenai kedua tokoh diatas, kaitannya dengan kemerdekaan 1945 serta realitas dan kehendak kebangsaan dewasa ini. Dunia bergerak dan berputar atas kehendak Allah SWT dan Allah SWT pasti tahu apa yang terjadi saat ini, besok atau waktu yang akan datang. Allah juga lah yang mengingat dan menimbang apa yang terjadi kemarin dan waktu lampau. Allah adalah katalis tunggal, dalam hal terpenuhinya cita-cita luhur manusia, serta Allah-lah yang berhak menunda atau bahkan mencabut nikmat dan amanah yang diterima manusia. Maka, 1945 dan manusia dengan kualitas seperti ulama dan para bapak bangsa Indonesia masa itu, juga masyarakat dengan kehendak kebangsaannya saat itu, yaitu ingin merdeka dari segala bentuk penjajahan dan kebodohan, beresonasi sempurna dengan Kehendak Allah SWT. 1945 menjadi saksi bahwa bangsa kita telah memenuhi syarat-syarat kemenangan, sehingga Allah SWT berkenan memberikan amanah agung mengelola zamrud khatulistiwa ini pada tangan-tangan lemah kita.



Kesadaraan kebangsaan, nilai-nilai perjuangan modern seperti nasionalisme, sosialisme, gerakan-gerakan organisasi manusia tidak lain adalah sarana-sarana perbaikan sehingga Allah berkehendak menjadi kita pemimpin. Pemahaman keduniaan kita saat itu, menjadi sebuah kekuatan yang dilandasi kokoh lewat kecerdasan spiritual bangsa ini, kecerdasan yang telah dipupuk sejak bangsa ini memulai perjuangan melawan kolonialisme. Sebagai symbol dari kemerdekaan, tentu saja dwitunggal memiliki fondasi yang kurang lebih sama kuatnya, baik material maupun spiritual. Dan tentu, saat mereka masih muda, kekuatan rasa atau spiritual-lah yang terlebih dulu diasah dan diadakan, sehingga membentuk karakter. Kemudian karakter itu diperkaya dengan pengetahuan-pengetahuan lain, sehingga terbentuklah individu dengan “syarat kemenangan” di hati, pikiran dan fisiknya.

Sebagai pembuktian, hanya orang pemberani saja yang bisa berdiri lantang dihadapan landraad untuk membacakan sesuatu pledoi provokatif berjudul Indonesia menggugat. Hanya seorang cerdas dan santun-lah yang mampu menggoreskan kata-kata setajam pedang namun juga menyejukkan bagi sesiapa yang dikritiknya. Hanya seorang bermental baja yang tetap tersenyum dan tenang, ketika propertinya digeledah paksa atau dirinya diasingkan seumur hidup ke antah berantah. Dan tentu, hanya seorang dengan empati, yang mampu mencerna dan merasakan penderitaan berkepanjangan akibat penjajahan, dan rela menjadi martir demi terwujudnya kemerdekaan.

Aspek karakter dan spiritual serta emosional dan tokoh-tokoh yang mengasahnya seringkali luput dari sejarah. Dan seringkali demi memunculkan figure “superhero dunia” digambarkan seolah para pahlawan muncul dan hadir dari nilai-nilai duniawi seperti nasionalisme semata. Muncul begitu saja, dan seolah kesadaran cinta tanah air disebabkan karena buku-buku barat dan teori-teori kebangsaan di kelas-kelas atau konferensi-konferensi. Seolah kebesaran tokoh-tokoh bahkan termasuk dwitunggal hadir karena bakat-bakat semu seperti kemampuan mengagitas dan kemapuan menulis. Sehingga dewasa ini banyak orang tua risau ketika anaknya tidak bisa menyanyi atau berhitung, dan tenang saja ketika anak-anaknya lupa beribadah dan santai makan seperti keledai atau kuda.

Perlu kita pahami kembali, hak menjadi pemimpin adalah milik semua orang, tetapi mewujudkan diri menjadi pemimpin adalah pilihan diri, dan kesiapan kondisi lingkungan sekitar. Misalkan jika Bung Karno tidak mondok di rumah HOS Cokroaminoto, dan bergaul dengan para preman dan bromocorah penghuni Terminal Tirtonadi atau Dermaga Tanjung Perak, akankah dia jadi pemimpin? Iya, tapi bukan pemimpin bangsa, hanya pemimpin para kriminal. Jika Bung Hatta tidak diasuh dengan tegas oleh sang nenek yang berpaikaian seperti Paderi namun justru diasuh oleh figur nenek peniyihir seperti di sinetron lokal, apa jadinya? Mungkin akan kita temui pasien di Zaal Batu degan nama Mohammad Hatta sibuk memancing di jamban. 

Penggambaran sejarah tekstual dan tekstual hanya akan membawa perwujudan karakter pembangun bangsa hanya sebagai sebuah utopia. Sejarah atas dasar cerita jujur tentang karakteristik beliau dan sesiapa pendidiknya akan menciptakan sebuah gambaran utuh tentang pendidik ideal dan karakter murid tauladan. Dan mengambil contoh dari bapak-bapak pendiri bangsa adalah langkah relevan untuk mewujudkan in, tentu jika hal tersebut terbebas dari propaganda politik ataupun fitnah untuk mendikreditkan golongan tertentu. Mungkin, bisa jadi sebuah jawaban ditengah kondisi bangsa yang kurang lebih sama seperti saat beliau hidup, namun bedanya, musuh jahat itu adalah sesama bumiputera, hamba asing dan aseng.

Ditengah kondisi perpecahan akibat ketiadaan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam pemerintahan. Dalam kondisi dibodohkannya rakyat melalui propraganda-propaganda politik dan absennya kejujuran dalam jurnalistik. Ketika pemodal-pemodal asing ramai menjarah tanah air sedangkan pihak berkuasa berama-ramai melindungi kriminal dengan segala tipu daya. Disinilah pemuda-pemuda unggul bumiputera dibutuhkan kembali.


Pemuda yang hadir dengan frekeuensi sama dengan frekeuensi Allah dan ajaran kebaikknya. Pemuda dengan semangat menggebu, dimana jiwa-raganya diberikan untuk ummat dan Bangsa Indonesia. Pemuda berkarakter! Soekarno, Hatta, dan pemuda lain di masa-nya yang mampu memenuh syarat-syarat kemenangan. Dan tentu saja, pemuda yang memposisikan Tuhan diatas segalanya, dan memposisikan bangsa didalam sendi-sendiri tubuhnya.

Syarat kemenangan itulah yang perlu kita kejar, bagaimana pribadi kita mampu mencuri perhatian Allah SWT sebagaimana pendahulu kita. Syarat kemenangan itulah yang perlu kita tumbuhkan, dengan menggali karakter, tidak hanya ilmu-ilmu duniawi kosong dan dongeng serta mitos tidak jelas asalnya dari bapak-bapak bangsa. Syarat kemenangan itulah nafas, sehingga dalam bekerja dan bergerak imbalan kebaikan hanyalah hak Allah, sedang manusia bebas berkata-kata seperti binatang tak beradab. Dan syarat kemenangan itulah cita-cita tertinggi, dengan konsistensi sebagai pendamping agar episode kemenangan mampu dilanjutkan hingga hidup setelah mati.

Maka dari itu bangunlah karakter diri dan lingkungan dengan semakin mendekatkan diri dengan landasan spiritual berupa agama dan nilai-nilai ketuhanan. Bekali diri dengan ilmu, seni dan budaya yang selaras dengan nilai-nilai spiritual. Terjun ke masyarakat dan jadilah inspirasi untuk persatuan dan kesatuan. Asah moral dengan interaksi, dengan menghargai orang lain dan menghormati etika serta landasan berperilaku masyarakat. Dan bekerja keras dan cerdas, demi terwujudnya masyarakat adil sejahtera, sehingga bangsa pancasilais adalah kenyataan, bukan hanya impian apalagi karangan.

Ilmu-ilmu duniawi, paham-paham manusia kelak akan terhapus dengan sendirinya, mengalami kejatuhan sebagaimana komunisme bangkrut setelah1992. Tetapi, paham-paham duniawi yang dilandasi betul dengan nilai-nilai ketuhanan dan spiritual akan kekal abadi, sebagaimana seruan jihad 10 November 1945 mampu mempertahankan NKRI sebagaimana seruan jihad di Hari Badar mampu menjaga keberadaan islam. Maka jangan lepaskan nilai-nilai spiritual dari sejarah maupun kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dengannya bangsa dan negara hidup sebagaimana mestinya. Tetapi, sekali kau memaksanya lepas bahkan menafikkan kehadirannya, bangsa dan negara ini tak ubahnya omong kosong belaka.

“Kelak manusia akan menjadi tanah, tetapi arti hidup sebagai manusia akan membekas selamanya” -Penulis

Wallahu ‘Alam

Resume dari buku :
Sukarno Hatta, Bukan Proklamator Paksaan
Oleh : Walentina Waluyanti de Jonge, Penerbit Galang Pustaka, Yogyakarta, 2015

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini :
https://www.selasar.com/jurnal/35590/Syarat-Kemenangan-Sebuah-Bangsa

Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya


No comments:

Post a Comment