Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Friday, April 28, 2017

Perempuan dan Peradaban



Perempuan dan Peradaban

     Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam

Pemahaman modern berulangkali menganggap agama terutama islam membatasi peran perempuan dalam kehidupan. Syariat berupa hijab, larangan menyambut tamu ketika sudah bersuami, anjuran untuk tidak berpacara dan berbagai aturan lain dianggap sebagai pengekangan hak-hak perempuan di ranah publik. Meskipun pada hakikatnya sejarah tidak berlaku demikian, dan kenyataan pun dalam agama ada tugas-tugas lebih besar yang dibebankan khusus oleh perempuan. Karena embrio perubahan peradaban hanya mampu dilahirkan dan ditumbuh kembangkan oleh perempuan-perempuan tangguh.

Hari Kartini menjadi hari spesial, dikarenakan para perempuan dibawa kembali pada potret kelam kebudayaan kuno dimana perempuan gerak-geriknya serba dibatasi. Ditambah dengan lingkungan feodal dengan segala macam protokoler merepotkan, dan kebudayaan masyarakat saat itu benar membawa frustasi sosial tersendiri bagi perempuan. Dibatasinya hak perempuan untuk belajar, pandangan umum bahwa perempuan hanya memiliki tempat di kasur, sumur, dan dapur betul-betul membawa berbagai penyakit tidak sehat dalam masyarakat. Bahkan beberapa kali perempuan kehilangan hak untuk memperjuangkan kepentingan di depan publik.

Penulis akan menekankan bahwa akar kebudayaan tersebut bukan dari islam, bua dari ajaran Rasulullah SAW. Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia setara, hanya sejara secara fitrah laki-laki memang diberikan beberapa kelebihan seperti kuatnya fisik dan kemampuan untuk berpikir taktis. Itu saja, tidak lebih, tetapi untuk tanggung jawab dunia akhirat, hak-hak dunia akhirat, semuanya memiliki beban sama. Tidak berarti laki-laki memiliki peluang menuju surge lebih besar, ataupun sebaliknya. Bahkan dalam agama islam perempuan memilliki beberapa keistemawaan, yang kelak membuat peran perempuan menjadi vital dalam membangun peradaban.

Keterbatasan pada era Kartini, justru bisa kita samakan dengan eropa pada masa jaman kegelapan atau jazirah arab pada masa jahiliyyah. Pada era-era tersebut perempuan bahkan diperlakukan seperti barang warisan, dimana jika sang ayah meninggal dunia sang anak pertama berhak untuk menikahi ibunya. Zaman kegelapan eropa pun tidak lebih baik, dominasi gereja membawa berbagai cerita memilukan salah satunya adalah era perburuan penyihir dan prostitusi anak kecil yang dilindungi oleh pemerintah waktu itu. 

Pada poin ini, penulis ingin menekankan bahwa apa yang dialami oleh Kartini pada era itu bukanlah karena produk aturan syari’at. Bukan produk dari aturan-aturan agama, tetapi murni sebuah pemaksaan akulturasi sosial dengan kedok aturan agama. Diambil contoh, islam tidak pernah mengajarkan memisahkan anak dengan ibunya hanya perbedaan status sosial. Realita sesungguhnya, justru islam hadir untuk menghapuskan sekat-sekat dan strata-strata dalam masyarakat dengan doktrin dasar “seluruh manusia sama di mata Allah SWT”. Maka tidak adil jika sebuah produk budaya dan sosial yang jelas-jelas salah, justru kita menyalahkan agama yang tidak ada kaitannya dengan itu. Penulis simpulkan, kondisi sosial dan budaya saat itu (khususnya masyarakat jawa) sebagai sebab “penderitaan” yang dialami Kartini dan wanita pada zamannya.

Belum ada bukti empirik sejarah tentang penjelasan penulis pada paragraph ini yang disebarluaskan kepada publik. Namun, sejarah benar-benar mencatat seorang Kartini pernah belajar agama cukup lama pada KH. Sholeh Darat. Dibuktikan dengan sebuah catatan bahwa Kartini pernah menulis surat yang berisi “terimakasih pak Kyai, telah terang bagi saja penjelasan tentang minad dhulumati ilaa nnur (dari kegelapan menuju cahaya, salah satu ayat di Surat Al-Baqarah)”. Sejarahwan muslim percaya bahwa penjelasan inilah kelak membawa Kartini menuliskan bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dengan menggabungkan pengalamannya belajar Al-Qur’an dan surat menyurat dengan Abendanon. 

Fakta historis diatas mungkin memicu pro kontra dikalangan masyarakat, ditambah memang versi sejarah bisa berbeda-beda tergantung siapa penyusunnya. Namun, akan kami sajikan sesungguhnya bagaimana islam memperlakukan perempuan, dan keistimewaan apa saja yang diperoleh perempuan dalam islam. Karena pada hakikatnya, sejak awal seperti dijelaskan sebelumnya islam membawa kesetaraan dalam tanggung jawab dan hak sebagai seorang hamba.

        Pertama, mitos bahwa islam melarang wanita untuk bekerja. Mitos ini terkenal sekali dan akhirnya menimbulkan sebuah gerakan emansipasi salah arah, dimana banyak perempuan pada akhirnya bekerja sampai mati tanpa mempedulikan kelangsungan keluarga. Emansipasi tidak jelas inipun membawa Jepang, negara maju dikawasan Asia menjadi negara dengan tingkat rawan bencana kependudukan paling berbahaya di dunia. Mitos inipun akhirnya menyalahkan laki-laki sebagai mahluk otoriter dan egois, tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dan berpengalaman. Padahal, aslinya tidak seperti itu.

Nafkah keluarga dalam urusan islam adalah kewajiban seorang laki-laki, bukan hanya nafkah berupa uang saja, urusan rumah tangga seperti mencuci, memasak, bersih-bersih rumah menurut islam adalah pekerjaan laki-laki. Untuk membantu pekerjaannya tersebut, laki-laki diperbolehkan menggunakan jasa assisten rumah tangga, bukan menyuruh istrinya untuk melakukan itu semua. Lantas, kenapa di Indonesia pekerjaan rumah dilakukan oleh istri? Jawabannya sederhana, itu bukan islam, bukan syariat islam. Apa yang terjadi belakangan ini murni adalah produk sosial, produk budaya. Islam hanya mengatur sang istri “boleh” melakukan pekerjaan rumah untuk menyenangkan suami dan membantu suaminya, dan ganjaran istri yang mau melakukan itu semua sangatlah besar, bahkan bisa menjadi tiket terusan menuju surga.

Apakah islam melarang wanita bekerja? Tidak, tidak pernah. Jangankan bekerja, kalau wanita mau berperang pun juga boleh! Rasulullah SAW selalu mebawa satu istrinya dalam eskpedisi-ekspedisi militer, bahkan pasukan islam pun juga memiliki resimen militer perempuan. Bahkan tercatat seorang shohabiyyah, Hindun, berperang di barisan depan saat konflik Yarmuk. Syarat jika perempuan mau bekerja atau berperang, adalah jika dia diizinkan oleh suami atau wali-nya, kalau memang diizinkan maka silahkan.

Mungkin timbul pertanyaan,mengapa kok “ribet sekali” ya? Iya, karena islam ingin melindungi satu-satunya fungsi dimana hanya perempuan-lah yang bisa melakukan. Belum ada sejarahnya laki-laki tulen bisa hamil dan melahirkan, dan menghasilkan ASI dari payudaranya. Fungsi ini yang membuat perempuan berharga dan memang harus dijaga sebaik-baiknya. Ketika perempuan bekerja terlalu keras, kemungkinan keguguran nya betul-betul lebih tinggi, apalagi jika perempuan ikut berperang. Kemapuan fisik perempuan, sebagus apapun tetap akan kalah dari laki-laki, alasan ini membuat beberapa olahraga memisahkan kategori laki-laki dan perempuan.

Fungsi mengandung, melahirkan dan menyusui adalah krusial bagi semua pihak. Pertama, jika tidak ada yang mau mengandung, bisa dijamin sebentar lagi manusia punah. Kedua, ketiga fungsi ini adalah tahap awal penyiapan generasi, jika kita bicara peradaban maka kita berbicara masalah regenerasi, dan manusia tidak bisa melakukan regenerasi dengan membelah diri. Ketiga, kualitas seorang anak ditentukan oleh ketiga proses ini, bahkan hidup-matinya anak ditentukan oleh proses ini. Maka, demi menjaga kualitas dari ketiga proses ini, fungsi istimewa yang hanya dimiliki perempuan islam mengatur sedemikian rupa, agar dunia tidak kehabisan perempuan berkualitas untuk menjamin kelangsungan peradaban manusia.

Mitos kedua, islam melarang perempuan untuk belajar. Mitos kedua ini cukup sulit dipatahkan, karena manusia modern beranggapan bahwa “pendidikan” segalanya diukur dari gelar. Tapi akan coba saya angkat beberapa fakta menarik. Imam syafi’I adalah salah satu ulama besar islam, dimana mazhabnya diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kecuali kewajiban memakai cadar. Proses pembentukan karakter seorang Syafi’I sangatlah luar biasa, mulai dari proses bertemunya kedua orang tuanya, hingga bagaimana pendidikan usia dini beliau. Salah satu cerita menarik adalah ketika Syafi’I kecil ditinggal di rumah kemudian menangis.

Karena mendengar suara tangisan, seorang tetangga menengok dan menggendong syafi’I kecil. Karena tangisannya belum berhenti, sang tetangga (kebetulan perempuan) berinisiatif untuk menyusui beliau. Setelah disusui syafi’I kecil tertidur dan ibu beliau telah kembali ke rumah. Singkat cerita si tetangga bercerita, kemudian pulang. Setelah tetangga pulang, ibu syafi’I kecil menjalankan prosedur diet untuk memuntahkan ASI yang diberikan oleh sang tetangga. Ketika ditanya, apa jawabnya? “anak ini adalah anakku, aku tidak bisa memberikan sesuatu yang tidak jelas dalam pertumbuhannya. ASI yang aku hasilkan aku ketahui darimana asalnya (makanan pembuatnya) dan bagaimana mendapatkannya, sedangkan miliki tetanggaku hanya Allah SWT yang tahu apa yang dia makan dan bagaimana mendapatkannya”. 

Coba kita kaji ulang cerita diatas, apakah ibu ulama besar tersebut adalah bagian dari orang bodoh? Dengan pemahaman filosofis sedalam itu. Sekali lagi, islam memberikan kewajiban dan hak sama bagi semua hambanya, dan kewajiban mencari ilmu adalah sama bagi laki-laki maupun perempuan. Dimasa kejayaan islam, berdiri madrasah-madrasah khusus perempuan dimana disana diajarkan berbagai macam ilmu bahkan termasuk ilmu medis dan militer. Islam pun menuntut sang suami untuk menjadi orang cerdas dan memahami beragam disiplin ilmu, untuk kemudian mampu memberikan pendidikan pantas kepada istri dan anak-anaknya dirumah. Bahkan jika memungkinkan dipanggil guru secara khusus ke rumah untuk mengajarkan ilmu-ilmu terbaru saat itu, itulah islam!

Bahkan islam modern pun mendukung sepenuhnya perempuan untuk belajar setinggi-tingginya, tentu dengan tidak melupakan dan mengesampingkan kewajibannya atas anak-anak. Apakah perempuan mampu mengatasi semua itu? Mampu, karena begitulah desain perempuan. Desain emosi dan intelegensia perempuan yang multitasking adalah berkah Allah SWT kepada perempuan dan islam berusaha memaksimalkan itu semua. Kesalahannya adalah seringkali laki-laki dalam kasus ini suami seringkali bermanja-manja pada saat tidak tepat, sehingga sering menggangu fokus perempuan. Kesimpulannya, islam sangat mendukung perempuan untuk belajar, dan laki-laki harus memastikan perempuan untuk memperoleh pendidikan layak.

Terakhir, islam tidak adil ketika membebankan urusan pendidikan anak kepada perempuan. Pertama, penulis akan meminta maaf kepada penganut aliran feminis, apalagi mereka yang menolak untuk menikah dengan alasan tidak mau karirnya dibebani urusan anak dan keluarga. Karena jika anda mengatakan demikian, meskipun anda muslim, penulis tidak tahu apa yang Allah SWT akan perbuat kepada keyakinan dan jalan hidup kalian. Tentu saja, kalian pun telah menolak sebuah kemudahan pada kehidupan abadi, dengan surga di akhirat sana.

Kedua argumentasi tentang fungsi biologis perempuan dan kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu sebenarnya melatarbelakangi poin ketiga ini. Islam adalah agama visioner, dimana islam tidak memandang dunia dan kehidupan sebagai satu lingkaran proses saja. Islam memandang dunia dan kehidupan adalah proses tiada berakhir, dimana berbagai generasi dan manusia akan berusaha mencatatkan sejarahnya sendiri. Kelak setelah mereka mencatat sejarahnya, keturunannya akan menentukan apakah di masa mereka sejarah akan semakin indah, atau semakin buruk. Proses ini akan terus berulang hingga Allah SWT menghendaki dunia ini selesai pada masanya.

Pertanyaannya, siapakah yang berperan secara biologis untuk urusan regenerasi ini? Hubungan seksual betul memerlukan peran laki-laki dan perempuan, namun proses tumbuh kembang janin porsi besarnya diserahkan di Rahim perempuan. Tanpa adanya Rahim, tidak akan ada janin dan tidak akan lahir bayi. Siapa pula yang bisa menyusui dengan gizi terbaik dari ASI? Kecuali kalau laki-laki bisa mengeluarkan ASI mungkin ceritanya lain. Dan proses hamil hingga menyusui diperlukan perempuan-perempuan cerdas berkarakter ibu teladan.

Dapat dibayangkan jika saat mengandung sang ibu memilih untuk mengkonsumsi narkoba, minum minuman keras dan merokok, apa jadinya kita bisa menebak. Jika ketika menyusui sang ibu tidak hadir dan menyerahkan kepada orang lain, maka bisa dikatakan sejak saat itu karakter sang anak bukanlah karakter ibu-nya atau ayah-nya, tetapi karakter pembantunya. Pada tahap awal tumbuh kembang anak, ibu alias perempuan memegang peranan luar biasa penting. Jika ingin anaknya rusak, maka silahkan serahkan proses ini kepada orang lain, namun jika kita sebagai orang tua atau calon orang tua yakin anak kita adalah penerus kebaikan kita, lakukan sesuatu yang terbaik untuk mereka.

Ibu cerdas, perempuan cerdas memiliki peluang lebih besar untuk menghasilkan anak cerdas. Ibu santun, sopan dan penyayang akan menghasilkan anak sopan penyayang. Ibu pemberani dan teguh pendirian akan menghasilkan anak pemberani. Namun ibu rusak tidak bermoral, jelas akan memunculkan generasi sejenis. Alasannya sederhana, anak akan menjadi dan mengikuti perilaku kita, sebagai orang tua, khususnya ibu atau perempuan.

Keistimewaan perempuan terakhir yang ini penulis sampaikan adalah ini, perempuan akan menentukan kualitas suatu generasi. Generasi inilah kelak akan membawa peradaban, baik itu maju atau mundur. Jika ingin melihat kedepan peradaban Indonesia seperti apa, lihat saja kualitas perempuannya. Jika perempuan-perempuan suka obral murah, suka buka-buka, dan suka aneh-aneh, generasi kita berikutnya adalah generasi obral murah, buka-buka dan aneh-aneh. Dan belum pernah ada sejarahnya generasi buka-buka dan aneh-aneh melakukan sesuatu fenomenal, kecuali pada era manusia purba. 

Maka pada hari Kartini, kita jadikan sebuah momentum bukan untuk menyalakan agama atas apa yang dialami Kartini. Tetapi, mari laksanakan kewajiban dan perintah agama, karena justru disana terdapat hal-hal yang kita butuhkan. Pada akhirnya Kartini pun memperjuangkan dirinya untuk lepas dari belenggu sosial dan budaya masyarakat jawa saat itu untuk kemudian menjalankan perintah agama seperti belajar dan mengembangkan diri. Saat itu pula Kartini tidak menolak untuk menikah, justru Kartini memiliki garis keturunan luar biasa. Dan dalam kondisi demikian, Kartini meninggalkan sebuah karya luar biasa, dimana bisa dikatakan karya itu mengingatkan wanita dan masyarakat tentang  bagaimana Allah SWT mendesain dan mempersiapkan perempuan secara khusus.

Hanya perempuanlah yang berhak mendapat predikat “sang pembawa surga”, karena surganya anak ada pada ibunya. Perempuanlah yang mampu menghasilkan manusia mulia bahkan Rasulullah SAW lahir dari seorang perempuan. Dan pada diri perempuanlah, generasi emas Indonesia menanti proses kelahirannya.

Selamat Hari Kartini, wahai perempuan Indonesia

Wallahu ‘Alam

 Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6 


Untuk versi yang dimuat di selasar.com bisa kunjungi pranala dibawah ini :
https://www.selasar.com/jurnal/35477/Perempuan-dan-Peradaban-Ditinjau-Dari-Islam 

No comments:

Post a Comment