Perempuan dan Peradaban
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam
Pemahaman
modern berulangkali menganggap agama terutama islam membatasi peran perempuan
dalam kehidupan. Syariat berupa hijab, larangan menyambut tamu ketika sudah
bersuami, anjuran untuk tidak berpacara dan berbagai aturan lain dianggap
sebagai pengekangan hak-hak perempuan di ranah publik. Meskipun pada hakikatnya
sejarah tidak berlaku demikian, dan kenyataan pun dalam agama ada tugas-tugas
lebih besar yang dibebankan khusus oleh perempuan. Karena embrio perubahan
peradaban hanya mampu dilahirkan dan ditumbuh kembangkan oleh
perempuan-perempuan tangguh.
Hari Kartini
menjadi hari spesial, dikarenakan para perempuan dibawa kembali pada potret
kelam kebudayaan kuno dimana perempuan gerak-geriknya serba dibatasi. Ditambah
dengan lingkungan feodal dengan segala macam protokoler merepotkan, dan
kebudayaan masyarakat saat itu benar membawa frustasi sosial tersendiri bagi
perempuan. Dibatasinya hak perempuan untuk belajar, pandangan umum bahwa
perempuan hanya memiliki tempat di kasur, sumur, dan dapur betul-betul membawa
berbagai penyakit tidak sehat dalam masyarakat. Bahkan beberapa kali perempuan
kehilangan hak untuk memperjuangkan kepentingan di depan publik.
Penulis
akan menekankan bahwa akar kebudayaan tersebut bukan dari islam, bua dari
ajaran Rasulullah SAW. Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia setara, hanya
sejara secara fitrah laki-laki memang diberikan beberapa kelebihan seperti
kuatnya fisik dan kemampuan untuk berpikir taktis. Itu saja, tidak lebih,
tetapi untuk tanggung jawab dunia akhirat, hak-hak dunia akhirat, semuanya
memiliki beban sama. Tidak berarti laki-laki memiliki peluang menuju surge
lebih besar, ataupun sebaliknya. Bahkan dalam agama islam perempuan memilliki
beberapa keistemawaan, yang kelak membuat peran perempuan menjadi vital dalam
membangun peradaban.
Keterbatasan
pada era Kartini, justru bisa kita samakan dengan eropa pada masa jaman
kegelapan atau jazirah arab pada masa jahiliyyah. Pada era-era tersebut
perempuan bahkan diperlakukan seperti barang warisan, dimana jika sang ayah
meninggal dunia sang anak pertama berhak untuk menikahi ibunya. Zaman kegelapan
eropa pun tidak lebih baik, dominasi gereja membawa berbagai cerita memilukan
salah satunya adalah era perburuan penyihir dan prostitusi anak kecil yang
dilindungi oleh pemerintah waktu itu.
Pada poin
ini, penulis ingin menekankan bahwa apa yang dialami oleh Kartini pada era itu
bukanlah karena produk aturan syari’at. Bukan produk dari aturan-aturan agama,
tetapi murni sebuah pemaksaan akulturasi sosial dengan kedok aturan agama.
Diambil contoh, islam tidak pernah mengajarkan memisahkan anak dengan ibunya
hanya perbedaan status sosial. Realita sesungguhnya, justru islam hadir untuk
menghapuskan sekat-sekat dan strata-strata dalam masyarakat dengan doktrin
dasar “seluruh manusia sama di mata Allah SWT”. Maka tidak adil jika sebuah
produk budaya dan sosial yang jelas-jelas salah, justru kita menyalahkan agama
yang tidak ada kaitannya dengan itu. Penulis simpulkan, kondisi sosial dan
budaya saat itu (khususnya masyarakat jawa) sebagai sebab “penderitaan” yang
dialami Kartini dan wanita pada zamannya.
Belum ada
bukti empirik sejarah tentang penjelasan penulis pada paragraph ini yang
disebarluaskan kepada publik. Namun, sejarah benar-benar mencatat seorang Kartini
pernah belajar agama cukup lama pada KH. Sholeh Darat. Dibuktikan dengan sebuah
catatan bahwa Kartini pernah menulis surat yang berisi “terimakasih pak Kyai,
telah terang bagi saja penjelasan tentang minad
dhulumati ilaa nnur (dari kegelapan menuju cahaya, salah satu ayat di Surat
Al-Baqarah)”. Sejarahwan muslim percaya bahwa penjelasan inilah kelak membawa Kartini
menuliskan bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dengan
menggabungkan pengalamannya belajar Al-Qur’an dan surat menyurat dengan
Abendanon.
Fakta
historis diatas mungkin memicu pro kontra dikalangan masyarakat, ditambah
memang versi sejarah bisa berbeda-beda tergantung siapa penyusunnya. Namun,
akan kami sajikan sesungguhnya bagaimana islam memperlakukan perempuan, dan
keistimewaan apa saja yang diperoleh perempuan dalam islam. Karena pada
hakikatnya, sejak awal seperti dijelaskan sebelumnya islam membawa kesetaraan
dalam tanggung jawab dan hak sebagai seorang hamba.
Pertama,
mitos bahwa islam melarang wanita untuk bekerja. Mitos ini terkenal sekali dan
akhirnya menimbulkan sebuah gerakan emansipasi salah arah, dimana banyak
perempuan pada akhirnya bekerja sampai mati tanpa mempedulikan kelangsungan
keluarga. Emansipasi tidak jelas inipun membawa Jepang, negara maju dikawasan
Asia menjadi negara dengan tingkat rawan bencana kependudukan paling berbahaya
di dunia. Mitos inipun akhirnya menyalahkan laki-laki sebagai mahluk otoriter
dan egois, tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dan
berpengalaman. Padahal, aslinya tidak
seperti itu.
Nafkah
keluarga dalam urusan islam adalah kewajiban seorang laki-laki, bukan hanya
nafkah berupa uang saja, urusan rumah tangga seperti mencuci, memasak,
bersih-bersih rumah menurut islam adalah pekerjaan laki-laki. Untuk membantu
pekerjaannya tersebut, laki-laki diperbolehkan menggunakan jasa assisten rumah
tangga, bukan menyuruh istrinya untuk melakukan itu semua. Lantas, kenapa di
Indonesia pekerjaan rumah dilakukan oleh istri? Jawabannya sederhana, itu bukan
islam, bukan syariat islam. Apa yang terjadi belakangan ini murni adalah produk
sosial, produk budaya. Islam hanya mengatur sang istri “boleh” melakukan
pekerjaan rumah untuk menyenangkan suami dan membantu suaminya, dan ganjaran
istri yang mau melakukan itu semua sangatlah besar, bahkan bisa menjadi tiket
terusan menuju surga.
Apakah
islam melarang wanita bekerja? Tidak, tidak pernah. Jangankan bekerja, kalau
wanita mau berperang pun juga boleh! Rasulullah SAW selalu mebawa satu istrinya
dalam eskpedisi-ekspedisi militer, bahkan pasukan islam pun juga memiliki
resimen militer perempuan. Bahkan tercatat seorang shohabiyyah, Hindun,
berperang di barisan depan saat konflik Yarmuk. Syarat jika perempuan mau
bekerja atau berperang, adalah jika dia diizinkan oleh suami atau wali-nya,
kalau memang diizinkan maka silahkan.
Mungkin
timbul pertanyaan,mengapa kok “ribet sekali” ya? Iya, karena islam ingin
melindungi satu-satunya fungsi dimana hanya perempuan-lah yang bisa melakukan.
Belum ada sejarahnya laki-laki tulen bisa hamil dan melahirkan, dan
menghasilkan ASI dari payudaranya. Fungsi ini yang membuat perempuan berharga
dan memang harus dijaga sebaik-baiknya. Ketika perempuan bekerja terlalu keras,
kemungkinan keguguran nya betul-betul lebih tinggi, apalagi jika perempuan ikut
berperang. Kemapuan fisik perempuan, sebagus apapun tetap akan kalah dari
laki-laki, alasan ini membuat beberapa olahraga memisahkan kategori laki-laki
dan perempuan.
Fungsi
mengandung, melahirkan dan menyusui adalah krusial bagi semua pihak. Pertama,
jika tidak ada yang mau mengandung, bisa dijamin sebentar lagi manusia punah.
Kedua, ketiga fungsi ini adalah tahap awal penyiapan generasi, jika kita bicara
peradaban maka kita berbicara masalah regenerasi, dan manusia tidak bisa melakukan
regenerasi dengan membelah diri. Ketiga, kualitas seorang anak ditentukan oleh
ketiga proses ini, bahkan hidup-matinya anak ditentukan oleh proses ini. Maka,
demi menjaga kualitas dari ketiga proses ini, fungsi istimewa yang hanya
dimiliki perempuan islam mengatur sedemikian rupa, agar dunia tidak kehabisan
perempuan berkualitas untuk menjamin kelangsungan peradaban manusia.
Mitos
kedua, islam melarang perempuan untuk belajar. Mitos kedua ini cukup sulit
dipatahkan, karena manusia modern beranggapan bahwa “pendidikan” segalanya
diukur dari gelar. Tapi akan coba saya angkat beberapa fakta menarik. Imam
syafi’I adalah salah satu ulama besar islam, dimana mazhabnya diikuti oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia kecuali kewajiban memakai cadar. Proses pembentukan
karakter seorang Syafi’I sangatlah luar biasa, mulai dari proses bertemunya
kedua orang tuanya, hingga bagaimana pendidikan usia dini beliau. Salah satu
cerita menarik adalah ketika Syafi’I kecil ditinggal di rumah kemudian
menangis.
Karena
mendengar suara tangisan, seorang tetangga menengok dan menggendong syafi’I
kecil. Karena tangisannya belum berhenti, sang tetangga (kebetulan perempuan)
berinisiatif untuk menyusui beliau. Setelah disusui syafi’I kecil tertidur dan
ibu beliau telah kembali ke rumah. Singkat cerita si tetangga bercerita,
kemudian pulang. Setelah tetangga pulang, ibu syafi’I kecil menjalankan
prosedur diet untuk memuntahkan ASI yang diberikan oleh sang tetangga. Ketika
ditanya, apa jawabnya? “anak ini adalah anakku, aku tidak bisa memberikan
sesuatu yang tidak jelas dalam pertumbuhannya. ASI yang aku hasilkan aku
ketahui darimana asalnya (makanan pembuatnya) dan bagaimana mendapatkannya,
sedangkan miliki tetanggaku hanya Allah SWT yang tahu apa yang dia makan dan
bagaimana mendapatkannya”.
Coba kita
kaji ulang cerita diatas, apakah ibu ulama besar tersebut adalah bagian dari
orang bodoh? Dengan pemahaman filosofis sedalam itu. Sekali lagi, islam
memberikan kewajiban dan hak sama bagi semua hambanya, dan kewajiban mencari
ilmu adalah sama bagi laki-laki maupun perempuan. Dimasa kejayaan islam,
berdiri madrasah-madrasah khusus perempuan dimana disana diajarkan berbagai
macam ilmu bahkan termasuk ilmu medis dan militer. Islam pun menuntut sang
suami untuk menjadi orang cerdas dan memahami beragam disiplin ilmu, untuk
kemudian mampu memberikan pendidikan pantas kepada istri dan anak-anaknya
dirumah. Bahkan jika memungkinkan dipanggil guru secara khusus ke rumah untuk
mengajarkan ilmu-ilmu terbaru saat itu, itulah islam!
Bahkan
islam modern pun mendukung sepenuhnya perempuan untuk belajar
setinggi-tingginya, tentu dengan tidak melupakan dan mengesampingkan
kewajibannya atas anak-anak. Apakah perempuan mampu mengatasi semua itu? Mampu,
karena begitulah desain perempuan. Desain emosi dan intelegensia perempuan yang
multitasking adalah berkah Allah SWT kepada perempuan dan islam berusaha
memaksimalkan itu semua. Kesalahannya adalah seringkali laki-laki dalam kasus
ini suami seringkali bermanja-manja pada saat tidak tepat, sehingga sering
menggangu fokus perempuan. Kesimpulannya, islam sangat mendukung perempuan
untuk belajar, dan laki-laki harus memastikan perempuan untuk memperoleh
pendidikan layak.
Terakhir,
islam tidak adil ketika membebankan urusan pendidikan anak kepada perempuan.
Pertama, penulis akan meminta maaf kepada penganut aliran feminis, apalagi
mereka yang menolak untuk menikah dengan alasan tidak mau karirnya dibebani
urusan anak dan keluarga. Karena jika anda mengatakan demikian, meskipun anda
muslim, penulis tidak tahu apa yang Allah SWT akan perbuat kepada keyakinan dan
jalan hidup kalian. Tentu saja, kalian pun telah menolak sebuah kemudahan pada
kehidupan abadi, dengan surga di akhirat sana.
Kedua
argumentasi tentang fungsi biologis perempuan dan kewajiban perempuan untuk
menuntut ilmu sebenarnya melatarbelakangi poin ketiga ini. Islam adalah agama
visioner, dimana islam tidak memandang dunia dan kehidupan sebagai satu
lingkaran proses saja. Islam memandang dunia dan kehidupan adalah proses tiada
berakhir, dimana berbagai generasi dan manusia akan berusaha mencatatkan
sejarahnya sendiri. Kelak setelah mereka mencatat sejarahnya, keturunannya akan
menentukan apakah di masa mereka sejarah akan semakin indah, atau semakin
buruk. Proses ini akan terus berulang hingga Allah SWT menghendaki dunia ini
selesai pada masanya.
Pertanyaannya,
siapakah yang berperan secara biologis untuk urusan regenerasi ini? Hubungan
seksual betul memerlukan peran laki-laki dan perempuan, namun proses tumbuh
kembang janin porsi besarnya diserahkan di Rahim perempuan. Tanpa adanya Rahim,
tidak akan ada janin dan tidak akan lahir bayi. Siapa pula yang bisa menyusui
dengan gizi terbaik dari ASI? Kecuali kalau laki-laki bisa mengeluarkan ASI
mungkin ceritanya lain. Dan proses hamil hingga menyusui diperlukan perempuan-perempuan
cerdas berkarakter ibu teladan.
Dapat
dibayangkan jika saat mengandung sang ibu memilih untuk mengkonsumsi narkoba,
minum minuman keras dan merokok, apa jadinya kita bisa menebak. Jika ketika
menyusui sang ibu tidak hadir dan menyerahkan kepada orang lain, maka bisa
dikatakan sejak saat itu karakter sang anak bukanlah karakter ibu-nya atau
ayah-nya, tetapi karakter pembantunya. Pada tahap awal tumbuh kembang anak, ibu
alias perempuan memegang peranan luar biasa penting. Jika ingin anaknya rusak,
maka silahkan serahkan proses ini kepada orang lain, namun jika kita sebagai
orang tua atau calon orang tua yakin anak kita adalah penerus kebaikan kita,
lakukan sesuatu yang terbaik untuk mereka.
Ibu cerdas,
perempuan cerdas memiliki peluang lebih besar untuk menghasilkan anak cerdas.
Ibu santun, sopan dan penyayang akan menghasilkan anak sopan penyayang. Ibu
pemberani dan teguh pendirian akan menghasilkan anak pemberani. Namun ibu rusak
tidak bermoral, jelas akan memunculkan generasi sejenis. Alasannya sederhana,
anak akan menjadi dan mengikuti perilaku kita, sebagai orang tua, khususnya ibu
atau perempuan.
Keistimewaan
perempuan terakhir yang ini penulis sampaikan adalah ini, perempuan akan
menentukan kualitas suatu generasi. Generasi inilah kelak akan membawa
peradaban, baik itu maju atau mundur. Jika ingin melihat kedepan peradaban
Indonesia seperti apa, lihat saja kualitas perempuannya. Jika
perempuan-perempuan suka obral murah, suka buka-buka, dan suka aneh-aneh,
generasi kita berikutnya adalah generasi obral murah, buka-buka dan aneh-aneh.
Dan belum pernah ada sejarahnya generasi buka-buka dan aneh-aneh melakukan
sesuatu fenomenal, kecuali pada era manusia purba.
Maka pada
hari Kartini, kita jadikan sebuah momentum bukan untuk menyalakan agama atas
apa yang dialami Kartini. Tetapi, mari laksanakan kewajiban dan perintah agama,
karena justru disana terdapat hal-hal yang kita butuhkan. Pada akhirnya Kartini
pun memperjuangkan dirinya untuk lepas dari belenggu sosial dan budaya
masyarakat jawa saat itu untuk kemudian menjalankan perintah agama seperti
belajar dan mengembangkan diri. Saat itu pula Kartini tidak menolak untuk
menikah, justru Kartini memiliki garis keturunan luar biasa. Dan dalam kondisi
demikian, Kartini meninggalkan sebuah karya luar biasa, dimana bisa dikatakan
karya itu mengingatkan wanita dan masyarakat tentang bagaimana Allah SWT mendesain dan
mempersiapkan perempuan secara khusus.
Hanya
perempuanlah yang berhak mendapat predikat “sang pembawa surga”, karena
surganya anak ada pada ibunya. Perempuanlah yang mampu menghasilkan manusia
mulia bahkan Rasulullah SAW lahir dari seorang perempuan. Dan pada diri
perempuanlah, generasi emas Indonesia menanti proses kelahirannya.
Selamat
Hari Kartini, wahai perempuan Indonesia
Wallahu
‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk versi yang dimuat di selasar.com bisa kunjungi pranala dibawah ini :
https://www.selasar.com/jurnal/35477/Perempuan-dan-Peradaban-Ditinjau-Dari-Islam
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk versi yang dimuat di selasar.com bisa kunjungi pranala dibawah ini :
https://www.selasar.com/jurnal/35477/Perempuan-dan-Peradaban-Ditinjau-Dari-Islam
No comments:
Post a Comment