Demokrasi Sepakbola
Fenomena
ultras, demokrasi dan keislaman
2.6 Milyar
penduduk dunia mengenal, memainkan, tahu dan mengikuti perkembangan sebuah
olahraga kuno bernama Sepakbola. Ribuan klub, ratusan kompetisi, senantiasa
digelar setiap tahun, dengan berbagai macam hadiah, peluang sponsor, dan
gelar-gelar bergengsi dipajang sedemikian rupa. Pada hari-hari itu juga, ribuan
orang berduyun-duyun menuju stadion, entah saat akhir pekan, entah saat
kompetisi rutin bulanan, entah saat kompetisi rutin 4 (empat) tahunan atau
entah kompetisi apapun. Tiket laris dibeli, ribuan orang mengekpresikan diri,
mendukung 22 orang laki-laki/perempuan yang beradu tangkas mengolah kulit
bundar.
Permainan
sederhana yang fasih dilakukan oleh anak-anak TK sekalipun, menjadi nadi dan
denyut tersendiri. Teriakan dan yel-yel supporter untuk mendukung klub
kesayangannya, tabuhan genderang atau tepukan keras ribuan orang di dalam
stadion, keringat dan kelincahan para pemain dan kegelisahan para eksekutif
klub dalam menjaga hati sponsor menjadi penanda sebuah kehidupan. Orang-orang
terpaku pada tempatnya selama 2 kali 45 menit, baik itu di kafe, depan
televise, bersama orang-orang di dusun-dusun, dan di stadion. Berbeda tempat,
berbeda zona waktu namun berbagi semangat yang sama. Dan lebih penting, berbagi
keberpihakan dan perasaan yang sama dengan jutaan penikmat sepakbola lain di
seluruh dunia.
Dalam agama
islam, secara khusus kita sebagai ummat muslim dilarang untuk membuang-buang
waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Namun, dalam opini kami sangat
menarik jika kita membahas lebih jauh tentang fenomena sepakbola dan kekuatan
seperti apa yang dapat mereka bawa dan dapat mereka rubah, bahkan, bagaimana
sepakbola bisa menjadi sebuah ancaman dalam kondisi tertentu.
Meskipun
ada orang yang tidak menyukai hal ini, kenyataan nya demokrasi dan politik
praktis menjadi kekuatan global. Mayoritas Negara dunia memberikan pilihan
kepada rakyatnya untuk menentukan pemimpin, mengelola Negara dan menyuarakan
pendapat. Dengan system demikian, rakyat bisa melakukan berbagai fungsi baik
fungsi kontrol, pemberian masukan, hingga membantu proses pengambilan keputusan
dalam suatu Negara. Dan tentu, yang mengawali itu semua adalah kebebasan
individu atau kelompok untuk menyuarakan pendapat.
Banyak
metode untuk menyuarakan pendapat, mulai dari berbagi opini di media sosial,
aksi-aksi advokasi, penyampaian aspirasi terbuka dijalanan, hingga aksi-aksi
yang lain. Namun, perlu diingat, gagasan yang tidak disebarluaskan hanya akan
berhenti menjadi sebuah wacana atau opini kosong, dan kita ketahui bersama,
untuk menyampaikan gagasan kita perlu bantuan yang bernama media. Namun
sayangnya, media sendiri tidak mungkin menyalurkan dan menyampaikan semua
gagasan, dan terkadang gagasan kita tidak cukup menarik untuk disampaikan oleh
media. Bahkan melihat kondisi dewasa ini, media cenderung memilih dan memilah
gagasan mana yang akan disampaikan menuju khalayak.
Namun,
pernahkan anda menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola, dimana gerak-gerik
dan aksi supporter maupun klub yang bertanding, tidak ditayangkan oleh media?
Lebih hebatnya lagi, ribuan orang itu masuk seluruh nya bahkan hingga siaran
televise nasional dan internasional. Ribuan orang yang berdiri selama 2x45
menit itu, mampu menyampaikan gagasan dan ide nya hingga ke berbagai penjuru
dunia, padahal, mereka hanya berdiri di satu tempat dan di satu waktu yang
sama.
Studi kasus
yang saya angkat adalah aksi heroic supporter Glasgow Celtic saat mengibarkan
bendera palestina ketika menjamu sebuah tim asal negeri aggressor, Israel dalam
sebuah laga di Liga Champion Eropa. Dibalik seluruh kritik dan cercaan bahkan
sanksi yang diberikan UEFA kepada tim ini, para ultras tersebut sekali lagi
mengingatkan dunia bahwa masih ada manusia-manusia yang belum merdeka di dunia
modern ini. Sekali lagi, mereka mampu menyuarakan sesuatu yang puluhan tahun
muslim Indonesia suarakan di jalan-jalan, dengan lebih lantang, dengan
jangkauan yang lebih luas, dengan lebih berdampak, dan lebih keras “menampar”
para penjajah Israel. Hanya dengan 2x45 menit, menyaksikan sebuah “hiburan”,
membayar tiket yang tidak seberapa, mendapatkan tempat duduk, dan dilindungi
sepenuhnya oleh polisi setempat, ultras Celtic memberikan sesuatu yang
sederhana, namun berdampak besar bagi dunia.
Tidak hanya
Glasgow Celtic, ultras-ultras di seluruh dunia beberapa kali menunjukkan
aksi-kasi simpatik yang memihak kepada kepentingan kemanusiaan. Seperti
koreografi Pasoepati Persis saat laga persahabatan melawan Malaysia yang
menunjukkan bendera Palestine dan Indonesia yang beriringan. Aksi “Green Lamp”
dalam menghormati sebuah tim yang mengalami kecelakaan tragis, hingga aksi-aksi
mengheningkan cipta untuk memperingati berbagai tragedi secara global dilakukan
terus menerus oleh ultras-ultras lapangan hijau. Menimbulkan simpati, bersama
membangkitkan semangat, dan lain sebagainya. Lapangan hijau, sepakbola dan
supporter nya, menjadi sebuh fragmen menyuarakan pendapat “terbaik” di dunia.
Karena orang bisa menjadi dirinya sendiri selama 2x45 menit, tanpa khawatir
akan penindasan oleh manusia apapun di dunia.
Pernahkah
kita membayangkan jika seorang pimpinan kelompok penggemar sepakbola
mencalonkan diri menjadi seorang anggota dewan? Setiap akhir pekan dia
mengkomando ribuan orang di tribun. Apakah memperoleh 5000 suara untuk menjadi
seorang anggota dewan kota sulit? Seperti calon-calon lain yang tidak pernah
berdiri di tribun? Tentu, berbeda. Ini membuktikan, sepakbola dan budayanya,
tidak hanya berdampak besar saat berada di lapangan, namun diluar lapangan.
Bukan
rahasia lagi ketika kita mengatakan Barcelona sebagai antithesis dari real
Madrid. Tidak hanya sebagai tim sepakbola, tapi mewakili Kerajaan Spanyol dan
Wilayah Otonomi Catalan. Klub-klub sepakbola di Yunani pun sama, mereka hadir
di stadion membawa ideology politik masing-masing, baik itu kiri, kanan maupun
tengah. Bahkan di skotlandia, The Old Firm Derby mewakili rivalitas 2 (dua)
agama, Katolik dan Protestan. Northwest Derby di Inggris antara Liverpool dan
Manchester United mewakili perselisihan ekonomi kedua kota, Derby de La
Capitale antara Lazio dan AS Roma mewakili konflik entitas di ibukota Italia,
Roma, dan lain sebagai nya.
Sepakbola
di Negara maju, menjelma tidak hanya sebatas hibura, nemun sudah menjadi sebuah
kendaraan politik, ekonomi dan budaya raksasa. Menghasilkan jutaan dollar
setiap tahun, dan memiliki kemampuan untuk menggoyang stabilitas suatu Negara,
bahkan dengan segala kemungkinan mendompleng kekuasaan yang bercokol di suatu
Negara. Sebuah kekuatan luar biasa yang muncul dari pertempuran 22 orang
memperebutkan sebuah bola kulit di tengah lapangan rumput berwarna hijau.
Akan kami
berikan dua contoh, yang mungkin kita semua cenderung tidak peduli. Supremasi
ekonomi Turki pernah terancam pada tahun 2014 karena konflik antara pemerintah
dengan masyarakat atas sebuah taman di tengah Kota Istanbul. Pertanyaan kedua,
mengapa figure pemimpin sekuat Erdogan dan pemerintahan sekuat Turki mampu
bergoyang sedikit hanya karena sebuah taman? Perlu dicatat, ribuan orang
terlibat dan terjun dalam aksi tersebut, dan yang membuat aksi ini menarik
teruatama bagi pecinta sepakbola, adalah bersatunya 3 kelompok supporter
terbesar di Istanbul yang mewakili Galatasaray, Fenerbache dan Besiktas untuk
bersatu dan turut serta dalam aksi tersebut. Kira-kira, berapa ribu manusia
yang bergabung dan turut dalam aksi tersebut, hanya dari ketiga komunitas
supporter itu?.
Contoh
kedua sangat menyakitkan bagi kami selaku penulis. Revolusi emas yang dilakukan
masyarakat Mesir di Tahrir Square selama berhari hari rontok seketika, dalam
waktu yang sangat singkat. Sebabnya, mayoritas supporter besar di Mesir yang
mewakili berbagai tim seperti Zamalek, Al Ahly dan tim-tim lain berhasi
“disetir” untuk turut menggulingkan presiden resmi dan terpilih Mesir, Mohammad
Mursi. Sebuah contoh yang pahit sesungguhnya, terutama bagi ummat islam yang
mendambakan pemerintahan yang sesuai syari’at islam.
Kekuatan
yang tidak bisa kita remehkan yang muncul dari “sekelompok orang tidak punya
kerjaan” yang berkumpul tiap akhir pekan di sebuah stadion. Figure pemimpin
kokoh seperti Erdogan, ataupun pemerintahan hasil perjuangan selama 32 tahun,
bergoyang dan rontok “hanya” karena terlibatnya sekelompok penggemar sepakbola.
Pada hal ini, kami ingin menyampaikan bahwa ummat islam tidak bisa hanya
mengacuhkan fenomena ini. Sebagaimana kesenian dan music mampu merusak atau
memperbaiki suatu generasi, olahraga terutama sepakbola memiliki kekuatan yang
kurang lebih sama.
Namun
disayangkan, sampai detik ini tidak banyak ummat islam yang peduli, bahkan
cenderung memberikan stigma negative kepada kelompok manusia yang satu ini.
Ummat islam cenderung tersibukkan dengan aktifitas structural, seperti politik,
dan melupakan bahkan tidak peduli terhadap hal-hal kultural seperti sepakbola
dan sebagainya. Perlu kita pahami bersama, islam adalah agama yang bisa
mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dan perlu kita pahami bersama,
dunia olahraga terutama sepakbola juga memiliki hak untuk dikenalkan dengan
kemuliaan islam.
Bukan
proses yang mudah memang, untuk mampu mengambil peran dalam dunia-dunia
kultural. Bukan sesuatu yang lazim ketika seorang kyai besar hadir dalam tribun
penonton dan turut berteriak-teriak menyanyikan yel-yel dukungan. Tetapi,
seorang kyai dapat mengarahkan yel-yel menuju sesuatu yang bermanfaat. Seorang
pemain muda muslim dapat bertakbir saat berselebrasi merayakan goal-nya. Dan
ribuan supporter yang hatinya tersentuh kemuliaan islam akan dengan ringan
melangkahkan kakinya membela agama dan para ‘ulamanya, sebagaimana mereka
berjalan setiap pekan untuk mendukung tim kesayangan nya menuju stadion.
Islam
adalah agama yang syumul, mengarahkan dan memberikan pedoman terbaik kepada
manusia sejak bangun hingga tidur kembali. Siapapun itu selama mereka manusia
adalah objek dari dakwah islam itu sendiri. Lebih peduli, lebih pandai
mengelola anak-anak dan keluarga kita atas kecintaan nya terhadap sepakbola.
Lebih peduli dengan masyarakat yang kegirangan saat tim nya memenangkan sebuah
pertandingan, minimal dengan menyapa dan menanyakan skor yang diperoleh tim
tersebut. Seorang Soeharto memerlukan waktu 32 tahun untuk memperoleh gelar
“bapak pembangunan”, tetapi, kami yakin, seorang presiden yang mampu membawa
Indonesia mengikuti piala dunia, akan dikenang dan terus dikenang.
Wallahu
‘Alam
Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management
Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com
or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6
No comments:
Post a Comment