30 Hari
-Sedang Disuruh Diam
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam
Membayangkan rapat sampai tengah malam, terjaga, membuat
beragam konsep, melang-lang buana melntasi batas wilayah dan kota, berbicara
dan membagikan inspirasi. Itulah mungkin gambaran ideal seorang aktivis,
apalagi seorang mahasiswa. Diharapkan masyarakat banyak menjadi inisiator
perubahan, pembeda dari sebuah zaman, dan nafas baru bagi perbaikan. Sehingga
tidak jarang, tubuh yang diamanahkan Allah dipaksa berpacu, melebihi batas
sebagaimana mestinya, dipaksa bergerak meski ingin terdiam, hingga akhirnya,
ketika Allah mengizinkan diri ini untuk terpejam tidur, itulah hadiah terindah
yang bisa seorang aktivis rasakan.
Namun, pernahkah seorang aktivis berpikir jika Allah
menginginkan dirinya beristirahat sedikit lebih lama?. Pengalaman pribadi saya
menjadi saksi, bahwa seringkali seorang yang terbiasa bergerak akan sangat
menderita jika dia dipaksa beristirahat di dibatasi amal-nya. Kemudian, sangat
perlu bagi seorang aktivis merencanakan kemungkinan tersebut dan mempersiapkan
sebaik-baiknya.
Genap 30 hari sudah, saya menjadi beban tanggungan kedua
orang tua dan keluarga. Benturan keras yang terjadi saat bermain dengan jeram
menjadi awal, dan posisi salah yang terjadi saat berjongkok di kamar mandi
menjadi pemicu tercepitnya syaraf di bagian pinggang dan tulang belakang.
Alhasil, kaki kiri yang dulu tegap menyokong, diistirahatkan Allah, sehingga
kehilangan beberapa fungsi pentingnya. Saya sendiri tidak pernah membayangkan
akan mengalami sesuatu yang demikian.
Terbiasa hidup dengan bergerak bebas,
kembali menjadi seorang bayi yang memerlukan perhatian ibu-nya, bahkan hanya
untuk urusan sepele seperti buang air dan mandi. Apakah saya merasa terpukul?
Allahu Akbar, Allah sedang menyayangi saya dan ingin agar dosa-dosa saya
diampuni.
Dalam 30 hari ini, banyak hal yang terjadi Dalam diamnya
saya, itulah yang akan saya ceritakan, itulah yang akan saya bagi. Harapannya,
rekan-rekan ku sesame aktivis mampu mempersiapkan sesuatu, ketika Allah meminta
kita untuk beristirahat.
Jagalah
keluargamu
Usia saya hampir menginjak 22 tahun, tepatnya 21 tahun 10
bulan. Dan saya sama sekali tidak menyangka saya dimandikan kembali oleh ibu
saya. Sederhana, fungsi gerak di kaki kiri saya yang terganggu membuat saya
kehilangan kemampuan untuk berdiri lama, sehingga dalam proses mandi saya harus
dibantu terutama untuk proses membersihkan hadats. Allahu akbar, disaat seperti
itulah ibu saya senantiasa membantu, ditengah usianya yang semakin senja.
Membantu memakaikan pakaian, membantu membersihkan hadats, menyiapkan makan,
bahkan mengambilkan air minum.
Bapak saya adalah orang yang tegar yang sangat jarang saya
lihat beliau menangis. Namun saya tahu sendiri, di sela-sela sholatnya
senantiasa air mata itu meleleh mendoakan anak-nya yang tengah disayang Allah
ini. Bahkan nenek, paman dan bibi, serta adik saya melakukan yang terbaik untuk
kesembuhan saya. Doa-doa mereka, perhatian dan bantuan mereka menjadi semangat
tersendiri untuk saya tetap bertahan dan menjalani terapi rutin harian.
Pertanyaan sederhana, seorang aktivis, ketika sedang sehat
seberaakah perhatian yang dicurahkan kepada keluarga? Dengan alasan rapat dan
agenda, apapun macamnya, jangankan menelpon, menanyakan kabar via whatsapp
saja, yang gratis, seringkali terlupa. Jangan pernah lupakan, kasih sayang
keluarga adalah sebagian dari kasih sayang yang Allah berikan kepada manusia di
dunia. Apa kabar keluargamu hari ini kawan?
Allah
sedang Ingin Bermesraan Denganmu
Seringkali, ketika kita sakit kita meratap dan melupakan
esensi dari munculnya rasa sakit. Bahkan tak jarang kita berpikiran Allah
sedang memiliki rencana jahat kepada kita. Perlu kita ingat, rasa sakit muncul
sebagai wujud kasih sayang Allah kepada hambanya. Imbalan dari mereka yang
bersabar dari rasa sakit adalah terhapusnya dosa-dosa secara perlahan, hingga
Allah berkenan mencabut penyakit tersebut.
Hal-hal seperti itu memang filosofis dan banyak aktivis yang
hapal diluar kepala, namun Allahu Akbar, pengamalannya luar biasa sulit. Alasannya
sederhana, rasa sakit dan ketidak-bebasan diri untuk beraktifitas memang
menjadi wujud siksaan tersendiri. Tidak nyaman bahkan tidak bisa tidur di malam
hari menjadi bumbu, semakin membuat “sedap” apa yang kita rasakan. Tetapi satu
hal yang saya peroleh, waktu demikian bisa jadi waktu paling tepat untuk
bermunajat dan berdzikir.
Saya mengakui disaat saya sakit ini, semakin banyak waktu
yang bisa saya manfaatkan untuk berdzikir, bermuhasabah dan berdoa. Bahkan
ketika rasa sakit itu menyerang, yang bisa menenangkan ketika saya dibimbing
berdzikir dengan keluarga , atau berdzikir dan berdoa secara mandiri. Sebuah
siaran radio yang saya dengan pernah membagi nasihat dari para sholihin zaman
dahulu. “sesungguhnya Allah sangat bisa mengabulkan keinginan hambanya yang
sholih dalam waktu secepat-cepatnya, namun Allah masih menahannya karena ingin
hambanya itu menyebut nama-Nya dan memanggil-Nya dalam doa-doa yang dia
panjatkan”, maka, harapan kita semua, disaat kita sakit, kita termasuk hamba
yang Allah cintai.
Terapi
Avasin dan Kekuatan Ukhuwah
Dalam 30 hari waktu “istirahat” saya ini, saya mengalami 3
hari masa “tambahan” di rumah sakit. Bersebalahan dengan kakek dan para sesepuh
yang mengalami berbagai macam penyakit yang tidak bisa saya bayangkan menjadi
bumbu penyedap tersendiri. Selain itu, terapi Avasin yang saya jalani, menuntut
saya untuk berbaur bersama bapak-bapak dan ibu-ibu dengan beragam penyakit yang
luar biasa.
Namun, senyum mereka ketika saya diizinkan pulang dari rumah
sakit atau selesai menjalani terapi, doa dan ucapan lekas sembuh yang mereka
sampaikan kepada saya, menjadi keistimewaan tersendiri. Apakah mereka kenal
saya? Tidak, sayapun tidak mengenal mereka. Namun sangat ringan doa tersebut
mengalir, sangat mudah bantuan itu hadir diantara kami semua. Dan pada saat
itulah ukhuwah itu muncul dan mengalir dengan nikmat.
Dari kekuatan ukhuwah itu juga menumbuhkan hal-hal lain yang
saya bahkan sama sekali tidak menyangka. 10 tahun sudah saya tidak berdomisili
di semarang, dan bisa dikatakan saya kurang begitu akrab dengan suasana dan
kondisi di kota kelahiran saya. Namun, di waktu istirahat saya yang berharga
ini, Allah berkesempatan menunjukkan kepada saya, betapa saya dicintai mereka,
dan betapa saya harus mencintai mereka yang hidup di kota kelahiran saya ini.
Bantuan berupa doa, dan bantuan lain, kunjungan silaturrahim
dari berbagai kalangan hingga doa yang khusus dipanjatkan bakda sholat shubuh
membuat seorang Azzam berpikir. Siapa saya? Dan apa yang sudah saya lakukan
selama ini? Bisakah saya membalas kebaikan yang mereka berikan kepada saya?
Wallahu ‘Alam. Tapi kawan, waktu istirahat ini memang senantiasa menghadirkan
kuasa Allah yang tidak main-main. Hikmah demi hikmah senantiasa Allah hadirkan
untuk membuat diri kita kembali mengukur diri, sadar diri dengan posisi kita
sebagai aktivis.
Yang terakhir, kepada siapapun anda yang membaca tulisan ini,
penulis ingin menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya, karena
bagaimanapun, permohonan maaf bisa menjadi wasilah penyembuhan. Kedua, penulis
mohon doa, semoga Allah berkenan untuk mengambil penyakit yang tengah menjadi
sarana “istirahat” bagi penulis. Dan terakhir, bagi teman-temanku sesame
aktivis, apakah yang sudah kita siapkan di waktu “istirahat” kita?
Wallahu ‘Alam
Semarang, 02 February 2017
No comments:
Post a Comment