Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Thursday, July 28, 2016

Kekerasan Seksual Terhadap Anak : Ketika Orang Tua Mempertaruhkan Masa Depan Anaknya

Kekerasan Seksual Terhadap Anak :
Ketika Orang Tua Mempertaruhkan Masa Depan Anaknya





suatu ketika khalifah Umar bin Khattab kedatangan seorang warganya yang mengadukan bahwa anaknya telah menjadi anak yang tidak berbaikti pada orang tua-nya, berlaku rofas, dan senang melakukan keburukan. Disaat khalifah hendak memberikan putusan-nya, si anak berkata “ya khalifah, apakah aku akan dihukum karena kesalahanku? Padahal bapak ku tidak pernah mengajarkanku al-qur’an, tidak pernah mengenalkanku pada islam, dan tidak pernah meneladani soal akhlak karimah?”. Khalifah Umar berbalik menghadap si bapak dan menanyakan perihal jawaban anaknya, dan bapaknya mengiyakan, bahwa dia melakukan apa yang dikatakan anaknya. “ketahuilah bahwa bukan anakmu yang pantas dipersalahkan atas apa yang dia lakukan, namun engkau si bapak, yang tidak memenuhi hak-hak anaknya” –disarikan dari kisah sahabat populer

Pada tahun 2011, terjadi 2500 kasus kejahatan terhadap anak, dan 62,7% merupakan kejahatan seksual terhadap anak, puncaknya, pada tahun 2013 komnas anak menetapkan darurat nasional kejahatan seksual terhadap anak. Bisa kita bayangkan 3 tahun lalu, sebelum tulisan ini dibuat Indonesia telah berada dalam kondisi darurat nasional kejahatan seksual terhadap anak, dan semakin tahun berganti, semakin kita temukan, anak telah menjadi objek eksploitasi secara seksual, baik melalui pemaksaan, prostitusi, hingga sukarela. Beberapa kasus yang membuat masyarakat Indonesia geram, seperti kasus Yuyun, kasus Eno Fariah, menjadi sebuah bukti nyata bahwa Indonesia, Negara yang katanya ramah telah menjadi Negara yang tidak ramah anak.
Beberapa ahli coba memberikan solusi-solusi atas permasalahan ini, beberapa solusi telah diujicoba, beberapa yang lain dalam tahap penilaian oleh parlemen. Namun, perlu kita ketahui bersama bahwa undang-undang telah menjamin hak anak atas perlindungan dari kejahatan seksual, sebut saja pasal 1 ayat 1 UU 35 tahun 2014 yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan pasal 15 huruf f UU 35 tahun 2014 yang berbunyi Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Intinya, undang-undang, peraturan, Negara telah berusaha dengan regulasinya guna melindungi hak anak. Contoh lain adalah bagaimana tindak kejahatan seksual terhadap anak yang dipidanakan senantiasa dikenai pasal berlapis, bahkan hukuman minimalnya adalah penjara seumur hidup, dan baru-baru ini ditambahi dengan kebiri secara kimiawi (metor tv, kasus yuyun 2016). Maka, dimanakah simpul masalahnya? Selain regulasi, apakah yang membuat hukum tidak berjalan?.
Hukum, terdiri dari subjek dan objek hukum, dimana keduanya harus berjalan sehingga suatu hukum dapat berjalan dengan baik (Sentot, 2014). Namun, disayangkan keduanya jarang bisa kita temukan berjalan, terkadang subjek hukum bermasalah, namun lebih sering objek hukum-lah yang tidak mau mematuhi aturan-aturan hukum. Misalkan undang undang pornografi dan pornoaksi, meskipun sudah disahkan menjadi undang-undang, tetap saja Indonesia senantiasa masuk rangking 10 besar pengakses situs porno global). Begitu juga dengan masalah anak, ada variabel lain, yang memiliki peran besar, dan variabel tersebut ada kaitannya dengan (seolah) mandul-nya hukum kita.
Proses pendidikan anak, dan proses asuh anak semuanya tidak diawali dari sekolah, namun dari keluarga. Bisa dikatakan jika sebuah keluarga telah memiliki masalah, maka akan timbul bahaya laten secara social bagi anak. Perkembangan dewasa ini, peran keluarga dalam mendidik dan menghasilkan anak berkualitas, apalagi melindungi anak dari kejahatan seksual, semakin diragukan. Berdasarkan data dari lembaga bantuan hukum APIK (LBH APIK) Indonesia, angka perceraian di Indonesia adalah terttinggi diantara Negara-negara kwasan asia-pasifik. Data lain yang dirilis kementrian keagaaman Subdit kepenghuluan, rata-rata orang Indonesia bercerai 40 orang setiap jam-nya. Bisa dibayangkan, dari aspek keharmonisan hubungan keluarga Indonesia telah berada dalam kondisi gawat darurat.
Belum jika kita melihat aspek lain, seperti tren tayangan televise orang Indonesia, ditemukan bahwa pada 20 Juni 2016, 10 dari 15 acara televisi lokal dengan rating teratas adalah sinetron, yang memiliki basis masa diatas umur 13 tahun (Forum LI). Maka, disimpulkan penonton paling banyak tetaplah diatas usia remaja awal, bahkan beberapa sinetron khusus seperti Uttaran ANTV, telah memiliki basis masa istimewa berupa kalangan ibu rumah tangga. Pertanyaannya, kapan-kah waktu ibu-ibu, para orang tua tersebut mendidik anaknya?.
Sejarah hidup rasulullah menunjukkan, beliau adalah seorang yatim namun telah memiliki alur pendidikan yang sangat pas. Sayyid Quthb dalam bukunya, Shirah Nabawiyyah untuk Remaja menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak sekalipun kehilangan urgensi pendidikan keluarga. Pada usia hingga 4 tahun, beliau mengalami fase perbaikan akhlak, tata bahasa, di kalangan Bani Sa’ad dibawah asuhan Halimah As-Sa’diyyah. Fase 4 sampai 6 tahun, beliau berada dalam asuhan ibu-nya, yang memberikan wawasan tentang nasab, pendidikan awal, dan menjalin huungan family. Pada usia 6-8 dibawah asuhan kakeknya, Abdul Muthalib, nabi telah diajar dasar-dasar bersosial, bahkan beliau diajari untuk menjamu para jama’ah haji, dikenalkan dengan darun nadwah, dan dengan para pembesar Suku Quraisy pada waktu itu.
Bandingkan dengan keluarga modern, yang semenjak anaknya lahir telah terbiasa dengan susu formula, belaian kasih para baby sitter, bahkan pada mei 2016 seorang baby sitter ditangkap karena membanting hingga tewas seorang bayi (Tribun Jateng, 31 Mei 2016). Maka, salah satu fondasi utama pendidikan dan pengasuhan anak di Indonesia, yaitu keluarga dan secara khusus orang tua tengah berada dalam kondisi mengkhawatirkan, dan bisa disimpulkan, merebaknya kasus pelecehan dan kekerasa seksual terhadap anak salah satunya ada pada keluarga. Bahkan tidak jarang, anggota keluarga turut menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Maka mengambalikan peran keluarga dan kekokohan keluarga adalah sebuah keniscyaaan. Peran keluarga adalah penting kaitannya menjaga anak-anak dari ancaman kejahatan dalam bentuk apapun apalagi kejahatan seksual. Sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi, bahwa Anak adalah asset masa depan orang tua-nya, maka mengembalikan pola pikir ini, adalah sebuah keniscayaan. Pola pendidikan modern haruslah tidak lepas dari peran da  intervensi keluarga, anak berhak mendapat sentuhan pendidikan awal di kalangan keluarga, bukan dari tempat yang lain. Jangan sampai lingkungan sekolah, lingkungan permainan menjadi sekolah perdana, tempat anak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan pertama kali. Karena bagaimanapun, keluarga adalah fondasi utama sebuah bangsa, dimana sebuah bangsa yang besar, akan runtuh jika tidak memiliki keluarga yang kokoh.


Sumber :
Kuliah kedua hukum bisnis, oleh Dr. Albertus Sentot, FEB UNS, 2014
Aziz, Subhan Abdul; “Perlindungan Anak dari Penyimpangan Sosial”¸Seminar Gerakan Indonesia Cerdas Bermoral, FSLDK Indonesia 2016
Undang-undang nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Quthb, Sayyid; “Shirah Nabawiyyah untuk Remaja”, Istimewa, 2004
https://www.facebook.com/Update-Banget-854494461235452/ diakses pada 24 Juni 2016 Pukul 12.55

Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6


No comments:

Post a Comment