Kekerasan Seksual Terhadap Anak :
Ketika Orang Tua Mempertaruhkan Masa
Depan Anaknya
“suatu ketika khalifah Umar bin
Khattab kedatangan seorang warganya yang mengadukan bahwa anaknya telah menjadi
anak yang tidak berbaikti pada orang tua-nya, berlaku rofas, dan senang
melakukan keburukan. Disaat khalifah hendak memberikan putusan-nya, si anak
berkata “ya khalifah, apakah aku akan dihukum karena kesalahanku? Padahal bapak
ku tidak pernah mengajarkanku al-qur’an, tidak pernah mengenalkanku pada islam,
dan tidak pernah meneladani soal akhlak karimah?”. Khalifah Umar berbalik
menghadap si bapak dan menanyakan perihal jawaban anaknya, dan bapaknya
mengiyakan, bahwa dia melakukan apa yang dikatakan anaknya. “ketahuilah bahwa
bukan anakmu yang pantas dipersalahkan atas apa yang dia lakukan, namun engkau
si bapak, yang tidak memenuhi hak-hak anaknya” –disarikan dari kisah sahabat
populer
Pada tahun 2011, terjadi 2500 kasus
kejahatan terhadap anak, dan 62,7% merupakan kejahatan seksual terhadap anak,
puncaknya, pada tahun 2013 komnas anak menetapkan darurat nasional kejahatan
seksual terhadap anak. Bisa kita bayangkan 3 tahun lalu, sebelum tulisan ini
dibuat Indonesia telah berada dalam kondisi darurat nasional kejahatan seksual
terhadap anak, dan semakin tahun berganti, semakin kita temukan, anak telah
menjadi objek eksploitasi secara seksual, baik melalui pemaksaan, prostitusi,
hingga sukarela. Beberapa kasus yang membuat masyarakat Indonesia geram,
seperti kasus Yuyun, kasus Eno Fariah, menjadi sebuah bukti nyata bahwa
Indonesia, Negara yang katanya ramah telah menjadi Negara yang tidak ramah
anak.
Beberapa ahli coba memberikan
solusi-solusi atas permasalahan ini, beberapa solusi telah diujicoba, beberapa
yang lain dalam tahap penilaian oleh parlemen. Namun, perlu kita ketahui
bersama bahwa undang-undang telah menjamin hak anak atas perlindungan dari
kejahatan seksual, sebut saja pasal 1 ayat 1 UU 35 tahun 2014 yang berbunyi Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Dan pasal 15 huruf f UU 35 tahun 2014 yang berbunyi
Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual.
Intinya, undang-undang, peraturan, Negara telah berusaha dengan regulasinya
guna melindungi hak anak. Contoh lain adalah bagaimana tindak kejahatan seksual
terhadap anak yang dipidanakan senantiasa dikenai pasal berlapis, bahkan
hukuman minimalnya adalah penjara seumur hidup, dan baru-baru ini ditambahi
dengan kebiri secara kimiawi (metor tv, kasus yuyun 2016). Maka, dimanakah
simpul masalahnya? Selain regulasi, apakah yang membuat hukum tidak berjalan?.
Hukum, terdiri dari subjek dan objek
hukum, dimana keduanya harus berjalan sehingga suatu hukum dapat berjalan
dengan baik (Sentot, 2014). Namun, disayangkan keduanya jarang bisa kita
temukan berjalan, terkadang subjek hukum bermasalah, namun lebih sering objek
hukum-lah yang tidak mau mematuhi aturan-aturan hukum. Misalkan undang undang
pornografi dan pornoaksi, meskipun sudah disahkan menjadi undang-undang, tetap
saja Indonesia senantiasa masuk rangking 10 besar pengakses situs porno
global). Begitu juga dengan masalah anak, ada variabel lain, yang memiliki
peran besar, dan variabel tersebut ada kaitannya dengan (seolah) mandul-nya
hukum kita.
Proses pendidikan anak, dan proses
asuh anak semuanya tidak diawali dari sekolah, namun dari keluarga. Bisa
dikatakan jika sebuah keluarga telah memiliki masalah, maka akan timbul bahaya
laten secara social bagi anak. Perkembangan dewasa ini, peran keluarga dalam
mendidik dan menghasilkan anak berkualitas, apalagi melindungi anak dari
kejahatan seksual, semakin diragukan. Berdasarkan data dari lembaga bantuan
hukum APIK (LBH APIK) Indonesia, angka perceraian di Indonesia adalah
terttinggi diantara Negara-negara kwasan asia-pasifik. Data lain yang dirilis
kementrian keagaaman Subdit kepenghuluan, rata-rata orang Indonesia bercerai 40
orang setiap jam-nya. Bisa dibayangkan, dari aspek keharmonisan hubungan
keluarga Indonesia telah berada dalam kondisi gawat darurat.
Belum jika kita melihat aspek lain,
seperti tren tayangan televise orang Indonesia, ditemukan bahwa pada 20 Juni
2016, 10 dari 15 acara televisi lokal dengan rating teratas adalah sinetron,
yang memiliki basis masa diatas umur 13 tahun (Forum LI). Maka, disimpulkan penonton
paling banyak tetaplah diatas usia remaja awal, bahkan beberapa sinetron khusus
seperti Uttaran ANTV, telah memiliki basis masa istimewa berupa kalangan ibu
rumah tangga. Pertanyaannya, kapan-kah waktu ibu-ibu, para orang tua tersebut
mendidik anaknya?.
Sejarah hidup rasulullah menunjukkan,
beliau adalah seorang yatim namun telah memiliki alur pendidikan yang sangat
pas. Sayyid Quthb dalam bukunya, Shirah Nabawiyyah untuk Remaja menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak sekalipun kehilangan urgensi pendidikan keluarga.
Pada usia hingga 4 tahun, beliau mengalami fase perbaikan akhlak, tata bahasa,
di kalangan Bani Sa’ad dibawah asuhan Halimah As-Sa’diyyah. Fase 4 sampai 6
tahun, beliau berada dalam asuhan ibu-nya, yang memberikan wawasan tentang
nasab, pendidikan awal, dan menjalin huungan family. Pada usia 6-8 dibawah
asuhan kakeknya, Abdul Muthalib, nabi telah diajar dasar-dasar bersosial,
bahkan beliau diajari untuk menjamu para jama’ah haji, dikenalkan dengan darun
nadwah, dan dengan para pembesar Suku Quraisy pada waktu itu.
Bandingkan dengan keluarga modern,
yang semenjak anaknya lahir telah terbiasa dengan susu formula, belaian kasih
para baby sitter, bahkan pada mei 2016 seorang baby sitter ditangkap karena
membanting hingga tewas seorang bayi (Tribun Jateng, 31 Mei 2016). Maka, salah
satu fondasi utama pendidikan dan pengasuhan anak di Indonesia, yaitu keluarga
dan secara khusus orang tua tengah berada dalam kondisi mengkhawatirkan, dan
bisa disimpulkan, merebaknya kasus pelecehan dan kekerasa seksual terhadap anak
salah satunya ada pada keluarga. Bahkan tidak jarang, anggota keluarga turut
menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Maka mengambalikan peran keluarga dan
kekokohan keluarga adalah sebuah keniscyaaan. Peran keluarga adalah penting kaitannya
menjaga anak-anak dari ancaman kejahatan dalam bentuk apapun apalagi kejahatan
seksual. Sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi, bahwa Anak adalah asset masa
depan orang tua-nya, maka mengembalikan pola pikir ini, adalah sebuah
keniscayaan. Pola pendidikan modern haruslah tidak lepas dari peran da intervensi keluarga, anak berhak mendapat
sentuhan pendidikan awal di kalangan keluarga, bukan dari tempat yang lain.
Jangan sampai lingkungan sekolah, lingkungan permainan menjadi sekolah perdana,
tempat anak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan pertama kali. Karena
bagaimanapun, keluarga adalah fondasi utama sebuah bangsa, dimana sebuah bangsa
yang besar, akan runtuh jika tidak memiliki keluarga yang kokoh.
Sumber :
Kuliah kedua hukum bisnis, oleh Dr.
Albertus Sentot, FEB UNS, 2014
Aziz, Subhan Abdul; “Perlindungan
Anak dari Penyimpangan Sosial”¸Seminar Gerakan Indonesia Cerdas Bermoral,
FSLDK Indonesia 2016
Undang-undang nomor 35 Tahun 2014
tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Quthb, Sayyid; “Shirah
Nabawiyyah untuk Remaja”, Istimewa, 2004
http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam_54f357c07455137a2b6c7115 diakses pada 24 Juni 2016 pukul
12.50
http://www.storial.co/book/warna-warni-dunia-mencatat-fakta-unik-di-indonesia-dan-mancanegara/28 diakses pada 24 Juni 2016 pukul
12.51
http://akarpadinews.com/read/seni-hiburan/orang-indonesia-94-persen-sukanonton-tv-24-persen-pilih-nontonsinetron diakses pada 24 Juni 2016 pukul
12.53
https://www.facebook.com/Update-Banget-854494461235452/ diakses pada 24 Juni 2016 Pukul
12.55
Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management
Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6
No comments:
Post a Comment