Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Saturday, June 25, 2016

Refleksi : Belajar dari Peristiwa the Battle of Agincourt

Ordo Mahasiswa

Refleksi bagi Mahasiswa, Belajar dari Peristiwa the Battle of Agincourt

Sebagian orang Indonesia mungkin tidak mengetahui, mengenal, apalagi sampai membaca peristiwa ini, sebuah pertempuran besar di hari St Crispin, menentukan alur cerita dari perang 100 tahun Inggris-Prancis. Kalaupun jujur peristiwa itu sama seklai tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah Indonesia, terpisah ribuan mil jauhnya. Ditambah lagi, jangankan sejarah global, sebagai bangsa kita sering lupa terhadap sejarah kita sendiri. Jadi disimpulkan, tidak banyak orang mengetahui dan mempelajari, serta mengambil hikmah dari persitiwa besar tersebut, dimana sesungguhnya pertempuran di Agincourt ini menjadi warna dan sebab munculnya sebuah Negara superpower di era renaisans, Kerajaan Britania Raya dan peristiwa fenomenal Revolusi Prancis.

Pertempuran ini diawali dengan keinginan seorang raja muda dari Inggris, Raja Henry ke-lima. Seorang raja muda kharismatik, memiliki obsesi untuk mengakhiri pertempuran panjang antara Inggris dan Prancis tentu saja dengan kemenangan Iggris. Hingga pada tanggal 25 Oktober 1415, dia memimpin 11.000 pasukan Inggris menyeberang Selat Inggris dan menggempur Prancis di Haffleur, dimana dia berhasil menaklukan kota tersebut. Namun dampaknya, separuh dari pasukan Henry V hancur, dan disaat dia memutuskan berjalan menuju Calais untuk kembali ke Inggris, dia dihadang oleh 20.000 ksatria Prancis di Agincourt.

di abad pertengahan, posisi ksatria (knight) bukanlah posisi sembarangan, posisi tersebut adalah gelar tertinggi baik secara social maupun militer, karena bagi masyarakat feudal saat itu, bisa dekat dengan penguasa adalah metode terbaik untuk menjaga eksistensi. Tentu saja, orang terdekat dengan penguasa adalah para ksatria. Prancis adalah Negara dengan populasi ksatria paling banyak, meskipun secara de facto ada seorang raja memerintah Prancis, namun kekuasaan secara de jure dibagi diantara para tuan tanah, seperti Lord Burgundy dan lain-lain. Kepemilikan para tuan tanah atas kekuasaan ini mendukung munculnya populasi ksatria yang sangat besar di Prancis, karena seorang ksatria hanya boleh melayani satu tuan, dan para tuan tanah ini memang gemar mencari dan menciptakan ksatria-ksatria baru.

Menjadi ksatria bukan urusan mudah, meskipun beberapa literature menyebutkan darah ksatria bisa diwariskan, namun proses pelatihan menjadi ksatria sama sekali bukan hal yang mudah, apalagi Chivalry yang banyak dianut masyarakat Prancis. Perlu dipahami bahwa hanya segelintir orang yang dapat menjadi ksatria. Para ksatria ini pun memperoleh banyak keistimewaan, seperti hak untuk menjadi pimpinan pasukan, hak untuk memperoleh pendidikan sebagai ksatria dalam ritual-ritual Chivalry, dan lain-lain. Mereka juga dibebankan berbagai kewajiban seperti mempertahankan tanah air, mempertahankan kehormatan tuan tanah dan sebagainya. Intinya, para ksatria adalah entitas elit pada masyarakat eropa abad pertengahan, terutama di prancis yang memiliki jumlah ksatria cukup banyak.

Pada pertempuran Agincourt, para ksatria Prancis dihadapkan pada fakta mereka akan menghancurkan sekelompok orang Inggris yang kelaparan dan sakit. Pengepungan Haffleur telah membawa orang-orang Inggris dibawah raja Henry V kepada penderitaan, dan catatan besarnya, sebagian besar pasukan yang tersisa dan harus dihancurkan ksatria Prancis hanyalah para sukarelawan, orang-orang rendahan dengan senjata busur dan anak panah. Jelas, secara kalkulasi matematis, baik dari kondisi kasat dan tidak kasat mata para ksatria Prancis dengan pendidikan Chivalry, persenjataan lengkap dan jumlah berkali-kali lipat berada pada kondisi “pasti menang”. Namun, sejarah berkata lain.

Dihari itu, 6000 orang Prancis meregang nyawa hanya karena kesalahan sepele. Pesta pora pada malam hari, yang didukung dengan hujan deras membuat sebuah area pertempuran yang berbalik menjadi keuntungan para pemanah Inggris. Baju besi yang berat, serangan tidak beraturan dari para ksatria Prancis karena mencari kemuliaan, dan kondisi medan pertempuran yang becek membawa petaka dan berujung pada kekalahan memalukan Prancis pada peristiwa perang 100 tahun. Para ksatria, golongan elit masyarakat itu hancur dengan mudah karena masalah sepele, dan selesai dengan direnggutnya nyawa mereka dengan anak-anak panah para pemanah Inggris.

Bagaimana sejarah pertempuran legendaris itu membawa hikmah pada hari ini? Terutama bagi mereka para elit masyarakat?. Bagaimanapun juga, masyarakat Indonesia dewasa ini pun memiliki entitas elit tersebut, sebuah entitas masyarakat dengan keistimewaan seperti para ksatria Prancis yang dihancurkan di Agincourt. Mereka adalah entitas dengan keistimewaan memperoleh pendidikan langsung dari para ilmuwan besar negeri ini, memperoleh berbagai fasilitas yang dibiayai Negara, bahkan namanya bisa menggetarkan seantero negeri jika disebutkan. Mereka adalah para mahasiswa, dan penulis tidak mengetahui dimanakan posisi entitas masyarakat itu hari ini, mungkin dalam posisi ksatria Prancis di pertempuran Agincourt?.

Suka atau tidak, sadar atau tidak siapapun yang mengecap bangku perkuliahan adalah entitas elit, dan tentu dengan tanggung jawab elit juga. Bisa dikatakan negeri ini, masyarakatnya, menimpakan harapannya diatas pundak para mahasiswa. Secara jujur, mahasiswa di Indonesia berada pada kondisi “siap tempur dengan perbekalan memadai”. Lihat saja negar ini, baik secara sumber daya maupun secara manusianya, senantiasa menjadi incaran Negara lebih besar. Maka secara sederhana, dalam persaingan antar bangsa kita seperti para ksatria Prancis, selangkah lagi menuju kemenangan.

Namun sayangnya fakta tidak berkata demikian, momen kemenangan atas penindasan rezim otoriter justru menjadi awal kerusakan lain. Kita melihat saat ini para pahlawan hari itu justru menjadi pencabul bagi bangsanya sendiri, dimana di tangan mereka “ peralatan tempur” dan “perbekalan” kita digadaikan. Seolah sebelum pertempuran dimulai sudah ada yang memulai pesta kemenangan dengan menguras habis perbekalan dan bermain dengan peralatan tempur milik mereka, hingga perbekalan itu habis atau peralatan tempur mereka rusak. Lebih parahnya lagi, pasukan lain justru berusaha ikut serta dalam arus kesia-siaan tersebut termasuk juga kalangan elit, padahal gelombang serangan siap menerjang. 

Maka bisa dipastikan ketika bangsa ini dihadapkan pada sebuah pertempuran, maka kita hanya akan berteriak keras, menenteng sebuah semangat dan kesombongan dengan tanpa perbekalan menuju sebuah kehancuran. Padahal pertempuran yang kita hadapi sebagai bangsa bukan lagi pertempuran singkat seperti Agincourt, tapi sebuah pertempuran panjang eksistensi. Dimana dalam pertempuran itu, kalangan elit, para mahasiswa akan diuji seberapa kokoh dia mampu dan mau menjaga martabat bangsanya. Kehebatan dia dalam memainkan peralatan tempur dan menjaga perbekalan mereka, menentukan nasib bangsa ini hingga akhir zaman. Sayanganya, saat ini kita berada di posisi para Ksatria Prancis, kuat, namun rapuh. Semoga tuhan menolong kita.

Sumber :
History Documentary - The Battle of Agincourt, a Hundred Years of War,  National Geographic_(640x360) (didownload via youtube.com pada 30 Maret 2016)

Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6


No comments:

Post a Comment