Ordo Mahasiswa
Refleksi bagi Mahasiswa, Belajar dari
Peristiwa the Battle of Agincourt
Sebagian orang Indonesia mungkin
tidak mengetahui, mengenal, apalagi sampai membaca peristiwa ini, sebuah
pertempuran besar di hari St Crispin, menentukan alur cerita dari perang 100
tahun Inggris-Prancis. Kalaupun jujur peristiwa itu sama seklai tidak ada
sangkut pautnya dengan sejarah Indonesia, terpisah ribuan mil jauhnya. Ditambah
lagi, jangankan sejarah global, sebagai bangsa kita sering lupa terhadap
sejarah kita sendiri. Jadi disimpulkan, tidak banyak orang mengetahui dan
mempelajari, serta mengambil hikmah dari persitiwa besar tersebut, dimana
sesungguhnya pertempuran di Agincourt ini menjadi warna dan sebab munculnya
sebuah Negara superpower di era renaisans, Kerajaan Britania Raya dan peristiwa
fenomenal Revolusi Prancis.
Pertempuran ini diawali dengan
keinginan seorang raja muda dari Inggris, Raja Henry ke-lima. Seorang raja muda
kharismatik, memiliki obsesi untuk mengakhiri pertempuran panjang antara
Inggris dan Prancis tentu saja dengan kemenangan Iggris. Hingga pada tanggal 25
Oktober 1415, dia memimpin 11.000 pasukan Inggris menyeberang Selat Inggris dan
menggempur Prancis di Haffleur, dimana dia berhasil menaklukan kota tersebut.
Namun dampaknya, separuh dari pasukan Henry V hancur, dan disaat dia memutuskan
berjalan menuju Calais untuk kembali ke Inggris, dia dihadang oleh 20.000
ksatria Prancis di Agincourt.
di abad pertengahan, posisi ksatria
(knight) bukanlah posisi sembarangan, posisi tersebut adalah gelar tertinggi
baik secara social maupun militer, karena bagi masyarakat feudal saat itu, bisa
dekat dengan penguasa adalah metode terbaik untuk menjaga eksistensi. Tentu
saja, orang terdekat dengan penguasa adalah para ksatria. Prancis adalah Negara
dengan populasi ksatria paling banyak, meskipun secara de facto ada seorang
raja memerintah Prancis, namun kekuasaan secara de jure dibagi diantara para
tuan tanah, seperti Lord Burgundy dan lain-lain. Kepemilikan para tuan tanah
atas kekuasaan ini mendukung munculnya populasi ksatria yang sangat besar di
Prancis, karena seorang ksatria hanya boleh melayani satu tuan, dan para tuan
tanah ini memang gemar mencari dan menciptakan ksatria-ksatria baru.
Menjadi ksatria bukan urusan mudah,
meskipun beberapa literature menyebutkan darah ksatria bisa diwariskan, namun
proses pelatihan menjadi ksatria sama sekali bukan hal yang mudah, apalagi
Chivalry yang banyak dianut masyarakat Prancis. Perlu dipahami bahwa hanya
segelintir orang yang dapat menjadi ksatria. Para ksatria ini pun memperoleh
banyak keistimewaan, seperti hak untuk menjadi pimpinan pasukan, hak untuk
memperoleh pendidikan sebagai ksatria dalam ritual-ritual Chivalry, dan
lain-lain. Mereka juga dibebankan berbagai kewajiban seperti mempertahankan
tanah air, mempertahankan kehormatan tuan tanah dan sebagainya. Intinya, para
ksatria adalah entitas elit pada masyarakat eropa abad pertengahan, terutama di
prancis yang memiliki jumlah ksatria cukup banyak.
Pada pertempuran Agincourt, para
ksatria Prancis dihadapkan pada fakta mereka akan menghancurkan sekelompok
orang Inggris yang kelaparan dan sakit. Pengepungan Haffleur telah membawa
orang-orang Inggris dibawah raja Henry V kepada penderitaan, dan catatan
besarnya, sebagian besar pasukan yang tersisa dan harus dihancurkan ksatria
Prancis hanyalah para sukarelawan, orang-orang rendahan dengan senjata busur
dan anak panah. Jelas, secara kalkulasi matematis, baik dari kondisi kasat dan
tidak kasat mata para ksatria Prancis dengan pendidikan Chivalry, persenjataan lengkap
dan jumlah berkali-kali lipat berada pada kondisi “pasti menang”. Namun,
sejarah berkata lain.
Dihari itu, 6000 orang Prancis
meregang nyawa hanya karena kesalahan sepele. Pesta pora pada malam hari, yang
didukung dengan hujan deras membuat sebuah area pertempuran yang berbalik
menjadi keuntungan para pemanah Inggris. Baju besi yang berat, serangan tidak
beraturan dari para ksatria Prancis karena mencari kemuliaan, dan kondisi medan
pertempuran yang becek membawa petaka dan berujung pada kekalahan memalukan
Prancis pada peristiwa perang 100 tahun. Para ksatria, golongan elit masyarakat
itu hancur dengan mudah karena masalah sepele, dan selesai dengan direnggutnya
nyawa mereka dengan anak-anak panah para pemanah Inggris.
Bagaimana sejarah pertempuran legendaris
itu membawa hikmah pada hari ini? Terutama bagi mereka para elit masyarakat?.
Bagaimanapun juga, masyarakat Indonesia dewasa ini pun memiliki entitas elit
tersebut, sebuah entitas masyarakat dengan keistimewaan seperti para ksatria
Prancis yang dihancurkan di Agincourt. Mereka adalah entitas dengan
keistimewaan memperoleh pendidikan langsung dari para ilmuwan besar negeri ini,
memperoleh berbagai fasilitas yang dibiayai Negara, bahkan namanya bisa
menggetarkan seantero negeri jika disebutkan. Mereka adalah para mahasiswa, dan
penulis tidak mengetahui dimanakan posisi entitas masyarakat itu hari ini,
mungkin dalam posisi ksatria Prancis di pertempuran Agincourt?.
Suka atau tidak, sadar atau tidak
siapapun yang mengecap bangku perkuliahan adalah entitas elit, dan tentu dengan
tanggung jawab elit juga. Bisa dikatakan negeri ini, masyarakatnya, menimpakan
harapannya diatas pundak para mahasiswa. Secara jujur, mahasiswa di Indonesia
berada pada kondisi “siap tempur dengan perbekalan memadai”. Lihat saja negar
ini, baik secara sumber daya maupun secara manusianya, senantiasa menjadi
incaran Negara lebih besar. Maka secara sederhana, dalam persaingan antar
bangsa kita seperti para ksatria Prancis, selangkah lagi menuju kemenangan.
Namun sayangnya fakta tidak berkata
demikian, momen kemenangan atas penindasan rezim otoriter justru menjadi awal
kerusakan lain. Kita melihat saat ini para pahlawan hari itu justru menjadi
pencabul bagi bangsanya sendiri, dimana di tangan mereka “ peralatan tempur”
dan “perbekalan” kita digadaikan. Seolah sebelum pertempuran dimulai sudah ada
yang memulai pesta kemenangan dengan menguras habis perbekalan dan bermain
dengan peralatan tempur milik mereka, hingga perbekalan itu habis atau
peralatan tempur mereka rusak. Lebih parahnya lagi, pasukan lain justru
berusaha ikut serta dalam arus kesia-siaan tersebut termasuk juga kalangan
elit, padahal gelombang serangan siap menerjang.
Maka bisa dipastikan ketika bangsa
ini dihadapkan pada sebuah pertempuran, maka kita hanya akan berteriak keras,
menenteng sebuah semangat dan kesombongan dengan tanpa perbekalan menuju sebuah
kehancuran. Padahal pertempuran yang kita hadapi sebagai bangsa bukan lagi
pertempuran singkat seperti Agincourt, tapi sebuah pertempuran panjang
eksistensi. Dimana dalam pertempuran itu, kalangan elit, para mahasiswa akan
diuji seberapa kokoh dia mampu dan mau menjaga martabat bangsanya. Kehebatan
dia dalam memainkan peralatan tempur dan menjaga perbekalan mereka, menentukan
nasib bangsa ini hingga akhir zaman. Sayanganya, saat ini kita berada di posisi
para Ksatria Prancis, kuat, namun rapuh. Semoga tuhan menolong kita.
Sumber :
History Documentary - The Battle of
Agincourt, a Hundred Years of War,
National Geographic_(640x360) (didownload via youtube.com pada 30 Maret
2016)
Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor
Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret
University, Surakarta.
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6
No comments:
Post a Comment