semarang kaline banjir
kutho ne panas
srengenge padang jinggrang
nalika akuu, kangen tenan
mugi bisa mbalik meneh
nang semarangan.. :)
semarang sungainya banjir, kotanya panas, matahari terang benderang, tapi aku sangat rindu, ingin kembali lagi, ke semarang. :) Assalamualaikum, met tengah malem fellas, yah, meskipun comica yang mempopulerkan kata fellas ini (lagi) udah close mic, tapi, apapun itu, kumis goyang tetep jadi mahluk absurd kok, sampai kapanpun. :)
okey gan, sebenarnya, ini adalah bagian dari essay ane tentang semarang, tugas juga, tapi, asyik kok. entah darimana ane dapet ilham buat ngebuat yang semacam ini, but, well, hope you enjoy my city, from my article.. :)
kutho ne panas
srengenge padang jinggrang
nalika akuu, kangen tenan
mugi bisa mbalik meneh
nang semarangan.. :)
semarang sungainya banjir, kotanya panas, matahari terang benderang, tapi aku sangat rindu, ingin kembali lagi, ke semarang. :) Assalamualaikum, met tengah malem fellas, yah, meskipun comica yang mempopulerkan kata fellas ini (lagi) udah close mic, tapi, apapun itu, kumis goyang tetep jadi mahluk absurd kok, sampai kapanpun. :)
okey gan, sebenarnya, ini adalah bagian dari essay ane tentang semarang, tugas juga, tapi, asyik kok. entah darimana ane dapet ilham buat ngebuat yang semacam ini, but, well, hope you enjoy my city, from my article.. :)
DUGDERAN SEMARANGAN.
REALITAS EKONOMI DAN RMANTISME BUDAYA
Oleh : Muhmmad Abdullah ‘Azzam
NIM : f0213062
Manajemen Kelas A
Melihat
Semarang, kota metropolis di laut utara Pulau Jawa, tidak ubahnya mengkaji bakwan di mata orang Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Serupa, penyebutannya berbeda. Menurut orang awam atau minimal orang
melek peta atlas, Semarang ya ibukota Jawa Tengah, dengan letak geografis di
sebelah utara Pulau Jawa, di apit dua kabupaten di sebelah timur dan barat,
masing-masing Kabupaten Demak, dan Kabupaten Kendal, dan membelakangi Kabupaten
Ungaran atau Kabupaten Semarang di sebelah selatan. Kalau di tanyakan kepada
para bisnisman, Semarang itu kota hotel, kota transit. Setiap ruas jalan, baik
itu protokol atau jalan kampong, losmen,motel,hostel,hotel hingga apartemen
mewah tersedia. Dari kualitas melati sampai bintang tujuh, bisa dipilih sesuka
hati. Ditambah dengan terminal, stasiun dan pelbuhan di keempat penjuru mata
angina, benar-benarr mengesankan Semarang sebagai sebuah kota transit di Pulau
Jawa bagian utara. Lain halnya jika kita bertanya pasa para traveler, para pelancong baik level
lokal hingga mancanegara. Hampair dipatikan, jawabannya sama. Semarang, kota
tua peninggalan kebesaran belanda, dengan Kota Lama dan bangunan ikonik kota
lainnya, Lawang Sewu, tak lupa, kota tropis yang lembab dan panas. Itulah
Semarang, dengan tag line wisata
Semarang Pesona Asia yang dipopulerkan oleh mantan walikota H Sukawi Sutarip
S.H, dengan beragam pemaknaan dari beragam latar belakang individu. Tapi bagi
saya, Semarang lebih dari itu.
Mungkin
yang selanjutnya ini lebih tepat jika dijelaskan kurator Museum Ranggawarsita
atau ahli sejarah dari Universitas Diponegoro, minimal budayawan, dari
Universitas Negeri Semarang, akan tetapi, inilah perpektif saya mengenai kota
yang saya tinggali selama hampir 12 tahun masa hidup saya.
Dengan suhu panas, lembab
dan gerah luar biasa saat musim kemarau, orang lulusan SD tahulah, kota macam
apa Semarang itu, tepat. Kota pantai atau kota pelabuhan. Iklim pantai yang
ekstrem inilah menurut perspektif saya yang membuat Semarang berbeda. Secara
geografis, Semarang terletak di semenanjung d Pulau Jawa bagian utara, kontras
dengan Jepara yang berada di tanjung, seolah memberi berkah dengan menjadikan
Semarang sebagai kota pelabuhan alami yang aman dan nyaman bagi para pelaut.
Dibuktikan dengan catatan sejarah tentang perjalanan Laksamana Cheng Ho yang
mendaratkan kapal agung-nya pertama kali di Pelabuhan Simongan, sekarang
menjadi kelurahan di Kecamatan Semarang Barat, lanjut ke zaman belanda yang
menjadikan Semarang sebagai kota administrasi dan perdagangan, serta rute
transit dari rute jalan pos Anyer-Panarukan, lanjut ke zaman Orde Baru yang
menjadikan Pelabuhan Tanjung Emas sebagai dok perakitan kapal kedua setelah
Surabaya. Benar-benar menunjukkan Semarang sebagai kota pelabuhan yang nyaman
kan?.
Kemudian disusul dengan
centang perenang bangunan-bangunan khas eropa, seperti Lawang Sewu, Stasiun
Tawang dengan Kota Lama. Lalu ada Masjid Besar Kauman, Masjid Besar Layur ,
Kuil Sam Poo Kong, dan Candi Gedong Songo di Kabupaten Ungaran, atau Candi Tugu
yang kurang terkenal, menunjukkan realitas lain dari Semarang. Selain sebuah
kota pelabuhan yang nyaman sejak zaman Cheng Ho dahulu, Semarang juga merupakan
muara pertemuan berbagai entitas budaya di seluruh dunia, dan secara historis Semarang sudah merupakan
rumah dan pembuktian eksistensi beragam entitas budaya. Wisata sejarah, melihat
romantisme kejayaan bangsa-bangsa besar masa lalu merupakan sebuah magnet
penarik wistawan yang luar biasa hebat. Saya merasa, anda yang jatuh cinta
dengan sejarah beragam bangsa, tidak akan kehabisan pilihan di kota ini. Silahkan
menikmati bangunan gothic, baroque, dan castilla khas eropa yang tercecer di banyak
tempat, masing-masing memiliki keindahannya sendiri-sendiri. Silahkan juga
melihat kemegahan seni arsitektur jawa, hasil akulturasi kebudayaan islam
dengan jawa kuno di Masjid Besar Kauman, atau seni arsitektur aceh yang
terserak di kampUng layur dengan Masjid Besar Layur sebagai ikon menjanjikan.
Silahkan menikmati kemegahan tempat berpijaknya laksamana besar tiongkok Cheng
Ho, yang sekarang disulap menjadi Kuil Agung Sam Poo Kong, dengan arsitektur
tiong hoa yang megah dan mengusik rasa penasaran kita. Silahkan melihat
sisa-sisa dari Dinasti Syailendra di 9 candi di kaki Gunung Ungaran, yang
eksotis dan menjanjikan pemandangan seperti puncak Sierra Nevada di Granada
Spanyol. Sungguh menarik bukan?.
Atau klasiknya
tradisi-tradisi aneh warga Semarang yang mungkin tidak anda temukan di tempat
lain? Bukan saja menwarkan suasana tropis pantai dan romantisme sejarah yang
kental, budaya Wong Semarangan juga
tidak kalah menarik untuk anda nikmati. Hasil budaya berupa makanan dan sajian
lain bisa anda nikmati di sepanjang Jalan Pandanaran. Bisa anda nikamti dengan
harga jauh lebih murah dari Orchid Road Singapura, tapi dengan fantasi rasa
yang memanjakan lidah anda. Loen Pian
atau Lumpia, gorengan gulung isi rebung, nikmat disantap dengan saus
tiram dan daun bawang. Wingko Babad, kelapa parut disulap menjadi kue, cocok
bagi cemilan pembuka percakapan. Bandeng duri lunak , nikmat disajikan panas
dan disantap dengan nasi panas dan sambal. Atau apalagi yang anda inginkan?
Semarang menyediakan apa yang dapat memuaskan rasa lapar anda. Atau ingin
sesuatu yang asli dan menunjukkan budaya Semarangan? Silahkan kunjungi Semarang
saat Imlek. Anda akan susah membedakan mana Beijing mana Semarang, atau tujuh
hari sebelum ramadhan, anda akan merasakan sensasi seolah berada di Kota
Surakarta, 80 Km dari Semarang, atau saat natal, maka anda kan merasakan natal
di Amsterdam kurang greget.
Itulah Semarang, menurut
persepktif saya sebagai seorang yang menghabiskan 12 tahun hidupnya di kota
yang panas itu. dengan segala eksotika yang terkadang dilupakan oleh Wong Semarangan sendiri. Perpaduan
harmonis antara kepentingan ekonomi, romantisme sejarah, dan keunikan produk
budaya, yang membuat Semarang eksis hingga umurnya yang hampir 500 tahun
sekarang, dan itulah, semangat besar untuk kemudian diwakili dengan slogan baru
kota, Semarang Setara.
Tetapi membicarakan aspek
budaya yang dibahas tadi, mau tidak mau saya juga mengakui bahwa estetika
budaya Semarang sudah tergerus, bahkan seringkali dilupakan dan dianggap
formalitassaja oleh penduduknya, bahkan saya, jika ditanyakan hal mendetail
mengenai Semarang dan budayanya, saya menjamin selain kuliner mungkin saya
hanya tersenyum, dan tertawa getir, karena saya dan pengetahuannya terbatas,
sangta terbatas sekali. Kemudian muncul pertanyaan, mengapa, identitas budaya
itu meredup bahkan cenderung hilang?
Sebuah budaya dianggap
bangkrut ketika mereka yang memahami, menjalankan, dan tahu mengenai budaya itu
hilang. Berlaku juga untuk bahasa, hingga ideology, yang diperdebatkan apakah
dua hal itu merupakan output yang
dihasilkan budaya. Dari ungkapan diatas, jelas peluang terbesar memudarnya
budaya di Kota Semarang, dimungkinkan karena esensi pemhaman, aplikasi dan
perasaan tahu penduduk Semarang mengenai budayanya sudah berada di titik nadir.
Kenapa? Ada sebuah budaya yang masih ada hingga detik ini, dengan pergolakan
dan sedikit cerita dari budaya ini, mungkin pertanyaan diatas bisa terjawab,
dan budaya itu adalah budaya Dug DerAn.
Menurut cerita para
leluhur saya, termasuk mbah buyut dan kakek-nenek saya, dugderan sudah ada
sejak londo membangun kantor dagang
VOC di Semenanjung SImongan, yang berarti dug der merupakan produk kebudayaan
jawa sejak dahulu, sejak zaman para wali, atau bahkan lebih tua dari itu.
Perayaan yang mirip dengan sekatenan di Kota Surakarta ini, karena sama-sama
berupa arak-arakan karnaval, mengambil waktu yang sangat tidak biasa, bukan
pada saat seperti syuro’ yang sangat sacral bagi Orang Jawa, atau pada saat
maulud, yang kerap jadi sarana para sunan guna menyebarluaskan agama islam,
bukan juga saat hari raya, yang notabene merupakan saat paling bahagia bagi
ummat islam, justru dipilih sepekan sebelum bulan suci Ramadhan, waktu yang
tidak biasa karena biasanya sebelum Ramadhan disambut dengan khidmat dan penuh
kekhusyukan oleh ummat islam. Bukan main-main festival ini, karena betul-betul
menyajikan tontonan yang menarik bagi masyarakat. Pasar dolanan tradisional,
pasar jajanan rakyat, hingga pasar-pasar yang menjual komoditas perdagangan
skala impor maupun barang kualitas ekspor tersedia. Benar-benar berlawanan
dengan adat jawa yang mengkondisikan ummat untuk khusyuk dalam menyambut ibadah
agung di bulan Ramadhan. Ditambah lokasi pagelaran festival ini berada di
sekitar Masjid Agung Kauman, bersebelahan dengan Pasar Besar Johar, menambah
unik festival ini.
Tetapi, tidak mungkin
sebuah tradisi atau hasil budaya muncul tanpa alasan yang jelas, begitu juga
dengan dug der Semarang. Menurut cerita buyut saya, yang diutamakan dalam
festival ini adalah kegembiraan yang ditujukan untuk anak-anak usia balita
hingga remaja, agar mereka bersemangat menyambut ibadah di bulan Ramadhan,
apalahi sebelum Ramadhan biasanya ada acara mengarak replica Warag Ngendog yang
dipercaya masyarakat sebagai symbol kebahagiaan dan kekuatan, serta ketetapan
hati guna bertindak, benar-benar berusaha menanamkan pada generasi muda, bahwa
yang akan mereka sambut adalah tamu agung yang membawa kebahagiaan, bukan
kemalangan, jadi, harus disambut dengan kebahagiaan dan semangat pula.
Dug der pada masa dahulu,
memang betul, masih sangat kental dengan nilai-nilai relijius dan kebudayanaan
jawa, walaupun pada penerapannya ada hal lain yang diperoleh oleh para pelaku
ferstival dug der, yaitu unsur tambahan berupa keuntungan ekonomis. Keuntungan
ekonomis ini muncul, karena yang di tawarkan pada festival ini merupakan sarana
pemenuhan kebutuhan diri menjelang Ramadhan, serta atraksi atau usaha jasa yang
memiliki tujuan untuk menghibur masyrakat yang hadir pada festival ini. Jelas
dengan kondisi yang demkian, transaksi ekonomi berputar dengan dahsyat seperti
baling-baling penggerak pesawat tempur Splitfire
milik armada angkatan udara Inggris Royal Air Force. Percepatan ini muncul
karena ada beberapa faktor pendukung, diantaranya :
1. Kondisi masyarakat yang tengah
bergairah menyambut kehadiran bulan Ramadhan
2. Kehadiran pilihan barang-barang atau
hiburan yang tidak setiap hari bisa dinikmati oleh masyarakat, sehingga dengan
dorongan keinginan mereka, muncullah hasrat untuk membelanjakan harta mereka
3. Walaupun masyarakat yang dewasa
memiliki pakem yang bisa dikategorikan baik guna memilih mana yang dibutuhkan
mana yang tidak, ada dorongan lain yang muncul dari generasi mudanya, anak-anak
dan para remaja, seringkali membuat pakem atau rasionalitas masyarakat yang
dewasa terkalahkan.
Tiga alasan diatas yang memberikan
berkah tambahan dari dug der, sebuah berkah yang muncul melalui penegakkan dan
aplikasi budaya yang total, didasari semangat keagamaan yang kental, dan
kebahagiaan, membawa cerita bahagia di dalam dug der, cerita bahagia yang
mungkin kontras dengan apa yang disebut “kebahagiaan” dewasa ini.
Saya
akan sedikit berbagi cerita,pengalaman bahagia yang bisa disebut sama dengan
kebahagiaan dan semangat keagamaan di masa lalu. Saya berusia 5 tahun ketika
almarhum kakek saya pulang dari bekerja membawa hasil kerja hariannya itu, dan
spontan mengajak saya dan adik saya untuk ke lokasi dug der, pada saat itu
masih di sekitar Masjid Besar Kauman.
`
Bahagia saya, karena di umur saya yang lima itu, orang tua sudah meminta saya
untuk belajar berpuasa, kali ini bukan puasa setengah hari, tapi puasa ashar,
berbuka saat waktu ashar, sebuah tantangan yang mungkin ada baiknya dijalani
dengan awal kebahagiaan. Terlonjak-lonjak di dalam bus kuning tidak membuat
saya takut, grogi bahkan ngeri, justru saya amat bahagia, karena mungkin itu
kali pertama saya melihat dug der. Perjalanan yang cukup lama, tetapi akhirnya
kami sampai, di pelataran sebelah utara dug der, dan berbaur dengan ratusan
massa yang menyemut. Resiko kata kakek saya, berjubel di tempat seperti itu.
hingga akhirnya kami hanya mengelilingi lingkar terluar dari arena dug der.
Melihat ayam warna-warni yang lucu dan menggemaskan,atraksi gangsing bambu yang
bersiul saat diputar dalam kecepatan maksimum, serta kelotok kapal besi,
bertenaga minyak yang memamerkan keajaiban ilmu fisika benar-benar membuat saya
takjub, inilah kebahagiaan. Makin sempurna saat saya mendengar sayup-sayup
qosidah dari masjid, melantunkan sholawat badar dan lagu-lagu khas Ramadhan,
membuat suasana saat itu betul-betul nyaman dan menyenangkan.
Berbeda
halnya ketika saya berkunjung 8 tahun kemudian, saat saya duduk di bangku
sekolah menengah pertama. Kelotok suara kapal besi berganti dengan gemendut
dangdut koplo, suara siulan gangsing berganti dengan sahut-sahutan handie talkie replika seharga 10.000,
dimainkan dengan lagak detektif oleh bocah-bocah yang berarian, ayam warna pun
punah, berganti dengan hidangan dan sajian fast
food dengan harga selagit dari merek-merek terkemuka. Nilai budaya yang
dulu diniatkan untuk memperkenalkan generasi muda dengan budayanya dan
kebahagiaan Ramadhan buyar, tertutupi dengan niatan untuk mengejar nilai tambah
dari dug der dahulu, yaitu ekonomi.
Meminjam
istilah penjual senjata dalam Film Tjoet Njak Dien, “kami pengusaha berpikiran
sederhana, dimana ada uang mengalir, disitulah kami hinggap”. Istilah itu
mungkin cocok untuk menggambarkan realitas dug der di masa ini. Nilai-nilai
budaya yang dulu nerupakan inti dari penciptaan festival tahunan ini, berganti
wajah dengan semburat muka serakah manusia, yang meneriakkan suara perutnya,
berkata seolah dia ingin menelan seluruh isi dunia.
Semarang yang sudah
tersentuh dan berbaur dengan globalisasi dan modernisasi betul-betul memakai sebuah
topeng seram, topeng berwajah angker yang disebut tuntutan perekonomian yang
lebih baik, yang jelas menggusur wajah bahagia dan penuh kebijaksanaan sang
Semarang yang berbudaya. Kemudian dicarilah justifikasi, pembenaran-pembenaran
semu, seolah menunjukkan penghapusan nilai-nilai budaya dan agama dari festival
ini memberi manfaat sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Dibuatlah
grafik-grafik dan survey, menunjukkan kenaikan pendapat para mitra usaha kecil
dan menengah saat dug der, dibuatlah statemen-statemen seolah menunjukkan
kebahagiaan karena terlepas dari nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat,
ditutup dengan pemberitaan di media massa bahwa tanpa nilai budaya dan agama
pun dug der masih tetap eksis dan
berjalan seperti “dulu”.
Inilah
sebuah clash, pertikaian antara
ekonomi dengan pasukan perutnya melawan budaya dengan pasukan hati dan akalnya,
pertikaian yang dimenangkan oleh pasukan perut di eropa ternyata tidak tinggal
diam dan menyerang Indonesia secara sporadic, dengan gelombang kejut ekstrem
yang memporak-porandakan tatanan budaya Indnesia yang mapan semenjak bangsa
eropa belum mengenal bumi itu bulat. Realitas ekonomi bahwa masyarakat butuh
makan dibenturkan dengan romantisme budaya yang menjaga eksistensi masyarakat
sejak jaman dahulu, dan perut yang kelaparan ditabrakkan dengan hati dan akal
yang lemah lagi rapuh. Jadilah dug der yang pada masa lalu berlabur kebahagiaan
berganti dengan dug der yang bercat nafsu serakah para manusia dengan dalil
kehidupan perekonomian dan sebangsanya.
Inilah
kenyataan, perbenturan realitas, membawa warna berbeda pada budaya khas
Semarang yang disebut dug der. Dahulu memang betul dagangan dan hiburan yang
disajikan merupakan seimbol kesederhanaan masyarkat, serta semangat tinggi
untuk melewati Ramadhan dengan paripurna, akan tetapi, dengan alasan ekonomi,
hal yang tersaji betul-betul telah mencabut akar budaya masyarakat Semarang.
Stand-stand kaki lima digeser entah kemana, berganti dengan stand-stand merek
dagang terkemuka, mitos dug der memberi berkah besar bagi masyarakat pinggiran telah
terbukti, karena di dug der orang mencari sandal gunung atau komputer tablet
dengan harga diskon, bukan kapal kelotok bertenaga minyak. Jajanan khas orang
kcil punah tergerus sajian ekstrim berlemak dari barat, dan monopoli jajanan oleh
perusahaan-perusahaan besar, dan hal lain yang tentunya membuat Orang Semarang
yang sadar dengan budayanya miris dan tersenyum getir.
Menghadapi
peristiwa ini, membawa sebuah simpulan besar, memberi teladan bagi semua
manusia untuk berlaku di dunia ini. Apa ? identitas manusia dapat terus terjaga
dan terbukti selama budaya yang dia tahu,pahami, dan lakukan masih eksis.
Contoh dug der ini menjadi sebuah bukti nyata, sebuah identitas yang tergadai
karena masalah perut. Apakah perut meminta identitas kiita? Tidak, kita yang
menjual identitas kita demi perut itu, p;adahal selalu ada jalan untuk memberi
makan perut, tidak hanya dengan menjual identitas, atau bahkan harga diri kita.
Bangga
dengan identitas yang melekat pada diri kita sekarang, ya, bisa dibilang kita
bangga dengan bangsa kita, itulah.
Muhammad Abdullah 'Azzam, Mahasiswa S1 Manajemen FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta.
No comments:
Post a Comment