Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Wednesday, October 4, 2017

Indonesia, Piala Dunia 2026


Source : https://images.cdn.fourfourtwo.com/



Indonesia, Piala Dunia 2026

Jayalah Garudaku!

Indonesia akan memasuki kompetisi tertinggi kancah sepakbola, pada 2026. Entah kenapa saya menulis demikian, tapi keyakinan inilah yang senantiasa tertancap di hati setiap pecinta sepakbola Indonesia. Tidak peduli apakah itu tim junior, tim pemuda atau tim senior, harapan tertinggi kami adalah pada akhirnya para pahlawan lapangan hijau kami memperoleh hak-nya untuk bersaing di kancah dunia. Keyakinan ini, akan senantiasa menjadi kekuatan, kekuatan terdalam yang akan dibuktikan dalam totalitas dukungan, doa dan harapan.

Sepakbola tidak dipungkiri lagi telah menjadi kekuatan besar dunia. Bukan berasal dari aspek kekayaan, aspek kekuatan, semua ini berangkat dari loyalitas dan kecintaan pada masing-masing klub sepakbola, baik itu klub nasional atau klub-klub daerah. Tetapi membawa tim nasional menuju piala dunia? Dampak sosial, politik, ekonomi dan budaya sama sekali tidak bisa kita prediksi. Pertanyaan bagaimana kita mengelola dampak itu akan sia-sia belaka jika membawa diri dan tim nasional kesana saja belum mampu.

Russia pada 2018, Qatar pada 2022, dan sebelumnya Afrika Selatan pada 2010 membawa momentum hebat bagi masing-masing negara. Selama berbulan-bulan dunia “dihadapkan” matanya pada negara tersebut. tentu “semua hal” akan dilihat oleh dunia, lihat bagaimana lagu “it’s time for Africa” atau “Waving Flag” menjadi hits dari sebuah negara “in the middle of nowhere” (jujur saya baru tahu afrika selatan adalah negara setelah piala dunia 2010) dan benar-benar menyita perhatian dunia. Dampak kultural? Jelas luar biasa, hingga selepas 2010 Afrika Selatan berani mendaulat diri sebagai anggota kekuatan dunia baru, BRICS.

Maka Indonesia harus bisa menembus piala dunia, Indonesia harus bisa menembus piala dunia. Sedikit perih ketika bahkan talenta hebat sebagaimana Irfan Bachdim dan Evan Dimas hanya memperoleh grade C class player, atau D class player dalam game sepakbola terkenal dunia, baik itu PES maupun FIFA. Secara gambling hal itu menerangkan fakta sedikit mengerikan bahwa dunia sepakbola kita, masih 11/12 dengan nilai para pemain itu. Bahkan dalam setiap liputan spesial sepakbola, Indonesia senantiasa dilabeli “poor quality of football”, coba bayangkan, poor! Miskin!.

Padahal kondisi sepakbola negeri ini jauh lebih baik dari Jepang, bahkan sejak awal sudah memiliki iklim luar biasa dalam hal sepakbola. Piala dunia dimana Hindia Belanda bermain adalah salah satu kisah. Tapi bisa kita lihat bagaimana Jepang pada 1989 dimana laga tim nasional saja, pemain bisa mengenali semua supporter yang datang! Bandingkan dengan final atau semifinal Piala Tigers pada 2002, atau hegemoni hebat Liga Djarum Indonesia. Bahkan tim-tim lokal kita rata-rata berumur sudah sangat tua, setidaknya lebih tua dari tim-tim di J-League Jepang.

Maka perbedaan besar antara negeri ini dengan eks-penjajah itu adalah, Samurai Biru sudah pernah dan sering mencicipi pahit-manis kancah sepakbola tertinggi dunia. “Doha” masih menjadi kata terlarang sebagaimana angka “7 (tujuh)” di Brazil sana bagi supporter Jepang. Sedangkan kita? Paling mentok hanya “Malaysia”, itupun “hanya” rasa sakit menjadi langganan runner up dalam kompetisi lokal. Kalaupun iya, hal yang paling menyakitkan bagi kita adalah “10-0”, mungkin tidak banyak yang ingat tapi pada 2002 dan 2014 kemarin timnas kita sempat jadi bulan-bulanan terutama oleh tim-tim timur tengah.

Negara ini pernah merasakan kualifikasi piala dunia? Saya agak lupa, tetapi yang jelas di Piala Asia kita masih harus sering gigit jari. Memang tidak bijaksana jika sebagai supporter saya berbicara sangat banyak soal kualitas sepakbola negeri ini, tapi kita semua melihatnya! Peringkat jauh dibawah Malaysia dan Thailand, sempat di boikot FIFA karena campur tangan pemerintah dalam sepakbola, adalah pengalaman-pengalaman mengerikan dan catatan tidak baik. Tapi lihatlah! Perlahan-lahan negeri ini menemukan identitasnya sebagai negara sepakbola! Mantan kontestan piala dunia!.

Kebangkitan liga lokal dengan Gojek Traveloka Liga 1 dan Liga 2 menunjukkan bahwa sepakbola masih dan akan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Saya bukan pendukung tim lokal tertentu, tapi saya masih menyukai dan merindukan PSIS pada masa Emmanuel de Porras. Setiap hari, di seluruh tempat masyarakat merayakan budaya sepakbolanya dengan spektakuler. Kekuatan baru dengan sistem baru muncul dan sedikit banyak menggaransi munculnya talenta-talenta unggul sepakbola.

Kegagahan Bali United, kesaktian PSM Makassar (Klub timur favorit saya), dan tim-tim lain, setidaknya bisa kita lihat talenta-talenta lokal benar-benar memeperoleh tempat menunjukkan dan menguji kebolehannya. Ditambah dengan hadirnya pemain asing (yang belum pernah dibayangkan) seperti Michael Essien benar menjadi penanda kebangkitan sepakbola di negeri ini. Selama kompetisi ini hidup, selama itu pula kita masih memiliki harapan bahwa Indonesia Raya akan bersandingan dengan God Save The Queen Timnas Inggris di piala dunia 2026.

Selain itu, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, proses rekonsiliasi dan reformasi dalam tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) patut kita apresiasi. Mengobati luka dari segala macam skandal mulai Nurdin Halid dan La Nyalla tentu bukan hal mudah, tapi kenyataannya PSSI masih mampu berbicara banyak.

 Pembenahan kualitas terutama pembinaan talenta muda (meskipun ada wacana kontroversial tentang pembubaran Liga Santri Nasional atau fakta bahwa timnas junior tumbuh karena kerja ikhlas orang-orang tertentu, bukan organisasi) bisa kita lihat buktinya pada seringnya negeri ini ikut serta dalam Danone Nations Cup, atau bagaimana timnas U-16 mampu secara mulus (meraih kemenangan sempurna) dalam Kualifikasi Piala Asia. Selama generasi ini masih memperoleh perlakuan sama bahkan lebih baik lagi, masih ada peluang besar Sang Saka Merah Putih akan mengungguli keangkuhan Hinomaru yang pernah menindas negeri ini selama 3.5 tahun.

Ditambah dengan budaya sepakbola yang semakin membaik, mulai dihilangkannya unsur kekerasan, atau mungkin saya sebut “unsur Romeo-Juliette” dalam sepakbola, menjadi penanda positif terbentuknya iklim sehat sepakbola. Proses rekonsiliasi dan persatuan supporter klub-klub lokal menjadi tanda-tanda. Perlukah kita mempertanyakan dukungan masyarakat pada Timnas Indonesia? Tidak usah. Penuhnya Gelora Bung Karno atau Stadion Patriot menjadi bukti tidak terbantahkan. Supporter ini sudah dahaga bung! Dahaga akan prestasi, pembuktian dan kejayaan sepakbola. Saya yakin, bukan saya saja yang berharap 2026 atau 2022 atau 2018 negeri ini akan membawa gelora Sang Garuda ke kancah internasional.

Maka, senantiasa berikan yang terbaik sesuai kapasitas kita, senantiasa berikan yang terbaik!. Budaya Ultras Sepakbola harus senantiasa diarahkan pada hal-hal positif, misalkan bagaimana reaksi pecinta sepakbola atas tragedy kemanusiaan di Rakhine adalah salah satu hal positif. Bagaimana Ultas-ultras ini mampu senantiasa memperbaiki kualitas dukungan dan sejenisnya, juga adalah hal yang baik. Akan lebih baik lagi jika PSSI mampu memberi jalan tengah dan solusi, bagi potensi luar biasa supporter-supporter ini. Ingat? Supporter-lah yang membawa suasana merinding dengan koor Indonesia Raya.

Kemudian senantiasa fokus pada pembinaan pemain muda. Dengan mulai bergeliatnya kompetisi lokal sangat diharapkan orang-orang muda ini bisa membawa sinar kebangkitan bagi sepakbola nasional. Pembuktian timnas U-19 dan U-16 dengan segala kekurangannya, menjadi kenyataan bahwa anak-anak muda ini bisa berbicara banyak kepada dunia. Maka, dimanakah posisi strategis kita selain untuk memberikan fasilitas kepada anak-anak ini?

Terakhir, tuhan adalah penentu segalanya. Negeri ini adalah negeri berketuhanan dalam lingkup agung Pancasila, maka bisa jadi, dengan semakin dekat pada tuhan, akan semakin mendekatkan pada cita-cita Indonesia dan Piala Dunia 2018, 2022 atau 2026. Tidak ada yang tidak mungkin! Negeri ini memiliki harapan! Negeri ini memiliki harapan.

Maka bangkitlah Sang Garuda! 2026 menanti kita!
Hidup Sepakbola Indonesia. 


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/09/why-i-love-liverpool.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/untuk-sepakbola-indonesia.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  

No comments:

Post a Comment