Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Friday, October 20, 2017

Cerita tentang Dia

Romantisme, kisah masa lalu, masa itu. Selayaknya remaja, muda dan penuh gairah, perasaan cinta meluap selayaknya gelora ombak di tengah samudera. Berbenturan, menciptakan buih, "membawa aroma laut", kata seorang kakek tua mantan pelaut. Perasaan dan kisah lama itu adalah bagian dari halusinasi nyata dunia ini. Indah tak bertepi, namun tidak pernah abadi.

Bukan masanya seorang laki-laki dewasa berkulik-kisah romantis, bukan bacaan dia. Gagasan cemerlang negara dan bangsa sudah ditunggu khalayak, begitu kata seorang bijak di tengah pematang sawah saat senja itu hadir. Lihat tumpukan data itu, kondisi ekonomi negaramu carut marut ndoro, begitu kata seorang tukang ojek, cerdas dibalik kaca helm-nya. Ah cinta monyet! makian untuk melarikan diri lebih tepatnya, saking tiada sanggup hati menanggung romantisme menggebu ini, disebutkanlah embel-embel hewan ditambah kata cinta di depannya. Cinta-nya para monyet, binatang, begitu katanya. Artinya, manusia tidak pantas memilik dan memeliharanya! aduhai malang nian, sesedarhana cinta-pun tak bisa dirasa manusia?

Namun kenyataannya semilir angin yang menghembus gaun itu membawa kisah tersendiri. Tenang dalam damai dan senyum, angin pun hanya mau berjinak-jinak kepadanya, menyapa lembut tanpa maksud menyakiti. Hati-hati mengibar kemilau cahaya, tersusun apik sesuai lipatan kerudungnya. kehati-hatian itu memunculkan kesan damai, dan tentu, sepotong romantisme. Dia menjaga diri semulia mungkin, aku angin, tidak akan menganggu kemuliaan dia, seolah begitu gumam angin sembari terus bercanda girang dengan ujung-ujung kerudung putih di sore itu.

Mentari seolah berkongsi dengan angin, aduhai sebagaimana jaman dahulu kompeni dengan orang spanyol membagi tanah jajahan. Pembiasan cahaya pada sosok anggun itu tidak normal, matahari setahuku mengakumulasi semua spektrum menjadi putih, konon katanya atmosfer-lah yang memberi peran dalam pembiasan itu. Hari masih belum senja, tetapi kenapa cahaya keemasan bertebaran membentuk siluet kain mulia yang membungkus seluruh permata itu? sungguh tidak adil rasanya, karena pohon kurma nun disana hanya memperoleh biasan apa adanya, bahkan siluet hasilnya hanya serupa gada, senjata perang pembunuh manusia.

Kala unsur tidak hidup bermain peran, entah kenapa provokasi itu dijawab lantang oleh pohon-pohon angsana disepanjang danau. Entah keputusan persatuan angsana jenis mana, tetiba serempak dibarengi sentuhan angin mendayu, berguguran kelopak emas, kuning dan jingga pohon membosankan ini. Entah katanya cinta akan terjawab tuntas dibawah guguran kelopak bunga itu, namun hanya terlihat ekspresi lucu ketika tangan-tangan mungil itu kerepotan membersihkan kelopak usil itu. Tetapi kongsi ini kokoh, sangat menyebalkan sebagaimana Kompeni berlaku saat pertempuran Somba Opu. Guncangan karena jemari kecil itu ditimpali matahari dengan kemilau sinar jingga, berubah dan berkelabat mengikuti garis kontur kerudung putih itu.

Hai manusia, sadarlah, sadarlah!! hati berusaha memberi peringatan pada hamba lemah yang hanya mampu tersenyum simpul. "Hai Bodoh, jangan salahkan jika aku meleleh!!" hati berteriak, memberi ultimatum. Mata hanya menjawab dingin, logika lantang berkata bahwa hati tiada lain organ terdiri dari darah dan beberapa hal lain, sepertinya logika demikian. Namun dalam sepersekian detik, mata turut memberi reaksi keras, bak reformasi 1998 mengguncang nusantara, berkejap sedemikian rupa.

Rupanya hati benar, guguran usil kelopak angsana itu membawa kegembiraan di wajah itu. Senyum merekah membagi pipi pualamnya seperti goresan sempurnya senyum mona lisa. Sepertinya saking lucunya, pipi pualam itu sedikit memerah, didukung dengan tawa kecil memperlihatkan gigi-gigi depan, cekikik ringan seorang gadis! ah! mata mengejap semakin sering, memaksa dagu untuk turun. Normalnya dagu ini membawa dan menatap kepastian, saat ini lelehan hati membuat bebannya semakin berat, tertunduk malu karena kedapatan menikmati keindahan bukan miliknya.

Refleks tangan melepas kacamata, mengusap kasar wajah membawa kembali kesadaran sebagai seorang laki-laki sejati. Kembali mata mengarahkan pandangan, professional, bukan pada persona namun pada agenda penting saat itu. Sungguh! romantisme tidak bisa kamu tolak kawan! saat itu juga wajah yang barusan tersenyum itu kebetulan saling tatap bersamaan. Sungguh beruntung kamu mata!! teriak hati menggila, sepertinya lelehannya telah berubah menjadi didih asmara, hai, sungguh kamu, hentikan candaan cinta monyet ini. Mata hanya terpaku sekilas, seperti menunggu sebuah momen.

Sepersekian detik kemudian momen itu hadir, seberkas senyum kecil diakhiri dengan aksi menundukkan pandangan. Entah sekarang dikomando siapa, hanya telat sepersekian detik dari laku bidadari anggun itu, seluruh tubuh ini tak kuasa menahan malu. Aduhai, apakah rasa malu semacam ini masih dikategorikan sebagai cinta monyet? jika iya, apalah arti 22 tahun umur fana ini? karena sampai detik ini tiada nyali mengikat janji setia dan cinta sejati.

Ah mungkin itu solusinya? janji setia dan cinta sejati? tetapi demi apa bro? kamu sendiri masih kesulitan membedakan mana makanan mana racun! bagaimana jika kamu letakkan bidadari itu pada bahaya? akhirnya tangan kanan memilih untuk menenangkan hati, sebuah usapan lembut pada tempat imajiner hati berada. Otak pun berkeras membantu, dengan memutar kembali memori kejadian lucu, mungkin memori saat gajah berusaha terbang memakai kupingnya.

Hanya bisa mengamatinya dari jauh, begitu kurasa. Saking jauhnya, sampai mungkin cicak di dinding tertawa terbahak mengalahkan jam dinding, karena aku tidak berbuat apapun untuknya. Aku tidak berbuat apapun untuk meluapkan ombak membumbung ini, hanya didiamkan saja menebar buih, bukan buih lautan, tetapi buih asmara. Sungguh merepotkan! tapi inilah cara sederhana dalam mencinta.

Negeri ini, jauh dari pandang untuk melihat sosokmu, namun sampai detik ini, gejolak itu masih menggelora. Hai, bagaimanakah caraku meredamnya? momentum sekilas, hanya sekilas saat itu membawa cerita panjang tentang penerjamahan cinta. Aku tidak tahu kapan kisah ini akan berakhir, aku tidak tahu siapa tokoh utama dari cerita ini. Aku hanya mengharap kamu bisa memperoleh sesuatu, permata berharga lebih bermakna dari apa yang aku peroleh.

Mungkinkah aku termasuk dari cerita ini? aku yang hanya bisa memandangi dan berusaha melindungimu dari jauh? hmmm, mungkin aku tidak tahu, adalah jawaban yang tepat. Tapi, jikalau memang iya, demi keamanan kisah ini, aku akan mengambil peran sebagai seorang "pintar" yang memandangi mu dari jauh, mungkin saat ini seperti itu saja. Namun jika saatnya, Sang Pemilik Semua pelaku konspirasi saat itu berkehendak, izinkan aku, ikut menghiasi cerita mu. Aku, juga memiliki cerita, dan tentu, akan senantiasa aku bagi denganmu. Karena, ada beberapa halaman disini, yang hanya bisa kamu isi. Kamu, siapapun kamu :) aku, mengagumimu.

- Apakah ini serius? mungkin iya, mungkin tidak

Aku, yang masih berusaha menulis cerita terbaik untuk ku, mungkin untuk mu, mungkin juga dia~

No comments:

Post a Comment