Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Wednesday, August 16, 2017

Merdeka seperti Apa?





Merdeka seperti Apa?

Korea Utara, negara dengan kapasitas mampu memberi kejutan kepada dunia dengan teknologi nuklir dan roket. Dengan kebijakan isolasi dari dunia luar, serta embargo baik sosial, politik maupun ekonomi, tetap berdiri dibawah kepemimpinan Presiden Kim Jong Un, bertumpu pada sistem sosialis dengan ideology Juche-nya. Kebijakan rezim memberlakukan tindakan represif kepada warganya, dengan berbagai pembatasan akses informasi dan ruang gerak pada akhirnya membuat dunia menggelari negara tersebut sebagai tempat tidak nyaman. Berbagai usaha dilakukan warganya untuk bisa melarikan diri dari tanah kelahiran mereka. Merkipun kenyataannya, tidak ada satupun kekuatan lain mengangkangi, memeras dan menjajah negara tersebut! dan sejak Perang Korea usai, negara ini resmi menjadi sebuah negara merdeka.

Lain halnya di sisi lain dunia, di sebuah tempat dimana masih terjadinya penjajahan secara sistematis sebuah negara atas negara lain. Ditambah dengan kebijakan apartheid antar satu ras dengan ras lain, menjadikan tempat ini sebagai contoh terburuk pelaksanaan hak asasi manusia, namun sepertinya dunia tidak peduli. Bangsa Palestina masih berjuang meraih kemerdekaannya, usai “lepas tangan-nya” negara-negara arab atas nasib Palestina pada 1948, negara dan warga Palestina masih mempertahankan eksistensinya. Pemusnahan massal tersistem baik melalui aksi militer dan kebijakan internasional seolah tidak membuat gentar, bahkan dengan lantang di setiap graffiti dituliskan “kami merdeka” atau “kami akan kembali”. Dalam penjajahan, tapi hati dan pikiran mereka bebas. Dalam terjangan peluru dan ancaman kelaparan, pandangan mereka masih menerawang jauh, akan janji kemerdekaan dari Allah SWT.

Kemerdekaan, kata-kata ini akhirnya harus diterjemahkan mendalam karena adanya interpretasi bermacam-macam dari manusia. Negara yang merdeka namun masyarakatnya tidak merdeka, dan negara terjajah namun masyarakatnya merdeka menjadi contoh adanya perbedaan mendalam tentang arti kemerdekaan. Orang ramai membicarakan klasifikasi merdeka, bahkan beberapa menulis tentang pemaknaan merdeka. Namun sekali lagi, semua itu ada dalam kacamata pemikiran sederhana seorang manusia. “Ilmu ku seluas lautan” begitu kata Allah, “sedangkan ilmu kalian tak ubahnya setetas air yang jatuh dari sebuah jarum. Setelah jarum itu dicelupkan kedalam lautan”.

Sangat relevan jika setiap momen peringatan kemerdekaan, orang berlomba membuat refleksi kemerdekaan. Beberapa dengan garang mengkritik rezim penguasa, beberapa menaruh kaca besar dan memuji-muji prestasinya. Beberapa menyerukan perubahan, beberapa menginginkan kondisi stabil dan tenang. Beberapa menyebut darah dan air mata, selebihnya menyebut harmoni dan keberagaman. Itulah kemerdekaan, selepas Bung Karno berkata “menyatakan kemerdekaannya”, bangsa ini berdiri perlahan menjadi bangsa maju dan kuat, dan tentu usaha itu masih berjalan hingga saat ini.

Pada akhirnya harus kita akui, bahwa bangsa ini memerlukan interpretasi rigid dari kemerdekaan. Selepas Bung Karno ditemani Bung Hatta mengucap proklamasi, lepas saat itulah bangsa ini resmi merdeka. Namun sejarah mencatat beberapa kejadian terus membuat kita berpikir “apakah kita sudah merdeka?”. Mulai dari episode berdarah dan kelam bangsa ini dibawah baying-bayang komunisme, hingga runtuhnya fondasi kapitalisme di penghujung abad 20, bangsa ini terus menerus meredefinisi arti kata “merdeka” dan penerapannya dalam kehidupan.

Lantas merdeka seperti apa hari ini?

Bangsa ini masih kokoh dengan slogan “Bhineka Tunggal Ika” –nya. Terbukti bendera-bendera terlarang sudah jarang berkibar, minimal di pemberitaan media. Media tengah sibuk menyajikan ulang tahun seorang anak kecil entah siapa, atau pertengkaran remaja entah siapa. Dimana masyarakat seluruh Indonesia tengah belajar bagaimana menghargai kebudayaan antar daerah, dan melihat contoh-contoh “mulia” penyelesaian masalah dan mensyukuri kebahagiaan. 

Bandingkan dengan di belajan bumi lain dimana peluru menjadi bahasa utama menyajikan perbedaan. Ibadah sholat dan kebaktian di gereja senantiasa disambut panasnya timah. Bahkan agenda olahraga bernama sepakbola menjadi ajang untuk memamerkan perilaku rasial biadab. “Rasisme adalah DNA kami”, begitu kata mereka. Sungguh tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia yang damai, yang bersama-sama mendoakan kebaikan bagi si anak kecil yang masuk televise. Tentu agar hidupnya bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Setiap jengkal tanah di negara ini dipenuhi kemakmuran. Angka pertumbuhan ekonomi 5% menjadi bukti, bahkan negara ini masuk kedalam anggota G-20. Proyek-proyek raksasa tengah dikebut, saban hari media memberitakan keberhasilan “peletakan baru pertama” di berbagai tempat. Masyarakat hidup dalam kenyamanan dan kestabilan harga, hingga beberapa pejabat berkata “tidaklah usah membeli ini dan itu, kita tanam sendiri saja” atau semacam itu. Mandiri dan berdikari, kurang apa coba?

Bandingkan dengan kehidupan di sebuah benua, dimana masyarakatnya lebih banyak hidup di tenda pengungsi daripada perumahan nyaman di perkotaan. Mereka tidak mendapat apa-apa dalam sehari, kecuali sesuatu setara 2 bungkus kentang goreng porsi medium. Kematian anak-anak adalah hal biasa, dimana kuburan mereka tidak lain adalah tenda-tenda pengungsian itu. Hingga mungkin izrail menutup mata, melihat anak-anak kecil meregang nyawa hanya karena tidak ada makanan disana. Sungguh beruntung bangsa ini, tongkat dan kayu jadi tanamanan katanya.

Bangsa inipun sangat toleran, saat masyarakat mayoritas masih memberi kesempatan setara bahkan lebih tinggi pada minoritas. Minoritas diberi kesempatan berkarir tanpa dibatasi, bahkan hingga menguasai asset-asset vital perekonomian. Istilah sang Sembilan atau apapun itu membahana karena kepemilikan mutlak atas sektor, mulai perbankan hingga sampah. Tidak ada protes bahkan pembantaian, semua berjalan seharmoni, seiring sejalan.

Bandingkan dengan insiden berdara Serbia-Bosnia, dimana tentara Serbia dengan santainya membantai 8000 orang dibawah tatapan persatuan bangsa-bangsa. Atau bagaimana leluhur bangsa Amerika membuat kuburan massal orang-orang asli Amerika. Atau mungkin Raja Ferdinand dan Ratu Isabella setelah runtuhnya pemerintahan Umayyah Andalusia. Bukan tindak kasih sayang dan perdamaian, hanya banjir darah, banjir darah dan banjir darah. Mayoritas tidak mau memberi hati pada minoritas, dan dunia terbahak menertawakan nasib kaum minoritas.

Negara ini gagah dengan garudanya. Mengemban amanat 5 butir pancasila sekaligus cita-cita luhur bangsa ini, negara ini masih terbang tinggi. Menjadi bagian rutin kontingen korps penjaga perdamaian dunia, hingga mediasi konflik-konflik internasional. Kenapa? Negara ini damai! Mampu menjadi contoh menangani gerakan-gerakan separatis dengan kasih sayang dan perundingan, harmoni dalam perbedaan, bahkan berdemo pun dilaksanakan dengan sujud dan rukuk, tanpa adanya panggung untuk menghina dan menjatuhkan orang lain. Keren bukan?

Bandingkan dengan negara adidaya entah dimana, yang untuk memburu seorang presiden tiran saja harus menumbalkan 200.000 nyawa. Bukan itu saja, bahkan wilayah tempat anak-anak bermain dijatuhi dan diberi radioaktif, entah untuk motif apa. Negara adidaya ini rutin mengacungkan pistol dan senapan untuk menjaga perdamaian, padahal semua orang tahu tujuan dibuatnya pistol adalah mempercepat kematian orang lain. Luar biasa bukan? Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, kuat, dan kokoh! Merdeka dalam kedamaian dan kasih sayang!
 
Lantas, apa makna merdeka untuk anda?

Bangsa ini merdeka! Bangsa ini besar dan jaya! Lantas apalagi? Bukankah semua itu sudah cukup.

Pertanyaan sederhananya adalah, kemana anda akan pulang? Allah menegaskan kehidupan setelah mati itu benar adanya. Maka, pada akhirnya semua keagungan dan kejayaan itu akan dikembalikan kepada Allah semata. Lantas sudahkah anda merdeka? Padahal saat ini, rasa haus dan lapar masih menjadi kekhawatiran, hingga membuat jalan-jalan berlubang dan beton-beton keropos. Merdeka seperti apakah kita?

Wallahu ‘alam

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mengelola-kesedihan.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  

No comments:

Post a Comment