Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Sunday, June 4, 2017

Hikayat Santren : Dul dan Bahasa Arab (Ana Qosim)






Dul dan Bahasa Arab (Ana Qosim)

Belajar, sebuah kewajiban mutlak seorang pelajar. Iyalah, kalau bukan pelajar ngapain make nama pelajar? Mungkin lebih cocok pakai nama pe-apa sesuai pekerjaannya. Tapi aneh ya, koruptor kenapa pekerjaannya korupsi? Sesuatu yang tidak nyambung. Ya namanya juga kata serapan. Terus santri kerjaannya apa? Kata sejarah bahasa santri itu berasan dari bahasa sansekerta, artinya juru tulis. Tapi nggak semua mantan santri menjadi juru tulis, terus kerjaannya santri apa?

Ya lupakan, paragraph tadi hanya sekedar omong kosong saja, biar tulisannya agak panjang. Tapi bukan basa-basi juga sih, sempet dibahas singkat soal belajar. Pertanyaannya, apakah santri PPNK belajar? Mungkin kalau melihat cerita-cerita sebelumnya pekerjaan santri-santri PPNK hanya main-main, baik itu di WC, saat makan, atau mungkin malah kesasar pas jalan-jalan. Ya, kehidupan santri PPNK memang tidak dihabiskan di kelas seperti siswa SMP atau SMA pada umumnya. Lebih sering santri PPNK menghabiskan waktu diluar kelas, atau di kelas sih, tapi agenda-nya bukan belajar-mengajar. 

Tapi tetap kami harus belajar, bahkan meskipun kehidupan sehari-hari kami sudah cukup sinting, untuk dapat naik tingkat kami harus baik dalam belajar. Tetap saja di PPNK ada ujian kenaikan kelas, ujian semester, ulangan harian dan sejenisnya. Bahkan dengan sombong ane berani bilang kalau muatan pelajaran di PPNK jauh lebih berat dari sekolah lain. HA! Pasti kalian banyak yang mencibir, tapi terserahlah, ane akan beberkan fakta-nya.

Pertama, PPNK adalah pondok dengan akreditasi A, tentu bukan hanya depag tapi juga depdikbud (untuk Mts dan MA-nya). Artinya, ijazah kami saat SMP maupun SMA sifatnya sudah sama dengan ijazah SMA-SMA pada umumnya. Bahkan bisa dibilang peringkat akademik PPNK terhitung tinggi jika diadu dengan sekolah negeri atau swasta di Kota Logam ini. Maka, jelas ada banyak persyaratan untuk memenuhi kriteria tersebut, apalagi tidak seperti pondok pesantren lain, di PPNK tidak ada sejarahnya kejar-kejar paket, semuanya lulus dengan jalur regular.

Dengan ijazah regular kami, otomatis pelajaran-pelajaran kami di pondok standarnya sama dengan sekolah-sekolah negeri atau swasta dibawah dinas pendidikan. Keren kan? Artinya, meskipun kami tidak memiliki akses dunia luar, kami tetap harus bisa mengusai mata pelajaran seperti matematika, fisika, kimia, biologi dan bahasa Indonesia. Jangan dibayangkan PPNK pondok macam apa ya, di dalam lingkungan pondok sudah tersedia laboratorium computer, perpustakaan, dan laboratorium sains dan bahasa. Jadi bisa dibilang, melihat kelengkapan fasilitas dan sejenisnya bisa dibilang kami hanya siswa-siswi SMP dan SMA biasa yang menginap di sekolah.

Tapi, tetap PPNK adalah pondok pesantren, isinya orang-orang islam yang sengaja datang untuk mencari ilmu agama lebih dalam. Maka, selain pelajaran-pelajaran umum tadi yang sudah cukup untuk membuat anak-anak sekolahan biasa bunuh diri (ha) kami sebagai santri masih harus melahap mata pelajaran pondok. Apa itu mata pelajaran pondok? Mata pelajaran pondok adalah mata pelajaran yang kurikulum, silabus dan tetek bengeknya menjadi hak pondok pesantren untuk membuatnya. Mayoritas berisi mata pelajaran yang erat kaitannya dengan agama islam, tentu lebih mendalam.

Tafsir Al-qur’an, Ilmu Hadits, Hadits, Fiqh, Sirah, Aqidah, dan Nahwu-shorof harus kami makan dan kami selesaikan, dengan baik. Kenapa dengan baik? Kenaikan tingkat di PPNK dipengaruhi oleh mata pelajaran pondok tadi, kalau nilai-nilai mu di mata pelajaran pondok hancur, jangan harap kamu bisa naik kelas. Selain mata pelajaran tadi, kamu juga harus mampu menyelesaikan target hafalan Al-Qur’an, setiap tahun 1 Juz (minimal). Jika kamu gagal memenuhi target 1 Juz tadi, secara langsung kamu tidak akan naik kelas, langsung tanpa pandang bulu.

Terus mata pelajaran umum tadi untuk apa? Bagaimanapun kamu ngga akan selamanya di PPNK, maksimal 6 tahun lah di PPNK. Dan jelas Universitas Indonesia misalnya, tidak akan ambil pusing soal nilai-nilai mata pelajaran agama islam tadi jika kamu ambil PMDK. Dia hanya akan melihat nilai-nilai matematika dan sejenisnya selama 3 tahun di SMA. Begitu juga jika kamu berencana hanya menyelesaikan Mts saja di PPNK, untuk masuk ke SMA favorit kamu juga butuh nilai mata pelajaran umum tadi selama 3 tahun juga. Gimana? Sudah mulai pusing? Ane aja yang nulis pusing, karena keingetan memori enek jaman dulu.

Maka sedikit miris ketika kami santri PPNK melihat berita di Koran tempelan pusat informasi, tentang berita siswa SMP bunuh diri karena nggak naik kelas. Atau anak-anak SMA menghabiskan masa depannya untuk narkoba, hanya demi diterima di suatu lingkungan tertentu atau melarikan diri dari pusingnya sekolah. Atau mungkin bergabung di geng motor dan sebagainya, mungkin terlibat tawuran dan hal-hal tidak penting lainnya. Memang sekolah-mu belajarnya seberat apa? Memang rumah-mu tidak bisa membuatmu nyaman?

Santri-satri PPNK harus menyelesaikan mata pelajaran sekolah-mu ditambah mata pelajaran pondok yang naujubileh. Mereka harus bersabar menunggu waktu ketika orang tuanya memiliki kesempatan untuk menjenguk dan mendengarkan keluh kesah mereka. Hidup di lingkungan yang tidak jelas hubungan keluarganya dengan kita, bergaul dengan berbagai latar belakang masyarakat, dari ujung barat sampai timur Indonesia. Semua konflik dan beban bersosial tadi harus mereka tanggung sendiri. Pernahkan ada berita anak PPNK bunuh diri karena itu? Nggak, nggak pernah. Semuanya kembali ke diri kita masing-masing, kita cukup kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah itu atau tidak. Karena alasan seperti ketiadaan fasilitas, tempat tidak nyaman dan sebagainya, seringkali hanya alasan yang dibuat seorang pengecut.

Wah kok malah jadi kritis tulisannya, ngga, ini masih genre komedi, sial, malah ngiritik. Duh! Intinya belajar di PPNK memang mengesalkan. Kesal karena lelah dan kesal karena memang menyebalkan. Selain mata pelajaran umum, buku pelajaran kami semuanya memakai buku asli untuk referensi. Jadi, mata pelajaran ane seperti hadits, tafsir dan sejenisnya kami memakai buku-buku dari Arab yang dicetak ulang tanpa merubah buku aslinya (kadang ane bertanya-tanya kenapa harus dicetak ulang jika memang isinya sama kayak buku asli)

Artinya, mata pelajaran dengan nama-nama aneh tadi, kami pelajari menggunakan bahasa ibunya. Ya! Bahasa Arab, bahasa padang pasir, bahasa pemakan kolak korma dan pengendara unta. Bahasa yang tulisannya mirip cacing melingkar-lingkar, cara pengucapannya kadang bikin orang keseleo lidah bahkan tersedak. Bahasa yang setiap kata bisa memiliki hingga 12 derivasi penggunaan yang berbeda! Bukan hanya past-present-future, tapi lebih dari itu. Bahasa, yang bahkan dunia mengakui sebagai bahasa tersulit, apalagi jika sudah bicara karya sastranya. Dan terakhir, bahasa yang Al-Qur’an yang juga menjadi bahasa para ahli surga.

Maka penting bagi para santri baru semacam ane untuk mempelajari bahasa alien ini lebih dahulu disbanding bahasa lain. Karena  2 alasan. Pertama, bahasa Indonesia sifatnya haram digunakan di PPNK. Kedua, semua mata pelajaran yang menentukan naik kelas tidaknya kami menggunakan bahasa alien ini. Maka sejak awal menjadi santri, sudah diwajibkan kepada kami setidaknya membawa 1 kamus bahasa Arab dan 1 kamus bahasa inggris, karena selama 6 tahun di pondok mungkin kami akan terus memakainya.

Bahasa asing sendiri memiliki ruang tersendiri dalam kenangan buruk ane. Kenangan buruk ini ane mulai pada saat kelas 4 sekolah dasar ane pertama kali belajar bahasa inggris. Singkat cerita, guru bahasa inggris langsung meminta kami mengerjakan soal, yang isinya mengisi nama objek-objek tertentu dalam bahasa inggris. Objek itu ada buku, kursi dan meja. Ada huruf-huruf acak diatas objek tadi yang menjadi clue untuk menjawab pertanyaan tadi, jadi jika anda memiliki kemampuan bahasa inggris standar, mudah saja menjawabnya.

Tapi, karena ane ngga ngerti sama sekali, ane menjawab buku à B-O-K-O, meja à ?, kursi à ?. BOKO, bahasa darimana itu? Meskipun saat kelulusan ane mendapat penghargaan karena nilai UASBN ane tertinggi seangkatan untuk bahasa inggris (96 nilainya) pengalaman menulis BOOK menjadi BOKO masih menjadi trauma tersendiri. Karena guru bahasa inggris ngeselin itu betul-betul menilai ane 0 karena ane ngga bisa menjawab satupun dari pertanyaan itu.

Maka, melihat buku bahasa Arab yang tebalnya mirip roti tawar, ane sudah was-was sejak awal. Sama sekali tidak ada satupun halaman yang memiliki harakat disana, semuanya Arab gundul. Bahkan di halaman-halaman awal ada gambar-gambar tidak lazim tanpa ada satupun huruf disana. Ane sudah membayangkan mungkin pengalaman pertama ane belajar bahasa Arab akan menjadi trauma tersendiri, dan trauma itu tidak bagus. Kalau kamu sudah trauma kamu pasti akan sangat kesulitan untuk menguasai bahasa tersebut.

Akhirnya tibalah hari perjanjian, pertama kalinya kami santri tahun pertama di PPNK belajar bahasa Arab. Buku bahasa Arab berwarna kuning dihadapan ane seolah mengeluarkan aura kegelapan, menarik ane kedalam trauma B-O-K-O saat ane sekolah dasar dulu. Keringat mulai menetes, keringat dingin tentunya, hingga pintu kelas kami dibuka oleh sesosok manusia.

“Tenonenonenot..
Cik.. pak..pak.. tet tot.. cik.. pak.. pak.. tet.. tot.. cik.. pak..pak..
Biar kata, mirip buaya, bagiku kau Luna Maya
Ow.. ow.. I Love you beibehhh….”


Entah kenapa di kepala ane langsung berputar background music The Changcuter setelah sosok manusia tadi masuk ke kelas kami. Model rambut mumbul belah pinggir, dengan kilatan-kilatan minyak rambut, muka tirus, janggut dan kumis tipis, serta postur yang mirip. Tria the changcuter jadi ustadz di PPNK! Luar biasa kami akan diajari bahasa Arab oleh artissss!

Ya tentu semua itu hanya delusi, tapi melihat reaksi teman-teman sekelas ane, dimana mereka semua mulai cengar-cengir cengengesan, mungkin background music tadi juga berputar di kepala mereka. Dengan lnagkah tegap meyakinkan (meskipun kurus kering sih) Ustadz Tria meletakkan buku bahasa Arab berwarna kuning sekaligus kamus di meja guru (nama asli beliau bukan Tria, semua ini demi melindungi nama baik beliau), beliau langsung berbalik menghadap kami dengan tersenyum.

Ditatapnya kami satu persatu, kemudian mengalunlah sebuah “Assalamu’alaikum” paling fasih yang pernah ane denger. Setelah mengucap salam beliau menyisir rambutnya kebelakang, persis si Tria pas mau nyanyi, dan dia mulai mengabsen nama kami satu-satu.

Tanpa ba..bi..bu, setelah mengabsen nama kami dan tahu darimana asal kami, beliau langsung menyuruh kami membuka buku bahasa Arab berwarna kuning itu. Mendadak trauma B-O-K-O menghantui kepala ane. Beliau langsung meminta kami menuju halaman, dimana ada sebuah gambar komik 4 strip, 2 orang laki-laki terlihat bercakap-cakap tanpa ada percakapan atau tulisan apapun disana. Opo iki! Lebih parah dari insiden B-O-K-O tadi, sama sekali ngga ada clue disini.

Ustadz Tria hanya tersenyum, dan kemudian berbicara dalam bahasa Indonesia 

“Kalian ikuti yang saya ucapkan ya, ingat, ikuti dengan serius!”

Dengan was-was kami mencar-cari, mana yang harus kami baca dan kami ikuti dari omongan beliau? Di halam ini sama sekali tidak ada satupun teks dan sejenisnya! Mungkin ini memang ustadz satu ini memang lebih parah dari guru bahasa inggris ane di sekolah dasar.

“Wakhiid.. Itsnain.. Tsalast..”
“Assalamualaikum..!! Ana Kamal..”
“Waalaikumsalam, Ahlan Kamal!! Anaa Qoooooossim!!”
“Ahlan Qoosim! Min Aina Anta?”
“Ana Min Niijiiriiii! Min Aina Anta?”
“Ana Min Suudaan!”
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”

Ustadz Tria Changcuters itu langsung merepet tidak karuan dalam bahasa Arab dengan dialek Indonesia. Sedikit banyak ane pernah belajar bahasa Arab dulu, jadi ane bisa denger yang beliau bilang. Tapi untuk mengerti, ngga sama sekali. Dengan beberapa teman ane masih membolak-balikkan halaman untuk menemukan dialog Qosim Qosim tadi, tapi ternyata nihil. Dialog Qosim tadi sama sekali ngga ada di buku ini.

“Hei, buat apa kalian bolak-balik buku, kan sudah saya bilang, perhatikan dan ulangi perkataan saya. Oke?!” melihat kebingungan kami, beliau mengulang lagi instruksi tadi.

“Baik sekali lagi, fokus ikuti dan ulangi apa yang saya katakan! Oke?!”

“Wakhiid.. Itsnain.. Tsalast..”
“Assalamualaikum..!! Ana Kamal..”
“Waalaikumsalam, Ahlan Kamal!! Anaa Qoooooossim!!”
“Ahlan Qoosim! Min Aina Anta?”
“Ana Min Niijiiriiii! Min Aina Anta?”
“Ana Min Suudaan!”
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”

Kompak kami semua mengikuti perkataan beliau, dan mengulang percakapan tadi selama berkali-kali. Entah mungkin 45 menit pertama dalam jam pelajara bahasa Arab kami habiskan untuk mengucapkan kalimat Arab yang kami tidak tahu artinya. Dipandu Ustadz Tria Changcuter yang bersemangat, perlahan-lahan kami melafalkan bahasa Arab diluar Al-Qur’an dan hadits yang memang sudah biasa kami baca.

Setelah puas mengulang-ngulang, hingga kami semua hafal diluar kepala (bahkan ane masih inget sampai sekarang) baru beliau menuliskan percakapan tadi dalam bahasa Arab di papan tulis. Kemudian beliau meminta kami menuliskan semua percakapan tadi, dan perlahan-lahan menjelaskan satu persatu maksudnya.

Percakapan tadi adalah standar perkenalan dalam bahasa Arab. Artinya kira-kira “Perkenalkan saya Kamal. Hai Kamal, saya Qosim. Saya (Kamal) berasal dari Nigeria, kamu darimana? Saya (Qosim) berasal dari sudan”. Nah, si Kamal sama si Qosim ini baru pertama kali bertemu, dan dari perkenalan pertama ini m mereka mengetahui nama dan asal masing-masing. Luar biasa kan? Dalam satu kali belajar ane mungkin sudah bisa bertemu dengan orang Arab dan tahu nama serta asalnya dia. Beda jauh sama insiden B-O-K-O pas ane SD dulu, mungkin ane malah bikin malu Indonesia karena ngga tahu apa bahasa inggris dari buku.

Senyum unik Ustadz Tria Changcuter masih menemani kami, perlahan-lahan beliau menjelaskan satu persatu maksud dari percakapan tadi. Kosakata tadi juga dijelaskan pelan pelan. Di akhir, kami semua mengulang lagi percakapan epic Qosim-Qosim tadi dengan semangat karena kebetulan pelajaran bahasa Arab saat itu adalah pelajaran terakhir hari itu.

Beliau meninggalkan kelas kami dengan salam, dan kami pun tersenyum-senyum mengulang percakapan bahasa Arab tadi. Ane pun juga masih tertawa, karena membayangkan seorang Tria Changcuter capek-capek dari Bandung ke PPNK buat bilang “Anaaa Qoooosim”. Nggak, itu hanya delusi saja.

Tapi dalam realita belajar bahasa, saat ane agak gede ane baru tahu sesuatu. Bahasa asing akan akrab denganmu, jika lidahmu terbiasa melafalkannya. Karena bahasa memang diungkapkan dengan bahasa verbal maupun bahasa tubuh, paling banyak digunakan lewat situ. Dan secara umum manusia memang lebih mudah membiasakan dirinya dengan bahasa asing dengan belajar bicara. Bahkan sejak bayi-pun kita lebih dahulu bisa mendengar, berbicara, baru setelah Taman Kanak-kanak kita belajar baca tulis.

Kemudian ane memikirkan insiden B-O-K-O dengan ‘Ana Qosim’ tadi. Mengapa dalam waktu singkat ane sudah bisa ngobrol dengan orang Arab dalam bahasa Arab, sedangkan ane bikin malu karena tidak tahu artinya buku dalam bahasa inggris. Sayangnya pelajaran bahasa di pertiwi ini mengutamakan teori, buku-buku, tulis-menulis sedangkan miskin Pratik. Grammar ditelanjangi sampai mampus bahkan seorang anak diremehkan jika grammarnya berantakan, dalam tulisan lagi.

Padahal kalaupun kita diberi kesempatan keluar negeri, kita tidak mungkin berkomunikasi dengan tulisan kan? Telinga dan bibir kita menjadi sarana komunikasi utama dengan penduduk asli. Maka, jika berbicara seorang lulusan berwawasan dan berkapasitas global, wajar kiranya jika mereka mampu berbicara dan memahami perkataan orang asing, dalam bahasa orang asing tadi. Sudah waktunya kita melepaskan diri dari formalitas berbahasa lewat tulisan, kosa-kata dan buku-buku dan coba membicarakan kata-kata tadi dalam kehidupan sehari-hari.

Buktinya? Di hari pertama santri-santri tahun pertama PPNK belajar bahasa Arab, mereka digaransi mampu berbicara dengan orang Arab, dalam bahasa Arab, dan mengetahui cara menanyakan nama da nasal orang aran tadi. Sedangkan ane di hari pertama belajar bahasa inggris di SD sama sekali tidak mengerti apa-apa selain “bahasa inggris buku itu bukan B-O-K-O”, semua ini benar-benar berada di level yang berbeda.

Maka, dalam hati ane tersenyum puas, mungkin dengan yang diajarkan Ustad Tria Changcuter tadi ane bisa melangkah lebih jauh dalam dunia bahasa. Bukan hanya kata-kata dan grammar saja, tapi lebih dari itu, berbicara, mendengar, dan berpikir dalam bahasa asing. I believe that is something interesting. Maka pelajaran di hari itu berakhir dengan bahagia. Sepanjang perjalanan menuju asrama teman-teman mengulang-ngulang “Ana Qosim” sambil tertawa-tawa puas. Merasa senang mendapat pengalaman baru tentang bahasa Arab.

“Eh, ngomong-ngomong ustadz yang mirip Tria Changcuter tadi namanya siapa ya?” mendadak sebuah pertanyaan menggugah kesadaran kami

Saling pandang dalam kebingungan, mendadak kami semua serempak tersenyum, mulai tertawa terbahak-bahak. Kompak kami berteriak..

“AANAAAA QOOOOSSSIIIIMMMMMMMM!!!!!!!!!”

Tawa lepas mewarnai hari itu. Hari dimana kami merasakan betul, wajar bahasa Arab menjadi bahas surga dan bahasa Qur’an. Karena kiranya, bahasa itu menyenangkan untuk dipraktikan.

-Continued


Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com

Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini : 

http://fellofello.blogspot.co.id/2017/06/hikayat-santren-dul-dan-santriwati.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-dan-kamar-mandi.html


 Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!

No comments:

Post a Comment