Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Friday, November 25, 2022

Hari Guru: Guru?

 

Gambar: Penulis saat Menjadi Perwakilan Wisudawan (Valedictorian) Wisuda UNS periode April 2018



Oleh: Muhammad Abdullah ‘Azzam, SM., M.M.

 

Ini cerita yang penulis alami sendiri, tentang bagaimana teman-teman sekolah penulis, benar-benar memilih untuk mengundang guru siapa yang akan diundang ke pernikahan-nya. Salah satu teman bahkan menyampaikan, dia hanya menyampaikan undangan ke 2 orang guru, yang pertama adalah pendamping organisasi-nya dulu, dan yang kedua adalah guru yang ada di sisinya, saat guru-guru lain mengacuhkannya. Oh ya, dia juga meminta doa restu pada 2 guru lain, yaitu wali kelas, dan satu lagi, pak kepala sekolah yang memang dia hormati. Meskipun, beliau berdua, kebetulan berhalangan hadir karena ada kegiatan. Padahal jika penulis ingat, selama bersekolah dengan si teman ini, semua guru juga hadir di kelas, sesuai dengan jam mengajar, memberikan ilmu sesuai dengan tupoksi. Namun dari sekian banyak guru itu, hanya ada 4 (empat) yang dia anggap worthy untuk menyaksikan, dia menjadi seorang suami dan calon ayah.

 

Kira-kira, jika realita ini dijabarkan kepada para guru, yang mendampingi dia selama sekolah, mengajar dalam waktu yang sama, mengajar dalam beban kerja yang sama, namun anda disisihkan oleh siswa anda? Jujur kalau saya pribadi, ini tidak mengenakkan. Namun tren semacam ini kelihatannya akan semakin sering, mengapa? Karena pun diantara para guru, mulai muncul perubahan yang signifikan.

 

Sangat erat dalam memori, generasi sebelum tahun 2000 senantiasa menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena realita-nya, dari segi gaji yang didapatkan, maupun apresiasi para murid pada saat mengajar tidak sesuai dengan yang dikorbankan para guru. Inilah kenapa bahkan para laskar Pelangi sekalipun tetap memiliki keunikan masing, yang jelas membuat pusing para guru. Namun saat para murid ini tumbuh dewasa, barulah guru ini panen, dan itulah alasan kenapa ada novel Laskar Pelangi, yang tebalnya Masya Allah, menceritakan memori seorang Ikal selama belajar di Sekolah Muhammadiyyah di Belitong Timur. Menjadi novel legendaris di Indonesia, dan darinya kita kenal dengan Pak Harfan, dan guru-guru yang lain.

 

Saat ini, sepertinya Novel Nasional Legendaris yang mengharumkan nama Lembaga dan personal, kurang menarik bagi para guru. Era media sosial ini kita menyaksikan, guru-guru mulai muncul dan mencari apresiasi bahkan sebelum para muridnya merasakan pahit nya kehidupan pasa sekolah, let alone berat nya, berdarah-darahnya kehidupan nyata. Status-status WhatsApp mengenai pencapaian-pencapaian “yang diaku muridnya” ramai berseliweran. Padahal Wallahu ‘alam anak-anak selama dikelas berpikiran dan berpandangan apa terhadapnya. Akun-akun media sosial viral menunjukkan guru yang “memiliki bakat diluar mengajar” dan akhirnya malah menjadi bahan tertawaan, atau akun-akun rendahan yang hanya menunjukkan guru-guru yang punya uang lebih untuk beli make up, namun mendatangkan pujian, publikasi, dan bahkan penggemar garis keras.

 

Namun yang paling menjadi soal adalah bagaimana momen hari guru dewasa ini, malah membuat banyak guru seperti meneladani rezim Korea Utara. Anak-anak disuruh membuat performance, menari, koreografi, bahkan dengan “enteng” mengatakan “ini persembahan anak-anak untuk gurunya”. Padahal hanya Allah SWT yang tahu, apa makna dibalik persembahan itu. Apakah dilaksanakan dengan ikhlas atau terpaksa. Atau malah hanya konspirasi Sebagian kecil guru, untuk mendapatkan apresiasi atau dipandang “wah” oleh guru-guru lain, dan mendapatkan tempat manis di sisi petinggi, baik itu jajaran kementrian atau pengelola bagi sekolah-sekolah swasta.

 

Hari guru akhirnya berakhir menjadi sebagaimana hal-hal lain di dunia, hanya sebatas vanity, omong kosong tidak bermakna untuk memuaskan Hasrat pribadi akan rekognisi. Yang dalam pelaksanaannya, ada waktu yang terbuang percuma, pihak-pihak yang sengaja dibuat jelek dihadapan yang lain, dan berujung kepada bagaimana siswa, kehilangan sepenuhnya apresiasi nan sejati kepada para guru. Karena digantikan oleh apresiasi artifisial yang bersifat sementara, dan setelahnya akan lebih banyak lagi murid-murid, yang bahkan tidak peduli saat guru yang memberikan mereka perhatian sepenuhnya, meninggal dunia. Atau minimal, mereka tidak peduli lagi atas eksistensi para mantan guru tersebut.

 

Padahal jika melihat tradisi para shalihin, ulama-ulama muhsinin yang hidup jauh sebelum masa kita, hubungan guru dan murid ini sangat erat. Bahkan dalam banyak kasus, seorang murid benar akan mengabdikan hidupnya untuk meneruskan legacy sang guru. Dalam kalimat yang disampaikan oleh Khalifah Ummat islam, Ali bin Abi Thalib, beliau menegaskan bahwa beliau adalah hamba, budak, bagi mereka yang mengajarkannya ilmu walau 1 ayat. Kenapa ulama-ulama terdahulu sampai sebegitunya terhadap guru mereka? Karena itulah esensi dari menjadi seorang guru sendiri.

 

Jika guru hanya terbatas pada transfer of knowledge semata, maka di millennium ini, guru jelas kalah bersaing dengan Syaikh Kyai Haji Professor Google, atau kalah informatif dengan Doktor Instagram atau TikTok P.Hd. Kenapa? Di platform-platform tadi suhu berbagai ilmu dunia memberikan ilmunya bahkan secara Cuma-Cuma kepada dunia. Untuk apa saya menghadiri kelas SDM yang mendatangkan seorang guru atau dosen, yang mungkin belum pernah mengelola perusahaan sama sekali? Ketika seorang Jurgen Klopp, pelatih top dunia, manajer klub sepakbola yang disegani di eropa memberikan filosofi, visi dan kerangka pengelolaan SDM nya, secara lengkap hanya dalam waktu 31 menit? Dan fakta ini sudah disasari para ulama dan salafus shalih ribuan tahun lalu, bahwa pengetahuan saja tidak cukup.

 

Inilah kenapa dalam berbagai catatan, seperti misal interaksi antara Imam Malik dan Imam Syaf’I, ada jauh dari sekedar transfer ilmu disana. Bagaimana Imam Malik membentuk Imam Syafi’I sebagai seorang manusia, membentuk sudut pandangnya, memperkokoh mentalnya, memberikan pemahaman yang utuh dan bukan sekedar omong kosong belaka. Tidak pernah Imam Malik meminta muridnya ini untuk melakukan koreo, joget-joget tidak jelas, dan semacamnya. Dia suruh muridnya untuk menjadi Imam, bahkan setelah si murid ini memliki “pandangan yang berbeda” dengannya. Sebagai wujud apresiasi, dan fokus kepad asasi pertumbuhan seorang anak manusia. Yang akhirnya baik murid ataupun gurunya, masyhur sampai detik ini. Menjadi salah satu dari kuartet imam mazhab fiqh, Imam Ahmad, Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i.

 

Maka saya disini memunculkan pertanyaan, apakah dengan joget-joget di perayaan hari guru nasional, bisa menggantikan apresiasi sepanjang hayat dari sebuah hubungan sejati antara seorang guru dan murid? Sebuah hubungan yang aslinya bisa membentuk manusia, menjadi manusia seutuhnya. Hubungan yang memiliki potensi langgeng sampai akhirat, dan mendatangkan pujian dan apresiasi, baik di dunia suatu saat nanti, dan Insya Allah di akhirat?

 

Saya hanyalah seorang tenaga pengajar di sebuah pesantren mahasiswa. Saya mengajar hanya 1 pekan sekali, bakda shubuh, dan hanya mengampu sebuah materi sejarah islam. Saya hanya mengajar paling hanya 1 jam. Namun saya sendiri, lebih berharap dan berdoa, para mahasiswa istimewa ini, mereka bisa mendapatkan sesuatu dari apa yang saya sampaikan. Bukan hanya materi, bukan hanya teori, tapi ada perubahan sudut pandang, yang semoga membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi, dan jujur saja, hanya itulah harapan dan doa saya. Urusan gaji, apresiasi, itu bukan urusan murid-murid saya, itu urusan Lembaga yang merekrut saya. Tapi bagi mereka, mau itu pagi-pagi buta sekalipun, dengan harapan kecil itu insya Allah akan tetap saya jalani.

 

Karena 9 tahun yang lalu, saat hari terakhir Angkatan saya di sekolah, saya menyaksikan sendiri. Bagaimana rasanya, para murid yang “dianggap sudah habis” oleh beberapa oknum guru, mampu memberikan persembahan manis di akhir. Saya sendiri juga menyaksikan, bagaimana mereka yang memilih percaya kepada kami, percaya bahwa kami bisa mencapai cita-cita kami, bereaksi dengan bunga mawar, dan paduan suara yang kami berikan. Ingat, ini terjadi di hari terakhir kami sekolah, bukan saat yang katanya “hari guru nasional”. Artinya, para guru sudah menyelesaikan tugasnya, mereka sudah menyaksikan hasil didikannya, benih ini akan menjadi apa. Semua prestasi selama masa sekolah, perjuangan untuk lulus ujian nasional, bahkan beberapa yang sudah diterima di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, sudah dapat disaksikan para guru.

 

Saat itulah diucapkan doa, terimakasih, dan harapan, dan meskipun telah demikian, murid-murid pada akhirnya tetap memiliki “apresiasi khusus” kepada guru-guru tertentu. Sekarang pertanyaannya, kira-kira, apakah vanity, apresiasi kosong yang bukan pada waktunya, akan memberikan apresiasi khusus macam apa bagi para guru?

 

Selamat hari guru nasional.



Lulusan program Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Alumni penerima manfaat beasiswa baktinusa angkatan 6.


Email: skripsiazzam@gmail.com



Untuk tulisan lain, silahkan kunjungi pranala dibawah ini:

http://fellofello.blogspot.com/2022/10/harus-melihat-menumbuhkan-obejktifas.html

http://fellofello.blogspot.com/2022/09/menyoal-kebangkitan-ummat-islam.html?m=1




Mampir di Kompasiana


 : https://www.kompasiana.com/azzamabdullah


follow me on insta @Azzam_Abdul4 


Thanks for your support!


Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya

No comments:

Post a Comment