Gambar: Penulis saat Menjadi Perwakilan Wisudawan (Valedictorian) Wisuda UNS periode April 2018 |
Oleh:
Muhammad Abdullah ‘Azzam, SM., M.M.
Ini cerita yang
penulis alami sendiri, tentang bagaimana teman-teman sekolah penulis, benar-benar
memilih untuk mengundang guru siapa yang akan diundang ke pernikahan-nya. Salah
satu teman bahkan menyampaikan, dia hanya menyampaikan undangan ke 2 orang
guru, yang pertama adalah pendamping organisasi-nya dulu, dan yang kedua adalah
guru yang ada di sisinya, saat guru-guru lain mengacuhkannya. Oh ya, dia juga
meminta doa restu pada 2 guru lain, yaitu wali kelas, dan satu lagi, pak kepala
sekolah yang memang dia hormati. Meskipun, beliau berdua, kebetulan berhalangan
hadir karena ada kegiatan. Padahal jika penulis ingat, selama bersekolah dengan
si teman ini, semua guru juga hadir di kelas, sesuai dengan jam mengajar,
memberikan ilmu sesuai dengan tupoksi. Namun dari sekian banyak guru itu, hanya
ada 4 (empat) yang dia anggap worthy untuk menyaksikan, dia menjadi
seorang suami dan calon ayah.
Kira-kira,
jika realita ini dijabarkan kepada para guru, yang mendampingi dia selama
sekolah, mengajar dalam waktu yang sama, mengajar dalam beban kerja yang sama,
namun anda disisihkan oleh siswa anda? Jujur kalau saya pribadi, ini tidak
mengenakkan. Namun tren semacam ini kelihatannya akan semakin sering, mengapa? Karena
pun diantara para guru, mulai muncul perubahan yang signifikan.
Sangat erat
dalam memori, generasi sebelum tahun 2000 senantiasa menyebut guru sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa. Karena realita-nya, dari segi gaji yang didapatkan, maupun
apresiasi para murid pada saat mengajar tidak sesuai dengan yang dikorbankan
para guru. Inilah kenapa bahkan para laskar Pelangi sekalipun tetap memiliki
keunikan masing, yang jelas membuat pusing para guru. Namun saat para murid ini
tumbuh dewasa, barulah guru ini panen, dan itulah alasan kenapa ada novel
Laskar Pelangi, yang tebalnya Masya Allah, menceritakan memori seorang Ikal
selama belajar di Sekolah Muhammadiyyah di Belitong Timur. Menjadi novel legendaris
di Indonesia, dan darinya kita kenal dengan Pak Harfan, dan guru-guru yang
lain.
Saat ini,
sepertinya Novel Nasional Legendaris yang mengharumkan nama Lembaga dan
personal, kurang menarik bagi para guru. Era media sosial ini kita menyaksikan,
guru-guru mulai muncul dan mencari apresiasi bahkan sebelum para muridnya
merasakan pahit nya kehidupan pasa sekolah, let alone berat nya,
berdarah-darahnya kehidupan nyata. Status-status WhatsApp mengenai
pencapaian-pencapaian “yang diaku muridnya” ramai berseliweran. Padahal Wallahu
‘alam anak-anak selama dikelas berpikiran dan berpandangan apa terhadapnya. Akun-akun
media sosial viral menunjukkan guru yang “memiliki bakat diluar mengajar” dan akhirnya
malah menjadi bahan tertawaan, atau akun-akun rendahan yang hanya menunjukkan
guru-guru yang punya uang lebih untuk beli make up, namun mendatangkan pujian,
publikasi, dan bahkan penggemar garis keras.
Namun yang
paling menjadi soal adalah bagaimana momen hari guru dewasa ini, malah membuat
banyak guru seperti meneladani rezim Korea Utara. Anak-anak disuruh membuat
performance, menari, koreografi, bahkan dengan “enteng” mengatakan “ini
persembahan anak-anak untuk gurunya”. Padahal hanya Allah SWT yang tahu, apa
makna dibalik persembahan itu. Apakah dilaksanakan dengan ikhlas atau terpaksa.
Atau malah hanya konspirasi Sebagian kecil guru, untuk mendapatkan apresiasi
atau dipandang “wah” oleh guru-guru lain, dan mendapatkan tempat manis di sisi
petinggi, baik itu jajaran kementrian atau pengelola bagi sekolah-sekolah
swasta.
Hari guru
akhirnya berakhir menjadi sebagaimana hal-hal lain di dunia, hanya sebatas vanity,
omong kosong tidak bermakna untuk memuaskan Hasrat pribadi akan rekognisi. Yang
dalam pelaksanaannya, ada waktu yang terbuang percuma, pihak-pihak yang sengaja
dibuat jelek dihadapan yang lain, dan berujung kepada bagaimana siswa,
kehilangan sepenuhnya apresiasi nan sejati kepada para guru. Karena digantikan
oleh apresiasi artifisial yang bersifat sementara, dan setelahnya akan lebih
banyak lagi murid-murid, yang bahkan tidak peduli saat guru yang memberikan
mereka perhatian sepenuhnya, meninggal dunia. Atau minimal, mereka tidak peduli
lagi atas eksistensi para mantan guru tersebut.
Padahal jika
melihat tradisi para shalihin, ulama-ulama muhsinin yang hidup jauh sebelum
masa kita, hubungan guru dan murid ini sangat erat. Bahkan dalam banyak kasus,
seorang murid benar akan mengabdikan hidupnya untuk meneruskan legacy sang
guru. Dalam kalimat yang disampaikan oleh Khalifah Ummat islam, Ali bin Abi
Thalib, beliau menegaskan bahwa beliau adalah hamba, budak, bagi mereka yang
mengajarkannya ilmu walau 1 ayat. Kenapa ulama-ulama terdahulu sampai
sebegitunya terhadap guru mereka? Karena itulah esensi dari menjadi seorang
guru sendiri.
Jika guru
hanya terbatas pada transfer of knowledge semata, maka di millennium ini,
guru jelas kalah bersaing dengan Syaikh Kyai Haji Professor Google, atau kalah
informatif dengan Doktor Instagram atau TikTok P.Hd. Kenapa? Di platform-platform
tadi suhu berbagai ilmu dunia memberikan ilmunya bahkan secara Cuma-Cuma kepada
dunia. Untuk apa saya menghadiri kelas SDM yang mendatangkan seorang guru atau
dosen, yang mungkin belum pernah mengelola perusahaan sama sekali? Ketika seorang
Jurgen Klopp, pelatih top dunia, manajer klub sepakbola yang disegani di eropa
memberikan filosofi, visi dan kerangka pengelolaan SDM nya, secara lengkap hanya
dalam waktu 31 menit? Dan fakta ini sudah disasari para ulama dan salafus shalih
ribuan tahun lalu, bahwa pengetahuan saja tidak cukup.
Inilah kenapa
dalam berbagai catatan, seperti misal interaksi antara Imam Malik dan Imam Syaf’I,
ada jauh dari sekedar transfer ilmu disana. Bagaimana Imam Malik membentuk Imam
Syafi’I sebagai seorang manusia, membentuk sudut pandangnya, memperkokoh
mentalnya, memberikan pemahaman yang utuh dan bukan sekedar omong kosong
belaka. Tidak pernah Imam Malik meminta muridnya ini untuk melakukan koreo, joget-joget
tidak jelas, dan semacamnya. Dia suruh muridnya untuk menjadi Imam, bahkan
setelah si murid ini memliki “pandangan yang berbeda” dengannya. Sebagai wujud
apresiasi, dan fokus kepad asasi pertumbuhan seorang anak manusia. Yang akhirnya
baik murid ataupun gurunya, masyhur sampai detik ini. Menjadi salah satu dari
kuartet imam mazhab fiqh, Imam Ahmad, Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Maka saya
disini memunculkan pertanyaan, apakah dengan joget-joget di perayaan hari guru
nasional, bisa menggantikan apresiasi sepanjang hayat dari sebuah hubungan
sejati antara seorang guru dan murid? Sebuah hubungan yang aslinya bisa
membentuk manusia, menjadi manusia seutuhnya. Hubungan yang memiliki potensi langgeng
sampai akhirat, dan mendatangkan pujian dan apresiasi, baik di dunia suatu saat
nanti, dan Insya Allah di akhirat?
Saya hanyalah
seorang tenaga pengajar di sebuah pesantren mahasiswa. Saya mengajar hanya 1
pekan sekali, bakda shubuh, dan hanya mengampu sebuah materi sejarah islam. Saya
hanya mengajar paling hanya 1 jam. Namun saya sendiri, lebih berharap dan
berdoa, para mahasiswa istimewa ini, mereka bisa mendapatkan sesuatu dari apa
yang saya sampaikan. Bukan hanya materi, bukan hanya teori, tapi ada perubahan
sudut pandang, yang semoga membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi,
dan jujur saja, hanya itulah harapan dan doa saya. Urusan gaji, apresiasi, itu
bukan urusan murid-murid saya, itu urusan Lembaga yang merekrut saya. Tapi bagi
mereka, mau itu pagi-pagi buta sekalipun, dengan harapan kecil itu insya Allah
akan tetap saya jalani.
Karena 9
tahun yang lalu, saat hari terakhir Angkatan saya di sekolah, saya menyaksikan
sendiri. Bagaimana rasanya, para murid yang “dianggap sudah habis” oleh beberapa
oknum guru, mampu memberikan persembahan manis di akhir. Saya sendiri juga
menyaksikan, bagaimana mereka yang memilih percaya kepada kami, percaya bahwa
kami bisa mencapai cita-cita kami, bereaksi dengan bunga mawar, dan paduan
suara yang kami berikan. Ingat, ini terjadi di hari terakhir kami sekolah,
bukan saat yang katanya “hari guru nasional”. Artinya, para guru sudah menyelesaikan
tugasnya, mereka sudah menyaksikan hasil didikannya, benih ini akan menjadi
apa. Semua prestasi selama masa sekolah, perjuangan untuk lulus ujian nasional,
bahkan beberapa yang sudah diterima di perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta, sudah dapat disaksikan para guru.
Saat itulah
diucapkan doa, terimakasih, dan harapan, dan meskipun telah demikian,
murid-murid pada akhirnya tetap memiliki “apresiasi khusus” kepada guru-guru
tertentu. Sekarang pertanyaannya, kira-kira, apakah vanity, apresiasi
kosong yang bukan pada waktunya, akan memberikan apresiasi khusus macam apa
bagi para guru?
Selamat hari
guru nasional.
Lulusan program Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Alumni penerima manfaat beasiswa baktinusa angkatan 6.
Email: skripsiazzam@gmail.com
Untuk tulisan lain, silahkan kunjungi pranala dibawah ini:
http://fellofello.blogspot.com/2022/10/harus-melihat-menumbuhkan-obejktifas.html
http://fellofello.blogspot.com/2022/09/menyoal-kebangkitan-ummat-islam.html?m=1
Mampir di Kompasiana
: https://www.kompasiana.com/azzamabdullah
follow me on insta @Azzam_Abdul4
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment