Sumber: https://radarsurabaya.jawapos.com/tekno-oto/17/01/2022/yamaha-fazzio-teknologi-hybrid-connected-termurah-di-indonesia/ |
Oleh: M. Abdullah 'Azzam
Dalam banyak hal, istilah penyesuaian dinilai sangat perlu baik untuk diterapkan untuk menghadapi kondisi yang tengah berlaku saat ini. Penyesuaian juga, menjadi salah satu dari sekian banyak solusi, untuk meningkatkan kapasitas tertentu, baik kapasitas perusahaan atau entitas, hingga individu. Itulah kenapa, istilah penyesuaian sangat akrab ketika ada kondisi mendadak, kondisi yang berubah, hingga kondisi yang tidak bisa di prediksi, dan paska pandemi, ada istilah yang sangat populer yaitu "agile" untuk menggambarkan kondisi, seberapa cepat entitas atau perusahaan beradaptasi dengan perubahan.
Maka, istilah penyesuaian ini sebenarnya sangat umum, kita bisa menyesuaikan baik dengan mengganti, menambah, mengurangi, meningkatkan, memotong, dan sebagainya, sesuai dengan kondisi yang tengah dihadapi. Itulah kenapa, kita tidak bisa kemudian mengharuskan, penyesuaian harus begini, harus begitu. Karena setiap entitas, menghadapi masalah yang berbeda dan perlu melakukan penyesuaian yang berbeda juga. Sekarang, bagaimana sebuah entitas menentukan langkah penyesuaian apa yang harus dilakukan?
Dalam istilah manajemen, ada sebutan "risk management". Risk management secara sederhana, bagaimana sebuah entitas mampu memetakan bagaimana mereka bisa menghadapi resiko yang nanti akan dihadapi perusahaan. Sehingga, ngga ada istilah kelabakan, tidak siap, apalagi remuk karena sesuatu, karena resiko sebenarnya bisa dapat di prediksi, bahkan di pastikan kehadiran nya. Salah satu hal yang penulis suka dari risk management adalah, doktrin bahwa resiko itu pasti ada preseden nya, ada Sebab musabab nya. Tidak mungkin resiko muncul begitu saja, kalau tidak ada sesuatu yang memulai.
Nah sekarang, dunia usaha dan ekonomi Indonesia sedang gentar. Gentar karena ngga ada hujan ngga ada angin, presiden menaikkan harga bbm. Padahal jika dilihat situasi dan kondisi yang berlaku, masyarakat umum tidak siap Karena baru saja ekonomi berjalan menuju masa pemulihan, hal sentral yang jadi penggerak ekonomi langsung mengalami kenaikan, mendekati 50% dari harga sebelumnya. Lebih luar biasa lagi, seluruh elit politik kecuali sebagian kecil, mendukung kebijakan tersebut.
Penulis sendiri ndak mau kebanyakan mengkritisi kebijakan pemerintah, karena itu bukan domain kerja Penulis. Ya sederhana saja, doa orang terdzalimi tidak terhijab. Doakan saja beliau-beliau yang mungkin mendzalimi Anda, dengan doa yang menurut Anda pantas. Toh gusti Allah ndak tidur. Yang coba saya soroti disini, dengan model pengelolaan negara yang seperti itu, kondisi kestabilan geopolitik semacam ini, dan kondisi kekacauan iklim semacam ini, mana ada orang bisnis yang tidak memprediksi BBM akan naik? Ngga mungkin lah. BBM naik tahun ini itu sudah pasti sebagaimana langit masih biru, atau angin masih berhembus.
Dengan banyak preseden, seperti perang dan kebijakan embargo atas Rusia, Tarik ulur antara Amerika dan Cina, kekacauan iklim, ini semua adalah preseden akan terjadinya gangguan dalam rantai pasokan global. Setelah ada gangguan semacam ini, sangat mungkin negara-negara yang memiliki Kuasa atas natural resource mulai mem-barca kan diri, Tarik tuas ekonomi sana sini biar negara nya tetap bertahan bahkan mengambil peluang. Akhirnya muncul market volatility, pasar jadi mengamuk, tidak stabil, semua serba tidak pasti. Dan dalam kondisi begini, semua pebisnis akan mantap mengambil opsi, cut loss is not optional, and if possible get something out of this hell hole. Mengurangi kerugian adalah sebuah keharusan, dan kalau memungkinkan dapatkan sesuatu dari lobang neraka ini.
Inilah logika berpikir, yang akhirnya digunakan, oleh banyak negara, termasuk di dalamnya Amerika Serikat, dan UK. Maka jika kita mengalami kenaikan harga Bahan bakar sampai 50%, negara yang saya sebut diatas harga bahan bakarnya sudah naik fantastic bahkan dalam beberapa kasus hingga 200%. Yang menarik adalah, kenapa dalam kondisi se lucu itu, orang orang seperti Elon Musk kok masih ada waktu untuk mengirimkan satellite, atau perangkat penjelajahan luar angkasa ke orbit bumi?
Sederhana, mereka benar benar coba memotong kerugian, dan tidak hanya itu, bagaimana caranya bisa memperoleh sesuatu dari kondisi semacam ini. Apa buktinya? Well, mayoritas produk tesla yang dinikmati konsumen di Asia, bukan berasal dari Amerika, tapi ya deket-deket Sini aja, cina misalkan. Dan kebijakan ketenagakerjaan dalam perspective macro, jauh dan jauh lebih menguntungkan bagi tesla, daripada kebijakan yang diterapkan di Amerika Serikat. Belum lagi kebijakan otomatisasi dan padat modal, yang diterapkan dalam membangun proyek luar angkasa Elon Musk.
Loh kenapa kok masih kekeuh bikin rocket yang harganya jutaan dollar? Sebagai orang Indonesia, pernah ngga kita membayangkan naik kereta api, tapi tidak dikelola oleh PT. KAI? EXACTLY! Inilah yang dibidik perusahaan Elon Musk, dia ingin menjadi pioneer perusahaan penjelajahan angkasa yang swasta, didanai lewat mekanisme bisnis, bukan dari pajak maupun anggaran negara. Karena prospek penjelajahan angkasa plus Sumber daya yang didapatkan dari Proyek ini, tidak sedikit.
Itulah kenapa minimal, selaku orang-orang yang mungkin terhitung biasa, setidaknya coba diterapkan pola pikir, untuk selalu bersiap. Minimal, agar Sumber daya terutama Sumber daya financial kita tidak kena gebuk ketika terjadi hal-hal semacam ini. Harus bagi seorang pengusaha, ngga peduli di kaki lima atau gedung tingkat lima, untuk melek dengan apa-apa yang berkembang di luar sana. Itulah kenapa sangat disarankan, untuk sesekali membaca berita internasional. Karena inilah tempat dimana preseden kebijakan yang diambil pemerintah lokal, terjadi. Ya, ada kebijakan yang murni didasarkan pada kerakusan dan ketamakan, tetapi kita bisa menggunakan "cocoklogi" untuk Minimal nyari selamat bagi diri dan usaha kita, dengan cara memperkaya diri dengan informasi dari dunia luar.
Kedua, dalam mengambil setiap kebijakan harusnya dilandasi dengan salah prioritas, dengan kata kunci "yang mana dulu, kita kuat untuk menjalankan" Kenapa kok bukan kita kuat untuk menjalankan yang mana dulu? Karena kalau indikator nya SWOT, kita menunggu kondisi ideal. Padahal dalam kondisi market yang tidak stabil, bergejolak, volatile, ngga ada namanya kondisi ideal. Maka kalau memang ada kebijakan yang dinilai stratejik, fokus kesana hingga kebijakan itu menemukan bentuk, jauh lebih baik dari sekedar cari data ini, cari data itu, kesana dan kemari tapi ndak ada wujud, hasil dari kebijakan yang diambil tadi.
Terakhir, tidak ada salahnya sebenarnya turut menyuarakan pendapat, bahkan saat kita sudah menyiapkan solusi untuk diri kita dan solusi itu menggaransi kita selamat dari kekacauan. Kenapa demikian? Seperti kalimat di awal tulisan ini, kita tidak tahu seberapa jauh kita harus "membuat penyesuaian", tapi jika hal-hal yang menjadi core value seperti hak asasi manusia, hak kebebasan berpendapat dan hak sebagai warga negara di ganggu, maka sudah sewajarnya, sebagai warga negara yang baik, turut menjaga agar fondasi NKRI dan demokrasi, tetap utuh, hadir, di tengah kehidupan kita.
Sehingga kedepan, ketika kita bilang "Kenapa naik?", itu bukan lagi keluhan. Tapi bentuk sarcasm, protes, bahkan sindiran tata kelola negara, yang lebih payah bahkan jika dibandingkan manajemen ekskul para pelajar.
Wallahu alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, M.M.
Lulusan program Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Alumni penerima manfaat beasiswa baktinusa angkatan 6.
Email: skripsiazzam@gmail.com
Untuk tulisan lain, silahkan kunjungi pranala dibawah ini:
http://fellofello.blogspot.com/2022/07/good-corporate-governance.html?m=1
http://fellofello.blogspot.com/2022/07/why-does-liverpool-want-salah-to-stay.html?m=1
Mampir di Kompasiana
: https://www.kompasiana.com/azzamabdullah
follow me on insta @Azzam_Abdul4
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment